Mahesa berkali-kali memukul setir mobilnya. Segala umpatan keluar dari mulutnya. Ia tak terima. Sungguh. Penyesalan itu hinggap di hatinya begitu dalam. Apa lagi tadi Aksa berbicara tentang jodoh Arunika? Hah! Dia benar-benar kesal. Seharusnya Arunika memberinya kesempatan kedua. Seharusnya ia lebih berhak untuk kembali pada wanita itu. Bukankah dulu mereka pernah satu ranjang, bahkan pernah bersama di bawah selimut. Egonya menolak Arunika dekat dengan lelaki mana pun. Mahesa membunyikan klakson berkali-kali. Berharap mobil di depannya segera melaju. Bukankah sudah lampu hijau? Lama sekali. Mahesa membunyikan klakson lagi dengan tak sabar. Umpatan demi umpatan keluar dari mulutnya. Nafasnya kembali lega ketika mobil di depannya mulai berjalan. Dengan tak sabar, Mahesa menginjak pedal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Ada apa?” tanya Mayra melihat kedatangan adiknya dengan wajah memerah menahan amarah. “Kakak tahu kalau Arunika sudah punya penggantiku?” Mayra mengernyit,
Arunika menatap langit senja dari balik balkon ruang praktiknya. Ruang praktiknya tak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk di jadikan tempat bersantai. Jadwal praktiknya sudah habis, namun ia masih ingin sekadar duduk disana menikmati senja yang sebentar lagi akan pergi. Ia tak menampik, bahwa segala sesuatu yang terjadi pada hidupnya sudah menjadi jalan takdir yang di tetapkan oleh Allah.Berkali-kali dia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Tak bisa di ingkari, terkadang ia menyesal. Bagaimana tidak, hidupnya jadi serumit ini. “Astagfirullah,” lirih Arunika. Bukankah dia harus ikhlas menerima takdir? Walaupun terkadang seolah takdir itu mempermainkannya. Dulu, dia pernah memimpikan pernikahan yang indah seperti kedua orang tuanya. Kisah yang sama pula terjadi dengan kakaknya, Aksara. Hanya bedanya, Rinjani, istri Aksara meninggal. Sedangkan nasibnya tragis karena menjanda karena di selingkuhi. Arunika melirik jam yang melingkar di pergelangan ya tangannya. Sudah menjel
Arunika menatap kedua tamunya dengan tatapan sendu. Tak pernah ia duga jika kedua orang tua yang pernah ia anggap seperti kedua orang tuanya itu akan mendatanginya seperti ini. Tatapan sendu tampak pula dari netra kedua orang di depannya. Ridwan dan Ratri, kedua orang tua Mahesa itu tengah duduk di ruang tamu rumahnya.“Maafkan kami ya, Run.” Ucap Ratri sembari menyeka ujung matanya. Rasa bersalah hinggap di dada kedua orang tua Mahesa terhadap apa yang di lakukan oleh anaknya di masa lalu.“Apa Mahesa mengganggu kamu sekarang, Nak?” tanya Ridwan hati-hati.Arunika menggeleng. Ia tak ingin menjadi beban pikiran untuk kedua orang tua Mahesa. Apalagi dia melihat tubuh Ridwan yang tak sebugar dulu. “Tidak, Pa.” “Mahesa sempat cerita kalau bertemu dengan kamu. Betul, Run?”Arunika mengangguk, “tak apa, Ma. Hanya sekedar ngobrol biasa.”“Mama hanya takut anak itu mengganggu kamu. Pernikahannya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin ini karma buat Mahesa karena dulu telah menyakiti kamu.”
