Tenang aja. Meski nasib Kalea kerap sial, tapi dia gak pernah ngeluh. Barra emang nyebelin. Tapi obatnya ada pada abangnya, alias Raka. Rasa kesal dan umpatan yang seharian menghiasi, luntur sudah kalau sudah bertemu Raka. Yah, anggap aja Barra adalah cobaan untuk penyatuan cintanya dengan Raka. Buktinya sekarang, dia sudah duduk manis, di ruang tengah keluarga tetangga. Mengobrol asyik dengan tante Anggi, juga si obat nyamuk Barra. Gak tahu apa fungsi makhluk itu. Ikut ngobrol enggak, tapi nongol aja.
"Berarti dua bulan lagi kalian lulus, dong." "Hehe. Iya, Tante. Seneng deh. Bentar lagi jadi mahasiswi. Hehe." Yah, semoga aja gak sekampus sama si kampret Barra lagi. Sumpah, dia bertekad gak akan sekampus, apalagi satu jurusan dengan Barra lagi. Sudah cukup tahun-tahun yang terlewati. Sampek sekarang tempat duduk aja depan belakang. "Syukurlah. Lebih cepat lebih baik. Tante udah gak sabar punya mantu kamu." "Iih, tante bisa aja. Hehe." Mendapati ekspresi mual Barra, Kalea melotot. Emang gak demen ngeliat dia seneng kali ya, cowok satu ini. Ngenesnya, kenapa pula Raka harus punya adek monyet semacam Barra. Untung saja, gak berapa lama Raka dan om datang. Mereka pindah ke meja makan. Menikmati makan malam dengan obrolan penuh keceriaan. Melihat kebersamaan ini, Kalea yakin, Raka akan tetap menjadi miliknya kelak. Dan masalah Jini, pasti akan berhenti dengan sendirinya. Pacaran bisa aja putus kan? Lagian, pasti om dan tante lebih merestui dirinya dibanding Jini. Dia memegang kunci utama, restu dan dukungan. Keyakinan kuat itu lah, yang membuat Kalea mengabaikan sakit hatinya atas fakta hubungan asmara Raka dengan gadis lain. Egois, atau bodoh? Entahlah. . . Malam minggu yang cerah. Harusnya begitu. Seperti biasa, malam minggu dia dan Raka akan jalan-jalan keluar. Malam mingguan, layaknya pasangan lain. Karna itu, Kalea sudah bersiap. Berdandan cantik dan siap menunggu jemputan. Cermin memantulkan sosok cantik yang tengah tersenyum lebar. Tapi, sampai pukul delapan, belum ada tanda-tanda Raka menjemputnya. Pesan yang dikirimnya sejak satu jam yang lalu saja belum dibalas. Jangankan dibalas, masih centang abu-abu. Bibirnya manyun, mulai kesal. Ting! Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya. Siapa tahu kabar dari Raka. "Aku gak bisa jemput. Ada urusan dadakan tadi. Kamu susul aja ya. Pake taksi. Alamatnya ntar aku kirimin." Pantesan. Lama. Tanpa membuang waktu, Kalea segera memesan taksi online. Lantas menuju alamat yang dikirim Raka tadi. Sepanjang jalan, dia senyam senyum sendiri. Membayangkan kalau ternyata urusan yang dimaksud Raka adalah menyiapkan kejutan untuknya. Em ... Mungkin makan malam romantis (?) seperti yang pernah dia siapkan untuk pria itu, dulu. "Kiri, pak." Setelah membayar, Kalea langsung menuju lokasi yang dimaksud. Sebuah rumah warna abu-abu. Ukurannya seperti rumah kontrakan. Pesan Raka tadi, suruh langsung masuk aja. Takut menganggu tetangga sekitar kalau harus teriak-teriak manggil katanya. "Bang ... Bang Raka?" Tetep manggil sih, cuma pelan. Gak berani keras. Tapi, rumah ini sepi. Pintunya memang gak terkunci. Tapi, terkesan gak ada siapa-siapa. Sepi banget. "Aah ... Pelan-pelan sayang ..." Deg! Telinganya seketika menajam. Mendengar suara lirih tertahan itu. Jantungnya terasa dipompa lebih cepat. Takut, tapi juga was-was dan penasaran. Dengan perasaan gak karuan, Kalea melangkah ke sumber suara. Sebuah kamar. Ada ketakutan yang tiba-tiba muncul. Sempat ingin mengabaikan saja. Tapi, penasaran. Gemetar tangannya memegang knop