Arunika salah tingkah, sementara Pak Imam dan Bu Halimah menatap anaknya curiga. “Dasar anak muda. Ego kalian memang terlalu tinggi. Sudahlah Kala, setelah orang tuamu kembali langsung saja ajak menemuiku. Kalian tidak bisa di biarkan terlalu lama seperti ini.” Papar Pak Imam. Melihat wajah Arunika yang memerah, Pak Imam paham jika anaknya juga mempunyai perasaan yang sama tanpa Arunika beri tahu. Seperti mereka, ia juga dulu pernah muda dan pernah mengalami masa-masa jatuh cinta. Hanya bagaimana kita bisa menempatkan rasa itu dengan benar. “Kalian suda paham, jika seseorang sudah berkeinginan untuk menikah, maka segerakanlah. Jangan sampai ditunda karena akan banyak mudhorotnya. Apalagi kalian hampir setiap hari bertemu di rumah sakit.” Papar Pak Imam. Kalandra mengangguk paham. Sebagai seorang yang pernah menuntut ilmu agama di pondok, ia juga paham akan batasan interaksinya dengan Arunika. Ketika ia pulang bersama, jendela mobil pun tak pernah mereka tutup, hal itu agar menjauh
"Devina tak akan berbuat sesuatu terhadap Arunika, kan?"“Dia akan berhadapan denganku jika itu terjadi.”Jendra merinding mendengar Kalandra yang berucap dengan nada dingin. Tidak dipungkiri jika nanti Devina akan berbuat nekat terhadap Arunika. Devina bahkan sudah mencelakai dirinya, walaupun hanya untuk menggertak Kalandra agar lebih memilihnya dibanding Arunika.“Apa proses pemakamannya lancar?” tanya Jendra menghilangkan keheningan setelah beberapa saat.“Alhamdulillah.”Jendra mengangguk. Entah, sepertinya dia sedang tidak ingin bicara lebih. Selain dirinya masih syok dengan kejadian di apartemen Devina tadi, dia juga masih tak menyangka jika Devina akan melakukan hal seperti tadi. Sepertinya dia harus berpikir dua kali untuk melamar Devina.“Aku mungkin akan mundur,” lirih Jendra. Kalandra melirik sebentar, lalu kembali fokus menyetir. Tujuan mereka masih sekitar 15 menit lagi menuju rumah Kalandra.“Devina terlalu menyeramkan, bukan?” tanyanya.“Kamu takut dikuliti olehnya ji
“Aku turut bersuka cita untuk Bu Harti, Run,” ucap Hasna di sela makannya. “Terima kasih.”“Maaf aku tak sempat datang ke rumahmu, aku—hamil, Run.”Arunika memandang Hasna berbinar. “Alhamdulillah, selamat.”“Terima kasih, ya. Kamu yang selama ini suport aku.”“Aku hanya melakukan apa yang harus ku lakukan, Na,” ucap Arunika. “Aku turut senang dengan kehamilanmu sekarang.”Arunika memegang tangan Hasna. Walaupun sempat pindah kuliah karena perceraiannya dengan Mahesa, Arunika tak pernah putus komunikasi dengan sahabatnya itu.“Alhamdulillah, ibu mertuaku yang paling exited dengan kehamilan ini. Maklum, dia sudah menunggu beberapa tahun.”“Itu buah dari sabar, Na.”“Ku harap kamu juga mendapatkan buah dari kesabaran kamu selama ini, Run.” Harap Hasna. “Kamu ingat Rama?”Arunika berpikir sejenak, “Lelaki yang pernah berpelukan dengan Dania?”Hasna mengangguk. “Dia akan menceraikan Viona begitu anak mereka lahir.”“Astaghfirullah,” lirih Arunika. “Dania juga sedang hamil. Beberapa bulan