Arunika terdiam menatap Ratri. Jika kakaknya, Aksara masih berada di sini pasti akan naik darah. Untung saja Aksara dan Mahira telah kembali ke Yogya tadi pagi. Ada tatapan memohon di kedua mata Ridwan dan Ratri. Arunika menarik napas dalam, laku mengembuskannya perlahan.“Dulu, Arunika pernah membuat kesalahan dengan menilai seseorang hanya dari perjuangannya. Runi kira ketika orang itu berani berjuang dan berkorban untuk orang lain, maka ia akan serius dan konsisten dengan segala apa yang ia perjuangkan. Namun ternyata Runi terkecoh. Runi merasa di tipu. Setelah ia mendapatkan apa yang ia mau, ia tinggalkan. Maaf Ma, Runi bukan mainan.”“Tak adakah kesempatan kedua, Nak?” tanya Ratri sedikit memaksa. Jujur saja dia merasa kecewa dengan jawaban Arunika. Bukankah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua? Ridwan menyentuh lengan Ratri memperingati.“Runi mencari lelaki yang takut kepada Allah dan yang dapat menjaga ucapannya yang telah ia ikrarkan di hadapan Allah. Maafkan R
Mahesa menyesap ujung rokok di sela bibirnya. Asap mengepul keluar setelahnya. Menatap Dania yang sedang merapikan rambut sebahunya yang tertiup angin. Ada perasaan aneh yang menjalar. Bukan perasaan kagum, tapi Mahesa tak bisa mengungkapkannya.“Maaf,” ucapnya lirih. Dania memandangnya bingung. Tatapan Mahesa masih lurus ke arah mentari yang mulai kembali ke peraduannya.“Soal?” Dania tak paham. Mengapa setelah sekian lama mereka tak memadu kasih, Mahesa malah terlihat menyesal setelah melakukannya.“Maaf aku tak bisa mengontrolnya.”Dania paham. Sepertinya memang Mahesa telah menyesal telah tidur dengannya. Dania tersenyum sinis. Bukankah mereka masih sepasang suami istri? Lalu kenapa Mahesa merasa berdosa. Senista itukah dirinya?“Kamu menyesal karena apa? Tidur dengan ku atau menyebut nama wanita itu setelah pelepasan?” sinis Dania. Mahesa diam enggan membahas. Ia bahkan tak sadar jika yang ia sebut namanya malam itu adalah mantan istrinya, bukan istrinya. Ekspresi Dania seolah
Arunika menatap tajam sosok yang mencegatnya di lobi rumah sakit saat ia hendak pulang. Tatapan tak kalah tajam tercetak jelas di mata Mahesa. Beberapa orang yang tengah berlalu lalang memperhatikan mereka penuh tanya. Tak ingin ikut campur, mereka hanya melihat lalu pergi. Seolah lelah dengan kehadiran lelaki yang sudah menjadi mantan suaminya itu, Arunika berusaha bersikap netral, tak menampilkan emosi pada wajahnya.“Aku ingin bicara.” Gumam Mahesa dengan penekanan.“Bicaralah.” Ujar Arunika.Mahesa menatap sekeliling, “tidak di sini.”Arunika mengangguk. Lalu mendahului Mahesa menuju pintu keluar. Di sebelah kanan gedung rumah sakit ada sebuah kafe. Arunika menuju kafe itu yang memang terlihat lenggang. Sengaja mengambil meja dekat dengan pintu masuk, Arunika terlebih dahulu menjatuhkan bokongnya di atas kursi dan di susul Mahesa duduk di depannya.“Kamu mau pesan sesuatu?” tanya Arunika basa basi saat melihat ketegangan di raut wajah Mahesa. “Terserah.” Ucap Mahesa acuh.“Oke.”
