"Sial! Buku pr gue mana?" gerutu Kalea. Mengobrak abrik isi tasnya. Namun sayangnya, buku yang dia cari keberadaannya gak kunjung dia temuin.
Pluk! Kalea menghentikan gerakannya. Mendapati buku bersampul coklat di hadapannya. Sementara itu, si pelaku dengan santai melenggang ke depan. Barra! Ngapain dia ngasihin buku pr nya ke dia? Sementara, konsekuensi dari gak bawa buku, jelas dapat hukuman. Cowok itu gil-a apa ya? Malah ngasihin buku pr-nya ke dia. "Barra! Stt! Ini apaan?" Tapi cowok itu gak menggubris panggilannya yang serupa bisikan itu. "Barra, lo gak bawa buku pr-mu?" Gil-a! Cowok itu memang gila. Sama sekali gak ada raut khawatir kalau dia bakal kena hukuman. Apalagi, pak Ratno terkenal dengan guru yang tanpa ampun. Galaknya super beuh pokoknya. Kalea menahan napas. Meremat buku pr Barra Apa harus, dia sejahat itu dengan mengakui kalau buku pr ini miliknya? "Kamu keluar. Lari kelilingi lapangan sepuluh kali." Tanpa protes atau apapun, dengan cueknya Barra melenggang keluar. Kalea mengembuskan kasar napasnya. Baiklah. Anggap aja ini sebagai ganti selama ini Barra selalu membuatnya kesal. Ya, anggap saja begitu. Setelah mengumpulkan bukunya, Kalea menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Mengangguk kecil. Santai. Ntar kalau gak santai, bisa ketahuan kalau ini bukan bukunya. Lagian, sampul buku Barra bersih. Gak ada nama pemilik yang tertera. Gak ada coret-coretan gak jelas layaknya buku anak cowok. Sepertinya keberuntungan memang berpihak padanya. Tampak pak Ratno membolak balikkan buku bersampul coklat itu. Dan mengangkat tinggi. "Ini buku siapa?" Pasti gara-gara gak ada nama yang tercantum. Dengan percaya diri, Kalea mengangkat tangannya. "Buku saya, pak. Lupa ngasih nama. Hehe." Namun, tatapan tajam pak Ratno membuatnya merinding. Apa dia salah? Atau, jangan-jangan ada nama Barra disana? Tapi dimana? Perasaan dia bolak balik dengan teliti tadi gak ada secuilpun nama si pemilik. "Keluar kamu! Hormat di tiang bendera sampai pelajaran saya habis." Eh? Loh? Apa yang salah? "Ke-kenapa, pak? Apa salah saya?" Pandangan teman-temannya tertuju ke arahnya. Sial! Jangan-jangan Barra sengaja mengerjainya. Ck! Kalau emang gak niat nolong, harusnya jangan membuatnya melambung seperti ini dong. "Salahmu apa? Sini ... Maju kamu." Dengan ragu-ragu dan berdebar, gadis itu bangkit dari tempat duduknya. "Baca yang keras." Kalea menelan salivanya kasar. "Kerjain sendiri lah, bo ... tak?" dahinya mengerut. "Hah! Botak?! Siapa yang botak?" seru Kalea melotot, terperangah membaca tulisan itu. Otaknya belum konek rupanya. Menelan saliva kasar begitu menyadarinya. Menoleh takut-takut. Dan benar, pak Ratno melototinya tajam. Matilah dia! Yang botak itu lak Ratno! Biaaann sialan!! Terdengar tawa tertahan dari teman-temannya. Tapi mungkin mereka tidak berani melepaskan tawanya. "Keluar kamu!" pak Ratno mengarahkan jari telunjuknya keluar. "Ta-tapi pak, i-itu ...." "Hormat ke tiang bendera sampai pelajaran saya selesai." Glek. Elbarra! Aargh! Cowok sialan. Pasti cowok itu sengaja mengerjainya. Lunglai, Kalea melangkah keluar. Sempat dia mengarah pandang ke Barra. Awas saja, dia akan balas nanti. Dan Barra? Cowok itu santai tanpa dosa menjalani hukumannya. Hari yang sial! Argh! . . "Gila lo, Kal. Bisa-bisanya lo," Gita mengulurkan botol minum bekalnya. Begitu jam pak Ratno berakhir, barulah Kalea masuk kelas. Untung saja, jam kedua tidak ada guru. Huh! Kulitnya terasa terbakar. Keringat membasahi seragamnya. Haus, itu pasti. Makanya, langsung dia tenggak air putih itu. "Ya gue tahu, pak Ratno emang botak. Tapi, ya jangan jujur-jujurlah, Kal. Cari mati itu namanya." "Ck. Bukan gue kali yang nulis," Kalea menyerahkan botol minuman yang tinggal setengah. "Udah. Gak papa. Akui aja. Gue setuju sama pernyataan lo. Pak Ratno emang nyebelin. Masak tiap abis pelajaran ngasih pr mulu. Mana gak ngotak lagi kalau ngasih." "Ck. Tapi emang bukan gue yang nulis, Gita," gemas Kalea. Dibilang bukan dia kok, Gita gak percaya. Malah ketawa dia. "Lucu lo mah. Terus siapa? Mama lo? Lo kan anak tunggal. Gak mungkin pake alesan adek lo yang nulisin. Kalaupun iya, kayaknya gak kenal juga kalau pak Ratno botak. Haha." "Gue serius, Gita. Emang bukan gue yang nulisin. Itu pasti kerjaan Barra." Tawa renyah Gita seketika bungkam. Berubah ekspresi. "Loh, kok Barra? Kalian ngerjain bareng?!" serunya. "Eh, tapi kan Barra juga dihukum. Dia juga gak ngerjain." Kalea merotasikan bola matanya. Melirik jengah ke sumber petaka, alias Barra. Yang sekarang tiduran di lantai. Pengen bejek-bejek rasanya. "Gue lupa bawa buku. Itu buku Pr dia," sahutnya, setengah menggerutu. "Kirain, dia baik, minjemin bukunya buat gue. Eh, ternyata ada udang dibalik bakwan. Sengaja dia bikin gue dihukum, yang lebih parah dari dia. Monyet emang," omel Kalea. Gimana gak kesel? Barra cuma sepuluh kali puteran, beres. Sedangkan dirinya disuruh hormat bendera, mendongak menantang matahari, sampai pening kepalanya. Itupun