“Aku turut bersuka cita untuk Bu Harti, Run,” ucap Hasna di sela makannya. “Terima kasih.”“Maaf aku tak sempat datang ke rumahmu, aku—hamil, Run.”Arunika memandang Hasna berbinar. “Alhamdulillah, selamat.”“Terima kasih, ya. Kamu yang selama ini suport aku.”“Aku hanya melakukan apa yang harus ku lakukan, Na,” ucap Arunika. “Aku turut senang dengan kehamilanmu sekarang.”Arunika memegang tangan Hasna. Walaupun sempat pindah kuliah karena perceraiannya dengan Mahesa, Arunika tak pernah putus komunikasi dengan sahabatnya itu.“Alhamdulillah, ibu mertuaku yang paling exited dengan kehamilan ini. Maklum, dia sudah menunggu beberapa tahun.”“Itu buah dari sabar, Na.”“Ku harap kamu juga mendapatkan buah dari kesabaran kamu selama ini, Run.” Harap Hasna. “Kamu ingat Rama?”Arunika berpikir sejenak, “Lelaki yang pernah berpelukan dengan Dania?”Hasna mengangguk. “Dia akan menceraikan Viona begitu anak mereka lahir.”“Astaghfirullah,” lirih Arunika. “Dania juga sedang hamil. Beberapa bulan
Dania menatap kedua orang di depannya. Selama 5 tahun, dan baru kali ini mertuanya mengajaknya makan bersama. Bukankah ini pertanda baik? Apalagi selama ini sikap Ibu mertuanya tak menunjukkan sikap bersahabat. “Jadi, Papa kenapa tak ikut, Ma?” tanya Dania.Ratri memandang mertuanya malas, berbeda dengan Mayra yang lebih banyak diam. Wanita itu tahu alasan Ibunya mengajak menantunya makan.“Kerja.” Ratri menjawab singkat. Dania mengembuskan napas. Sabar. Ia yakin jika suatu saat Ratri akan membuka hati untuknya. Apalagi kini ia tengah mengandung anak kedua Mahesa.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Mayra.“Sudah lebih baik dari sebelumnya, Kak. Dia sudah 5 bulan.” Jawab Dania mengelus lembut perutnya yang mulai membuncit.Mayra, walaupun tak begitu menyukainya, tapi tak seperti mertuanya yang terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya. “Apa kamu yakin itu anak Mahesa?” Tanya Ratri acuh. Tangannya tetap memasukkan makanan ke dalam mulut dan tak menghiraukan wajah pias Dania.“Maksud Ma
“Dania?” Mahesa terkejut dengan kedatangan Dania ke rumah orang tuanya.Dania menatap Mahesa yang baru saja keluar dari mobilnya. Jadi, selama ini dia tinggal bersama kedua orang tuanya? Dania merasa miris.“Kamu di sini?” tanya Mahesa.Dania mengangguk pelan. Mahesa sedikit khawatir melihat Dania yang sepertinya tidak baik-baik saja.“Mau ku antar pulang?” tanya Mahesa lagi. Dania diam tak menjawab. Tanpa menunggu jawaban Dania, Mahesa membukakan pintu mobil untuk wanita yang masih berstatus istrinya itu. Mahesa melirik ke arah perut Dania yang terlihat sedikit membuncit. Ada perasaan aneh yang menjalar di dadanya. Bukankah sebelumnya ia ragu?“Masuklah,” perintah Mahesa.Dania mengangguk, lalu duduk di jok penumpang. Mahesa yang duduk di belakang setir agak sedikit heran dengan sikap diam Dania. Apa gerangan yang terjadi selama Dania di rumahnya?“Kamu baik-baik saja?” tanya Mahesa melirik ke arah Dania.“Apa itu penting buat kamu?” tanya Dania balik. Ia merasa sudah tak ada hara
“Sudah tahu belum, kalau Dokter Devina resign?”Arunika menghentikan kegiatannya saat mendengar beberapa perawat berbisik di meja resepsionis. Berita ini terlalu mendadak. Apa Devina keluar karena dirinya? Arunika merasa tak enak hati.“Mendadak, ya?”“Iya, sepetinya begitu.”Bisik-bisik kian terdengar jelas di telinga Arunika. Tak tahan, Arunika ingin memastikan berita ini kepada Kalandra. Ia yakin ada sangkut pautnya dengan kejadian beberapa hari lalu.Arunika melihat Kalandra yang sedang menikmati makan siangnya bersama Jendra. Biasanya, ada Devina juga diantara mereka. Enggan bergabung dengan mereka, Arunika memilih duduk sendiri di meja yang tak jauh dari tempat duduk Kalandra dan Jendra.“Sendiri, Dok?” Arunika mendongak. Sosok di depannya tak begitu ia kenal, tapi sering berpapasan di lobi rumah sakit. Melirik pada name tag yang terletak di dada sebelah kiri jas lelaki itu.Dr. Irham SpOG.Arunika mengangguk mengiyakan.“Boleh bergabung?”Tertegun sebentar, Arunika kemudian me