“Mas!” seru Arunika sembari berlari kecil mengejar langkah panjang Kalandra.“Mas Kala!” Panggilnya lagi, namun Kalandra masih mengayunkan kakinya dan tak mengindahkan panggilannya.“Mas Kala!” Seru Arunika untuk ketiga kalinya, sembari mengejar lelaki itu.Arunika melepas sebelah kiri sepatu pantofelnya lalu melemparkannya pada Kalandra.“Aduh!” pekik Kalandra memegang bekalang kepalanya.Tepat sasaran. Sepatu itu mendarat dengan mulus di kepala bagian belakang lelaki itu dan membuat Arunika tersenyum puas. Tentu saja hanya pada Kalandra ia berani berbuat seperti itu. Kalandra menghentikan langkahnya. Mengambil sepatu sebelah kiri milik Arunika lalu menghadap perempuan yang sedari tadi mengejarnya, lalu menatap Arunika tajam.“Tidak sopan?!” gumamnya.“Apa fungsi pendengaran Mas Kala terganggu, sehingga aku panggil tak mendengar?” tanya Arunika dengan nada kesal. Arunika berjalan mendekat ke arah Kalandra, hendak mengambil sepatunya. Arunika meraih sepatu yang ada dalam genggaman
“Aku tidak tahu, kalau ternyata dia se egois itu.” Ucap Hasna sambil menyeruput lemon tea di depannya. “Dulu, kami satu SMA.”Arunika mengernyit, “oh ya? Kamu belum pernah cerita.”“Sejak melihatmu yang mulai penasaran dengan kegigihannya dulu, aku tak berani mengatakan apa pun soal Mahesa. Aku juga sudah lama tak mengikuti kisah cinta mereka, jadi aku tak tahu juga kalau mereka ternyata dulu belum putus. Tapi yang aku tahu, Dania agak introvert karena dulu orang tuanya bercerai.”Arunika sedikit terkejut dengan ucapan Dania. Mungkin itulah sebabnya ia tak mau berpisah dengan Mahesa. Dania mungkin saja takut jika nasib Aruna sama sepertinya dulu.Hari ini Arunika libur, sehingga bisa menemui Hasna untuk sekedar bercerita. Mereka bertemu di sebuah kafe bernuansa klasik. Dinding di lapisi dengan wallpaper kayu, ada beberapa hiasan bunga dan beberapa aksesoris vintage membuat yang kafe ini terlihat nyaman. Selain itu, kafe ini juga sangat cocok untuk di jadikan background foto aplikasi I
"Polisi! Tolong panggil polisi!" Teriak Ratri.Rama menatap Ratri tajam. "Laporkan saja!" Tantang Rama. "Dan saya saya laporkan kalian yang sudah membunuh Dania dan bayinya!"Ratri membeliakkan mata. Rama memeluk jenazah Dania dengan terus memanggil nama wanita itu. Suaranya sangat pilu hingga membuat beberapa orang disana merasa iba. Ada juga beberapa yang berbisik-bisik seakan menanyakan hubungan keduanya.Arunika dan Kalandra memilih mundur dan tak ikut campur urusan mereka. Lagi pula, Arunika sudah tak ada hubungan apa pun dengan mereka, jadi biarlah mereka mengurus sendiri keributan itu.Arunika dapat melihat cinta yang besar dari mata Rama untuk Dania. Sayang sekali, Dania malah memilih cinta yang salah, dan harus berakhir dengan seperti ini. Arunika berharap pernikahannya dengan Kalandra tak akan seperti pernikahannya yang terdahulu.Arunika juga berharap dengan kejadian ini Mahesa akan sadar bahwa yang dilakukannya adalah salah, dan akan memperbaiki kelakuannya. Arunika meliri
"Mas," panggil Arunika kepada suaminya. "Dania meninggal," imbuhnya membuat Kalandra sedikit terkejut."Bayinya?"Arunika menggeleng lemah."Innalillahi wainna ilahi rooji'un.""Kita takziah kesana, ya, Mas?"Kalandra mengangguk mengiyakan ajakan wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Mereka bersiap untuk menuju rumah Mahesa, sebelumnya menitipkan Tama terlebih dahulu kepada kedua orang tua Kalandra. "Tangan kamu dingin," ucap Kalandra ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah duka.Arunika menatap Kalandra, "Aku hanya merasa sangat bersalah, Mas. Aku sudah mendengar dari Dania kalau kandungannya kali ini memang tak baik-baik saja. Dia sangat tertekan dengan pernikahannya."Arunika menunduk sedih. Dapat ia rasakan bagaimana rasanya menjadi Dania. Bedanya, ia tidak dalam keadaan hamil, tentu saja itu yang disyukurinya.Dania mengalami stres berat dan itu sangat bahaya untuk kandungannya, buktinya sekarang dia tak bisa bertahan. Hati Arunika mencelos mengingat anak mereka--Aruna yan