Dania menatap kedua orang di depannya. Selama 5 tahun, dan baru kali ini mertuanya mengajaknya makan bersama. Bukankah ini pertanda baik? Apalagi selama ini sikap Ibu mertuanya tak menunjukkan sikap bersahabat. “Jadi, Papa kenapa tak ikut, Ma?” tanya Dania.Ratri memandang mertuanya malas, berbeda dengan Mayra yang lebih banyak diam. Wanita itu tahu alasan Ibunya mengajak menantunya makan.“Kerja.” Ratri menjawab singkat. Dania mengembuskan napas. Sabar. Ia yakin jika suatu saat Ratri akan membuka hati untuknya. Apalagi kini ia tengah mengandung anak kedua Mahesa.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Mayra.“Sudah lebih baik dari sebelumnya, Kak. Dia sudah 5 bulan.” Jawab Dania mengelus lembut perutnya yang mulai membuncit.Mayra, walaupun tak begitu menyukainya, tapi tak seperti mertuanya yang terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya. “Apa kamu yakin itu anak Mahesa?” Tanya Ratri acuh. Tangannya tetap memasukkan makanan ke dalam mulut dan tak menghiraukan wajah pias Dania.“Maksud Ma
“Dania?” Mahesa terkejut dengan kedatangan Dania ke rumah orang tuanya.Dania menatap Mahesa yang baru saja keluar dari mobilnya. Jadi, selama ini dia tinggal bersama kedua orang tuanya? Dania merasa miris.“Kamu di sini?” tanya Mahesa.Dania mengangguk pelan. Mahesa sedikit khawatir melihat Dania yang sepertinya tidak baik-baik saja.“Mau ku antar pulang?” tanya Mahesa lagi. Dania diam tak menjawab. Tanpa menunggu jawaban Dania, Mahesa membukakan pintu mobil untuk wanita yang masih berstatus istrinya itu. Mahesa melirik ke arah perut Dania yang terlihat sedikit membuncit. Ada perasaan aneh yang menjalar di dadanya. Bukankah sebelumnya ia ragu?“Masuklah,” perintah Mahesa.Dania mengangguk, lalu duduk di jok penumpang. Mahesa yang duduk di belakang setir agak sedikit heran dengan sikap diam Dania. Apa gerangan yang terjadi selama Dania di rumahnya?“Kamu baik-baik saja?” tanya Mahesa melirik ke arah Dania.“Apa itu penting buat kamu?” tanya Dania balik. Ia merasa sudah tak ada hara
“Sudah tahu belum, kalau Dokter Devina resign?”Arunika menghentikan kegiatannya saat mendengar beberapa perawat berbisik di meja resepsionis. Berita ini terlalu mendadak. Apa Devina keluar karena dirinya? Arunika merasa tak enak hati.“Mendadak, ya?”“Iya, sepetinya begitu.”Bisik-bisik kian terdengar jelas di telinga Arunika. Tak tahan, Arunika ingin memastikan berita ini kepada Kalandra. Ia yakin ada sangkut pautnya dengan kejadian beberapa hari lalu.Arunika melihat Kalandra yang sedang menikmati makan siangnya bersama Jendra. Biasanya, ada Devina juga diantara mereka. Enggan bergabung dengan mereka, Arunika memilih duduk sendiri di meja yang tak jauh dari tempat duduk Kalandra dan Jendra.“Sendiri, Dok?” Arunika mendongak. Sosok di depannya tak begitu ia kenal, tapi sering berpapasan di lobi rumah sakit. Melirik pada name tag yang terletak di dada sebelah kiri jas lelaki itu.Dr. Irham SpOG.Arunika mengangguk mengiyakan.“Boleh bergabung?”Tertegun sebentar, Arunika kemudian me
Arunika mengetuk pintu ruang rawat inap Devina. Bagaimanapun juga ia berpikir jika dirinya turut andil atas apa yang menimpa wanita yang 2 tahun lebih muda darinya itu.Tak ada jawaban, Arunika masuk ke dalam ruangan Devina begitu saja. Keadaan Devina sudah lebih baik dari sebelumnya. Tak ada lagi alat penunjang lainnya selain infus yang terpasang di lengan kirinya. Arunika menarik napas dalam lalu mengembuskannya.“Apa kamu sangat mencintainya, hingga berbuat seperti ini?” tanya Arunika, walaupun tahu Devina tak akan menjawabnya. “Aku juga mencintainya. Aku—“Tenggorokan Arunika tercekat untuk melanjutkan kata-katanya. Dirinya juga tak akan sanggup jika harus merelakan hatinya seperti dulu. “Maafkan aku telah membuatmu seperti ini,” lirihnya. Dipegang jemari lentik Devina. Arunika hanya ingin berteman dengan Devina yang tampak ramah kepada siapa pun, kecuali dirinya. Sadar dengan penolakan Devina, Arunika lebih baik mundur. Bukan dalam hal percintaannya, hanya saja Arunika tak in
“Maksud kamu apa berbicara seperti tadi pada Dania?” Tanya Kalandra sesaat setelah Dania kembali ke poli kandungan.Arunika menatap Kalandra, rupanya lelaki itu mendengar apa yang ia bicarakan dengan Dania.“Mas, Devina sepertinya membutuhkanmu,” jawab Arunika lirih.“Lalu?”“Mas, tidakkah kamu memikirkannya?”“Sudah ku bilang, apa pun yang akan terjadi, percayalah aku akan menyelesaikannya.” Kalandra meyakinkan Arunika yang mulai goyah.“Mas, Devina seperti tak punya semangat hidup lagi.”“Lalu? Apakah akan menjadi urusanku?”“Dia seperti itu karena kita,” gumam Arunika.“Tidak. Itu karena ulahnya sendiri. Jangan pernah berasumsi bahwa kitalah yang telah melakukan kesalahan.” Kalandra mulai kesal.“Mas,” Arunika mendesah.“Sebenarnya apa yang kamu inginkan?”“Tak bisakah Mas Kala membuka sedikit saja hati untuk Devina?”Kalandra diam. Sedikit kecewa dengan perkataan Arunika. Wanita itu tak tahu, ia sudah menunggu sangat lama untuk memilikinya. Namun, ketika jalan itu sudah tinggal se
"Polisi! Tolong panggil polisi!" Teriak Ratri.Rama menatap Ratri tajam. "Laporkan saja!" Tantang Rama. "Dan saya saya laporkan kalian yang sudah membunuh Dania dan bayinya!"Ratri membeliakkan mata. Rama memeluk jenazah Dania dengan terus memanggil nama wanita itu. Suaranya sangat pilu hingga membuat beberapa orang disana merasa iba. Ada juga beberapa yang berbisik-bisik seakan menanyakan hubungan keduanya.Arunika dan Kalandra memilih mundur dan tak ikut campur urusan mereka. Lagi pula, Arunika sudah tak ada hubungan apa pun dengan mereka, jadi biarlah mereka mengurus sendiri keributan itu.Arunika dapat melihat cinta yang besar dari mata Rama untuk Dania. Sayang sekali, Dania malah memilih cinta yang salah, dan harus berakhir dengan seperti ini. Arunika berharap pernikahannya dengan Kalandra tak akan seperti pernikahannya yang terdahulu.Arunika juga berharap dengan kejadian ini Mahesa akan sadar bahwa yang dilakukannya adalah salah, dan akan memperbaiki kelakuannya. Arunika meliri
"Mas," panggil Arunika kepada suaminya. "Dania meninggal," imbuhnya membuat Kalandra sedikit terkejut."Bayinya?"Arunika menggeleng lemah."Innalillahi wainna ilahi rooji'un.""Kita takziah kesana, ya, Mas?"Kalandra mengangguk mengiyakan ajakan wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Mereka bersiap untuk menuju rumah Mahesa, sebelumnya menitipkan Tama terlebih dahulu kepada kedua orang tua Kalandra. "Tangan kamu dingin," ucap Kalandra ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah duka.Arunika menatap Kalandra, "Aku hanya merasa sangat bersalah, Mas. Aku sudah mendengar dari Dania kalau kandungannya kali ini memang tak baik-baik saja. Dia sangat tertekan dengan pernikahannya."Arunika menunduk sedih. Dapat ia rasakan bagaimana rasanya menjadi Dania. Bedanya, ia tidak dalam keadaan hamil, tentu saja itu yang disyukurinya.Dania mengalami stres berat dan itu sangat bahaya untuk kandungannya, buktinya sekarang dia tak bisa bertahan. Hati Arunika mencelos mengingat anak mereka--Aruna yan