Arunika mengetuk pintu ruang rawat inap Devina. Bagaimanapun juga ia berpikir jika dirinya turut andil atas apa yang menimpa wanita yang 2 tahun lebih muda darinya itu.Tak ada jawaban, Arunika masuk ke dalam ruangan Devina begitu saja. Keadaan Devina sudah lebih baik dari sebelumnya. Tak ada lagi alat penunjang lainnya selain infus yang terpasang di lengan kirinya. Arunika menarik napas dalam lalu mengembuskannya.“Apa kamu sangat mencintainya, hingga berbuat seperti ini?” tanya Arunika, walaupun tahu Devina tak akan menjawabnya. “Aku juga mencintainya. Aku—“Tenggorokan Arunika tercekat untuk melanjutkan kata-katanya. Dirinya juga tak akan sanggup jika harus merelakan hatinya seperti dulu. “Maafkan aku telah membuatmu seperti ini,” lirihnya. Dipegang jemari lentik Devina. Arunika hanya ingin berteman dengan Devina yang tampak ramah kepada siapa pun, kecuali dirinya. Sadar dengan penolakan Devina, Arunika lebih baik mundur. Bukan dalam hal percintaannya, hanya saja Arunika tak in
“Maksud kamu apa berbicara seperti tadi pada Dania?” Tanya Kalandra sesaat setelah Dania kembali ke poli kandungan.Arunika menatap Kalandra, rupanya lelaki itu mendengar apa yang ia bicarakan dengan Dania.“Mas, Devina sepertinya membutuhkanmu,” jawab Arunika lirih.“Lalu?”“Mas, tidakkah kamu memikirkannya?”“Sudah ku bilang, apa pun yang akan terjadi, percayalah aku akan menyelesaikannya.” Kalandra meyakinkan Arunika yang mulai goyah.“Mas, Devina seperti tak punya semangat hidup lagi.”“Lalu? Apakah akan menjadi urusanku?”“Dia seperti itu karena kita,” gumam Arunika.“Tidak. Itu karena ulahnya sendiri. Jangan pernah berasumsi bahwa kitalah yang telah melakukan kesalahan.” Kalandra mulai kesal.“Mas,” Arunika mendesah.“Sebenarnya apa yang kamu inginkan?”“Tak bisakah Mas Kala membuka sedikit saja hati untuk Devina?”Kalandra diam. Sedikit kecewa dengan perkataan Arunika. Wanita itu tak tahu, ia sudah menunggu sangat lama untuk memilikinya. Namun, ketika jalan itu sudah tinggal se
“Mas, maaf soal yang kemarin,” kata Arunika sambil membetulkan kerudung instannya yang sedikit tertiup angin.Mereka sedang duduk di kafe sebelah rumah sakit di jam makan siang. Kalandra menatap Arunika sebentar, lalu kembali mengaduk kopinya yang mulai dingin. Kalandra mengangguk. Ucapan Arunika beberapa hari lalu benar-benar melukainya. Arunika seperti tak menghargai dirinya selama ini.“Devina akan baik-baik saja. Kamu tak perlu mengkhawatirkan tentang kondisinya.”“Aku hanya kasihan.”“Aku tahu. Tapi kamu juga perlu memikirkan ku yang selama ini menunggumu.”“Maaf,” sesal Arunika. Hatinya benar-benar kacau saat melihat kondisi Devina yang menyedihkan. Apalagi saat tahu kejadian ini bukan kali pertama Devina melukai dirinya sendiri.“Sebenarnya aku sedikit kecewa,” ujar Kalandra. “Mas,” desah Arunika.“Kamu terlalu memikirkan perasaan orang lain, tapi sama sekali tak memikirkan perasaanku. Aku seperti dipermainkan.”“Bukan seperti itu, Mas.”“Lalu?” Kalandra menaikkan sebelah ali
“Saya sempat kaget, tiba-tiba saja anak ini meminta untuk dilamarkan anak orang,” kata Hendra—ayah dari Kalandra. “Mana tahu saya kalau ternyata Arunika.” Hendra terkekeh. Keluarga mereka memang sudah kenal lama, bertetangga sejak Kalandra dan keluarganya pindah ke Yogya. Setelah Arunika menikah, Kalandra memutuskan pindah ke kota asalnya di Jakarta. Sementara kedua orang tuanya memang sering keluar kota, bahkan keluar negeri untuk urusan bisnis kuliner mereka. “Anak ini memang sudah lama menyimpan perasaan pada Arunika. Bukan begitu, Kala?” tanya Yuni—ibu Kalandra sambil terkekeh.“Bu Yuni dan Pak Hendra apa tidak keberatan dengan status Arunika?” tanya Bu Halimah lirih.Hendra dan Yuni saling berpandangan, lalu tersenyum.“Kami terserah pada Kalandra saja. Lagi pula, sudah lama anak ini memendam perasaan pada Arunika,” ucap Yuni sambil melirik ke arah Kalandra.Arunika melirik Kalandra sebentar lalu kembali menunduk. Ada yang berdesir di dalam hatinya. Ia kira, keluarga Kalandra a