baru selesai setelah dua jam pelajaran. Rasanya nyaris pingsan. Sayangnya, kenapa dia gak pingsan aja tadi? Kenapa imun tubuhnya terlalu kuat sih? Nyebelin banget. Disaat dia berharap pingsan, malah gak pingsan-pingsan. Tubuhnya menolak lemah. Mendadak aja jadi kuat. "Iih, keren banget Barra" Kalea menatap sinis. Stress Gita. Kayak gitu katanya keren? Keren darimananya? "Tipikal cowok dingin dan jahil kayak Barra itu langka loh, Kal. Bikin jantung gue berdebar-debar. Aarrh ... Gemesshhh." "Gemes mata lo. Dahlah. Capek gue." Capek banget sumpah. Nasib sial apa dirinya. Punya tetangga nyebelin, plus bestie yang otaknya diluar nalar.Tenang aja. Meski nasib Kalea kerap sial, tapi dia gak pernah ngeluh. Barra emang nyebelin. Tapi obatnya ada pada abangnya, alias Raka. Rasa kesal dan umpatan yang seharian menghiasi, luntur sudah kalau sudah bertemu Raka. Yah, anggap aja Barra adalah cobaan untuk penyatuan cintanya dengan Raka. Buktinya sekarang, dia sudah duduk manis, di ruang tengah keluarga tetangga. Mengobrol asyik dengan tante Anggi, juga si obat nyamuk Barra. Gak tahu apa fungsi makhluk itu. Ikut ngobrol enggak, tapi nongol aja."Berarti dua bulan lagi kalian lulus, dong.""Hehe. Iya, Tante. Seneng deh. Bentar lagi jadi mahasiswi. Hehe."Yah, semoga aja gak sekampus sama si kampret Barra lagi. Sumpah, dia bertekad gak akan sekampus, apalagi satu jurusan dengan Barra lagi. Sudah cukup tahun-tahun yang terlewati. Sampek sekarang tempat duduk aja depan belakang."Syukurlah. Lebih cepat lebih baik. Tante udah gak sabar punya mantu kamu.""Iih, tante bisa aja. Hehe."Mendapati ekspresi mual Barra, Kalea melotot. Ema
Andai ... Andai saja pengakuannya saat itu tidak terjadi. Apakah, nasibnya gak akan sesakit ini?Harusnya, dia pendam saja perasaannya. Seperti saat itu, saat dirinya belum punya keberanian bodoh itu. Saat dirinya masih malu-malu menunjukkan perasaannya. Saat hanya Barra yang tahu perasaannya. Jauh, sebelum insiden pengakuan nekatnya..."Raka jadi pulang, mbak Nggi?"Di ruang tengah, Kalea mendengar obrolan mamanya dengan mama Barra. Tadi dia diajak mamanya main ke rumah tetangga. Dia ikut-ikut aja. Tapi lebih suka rebahan di ruang tengah. Mainan ponsel."Katanya sih semester besok mau pulang. Tapi ya gak tahu, jadi apa enggak. Liburnya gak tentu. Waktu itu sih katanya lagi persiapan buat penelitian."Mendengar nama Raka disebut, Kalea senyam senyum. Ini salah satu alasan dia tetap bersabar meski punya tetangga menyebalkan semacam Barra. Kalea menyukai Raka, kakaknya Barra. Sayangnya Raka sedang kuliah ke luar kota. Dan ngekos disana. Raka hanya pulang saat liburan semester saja.Ah
Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai. "Astaga, Kalea!"Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri."Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor."Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya. "Barra, sory ...."Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin."Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu."Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesul
"Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu."Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen."Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi."Gue ke kelas dulu.""Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan."Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan.""Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea.Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas..."Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping."Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing."Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra.""Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia
"Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka
Kalea sedang rebahan santai, sambil scroll tiktok saat mendengar namanya dipanggil."Kalea, sayang ...""Iya, Ma," sahutnya. Mempouse video yang sedang dilihatnya."Turun dulu sayang. Dicariin nih."Dahinya mengernyit. Barra? Aish! Udah dibilangin juga kalau dia nolak, malas keluar, tetep aja dateng. Ngeyel banget sih tuh anak."Kalea ....""Iya, Ma."Kalea melompat dari rebahannya. Bergegas turun sambil menggerutu."Kalau pengen main, main sendiri napa. Udah dibilang males juga," omelnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang tamu."Kan gue udah bilang kalau gu---""Malam, Kal," senyum manis yang dirindukannya. Kalea seketika mematung di tempat. Mulutnya membuka, terperangah tak percaya dengan yang dilihatnya."Gitu amat ngeliatnya. Kenapa? Bang Raka mirip hantu ya?"Kalea sontak mingkem. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengukir senyum canggung."Hehe. Kaget aja."Raka me
"Naik."Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya. "Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan. "Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri. "Angkat kaki Lo, naikkan ke t
Sesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem