Andai ... Andai saja pengakuannya saat itu tidak terjadi. Apakah, nasibnya gak akan sesakit ini?
Harusnya, dia pendam saja perasaannya. Seperti saat itu, saat dirinya belum punya keberanian bodoh itu. Saat dirinya masih malu-malu menunjukkan perasaannya. Saat hanya Barra yang tahu perasaannya. Jauh, sebelum insiden pengakuan nekatnya. . . "Raka jadi pulang, mbak Nggi?" Di ruang tengah, Kalea mendengar obrolan mamanya dengan mama Barra. Tadi dia diajak mamanya main ke rumah tetangga. Dia ikut-ikut aja. Tapi lebih suka rebahan di ruang tengah. Mainan ponsel. "Katanya sih semester besok mau pulang. Tapi ya gak tahu, jadi apa enggak. Liburnya gak tentu. Waktu itu sih katanya lagi persiapan buat penelitian." Mendengar nama Raka disebut, Kalea senyam senyum. Ini salah satu alasan dia tetap bersabar meski punya tetangga menyebalkan semacam Barra. Kalea menyukai Raka, kakaknya Barra. Sayangnya Raka sedang kuliah ke luar kota. Dan ngekos disana. Raka hanya pulang saat liburan semester saja. Ah, jadi gak sabar, ketemu sang pujaan hati. "Ikut gue." Lamunannya buyar, Barra menarik tangannya tanpa persetujuan. Memaksanya bangun dari rebahannya. "Mau kemana sih, Bar?" Barra tak menjawab. Justru membawanya ke dapur. "Gue laper. Masakin mie." Kalea melotot. Barra memaksanya pergi, cuma buat disuruh memasak? "Lo punya tangan kan? Masak sendiri," ketus Kalea. "Lo suka bang Raka, kan? Mau gue cepuin?" ancam Barra balik. Kalea langsung kicep. Mengambil panci dan mengisinya air. Memasaknya di atas kompor. Sambil menunggu mendidih, dia ambil sebungkus mie. "Pake telur, inget, kuningnya aja. Awas kalau sampai putihnya kecampur." Kalea merutuk dongkol. Kalau bukan calon adik ipar, sudah dia jejali mulut itu dengan telur mentah utuh. Meski begitu, harus dia akui, Barra selalu ada untuknya. Cowok yang dia labeli menyebalkan itu justru yang kerap membelanya diam-diam. Termasuk, pada hari itu .... . . Kantin SMA Bima Sakti gak pernah sepi sekalipun bukan jam istirahat. Bahkan jam belajarpun tetap ada yang nongkrong disana. Bukan untuk hal buruk, melainkan tugas kelompok dan semacamnya. Guru mengizinkan mereka mencari tempat belajar yang nyaman. Sekaligus mengisi perut juga tak masalah. Karna belajar dengan perut kosong juga nyatanya gak efektif. Yang penting mereka tahu batasannya. Memang berbeda dari sekolah kebanyakan. Tapi nyatanya, SMA Bima Sakti kualitasnya gak kalah dari sekolah lain. "Stt ... Lihat tuh, yang baru dateng," Gita berbisik lirih, dengan mata menunjuk ke suatu arah. Kalea menoleh ke arah yang ditunjuk Gita. "Siapa?" "Lo gak tahu? Dia, anak baru itu loh. Yang kemarin rame. Katanya sih anaknya kepala sekolah yang baru, pak Berno loh." "Oh, ikut ayahnya pindah tugasnya, toh." "Hem. Cantik, njir. Gayanya anak kota banget. Kalah deh lu. Hihi." Kalea menggendikkan bahu. Dia gak terlalu peduli urusan begitu. "Di kelas mana dia? Kayaknya gue gak denger kehebohan gue." "Si anjir. Kelas sebelah, bre. Lo aja kebanyakan tidur, sampek pada heboh gak denger." Kalea tertawa kecil. Tadi jam kosong. Dan dia memilih rebahan. Semalam, sepulang dari rumah Barra, dia begadang nonton drakor. Akibatnya dia ngantuk. Wajar dong, dia milih tidur, mumpung lagi gak belajar. "Eh, eh! Apaan tuh. Dia deketin Barra! Omaygat!" Kalea kembali menoleh. Dan benar, si anak baru itu mendekati Barra. "Hai. Kenalin, aku Kimberly. Panggil aja Kim. Kalau boleh kenal, namamu siapa?" Mengacungkan tangannya, dengan senyum percaya diri. "Widih, namanya aja Kim, Kal. Kekoreaan banget. Wajar sih, wajahnya juga cantik, mirip artis Korea," celetuk Gita, sibuk berkomentar. Kalea diam saja. Justru dia sedang menunggu reaksi Barram Penasaran. Tapi dia terkejut sendiri, saat sorot intens Barra justru tertuju ke arahnya. Pandangan mereka bersitatap. Sadar, Kalea langsung buru-buru menarik wajahnya. Barra aneh. Diajak kenalan cewek malah ngeliatin dirinya. "Kayaknya nama gue udah tertera jelas disini. Lo bisa baca sendiri," nada dingin nan ketus. Kalea tertawa dalam hati mendengar jawaban Barra. Memang apa yang diharapkan dari Elbarra? Cowok dingin bin nyebelin sekaligus anti romantic. "E