"Tolong selamatkan anakku," rintih Dania dengan peluh sudah memenuhi wajahnya.Sial. Mahesa makin panik melihat wajah Dania yang semakin memucat.Kalau saja Mahesa tahu jika sedari tadi Dania menahan nyeri diperutnya. Usia kandungannya memasuki usia delapan bulan, tapi memang kondisinya tak baik-baik saja karena ada pre-emklasia yang disebabkan stres.Harusnya Dania tak usah datang menemui Mahesa jika malah membuat janinnya dalam bahaya. Tapi, Dania masih berharap Mahesa akan meminta maaf padanya, tapi malah lelaki itu meminta kembali dengan sangat angkuh.Dania merasa terhina. Biarpun separuh hatinya masih milik Mahesa, tapi dia tak mau menjatuhkan harga dirinya berulang kali demi mendapat perhatian Mahesa. Pandangan Dania mulai mengabur, ia berusaha menarik napas dalam seperti yang dokter katakan padanya ketika kontraksi datang. Dania sering mengalami kontraksi palsu, dan dokter menyarankan agar dia tak terlalu banyak aktivitas dan banyak pikiran. "Dan, bertahanlah. Sebentar lagi
"Kamu tak datang di pernikahan mereka?" Mahesa menggeleng lemas. Dia telah kalah, untuk apa menampakkan muka lagi di depan Arunika dan keluarganya. "Aku akan kesana," ucap Dania.Mahesa menatap Dania tak percaya. "Kamu yakin?"Dania mengangguk yakin. Dia tak ada masalah sama sekali dengan Arunika. Kesalahpahaman mereka sudah selesai, jadi tak ada alasan bagi Dania untuk tak pergi ke pernikahan Arunika dan Kalandra. "Ayo, kita rujuk."Dania bergeming."Kamu dengar? Ayo, rujuk."Dania tertawa mengejek. "Setelah kamu buang, memangnya aku akan sudi kembali sama kamu?" Mahesa membeliakkan mata tak percaya dengan respon Dania. "Maaf, silakan cari wanita lain. Aku tahu kamu menjadikanku sebagai pelarian karena telah patah hati atas pernikahan Arunika.""Aku akan bertanggung jawab dengan anak itu.""Anak yang mana? Aruna anakmu, tentu saja kamu harus bertanggung jawab menafkahinya," tegas Dania.Masih saja Mahesa seenaknya sendiri. Dania pikir, Mahesa akan berubah setelah mendapat pering
Kalandra menghampiri Arunika yang tengah membaca buku di balkon kamar yang langsung berhadapan dengan laut luas. Penginapan yang mereka sewa memang terletak di atas pantai. Seperti penginapan terapung. Ada jalan terbuat dari kayu jati yang menghubungkan penginapan ini dengan daratan. “Sibuk?” tanya Kalandra membuat Arunika mengalihkan pandangannya. Menutup buku yang sedang ia baca, pandangan Arunika mengarah pada dua cangkir ditangan lelaki itu.“Kopi?”Kalandra mengangguk, lalu duduk di sebelah Arunika.“Sudah jam 9 kamu mau minum kopi, Mas?”“Sepertinya aku akan bergadang malam ini.”Arunika menatap Kalandra tak paham. “Mungkin kamu juga,” lanjutnya.Arunika menaikkan sebelah alisnya.“Bukankah tamu bulananmu sudah selesai?” Arunika tertegun. Seperti sadar apa yang dimaksud Kalandra, wanita itu segera memalingkan wajahnya dari tatapan lapar Kalandra.“Jadi ... bukankah kita butuh kopi?”Arunika tak menjawab. Jantungnya berdebar kencang.“Kenapa?” tanya Kalandra lirih membuat Aru
“Kamu tahu,” bisik Kalandra saat mereka—dirinya dan Arunika duduk di sebuah pantai. “Aku mencintaimu sejak kita tumbuh dewasa bersama,” lanjutnya sembari menatap Arunika yang juga tengah menatapnya. Wajah Arunika memerah, bukan karena malu, tapi karena cahaya matahari sore yang menyorot ke arahnya. Senja mulai kembali ke peraduannya dan mereka masih duduk di sana untuk menikmati pemandangan sore.“Aku simpan rasa itu hingga nanti datang waktu yang tepat, saat aku meminangmu dan kita menjadi halal untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain.” Kalandra mengembuskan napas pelan. Menatap nanar pada matahari yang benar-benar mulai tenggelam di ufuk barat.“Kamu tahu,” lirihnya. “rasanya sangat menyakitkan melihatmu bersanding dengan orang lain. Aku patah hati untuk pertama kalinya.”“Kenapa kamu tak melarangku, Mas?” tanya Arunika.“Aku tak punya hak untuk itu. Memangnya siapa aku? Bahkan selama beberapa tahun kita tak saling menyapa.”“Aku berharap kamu menahanku waktu itu, Mas,” ucap A
