Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai.
"Astaga, Kalea!" Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri. "Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor. "Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya. "Barra, sory ...." Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin. "Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu." Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesulitan menyeimbangkan langkahnya. Ditambah bokongnya saja masih nyeri. Barra lupa, atau memang gak ada perasaan. Barra ternyata membawanya ke kelas. "Bar, gue harus ----" "Duduk." Kalea kicep. Meski dia kerap kesal dengan Barra, tapi setiap kali Barra memperlihatkan sorot dinginnya, dia tak berani. Dia tahu, sorot dingin mana yang biasa saja dengan yang menyiratkan kemarahan. Barra mengambil sesuatu di lacinya. Menyodorkan ke Kalea. "Ganti rokmu, sama bajumu sekalian." Celana dan kaos olahraga Bara. "Tapi celanamu juga kotor, Bar. Lo aja yang pake aja." "Perlu gue yang gantiin?" Kalea cepat-cepat mengambil celana training dari tangan Barra. "Kaosnya gak usah. Gue bawa sweater tadi," mengembalikan kaosnya pada Barra. "Ganti disini saja. Gue jagain," ujar Barra, menerima kembali kaosnya. "Ntar lo ngintip." "Ck. Sejak kapan gue semesum itu? Lo bukan selera gue." Kalea mendecis. Tapi memang benar. Meski menyebalkan, tapi sebenarnya Barra perhatian. "Udah sana jaga. Gue mau ganti." Bian tak menjawab, tapi langsung berbalik berjalan ke pintu. Berjaga disana. Sudut bibirnya tertarik tipis. Calon adik ipar yang baik. Ternyata begini rasanya dijagain adik ipar sendiri. Hihi. Tak mau membuat Barra lama menunggu, Kalea segera mengganti seragamnya dengan sweater dan celana olahraga Barra. Kepanjangan. Karna itu dia lipat bagian bawahnya. Wajar saja. Tingginya saja gak setara dengan Barra.. Pake nyoba-nyoba pake celananya. Untung bukan kaosnya. Mungkin dia sudah tenggelam. "Barra, udah selesai," teriaknya, memanggil Barra. Dan cowok itu kembali muncul. "Ganti sera --- woy! Barra!!" pekiknya langsung menutup mata. Tanpa aba-aba Barra melepas seragamnya di depan matanya. Gimana gak syok? "Pake aba-aba kek. Mata gue ternoda. Ish," omel Kalea membalikkan badan. Tapi sialnya dia malah menabrak meja. Gadis itu meringis, mengumpat reflek. Dia berjalan keluar sembari meraba-raba. Melihatnya Barra menarik sudut bibirnya tipis. Dasar cewek aneh. Padahal dia bisa saja membuka matanya. Gak bakal kelihatan juga. Posisinya saja di belakang. . . Kalea kembali ke kantin untuk mengurus uang baksonya. Sekaligus kerugian akibat memecahkan piring dan gelas tadi. "Loh, siapa yang bayarin, bu?" kernyitnya. Ibu kantin bilang, sudah ada yang membayarnya. "Tapi, temenmu." Gita maksudnya? Tapi, Gita saja uang sakunya suka pas-pasan. Kayaknya kalau Gita gak mungkin. Tapi, temannya siapa lagi? Dia gak begitu dekat dengan orang lain. "Gue juga gak tahu, Kal. Gue tadi aja bingung gimana bayarinnya. Orang lo tiba-tiba pergi sama Barra." "Lah, terus Siapa? Lo gak lihat, ada yang bayarin gitu?" Gita mengangkat bahu. "Gue bayarnya terakhir. Soalnya gue juga bingung, Kal. Pas gue nyoba tanya bu kantin, katanya udah ada yang bayarin. Gue lega deh. Secara, lo tahu sendiri, uang saku gue pas-pasan. Hehe." Kalea mendesah pelan. Kerutan dahinya masih tercetak. "Udahlah, Kal. Udah ada yang bayarin juga. Ntar kalau orangnya butuh duit, pasti bakal nongol." "Iya sih. Tapi gue gak enak." "Enakin aja. Santai." Kalea mencibir. Santai apanya? "Wow. Lo pake celana siapa tuh? Panjang amat." "Punya Barra." Gita melotot. "What?! Barra?" serunya, menutup mulutnya. "Ngaku lo, Kal. Lo pasti ada apa-apa kan sama Barra? Gue curiga nih." Kalea merolingkan netranya. "Apa sih. Cuma tetangga doang. Wajar dong sesama tetangga saling tolong menolong." "Tapi ini gak wajar, Kal. Barra suka elo kan?" "Ngarang." "Serius, Kal. Barra pasti suka el--" "Hay. Lo yang namanya Kalea?" Obrolan dua sahabat itu terhenti. Gita bahkan belum jadi mengeluarkan huruf 'o'nya. Makin terperangah saat tahu siapa yang memotong obrolan mereka. "Aku Kimberly. Panggil aja Kim. Siswi baru sebelas IPA satu." Mengulurkan tangannya dengan senyum manis."Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu."Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen."Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi."Gue ke kelas dulu.""Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan."Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan.""Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea.Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas..."Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping."Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing."Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra.""Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia
"Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka
Kalea sedang rebahan santai, sambil scroll tiktok saat mendengar namanya dipanggil."Kalea, sayang ...""Iya, Ma," sahutnya. Mempouse video yang sedang dilihatnya."Turun dulu sayang. Dicariin nih."Dahinya mengernyit. Barra? Aish! Udah dibilangin juga kalau dia nolak, malas keluar, tetep aja dateng. Ngeyel banget sih tuh anak."Kalea ....""Iya, Ma."Kalea melompat dari rebahannya. Bergegas turun sambil menggerutu."Kalau pengen main, main sendiri napa. Udah dibilang males juga," omelnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang tamu."Kan gue udah bilang kalau gu---""Malam, Kal," senyum manis yang dirindukannya. Kalea seketika mematung di tempat. Mulutnya membuka, terperangah tak percaya dengan yang dilihatnya."Gitu amat ngeliatnya. Kenapa? Bang Raka mirip hantu ya?"Kalea sontak mingkem. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengukir senyum canggung."Hehe. Kaget aja."Raka me
"Naik."Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya. "Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan. "Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri. "Angkat kaki Lo, naikkan ke t
Sesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem
Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g
Kalea menunggu di teras. Tumben, jam segini Barra belum muncul. Apa dia samperin aja di rumahnya?Namun baru beberapa langkah, terdengar deru motor dari rumah samping. Kalea menoleh. Memandangi laju motor itu sampai berhenti di depan gerbang rumahnya."Bareng aku, Kal"Kalea menelan salivanya. Raka."Barra mana, Bang?" tanyanya, mengalihkan kegugupannya."Barra gak berangkat.""Sakit?" seketika timbul rasa khawatirnya. Gimana pun juga, dia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. Kalau Barra sakit, berarti penyebabnya adalah dirinya."Enggak. Diajak paksa sama mama. Nenek kangen bocilnya," jelas Raka, terkekeh kecil.Kalea mengela napas lega. Dia kira, Barra kenapa-napa."Emang gak papa, bareng bang Raka?" tanyanya ragu."Enggak. Memangnya siapa yang melarang?""Hehe, kirain."Dia menaiki boncengan belakang. "Siap?"Kalea mengangguk. Dan Raka melajukan motornya...Seperti yang dia
Hari ini rasanya lebih menyebalkan dari hari-hari kemarin. Kalea pikir, dengan magang Raka di sekolahnya, akan memberinya waktu lebih banyak dengan pemuda itu. Nyatanya, dia malah dibakar cemburu gara-gara ternyata ada cewek lain. Belum ada konfirmasi sih, apa hubungan Raka dengan perempuan itu. Tapi melihat mereka dekat setiap saat, dadanya gemuruh menahan cemburu. Bahkan, meski tadi Jini masuk kelasnya, Kalea sama sekali gak berminat menanggapi pelajarannya. Menjawabi pertanyaan yang dilontarkan padanya dengan ketus. Saat pulang sekolah, Kalea gegas pulang, tanpa menghampiri Raka terlebih dahulu. Dia sedang sakit hati. "Kal, kok jalan?"Lagi-lagi Sena. Kalea tak menjawab. Moodnya berantakan."Lah, lo kan tadi berangkat sama pak Raka. Emangnya pulangnya gak bareng?""Lagi sibuk. Males ganggu.""Oh, gitu. Ya udah, gue anter aja.""Males. Sana, duluan.""Heey, mana ada. Rumah lo jauh, Kalea. Gempor tuh kaki lo ajak jalan.""Biarin."