busyet! Cool banget Barra. Wow ... Cewek secantik Kim aja dia ketusin. Emang cowok idaman banget deh, Barra, mah. Jadi makin cinta. Hahay!" Gita bersorak senang. Kalea tersenyum tipis. Memberi mangkuk dan gelasnya. Bersiap berdiri dari duduknya. "Gue mau balikin mangkok. Nitip enggak?" tawarnya. "Lah, bakso lo udah habis? Cepet amat." "Hmm. Makanya pesen makanan itu buat dimakan. Bukan malah ditinggal nontonin orang." Gita tertawa. "Haha. Seru tahu." "Oke deh. Jadinya nitip enggak?" "Em, es teh deh. Habis nih," menunjuk gelasnya yang tinggal es batu doang. "Oke." Kalea menyingkirkan kursinya. Membawa mangkuknya untuk dia kembalikan ke ibu kantin. Langkahnya pasti, melirik sekilas Barra yang ada di kursi depan. Tapi dia tidak ambil pusing. Hingga, saat tinggal selangkah dari Barra, tiba-tiba kakinya ada yang menjegal. Dan .... Bruk!Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai. "Astaga, Kalea!"Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri."Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor."Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya. "Barra, sory ...."Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin."Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu."Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesul
"Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu."Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen."Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi."Gue ke kelas dulu.""Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan."Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan.""Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea.Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas..."Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping."Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing."Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra.""Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia
"Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka
Kalea sedang rebahan santai, sambil scroll tiktok saat mendengar namanya dipanggil."Kalea, sayang ...""Iya, Ma," sahutnya. Mempouse video yang sedang dilihatnya."Turun dulu sayang. Dicariin nih."Dahinya mengernyit. Barra? Aish! Udah dibilangin juga kalau dia nolak, malas keluar, tetep aja dateng. Ngeyel banget sih tuh anak."Kalea ....""Iya, Ma."Kalea melompat dari rebahannya. Bergegas turun sambil menggerutu."Kalau pengen main, main sendiri napa. Udah dibilang males juga," omelnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang tamu."Kan gue udah bilang kalau gu---""Malam, Kal," senyum manis yang dirindukannya. Kalea seketika mematung di tempat. Mulutnya membuka, terperangah tak percaya dengan yang dilihatnya."Gitu amat ngeliatnya. Kenapa? Bang Raka mirip hantu ya?"Kalea sontak mingkem. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengukir senyum canggung."Hehe. Kaget aja."Raka me
"Naik."Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya. "Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan. "Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri. "Angkat kaki Lo, naikkan ke t
Sesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem
Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g
Kalea menunggu di teras. Tumben, jam segini Barra belum muncul. Apa dia samperin aja di rumahnya?Namun baru beberapa langkah, terdengar deru motor dari rumah samping. Kalea menoleh. Memandangi laju motor itu sampai berhenti di depan gerbang rumahnya."Bareng aku, Kal"Kalea menelan salivanya. Raka."Barra mana, Bang?" tanyanya, mengalihkan kegugupannya."Barra gak berangkat.""Sakit?" seketika timbul rasa khawatirnya. Gimana pun juga, dia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. Kalau Barra sakit, berarti penyebabnya adalah dirinya."Enggak. Diajak paksa sama mama. Nenek kangen bocilnya," jelas Raka, terkekeh kecil.Kalea mengela napas lega. Dia kira, Barra kenapa-napa."Emang gak papa, bareng bang Raka?" tanyanya ragu."Enggak. Memangnya siapa yang melarang?""Hehe, kirain."Dia menaiki boncengan belakang. "Siap?"Kalea mengangguk. Dan Raka melajukan motornya...Seperti yang dia