"Tolong selamatkan anakku," rintih Dania dengan peluh sudah memenuhi wajahnya.Sial. Mahesa makin panik melihat wajah Dania yang semakin memucat.Kalau saja Mahesa tahu jika sedari tadi Dania menahan nyeri diperutnya. Usia kandungannya memasuki usia delapan bulan, tapi memang kondisinya tak baik-baik saja karena ada pre-emklasia yang disebabkan stres.Harusnya Dania tak usah datang menemui Mahesa jika malah membuat janinnya dalam bahaya. Tapi, Dania masih berharap Mahesa akan meminta maaf padanya, tapi malah lelaki itu meminta kembali dengan sangat angkuh.Dania merasa terhina. Biarpun separuh hatinya masih milik Mahesa, tapi dia tak mau menjatuhkan harga dirinya berulang kali demi mendapat perhatian Mahesa. Pandangan Dania mulai mengabur, ia berusaha menarik napas dalam seperti yang dokter katakan padanya ketika kontraksi datang. Dania sering mengalami kontraksi palsu, dan dokter menyarankan agar dia tak terlalu banyak aktivitas dan banyak pikiran. "Dan, bertahanlah. Sebentar lagi
"Kamu tak datang di pernikahan mereka?" Mahesa menggeleng lemas. Dia telah kalah, untuk apa menampakkan muka lagi di depan Arunika dan keluarganya. "Aku akan kesana," ucap Dania.Mahesa menatap Dania tak percaya. "Kamu yakin?"Dania mengangguk yakin. Dia tak ada masalah sama sekali dengan Arunika. Kesalahpahaman mereka sudah selesai, jadi tak ada alasan bagi Dania untuk tak pergi ke pernikahan Arunika dan Kalandra. "Ayo, kita rujuk."Dania bergeming."Kamu dengar? Ayo, rujuk."Dania tertawa mengejek. "Setelah kamu buang, memangnya aku akan sudi kembali sama kamu?" Mahesa membeliakkan mata tak percaya dengan respon Dania. "Maaf, silakan cari wanita lain. Aku tahu kamu menjadikanku sebagai pelarian karena telah patah hati atas pernikahan Arunika.""Aku akan bertanggung jawab dengan anak itu.""Anak yang mana? Aruna anakmu, tentu saja kamu harus bertanggung jawab menafkahinya," tegas Dania.Masih saja Mahesa seenaknya sendiri. Dania pikir, Mahesa akan berubah setelah mendapat pering
Kalandra menghampiri Arunika yang tengah membaca buku di balkon kamar yang langsung berhadapan dengan laut luas. Penginapan yang mereka sewa memang terletak di atas pantai. Seperti penginapan terapung. Ada jalan terbuat dari kayu jati yang menghubungkan penginapan ini dengan daratan. “Sibuk?” tanya Kalandra membuat Arunika mengalihkan pandangannya. Menutup buku yang sedang ia baca, pandangan Arunika mengarah pada dua cangkir ditangan lelaki itu.“Kopi?”Kalandra mengangguk, lalu duduk di sebelah Arunika.“Sudah jam 9 kamu mau minum kopi, Mas?”“Sepertinya aku akan bergadang malam ini.”Arunika menatap Kalandra tak paham. “Mungkin kamu juga,” lanjutnya.Arunika menaikkan sebelah alisnya.“Bukankah tamu bulananmu sudah selesai?” Arunika tertegun. Seperti sadar apa yang dimaksud Kalandra, wanita itu segera memalingkan wajahnya dari tatapan lapar Kalandra.“Jadi ... bukankah kita butuh kopi?”Arunika tak menjawab. Jantungnya berdebar kencang.“Kenapa?” tanya Kalandra lirih membuat Aru