pintu. Sekali lagi, meyakinkan diri. Dan akhirnya memutar knop pintu. Matanya melotot sempurna dengan pemandangan yang dilihatnya. "Aaww ... Pelan-pelan ...." "Gak bisa. Kamu nikmat banget, sayang. Aahh ...." Kalea membekap mulutnya. Matanya panas. Pemandangan yang dilihatnya sangat menyakitkan. "Kalea gimana, aah ... Ini kan malam mingguuhh ..." "Biarin. Lebih enak sama kamu. Bisa kayak gini. Sama dia bosen, gak bisa ngapa-ngapain." "Rakaa ...." Kalea memejamkan matanya. Air mata mengalir deras di pipinya. Sakit. Sungguh. Sesak sekali dadanya. "Kamu hebat, sayang .... Gak kayak dia, yang gak bisa apa-apa." "Raka, please ...." Srat! Seseorang menariknya. Kalea sudah tidak terfikirkan, siapa yang menariknya. Hatinya hancur dengan pemandangan yang dilihatnya tadi. "Bodoh. Kalau sakit ya pergi. Bukan malah dilihat." Gadis itu justru menangis keras. Untung saja, mereka sudah di luar rumah. Cowok itu mengela napas panjang. Menarik gadis itu dalam dekapannya. Membiarkan gadis itu menumpahkan sakit yang dirasakannya. Samar, tangannya mengepal kuat. Dia juga terkejut dengan pemandangan yang sempat dilihatnya. "Brengsek!" desisnya tertahan.Andai ... Andai saja pengakuannya saat itu tidak terjadi. Apakah, nasibnya gak akan sesakit ini?Harusnya, dia pendam saja perasaannya. Seperti saat itu, saat dirinya belum punya keberanian bodoh itu. Saat dirinya masih malu-malu menunjukkan perasaannya. Saat hanya Barra yang tahu perasaannya. Jauh, sebelum insiden pengakuan nekatnya..."Raka jadi pulang, mbak Nggi?"Di ruang tengah, Kalea mendengar obrolan mamanya dengan mama Barra. Tadi dia diajak mamanya main ke rumah tetangga. Dia ikut-ikut aja. Tapi lebih suka rebahan di ruang tengah. Mainan ponsel."Katanya sih semester besok mau pulang. Tapi ya gak tahu, jadi apa enggak. Liburnya gak tentu. Waktu itu sih katanya lagi persiapan buat penelitian."Mendengar nama Raka disebut, Kalea senyam senyum. Ini salah satu alasan dia tetap bersabar meski punya tetangga menyebalkan semacam Barra. Kalea menyukai Raka, kakaknya Barra. Sayangnya Raka sedang kuliah ke luar kota. Dan ngekos disana. Raka hanya pulang saat liburan semester saja.Ah
Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai. "Astaga, Kalea!"Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri."Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor."Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya. "Barra, sory ...."Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin."Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu."Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesul
"Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu."Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen."Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi."Gue ke kelas dulu.""Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan."Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan.""Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea.Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas..."Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping."Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing."Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra.""Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia
"Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka
Kalea sedang rebahan santai, sambil scroll tiktok saat mendengar namanya dipanggil."Kalea, sayang ...""Iya, Ma," sahutnya. Mempouse video yang sedang dilihatnya."Turun dulu sayang. Dicariin nih."Dahinya mengernyit. Barra? Aish! Udah dibilangin juga kalau dia nolak, malas keluar, tetep aja dateng. Ngeyel banget sih tuh anak."Kalea ....""Iya, Ma."Kalea melompat dari rebahannya. Bergegas turun sambil menggerutu."Kalau pengen main, main sendiri napa. Udah dibilang males juga," omelnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang tamu."Kan gue udah bilang kalau gu---""Malam, Kal," senyum manis yang dirindukannya. Kalea seketika mematung di tempat. Mulutnya membuka, terperangah tak percaya dengan yang dilihatnya."Gitu amat ngeliatnya. Kenapa? Bang Raka mirip hantu ya?"Kalea sontak mingkem. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengukir senyum canggung."Hehe. Kaget aja."Raka me
"Naik."Kalea tersadar dari lamunannya. Melihat Barra berjongkok."Naik mana?" tanyanya, bingung."Pundak. Cepat. Gak mau kena hukuman, kan?""Iya sih. Tapi ....""Gak ada waktu, Kalea. Cepat, naik."Kalea bergerak ragu. Perlahan mengangkat kakinya. Tapi dia gak tega, menginjak pundak Barra. Apa gak sakit?"Aish! Lea, lama."Barra bergerak mengangkat tubuh kecil Kalea."Barra!" pekiknya, terkejut. Juga takut."Pegangan tembok atas," intruksi Barra."Cepat, Kalea."Gadis itu mencengkram puncak tembok dengan rasa takutnya. "Tahan berat tubuhmu sebentar.""Aaa ... Barra!" Kalea memekik. Karna tiba-tiba Barra melepas tubuhnya."Injak pundak gue, Kal."Karna sudah diambang takutnya, Kalea menginjak pundak Barra gak kira-kira. Tentu saja Barra meringis kesakitan. "Ish! Pelan-pelan," omel Barra.Setelah merasakan ketenangan gadis itu, Barra perlahan berdiri. "Angkat kaki Lo, naikkan ke t
Sesuai dugaannya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan guru muda. Tepatnya guru sementara selama masa penelitian. Siapa yang gak bakal heboh, kalau gurunya setampan Raka? Masih muda, tampan, dan ramah. Dan harusnya Kalea termasuk bagian dari yang heboh itu. Tapi, perasaannya lain. Perasaan bersalah membuatnya kehilangan semangat. Bahkan, dia abai bahwa ada satu lagi guru peneliti yang bersama Raka. Dan dia seorang perempuan. Pikiran Kalea terfokus pada Barra.Selama jam sekolah, Barra sama sekali gak muncul. Dia hanya menitipkan sepatunya lewat Sena, temannya. Sena pun gak tahu dimana Barra. Cowok itu hanya menitipkan sepatu, lalu pergi.Saat pulang pun, Barra gak muncul. Kalea mencoba mengecek di rumah yang dititipi motor tadi. Tapi orang itu bilang, Barra sudah pergi sejak tadi pagi. Berarti setelah menitipkan sepatu, Barra langsung pergi.Langkah Kalea lunglai. Pasti Barra kesakitan. Dan jahatnya dia, malah ninggalin Barra sendirian, demi egonya yang takut terlambat. Jahat. Dia mem
Melihat kebingungan Kalea, Barra menggeleng. "Jangan bilang lo tinggal di luar?"Kalea meringis. Sayangnya, itu benar."Ayo, ke bawah," ajak Barra. Kalea mengikuti Barra yang melangkah lebih dulu.Dan ternyata benar, Sena duduk melamun di kursi teras."Kayak orang ilang lo, Sen."Sena sontak menoleh. Tertawa lebar. "Sialan, lo!"Barra duduk di kursi sebelah Sena. Memberi isyarat agar Kalea duduk kursi kosong sebelah."Lo apain gadis orang, Yan. Sampek nangis gitu," ujar Sena, melirik Kalea dengan senyum menggoda Barra."Ih, siapa yang nangis? Enggak tuh," elak Kalea."Yang bener? Gue yakin, Kalea nangis kan, pas di kamar lo? Lihat aja tuh, matanya sembab."Kalea melotot. Kalau saja dekat, sudah dia timpuk lengan Sena.Barra tertawa kecil. "Gak gue apa-apain aja dia nangis, apalagi gue apa-apa--- Aw! Kal?" Barra meringis, menatap gadis sebelahnya dengan tatapan memelas. Memegang lengannya yang mendapat cubitan dari Kalea. "Makanya, ngomong itu yang bener.""Bercanda, Kalea.""Apaan g