Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai.
"Astaga, Kalea!" Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri. "Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor. "Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya. "Barra, sory ...." Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin. "Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu." Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesulitan menyeimbangkan langkahnya. Ditambah bokongnya saja masih nyeri. Barra lupa, atau memang gak ada perasaan. Barra ternyata membawanya ke kelas. "Bar, gue harus ----" "Duduk." Kalea kicep. Meski dia kerap kesal dengan Barra, tapi setiap kali Barra memperlihatkan sorot dinginnya, dia tak berani. Dia tahu, sorot dingin mana yang biasa saja dengan yang menyiratkan kemarahan. Barra mengambil sesuatu di lacinya. Menyodorkan ke Kalea. "Ganti rokmu, sama bajumu sekalian." Celana dan kaos olahraga Bara. "Tapi celanamu juga kotor, Bar. Lo aja yang pake aja." "Perlu gue yang gantiin?" Kalea cepat-cepat mengambil celana training dari tangan Barra. "Kaosnya gak usah. Gue bawa sweater tadi," mengembalikan kaosnya pada Barra. "Ganti disini saja. Gue jagain," ujar Barra, menerima kembali kaosnya. "Ntar lo ngintip." "Ck. Sejak kapan gue semesum itu? Lo bukan selera gue." Kalea mendecis. Tapi memang benar. Meski menyebalkan, tapi sebenarnya Barra perhatian. "Udah sana jaga. Gue mau ganti." Bian tak menjawab, tapi langsung berbalik berjalan ke pintu. Berjaga disana. Sudut bibirnya tertarik tipis. Calon adik ipar yang baik. Ternyata begini rasanya dijagain adik ipar sendiri. Hihi. Tak mau membuat Barra lama menunggu, Kalea segera mengganti seragamnya dengan sweater dan celana olahraga Barra. Kepanjangan. Karna itu dia lipat bagian bawahnya. Wajar saja. Tingginya saja gak setara dengan Barra.. Pake nyoba-nyoba pake celananya. Untung bukan kaosnya. Mungkin dia sudah tenggelam. "Barra, udah selesai," teriaknya, memanggil Barra. Dan cowok itu kembali muncul. "Ganti sera --- woy! Barra!!" pekiknya langsung menutup mata. Tanpa aba-aba Barra melepas seragamnya di depan matanya. Gimana gak syok? "Pake aba-aba kek. Mata gue ternoda. Ish," omel Kalea membalikkan badan. Tapi sialnya dia malah menabrak meja. Gadis itu meringis, mengumpat reflek. Dia berjalan keluar sembari meraba-raba. Melihatnya Barra menarik sudut bibirnya tipis. Dasar cewek aneh. Padahal dia bisa saja membuka matanya. Gak bakal kelihatan juga. Posisinya saja di belakang. . . Kalea kembali ke kantin untuk mengurus uang baksonya. Sekaligus kerugian akibat memecahkan piring dan gelas tadi. "Loh, siapa yang bayarin, bu?" kernyitnya. Ibu kantin bilang, sudah ada yang membayarnya. "Tapi, temenmu." Gita maksudnya? Tapi, Gita saja uang sakunya suka pas-pasan. Kayaknya kalau Gita gak mungkin. Tapi, temannya siapa lagi? Dia gak begitu dekat dengan orang lain. "Gue juga gak tahu, Kal. Gue tadi aja bingung gimana bayarinnya. Orang lo tiba-tiba pergi sama Barra." "Lah, terus Siapa? Lo gak lihat, ada yang bayarin gitu?" Gita mengangkat bahu. "Gue bayarnya terakhir. Soalnya gue juga bingung, Kal. Pas gue nyoba tanya bu kantin, katanya udah ada yang bayarin. Gue lega deh. Secara, lo tahu sendiri, uang saku gue pas-pasan. Hehe." Kalea mendesah pelan. Kerutan dahinya masih tercetak. "Udahlah, Kal. Udah ada yang bayarin juga. Ntar kalau orangnya butuh duit, pasti bakal nongol." "Iya sih. Tapi gue gak enak." "Enakin aja. Santai." Kalea mencibir. Santai apanya? "Wow. Lo pake celana siapa tuh? Panjang amat." "Punya Barra." Gita melotot. "What?! Barra?" serunya, menutup mulutnya. "Ngaku lo, Kal. Lo pasti ada apa-apa kan sama Barra? Gue curiga nih." Kalea merolingkan netranya. "Apa sih. Cuma tetangga doang. Wajar dong sesama tetangga saling tolong menolong." "Tapi ini gak wajar, Kal. Barra suka elo kan?" "Ngarang." "Serius, Kal. Barra pasti suka el--" "Hay. Lo yang namanya Kalea?" Obrolan dua sahabat itu terhenti. Gita bahkan belum jadi mengeluarkan huruf 'o'nya. Makin terperangah saat tahu siapa yang memotong obrolan mereka. "Aku Kimberly. Panggil aja Kim. Siswi baru sebelas IPA satu." Mengulurkan tangannya dengan senyum manis."Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu."Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen."Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi."Gue ke kelas dulu.""Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan."Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan.""Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea.Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas..."Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping."Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing."Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra.""Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia
"Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka
Kalea sedang rebahan santai, sambil scroll tiktok saat mendengar namanya dipanggil."Kalea, sayang ...""Iya, Ma," sahutnya. Mempouse video yang sedang dilihatnya."Turun dulu sayang. Dicariin nih."Dahinya mengernyit. Barra? Aish! Udah dibilangin juga kalau dia nolak, malas keluar, tetep aja dateng. Ngeyel banget sih tuh anak."Kalea ....""Iya, Ma."Kalea melompat dari rebahannya. Bergegas turun sambil menggerutu."Kalau pengen main, main sendiri napa. Udah dibilang males juga," omelnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang tamu."Kan gue udah bilang kalau gu---""Malam, Kal," senyum manis yang dirindukannya. Kalea seketika mematung di tempat. Mulutnya membuka, terperangah tak percaya dengan yang dilihatnya."Gitu amat ngeliatnya. Kenapa? Bang Raka mirip hantu ya?"Kalea sontak mingkem. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengukir senyum canggung."Hehe. Kaget aja."Raka me
"Naik."Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya. "Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan. "Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri. "Angkat kaki Lo, naikkan ke t
Sesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem
Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g
Kalea menunggu di teras. Tumben, jam segini Barra belum muncul. Apa dia samperin aja di rumahnya?Namun baru beberapa langkah, terdengar deru motor dari rumah samping. Kalea menoleh. Memandangi laju motor itu sampai berhenti di depan gerbang rumahnya."Bareng aku, Kal"Kalea menelan salivanya. Raka."Barra mana, Bang?" tanyanya, mengalihkan kegugupannya."Barra gak berangkat.""Sakit?" seketika timbul rasa khawatirnya. Gimana pun juga, dia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. Kalau Barra sakit, berarti penyebabnya adalah dirinya."Enggak. Diajak paksa sama mama. Nenek kangen bocilnya," jelas Raka, terkekeh kecil.Kalea mengela napas lega. Dia kira, Barra kenapa-napa."Emang gak papa, bareng bang Raka?" tanyanya ragu."Enggak. Memangnya siapa yang melarang?""Hehe, kirain."Dia menaiki boncengan belakang. "Siap?"Kalea mengangguk. Dan Raka melajukan motornya...Seperti yang dia
Hari ini rasanya lebih menyebalkan dari hari-hari kemarin. Kalea pikir, dengan magang Raka di sekolahnya, akan memberinya waktu lebih banyak dengan pemuda itu. Nyatanya, dia malah dibakar cemburu gara-gara ternyata ada cewek lain. Belum ada konfirmasi sih, apa hubungan Raka dengan perempuan itu. Tapi melihat mereka dekat setiap saat, dadanya gemuruh menahan cemburu. Bahkan, meski tadi Jini masuk kelasnya, Kalea sama sekali gak berminat menanggapi pelajarannya. Menjawabi pertanyaan yang dilontarkan padanya dengan ketus. Saat pulang sekolah, Kalea gegas pulang, tanpa menghampiri Raka terlebih dahulu. Dia sedang sakit hati. "Kal, kok jalan?"Lagi-lagi Sena. Kalea tak menjawab. Moodnya berantakan."Lah, lo kan tadi berangkat sama pak Raka. Emangnya pulangnya gak bareng?""Lagi sibuk. Males ganggu.""Oh, gitu. Ya udah, gue anter aja.""Males. Sana, duluan.""Heey, mana ada. Rumah lo jauh, Kalea. Gempor tuh kaki lo ajak jalan.""Biarin."
"Baru juga jadi sekretaris pak Barra belum ada berapa minggu, udah berulah aja. Dih."Tahan, Kal. Tahan. Bukannya dari kemarin sudah banyak lontaran kalimat kejam yang ditujukan padanya. Gara-gara gosip sialan uang mudah banget menyebar.Okey! Kupingnya kebal."Bener. Berani banget godain pak Barra. Pasti ngincer hartanya tuh. Secara, dia kan miskin."Mengabaikan, Kalea mempercepat langkahnya. Masuk ke lift. Omongan orang memang kejam. Dan rasanya percuma juga dia membela diri. Gak ada yang percaya."Tunggu!"Pintu ditahan dari luar. Gak jadi tertutup. Seorang pemuda menyusul masuk. Melempar senyum pada Kalea."Maaf, boleh bareng?" pintanya sopan."Hmm. Silakan."Pemuda itu kembali tersenyum. Mengambil tempat di samping Kalea.Lift kembali menutup. Setelah pemuda itu menekankan tombol tujuan mereka, yang ternyata sama.Kalea sadar, pemuda itu menatap ke arahnya. Tapi dia pura-pura tidak tahu. Lagian,
Kevin ... Menatap dua manusia berbeda jenis kelamin itu dengan tatapan syok. Apalagi, setelah melihat penampilan sang boss yang berantakan."Ma-maaf ... Saya tidak sengaja lewat."Kevin buru-buru pergi.Tidak! Kevin bisa salah sangka."Kevin, tunggu!"Kaleaberanjak, hendak mengejar Kevin. Jangan sampai Kevin salah sangka, yang akibatnya gosip bisa menyebar.Tapi, tangannya ditahan."Mau kemana, kamu!" Barra menyorotnya galak."Itu ... Gue harus jelasin ke Kevin. Dia pasti salah paham." Saking paniknya Kalea, sampai dia lupa dengan penggunakan kata formalnya."Tidak perlu," ketus Barra.Kalea cengo. "Hah? Tap ... Tapi kan ...." menunjuk Kevin. Maksudnya, bukankah seharusnya dia mencegah kecurigaan Kevin? Sebelum menyebar ke yang lainnya, dan menjadi gosip dadakan."Tidak perlu. Urusanmu dengan saya lebih penting."Urusan? Apa?"Kamu harus bertanggung jawab.""Hah?!"..Kalea menatap layar p
Cukup lama Kalea bersemedi di kamar mandi. Perutnya benar-benar mulas. Rasanya seperti diremas-remas. Baru dia keluar dari kamar mandi, perutnya kembali melilit. Jadilah dia keluar masuk kamar mandi, sampai pegal rasanya. "Sialan! Kenapa gue bisa kelupaan sih, tadi. Aish!" gerutunya, meringis, sembari meremat perutnya.Sudah lumayan. Hanya saja, tubuhnya jadi lemas kehabisan tenaga. Langkahnya gontai kembali ke meja kerjanya. Lupa kalau dia tadi ninggalin Barra di mobil."Loh, udah balik, Kal?" sambut Kevin dengan binar cerahnya."Udah," sahut Kalea lemas. Menyandar ke kursi."Oke. Thanks," Kevin menyambar berkas di mejanya. Melangkah cepat penuh semangat. Melihatnya, Kalea menatap heran."Semangat banget dia," gumamnya, berkomentar."Siapa? Oh, Kevin? Jelas dong. Dia dikasih proyek sama pak Barra. Dan kalau berhasil, dia dijanjiin bonus gajinya dinaikin," jelas Hana, menyahut. Masih dengan fokus ke komputer. Mengaudit data atau entahlah."Pantesan, semangat banget.""Hem. Dia dari t
"Ah? Haha. Anda benar, pak Barra."Pria bernama Surya itu melirik Kalea. "Tapi, rasanya tidak masalah kalau mengajak kenalan sekretaris anda.""Kalau begitu lanjutkan saja perkenalan kalian. Kita batalkan kerjasamanya.""Eh? Jangan pak Barra! Maaf, saya hanya bercanda. Mari kita bahas baik-baik." Raut Surya yang semula penuh senyuman menggoda berubah serius. Dia tahu, kalimat calon partnernya itu mengandung maksud ketidaksukaan atas sikapnya. Daripada kerjasama malah gagal.Nyatanya bukan cuma Surya yang terkejut dengan ucapan Barra barusan, Kalea juga sama terkejutnya. Barra berbeda dengan pak Prayit yang terkesan hati-hati dan menjaga perasaan calon rekan kerjanya. Barra sama sekali tidak suka dengan basa basi. Tapi, apa itu gak bahaya? Apa gak terkesan frontal?Seperti takut dengan ancaman Barra, Surya berubah serius. Fokus membahas pekerjaan. Wajar saja sih, perusahaan pak Surya masih di bawah perusahaan Barra. Mau melawan tidak ada kuasa. Kale
"Dia inget gue gak sih?"Memikirkan sikap Barra sejak pertemuan pertama, nyatanya membuat Kalea bertanya-tanya. Sikap Barra membuatnya kembali ragu. "Tapi, perasaan dia sama sekali gak menyinggung apa-apa deh. Seenggaknya, minimal nanyain kabar kek, atau apa. Lah, ini boro-boro. Lagaknya kayak boss beneran deh. Kesannya bukan lagi sombong, tapi ... kayak gak kenal deh," gumamnya lagi, mengerutkan dahi. Menepis keraguannya sendiri.Banyak hal yang dia lewatkan selama ini. Dia benar-benar lari dari kehidupan kelam di masa lalunya itu. Saking kencangnya dia lari, sampai kadang batu sandungan pun gak dia pedulikan. Lukanya akibat terjatuh, gak seberapa sakit dibandingkan dia memilih berhenti, yang akibatnya akan membuatnya menoleh.Tangannya bergerak di tengah otaknya yang masih melamun. Mengetik nama akun yang terlintas di otaknya. Tak butuh berapa detik, muncul akun seperti yang dia tujukan. Sayangnya, gak sesuai harapan."Ck. Update terak
Tok! Tok!"Hmm. Masuk."Dengan kertas di tangan kirinya, Kalea mendorong pintu. Yang langsung di suguhi tatapan tajam Barra."Untuk kali ini kamu beruntung. Kurang lima menit. Lain kali saya tidak akan mentolerir keterlambatanmu," tegas pria tersebut. Dan tanpa menunggu Kalea sempat menarik napas, Barra sudah berjalan melewati gadis itu. Dan pastinya mau tak mau Kalea mengikutinya. Berkas yang dia bawa adalah bahan untuk rapat. Dia belum sempat mendapat jadwal resmi pria itu. Karna memang dia baru tahu penugasan barunya kemarin. Itupun dia langsung disuruh bersih-bersih. Matanya berat sekali, ya Tuhaaan. Kalau boleh, ingin rasanya dia rebahan sebentar. Suasana rapat yang terlalu tegang dan serius itu membuat kantuknya menjadi. Entah berapa kali matanya tiba-tiba memejam tanpa sadar. Sampai notebooknya penuh coretan. Gadis itu menggeleng kuat. Tidak. Dia gak boleh tertidur. Bagaimanapun juga, tugasnya mencatat apa saja yang penting. Bisa kena semp