Kalandra memegang kepala Arunika selagi Arunika masih mencium telapak tangannya. Ia berdoa dengan memegang ubun-ubun Arunika.“Allaahumma innii as-aluka khoirohaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'uudzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa’alaihi.” (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu kebaikan perempuan ini dan apa yang telah Engkau berikan dalam wataknya. Dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan perempuan ini dan apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya.)Setelah mengucapkan doa, Arunika mengangkat kepalanya. Ditatapnya Kalandra yang juga tengah menatapnya. Ada perasaan hangat di dadanya, rasa haru yang membuat ia ingin meneteskan air mata, tapi ia tahan mati-matian. “Jangan nangis, nanti make up-nya luntur.” Arunika mengingat kata Hasna yang melarangnya untuk menangis di hari bahagia ini.“Kamu terlihat sangat cantik,” ucap Kalandra membuat Arunika tertunduk malu. Seulas senyum terbit dari bibir tipis Arunika. “Sudah boleh memujimu, kan?”Arunika
Kalandra mematut dirinya di depan cermin. Jas abu dengan kemeja putih di dalamnya membuat penampilannya tampak gagah. Jendra berdiri di belakangnya dengan raut tak kalah semringah dengan Kalandra. “Akhirnya kamu yang pemenangnya.” Jendra menepung punggung Kalandra.Lelaki yang tingginya tak jauh lebih tinggi dari Kalandra itu tersenyum bangga. Setelah perjuangan Kalandra selama beberapa tahun, akhirnya lelaki itu mendapatkan buah kesabarannya.“Kamu akan menyusul segera,” hibur Kalandra.“Carikan yang seperti Arunika.”“Tidak ada lagi yang seperti dia.”Jendra mencebik. Entah, perasaannya menguap begitu saja pada Devina sejak wanita itu melakukan hal diluar batas. Jendra mengembuskan napas berat. Deviana. Bagaimana kabarnya? Terakhir bertemu beberapa hari lalu.“Kamu mengkhawatirkan Devina?” tanya Kalandra.“Sedikit.” Jendra menghempaskan bokongnya diatas kasur milik Kalandra.Ketukan pintu membuat Kalandra mengalihkan pandangannya pada kaca di depannya. “Sudah siap?” tanya wanita
Arunika mengangguk. Tak tampak keraguan sedikit pun dimatanya. Sementara Ratri merasa sedih, menantu yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri akan menjadi milik orang lain.“Kak,” Arunika memanggil Mayra. “Mohon doanya,” lanjutnya.Mayra tersenyum. Walaupun ia juga merasa sedih, Mayra lebih bisa menutupinya. Arunika berhak bahagia atas pilihannya. “Kakak mendoakan yang terbaik untukmu, Run,” ucap Mayra lirih.“Terima kasih.”____________Arunika menatap cermin di depannya. Wajah ayu dengan polesan riasan tipis, membuatnya tampak lebih cantik dari biasanya. Kebaya berbentuk gamis yang ia kenakan tampak indah membungkus tubuhnya. Persiapan yang sangat singkat.Beberapa kali Arunika mengambil napas lalu mengembuskannya. Hari yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, akhirnya ada di depan matanya. Setelah ini, ia berharap tak akan ada lagi masalah yang menderanya. Walaupun ia paham, satu hari setelah hari ini, kehidupannya akan berubah.“Bun.”Arunika mengalihkan pandangannya pada Tama