Siasat perang terakhir yang dikerahkan kini adalah 'Benteng Melingkar'. Bentuk seperti itu biasanya hanya digunakan pada saat-saat terdesak. Mereka menggiring kuda dalam bentuk lingkaran rapat, sehingga ekor kuda masing-masing hampir bertemu. Dengan siasat perang seperti itu, mereka bisa menghindari musuh yang menyerang dari belakang dan samping. Dan musuh hanya bisa menyerang dari depan. Dan itu jelas lebih mengurangi tenaga yang terbuang sia-sia.
Tapi, rupanya musuh benar-benar bisa membaca siasat ini. Dengan satu siasat licik, tujuh orang di antara mereka mundur teratur. Sedangkan yang lain tetap menggempur dari sisi yang berbeda. Tanpa takut terkena kawan sendiri, ketujuh orang itu mengeluarkan senjata rahasia masing-masing. Begitu tangan mereka mengebut, senjata rahasia itu melayang ke arah para prajurit istana.
Dalam keadaan yang rapat, tentu saja para prajurit mengalami kesulitan untuk menghindari pisau-pisau kecil yang meluncur deras ke arah mereka. Prajurit te
Demi mendengar laporan ini, Prabu Jaya Mahesa menjadi geram. Rahangnya mengeras seketika. Seraya memegangi keningnya yang terasa berdenyut akibat luapan marah, Raja Karang Setra itu merayapi para pembantunya dengan sapuan mata yang sulit diartikan.“Pemberontak itu rupanya benar-benar ingin menghancurkan negeri ini...,” kata Prabu Jaya Mahesa, dengan suara bergetar.“Yang hamba heran, Paduka,” kata kusir kembali. “Kenapa gerombolan Bajing Ireng dapat mengetahui perjalanan kami? Sedangkan semua prajurit pengawal sudah mengenakan pakaian biasa, sehingga tidak tampak lagi sebagai prajurit kerajaan. Lalu, dari mana gerombolan itu tahu tentang kami? Dan, dari mana pula mereka tahu kalau kami akan menjemput muatan pada saat itu?”“Karena di antara kita ada seorang pengkhianat. Dia telah membocorkan rencana itu,” jawab Prabu Jaya Mahesa cepat. Wajahnya menegang demikian rupa, memperlihatkan kemurkaan.Kembali mata
Rupanya lelaki tinggi besar itu tersinggung oleh perkataan rajanya tadi. Di antara pembesar kerajaan lain, Mahapatih Guntur Selaksa memang seorang yang berwatak keras.“Bukannya meragukan kalian semua, tapi hanya meragukan kesetiaan seorang di antara kalian,” sahut Prabu Jaya Mahesa.“Sekali lagi hamba mohon maaf, Paduka. Tapi bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap orang dari kami?” desak Mahapatih Guntur Selaksa. Dari getar ucapannya, tampak sekali kalau hatinya setengah gusar.“Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?” sahut Prabu Jaya Mahesa.Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih Guntur Selaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah la
“Kenapa?!” desak Srikandi sengit.“Karena tujuan Bajing Ireng sebenarnya hanya ingin membunuh ayahmu, Prabu Jaya Mahesa,” jawab Jejaka, sambil menatap Srikandi dengan ekor mata yang naik ke atas kelopak mata.Srikandi kontan menautkan alis. Gadis cantik itu masih belum menangkap maksud Jejaka.“Kenapa tak dijelaskan secara gamblang, Jejaka! Jangan buat Srikandi mati berdiri karena penasaran!” timpal Rintih Manja.“Baik..., baik. Kenapa kalian jadi kelewat tolol, sih?”“Aku bukan tolol! Aku hanya tidak tahu, apa yang kau maksudkan!” selak Srikandi, tersinggung oleh ucapan Jejaka yang asal bunyi.Jejaka cengar-cengir seraya mengangkat-angkat kedua alisnya yang lebat.“Iya, ya. