"Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu.
"Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen." Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi. "Gue ke kelas dulu." "Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan." Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan." "Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea. Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas. . . "Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping. "Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing. "Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra." "Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia semua dideketin, diajak kenalan." "Tapi gue enggak." "Itu mah DL. Derita luuu." "Sialan, lu." Obrolan terhenti karna bu Desi masuk. "Kalea, tolong ambilin buku di kantor." Kalea menunjuk dirinya sendiri. "Saya, Bu?" "Ya iya. Memangnya siapa yang namanya Kalea di kelas ini kalau bukan kamu?" Kalea mengangguk. Berdiri dari duduknya dengan menggeser kursi duduknya. Tumben dia yang dimintai tolong. Makanya itu Kalea sempat bingung. Gadis itu menyusuri koridor sekolah, menuju kantor. Tidak ada murid yang keluyuran di luar. Sudah jam masuk. Meja bu Desi terletak di pojok kiri depan. Mengetuk pintu kantor, dan mengucapkan salam, barulah Kalea masuk. Terlihat tumpukan buku di meja bu Desi. Dia buka beberapa untuk mengecek benar buku kelasnya atau bukan. Setelah yakin, dia membawanya. "Sepertinya besok siap, pak. Bisa dimulai." Suara yang tak asing. Kalea menghentikan langkahnya. Mengerutkan dahi, sembari menajamkan telinga. "Ooo ya bagus. Lebih cepat lebih baik itu, mas Raka." Deg! Bahkan namanya juga sesuai. Jantung Kalea berdegup tak karuan. Jika benar dugaannya, yang di dalam adalah Raka. Tapi, untuk apa Raka kesini? Kalea masih mematung di depan ruang kepala sekolah. Sampai dia gak sadar sudah berapa lama. "Loh, Kalea." Gadis itu terkejut. Mengerjapkan matanya, tersenyum canggung. "Hehe ...." ringisnya. "Bang Raka kok disini?" Padahal ada kepala sekolah, tapi rasanya gak nampak dalam pandangan Kalea. Pandangannya hanya tertuju pada Raka. Pemuda yang diam-diam dia sukai. "Oh, ini. Ada keperluan." "Mas Raka kenal?" pak Berno menimpali. Gak enak dari tadi dikacangin. "Dia tetangga saya, pak," jelas Raka. Dan Kalea hanya meringis kecil. Salah tingkah dia. "Ooo ..." pak Berno manggut-manggut. "Kalea ngapain di kantor? Gak ke kelas?" Mendengar suara lembut Raka saja, rasanya dia mau pingsan. "Eng ... Ini, Bang. Ambil buku," menunjuk tumpukan buku di tangannya. "Gurunya Siapa?" tanya pak Berno. "Bu Desi, Pak." Pak Berno manggut-manggut. "Ya udah, ke kelas sana. Nanti ditungguin gurunya," tukas Raka. Kalea menggangguk. "Saya permisi, Bang Raka, Pak," ujarnya, ngacir keluar. Melihat tingkah gadis itu, Raka terkekeh kecil. Sementara itu, Kalea menaik turunkan napasnya berkali-kali. Gugup banget dia. "Duh, gini aja gemetaran tangan gue. Apalagi kalau digenggam bang Raka. Aaa .... Bisa tremor duluan." "Memangnya bang Raka mau nyentuh tangan lo." Kalea terperanjat. Reflek memegang dadanya. "Barra! Ish, ngagetin aja sih, lo," omelnya, karna tiba-tiba Barra berada di sampingnya. Barra mengangkat alisnya cuek. "Kenapa tiba-tiba kumat ngomongin bang Raka? Kangen, lo." Keduanya jalan beriringin. "Kangen banget lah. Tapi udah mayan terobati sih. Habis ketemu soalnya. Hihi." Barra melirik gadis yang tingginya hanya sepundaknya itu. "Tadi di kantor, gue ketemu bang Raka. Dia di sekolahan. Ngapain ya?" kernyitnya. Penasaran. Tapi dia gak denger jelas percakapan tadi. Cuma sepotong-potong. "Ngapain bang Raka disini," gumam Barra "Lah, kan gue yang nanya duluan, malah nanya balik," Kalea meletakkan tumpukan buku di tangan Barra. Terang saja Barra melotot tidak terima. "Lo cowok. Gak peka banget. Minimal inisiatif kek, bawain buku. Malah diem aja." "Ck. Lo yang disuruh." "Ya minimal pekaaa, Barraa." Barra menggerutu. "Lagian, lo ngapain di luar. Ada bu Desi, kan?" "Gue ke wc." "Oh." Mereka sampai di kelas. Terlihat bu Desi sedang menerangkan pelajaran. Kalea mengetuk pintu, menginterupsi. "Permisi, Bu." Bu Desi langsung berhenti. Menatap tajam dua siswanya itu. "Lama sekali ambil buku saja. Pacaran dulu kalian?" Terdengar tawa meledak di kelas. "Eh, enggak kok, Bu. Kita gak pacaran," Kalea panik. Tapi Barra santai. "Terus ngapain kalian berdua di luar kelas? Kamu tahu, berapa menit kalian di luar?" bu Desi bersidekap. Menginterogasi. "Saya kan tadi ...." "Berapa menit kalian, saya tanya." Kalea menggeleng. "Gak tahu, Bu." Bu Desi mengela napas. Menatap keduanya. "Lima belas menit. Sampai teman-temanmu bosan menunggu Si pembawa bukunya gak sampai-sampai. Eh, kalian malah asyik-asyikan pacaran di luar." "Maaf, bu. Tapi beneran, kita gak pacaran. Ketemu aja di koridor tadi. Soalnya saya tadi di kantor ...." "Lihat, bajunya saja sepasang. Yang satu pake kaosnya, satunya lagi pake trainingnya. Serasi, ya, anak-anak." "Serasi, Buu ...." Kalea menunduk. Nasibnya emang gak jauh-jauh dari apes, tiap kali deketan sama Barra. "Kalian duduk. Nanti pulang sekolah ke kantor, temui ibu." "Yah, tapi kan, Bu ...." "Ibu mau dengar alasan kalian, nanti. Itupun kalau kalian ngadep. Kalau tidak ya, ibu anggap kalian mangkir dari kelas. Dan pastinya ada konsekuensi tersendiri. Gimana, siap?" "Iya, bu." Kalea mengangguk, lemas. "Ya sudah, duduk kalian." Barra bergerak lebih dulu. Langkahnya tegap seperti biasa. Berbeda dengan Kalea yang melangkah gontai. "Busyet kalian, berduaan gak lihat-lihat sikon. Jadian ajalah," bisik Gita, meledek. Kalea melotot. "Diem!" "Siap, salah!" Gita mengangkat tangannya, menahan tawa. Kalea meletakkan dagunya di atas meja. Manyun. Baru aja dibikin seneng ketemu Raka, eh malah jadi sial gara-gara adiknya. . . Dan sesuai titah bu Desi, pulangnya Kalea menghadap ke ruang guru. Bersama Barra. Tentunya setelah dia eret-eret dengan susah payah dulu. Barra sempat menolak. Malas mengurus hal yang menurutnya gak penting. Tapi demi kemulusan akademiknya, Kalea memaksa Barra ikut. "Jadi, kenapa kalian pakai pakaian olahraga, bukan seragam. Dimana seragam kalian?" bu Desi menginterogasi. "Kotor, Bu. Tadi gak sengaja ketumpahan kuah bakso," Kalea memberi alasan. "Barra juga?" menoleh ke Barra. "Iya, bu. Soalnya saya gak sengaja tersandung, terus ngenain Barra." Bu Desi mengela napas. "Ibu tanya Barra, Kalea. Kenapa kamu yang jawab?" Kalea menggaruk pelipisnya. Habisnya, Barra diam saja. Daripada kena masalah, mending dia yang jelaskan. "Benar yang dikatakan Kalea, Barra?" "Tanya saja ibu kantin," sahut Barra datar. Ingin rasanya Kalea menjitak kepala Barra. Sayangnya, tinggian Barra. Kasihan, dia harus berjinjit dulu. Hiks. "Ibu nanya kamu, malah disuruh nanya ibu kantin. Ada-ada saja kamu." "Kalaupun saya memberi alasan, tidak menjamin ibu percaya bukan? Buktinya, jawaban Kalea saja ibu masih menyangsikannya." Bu Desi sontak terdiam. Kalea menatap Barra terperangah. Berani banget Barra. "Oke. Ibu percaya," wanita itu mengangguk. "Lalu, untuk yang kedua, apa alasan kalian lama kembali ke kelas? Kamu Kalea." "Kalau itu, tadi saya ketemu tetangga saya di kantor, bu. Diajak ngobrol sebentar. Ada kepala sekolah juga kok, sebagai bukti." "Kamu Barra?" menoleh ke Barra. "BAB." Lagi-lagi jawaban yang membuat Kalea menahan napas. Barra ini gak bisa lihat situasi atau gimana sih? Jawabannya singkat padat, dan mengkhawatirkan. "Kok kalian bisa bareng?" "Arah toilet dan kantor sama. Tidak menutup kemungkinan kalau ketemu." Lagi-lagi Kalea harus menahan napasnya. Lama-lama bisa meninggal dia. Jawaban Barra membuatnya pengen menimpuk cowok itu. "Oke. Jawaban diterima." Huft .... Kalea mengembuskan napas lega. Setidaknya, dia aman dari hukuman. Masak iya, kemarin dapat hukuman, ini juga. Kan gak lucu. Citranya lama-lama ikut rusak gara-gara Barra. "Kalian beneran pacaran, ya?" tembak bu Desi. Kalea Menggeleng cepat. "Eh, engg ---" "Iya." Kalea melotot. Menatap galak Barra. Tapi yang dipelototi tetap memasang wajah santainya."Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka
Kalea sedang rebahan santai, sambil scroll tiktok saat mendengar namanya dipanggil."Kalea, sayang ...""Iya, Ma," sahutnya. Mempouse video yang sedang dilihatnya."Turun dulu sayang. Dicariin nih."Dahinya mengernyit. Barra? Aish! Udah dibilangin juga kalau dia nolak, malas keluar, tetep aja dateng. Ngeyel banget sih tuh anak."Kalea ....""Iya, Ma."Kalea melompat dari rebahannya. Bergegas turun sambil menggerutu."Kalau pengen main, main sendiri napa. Udah dibilang males juga," omelnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang tamu."Kan gue udah bilang kalau gu---""Malam, Kal," senyum manis yang dirindukannya. Kalea seketika mematung di tempat. Mulutnya membuka, terperangah tak percaya dengan yang dilihatnya."Gitu amat ngeliatnya. Kenapa? Bang Raka mirip hantu ya?"Kalea sontak mingkem. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengukir senyum canggung."Hehe. Kaget aja."Raka me
"Naik."Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya. "Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan. "Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri. "Angkat kaki Lo, naikkan ke t
Sesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem
Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g
Kalea menunggu di teras. Tumben, jam segini Barra belum muncul. Apa dia samperin aja di rumahnya?Namun baru beberapa langkah, terdengar deru motor dari rumah samping. Kalea menoleh. Memandangi laju motor itu sampai berhenti di depan gerbang rumahnya."Bareng aku, Kal"Kalea menelan salivanya. Raka."Barra mana, Bang?" tanyanya, mengalihkan kegugupannya."Barra gak berangkat.""Sakit?" seketika timbul rasa khawatirnya. Gimana pun juga, dia masih terngiang-ngiang dengan kejadian kemarin. Kalau Barra sakit, berarti penyebabnya adalah dirinya."Enggak. Diajak paksa sama mama. Nenek kangen bocilnya," jelas Raka, terkekeh kecil.Kalea mengela napas lega. Dia kira, Barra kenapa-napa."Emang gak papa, bareng bang Raka?" tanyanya ragu."Enggak. Memangnya siapa yang melarang?""Hehe, kirain."Dia menaiki boncengan belakang. "Siap?"Kalea mengangguk. Dan Raka melajukan motornya...Seperti yang dia
Hari ini rasanya lebih menyebalkan dari hari-hari kemarin. Kalea pikir, dengan magang Raka di sekolahnya, akan memberinya waktu lebih banyak dengan pemuda itu. Nyatanya, dia malah dibakar cemburu gara-gara ternyata ada cewek lain. Belum ada konfirmasi sih, apa hubungan Raka dengan perempuan itu. Tapi melihat mereka dekat setiap saat, dadanya gemuruh menahan cemburu. Bahkan, meski tadi Jini masuk kelasnya, Kalea sama sekali gak berminat menanggapi pelajarannya. Menjawabi pertanyaan yang dilontarkan padanya dengan ketus. Saat pulang sekolah, Kalea gegas pulang, tanpa menghampiri Raka terlebih dahulu. Dia sedang sakit hati. "Kal, kok jalan?"Lagi-lagi Sena. Kalea tak menjawab. Moodnya berantakan."Lah, lo kan tadi berangkat sama pak Raka. Emangnya pulangnya gak bareng?""Lagi sibuk. Males ganggu.""Oh, gitu. Ya udah, gue anter aja.""Males. Sana, duluan.""Heey, mana ada. Rumah lo jauh, Kalea. Gempor tuh kaki lo ajak jalan.""Biarin."
Baru jam setengah tujuh Kalea sudah sibuk di kamarnya. Padahal, dia sudah memilah baju dari sepulang sekolah tadi. Bahkan, tadinya sudah nemu baju yang cocok. Giliran sekarang malah uring-uringan karna merasa gak ada baju yang cocok."Aish! Baju gue jelek semua sih," omelnya. Menatap kesal pada tumpukan pakaian berantakan di atas kasurnya."Apa gue beli aja dulu kali ya? Eh, tapi udah jam segini, gak mungkin keburu."Kalea benar-benar dibuat frustasi hanya karna gak nemu pakaian yang cocok. "Kalea! Ada bang Raka nih," panggilan dari mamanya.Kalea terkejut. Loh? Memangnya jam berapa? Kok bang Raka sudah menjemputnya?"Astaga, Kalea! Udah jam setengah delapan! Pantesan!" pekiknya, kelimpungan sendiri. Satu jam dia cuma memilah baju, itupun menurutnya gak ada yang pantes sama sekali di tubuhnya.Dan akhirnya, karna terburu-buru, dia mengambil asal. Memoles wajahnya dengan polesan biasa, hanya menambahkan bubuhan lipstik lebih