"Kusut amat muka. Udah ketemu sama pak direktur baru kan?" Kalea mendengkus keras. Melempar badannya ke salah satu sofa kontrakan mereka."Gimana, Kal? Ganteng, kan? Gue bilang juga apa. Aaaish! Enak jadi elo. Bisa tiap hari ketemu. Bebas mandangin wajah tampannya. Aaaa ... Pengen deh."Kalea mendesis sinis. "Ganteng apanya? Gitu doang. Biasa aja.""Eee ... Kayaknya mata lo perlu operasi geh, Kal."Kalea merotasikan bola matanya, malas."Pak Barra tuh, gimana ya ... Eeum ... Perfect banget deh pokoknya.""Serah deh. Dia emang si paling sempurna," ketus Kalea, seraya beranjak. "Gue mandi duluan.""Yee ... Malah pergi," gerutu Ella. "Jangan lama-lama," tambahnya, berteriak. Tapi Kalea sudah menghilang di balik tembok."Coba gue aja yang jadi sekretaris pak Barra. Beruntung banget gue. Kalea emang aneh. Dikasih anugerah malam asem banget tuh muka." Gadis itu menyusul masuk ke dalam, setelah sebelumnya menutup pintu terlebih dahu
Meski mulut menggerutu penuh hujatan pada sang boss, tetap saja gadis itu melakukannya. Lagian, mana bisa dia nolak. Yang ada malah dirinya dipecat nanti. Yang sama artinya, dirinya juga yang rugi. Terpaksa. Dirinya masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi dirinya.Kalea mengusap dahinya yang dibanjiri peluh. Basah."Huft ... Akhirnya selesai juga," tukasnya, mendesah lega. Melirik jam tangannya, ternyata masih ada waktu sebelum jam makan siang."Ternyata gue cekatan juga. Hebat. Bisa selesai cepet. Haha," pujinya, membanggakan diri."Haahh ... Capek juga ternyata. Gerah juga. Emm ... Enaknya ngadem dulu aja, ah. Lagian Barra sialan itu lagi di luar juga. Palingan juga dia datengnya molor. Daripada gue langsung keluar, ntar malah ketemu dia, dikasih kerjaan tambahan lagi. Cih! Ogah banget," ujarnya setengah menggerutu.Dan benar, gadis itu mewujudkan omongannya. Dengan santai tanpa dosa merebahkan diri di sofa. Menikmati hembusan AC ya
"Bodoh."Deg.Setelah sekian lama tidak mendengar desisan kasar itu, kali ini telinganya kembali mendengar. Meski lirih.Eh, tapi apakah telinganya benar mendengar desisan itu? Atau hanya sekedar imajinasi alam bawah sadar? Karna nyatanya bibir pria yang menangkapnya itu terkatup rapat dengan ekspresi datar tanpa reaksi."Pak Barra"Demi mendengar panggilan pak Prayit pada pria itu, seketika menyadarkan Kalea dari lamunanya. Gadis itu tergesa melepaskan diri, tapi sialnya, justru membuatnya jatuh terjerembab di lantai."Aa ... Awh!" pekik Kalea, meringis kesakitan. Iya sih, tadi pantatnya sempat gagal landing ke lantai. Tapi sekarang justru dia sendiri yang mewujudkannya. Sukses menghantam lantai, yang menimbulkan nyeri di pantat.Sementara pria yang menangkapnya tadi, melenggang santai melangkahi kakinya yang membujur. Tanpa dosa. Kalea menatapnya penuh rasa kesal. Ah! Sialan! Kenapa pula dia malah melamun tadi."Aku kir