“Kamu tahu,” bisik Kalandra saat mereka—dirinya dan Arunika duduk di sebuah pantai. “Aku mencintaimu sejak kita tumbuh dewasa bersama,” lanjutnya sembari menatap Arunika yang juga tengah menatapnya. Wajah Arunika memerah, bukan karena malu, tapi karena cahaya matahari sore yang menyorot ke arahnya. Senja mulai kembali ke peraduannya dan mereka masih duduk di sana untuk menikmati pemandangan sore.“Aku simpan rasa itu hingga nanti datang waktu yang tepat, saat aku meminangmu dan kita menjadi halal untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain.” Kalandra mengembuskan napas pelan. Menatap nanar pada matahari yang benar-benar mulai tenggelam di ufuk barat.“Kamu tahu,” lirihnya. “rasanya sangat menyakitkan melihatmu bersanding dengan orang lain. Aku patah hati untuk pertama kalinya.”“Kenapa kamu tak melarangku, Mas?” tanya Arunika.“Aku tak punya hak untuk itu. Memangnya siapa aku? Bahkan selama beberapa tahun kita tak saling menyapa.”“Aku berharap kamu menahanku waktu itu, Mas,” ucap A
Kalandra memegang kepala Arunika selagi Arunika masih mencium telapak tangannya. Ia berdoa dengan memegang ubun-ubun Arunika.“Allaahumma innii as-aluka khoirohaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'uudzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa’alaihi.” (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu kebaikan perempuan ini dan apa yang telah Engkau berikan dalam wataknya. Dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan perempuan ini dan apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya.)Setelah mengucapkan doa, Arunika mengangkat kepalanya. Ditatapnya Kalandra yang juga tengah menatapnya. Ada perasaan hangat di dadanya, rasa haru yang membuat ia ingin meneteskan air mata, tapi ia tahan mati-matian. “Jangan nangis, nanti make up-nya luntur.” Arunika mengingat kata Hasna yang melarangnya untuk menangis di hari bahagia ini.“Kamu terlihat sangat cantik,” ucap Kalandra membuat Arunika tertunduk malu. Seulas senyum terbit dari bibir tipis Arunika. “Sudah boleh memujimu, kan?”Arunika
Kalandra mematut dirinya di depan cermin. Jas abu dengan kemeja putih di dalamnya membuat penampilannya tampak gagah. Jendra berdiri di belakangnya dengan raut tak kalah semringah dengan Kalandra. “Akhirnya kamu yang pemenangnya.” Jendra menepung punggung Kalandra.Lelaki yang tingginya tak jauh lebih tinggi dari Kalandra itu tersenyum bangga. Setelah perjuangan Kalandra selama beberapa tahun, akhirnya lelaki itu mendapatkan buah kesabarannya.“Kamu akan menyusul segera,” hibur Kalandra.“Carikan yang seperti Arunika.”“Tidak ada lagi yang seperti dia.”Jendra mencebik. Entah, perasaannya menguap begitu saja pada Devina sejak wanita itu melakukan hal diluar batas. Jendra mengembuskan napas berat. Deviana. Bagaimana kabarnya? Terakhir bertemu beberapa hari lalu.“Kamu mengkhawatirkan Devina?” tanya Kalandra.“Sedikit.” Jendra menghempaskan bokongnya diatas kasur milik Kalandra.Ketukan pintu membuat Kalandra mengalihkan pandangannya pada kaca di depannya. “Sudah siap?” tanya wanita
Arunika mengangguk. Tak tampak keraguan sedikit pun dimatanya. Sementara Ratri merasa sedih, menantu yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri akan menjadi milik orang lain.“Kak,” Arunika memanggil Mayra. “Mohon doanya,” lanjutnya.Mayra tersenyum. Walaupun ia juga merasa sedih, Mayra lebih bisa menutupinya. Arunika berhak bahagia atas pilihannya. “Kakak mendoakan yang terbaik untukmu, Run,” ucap Mayra lirih.“Terima kasih.”____________Arunika menatap cermin di depannya. Wajah ayu dengan polesan riasan tipis, membuatnya tampak lebih cantik dari biasanya. Kebaya berbentuk gamis yang ia kenakan tampak indah membungkus tubuhnya. Persiapan yang sangat singkat.Beberapa kali Arunika mengambil napas lalu mengembuskannya. Hari yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, akhirnya ada di depan matanya. Setelah ini, ia berharap tak akan ada lagi masalah yang menderanya. Walaupun ia paham, satu hari setelah hari ini, kehidupannya akan berubah.“Bun.”Arunika mengalihkan pandangannya pada Tama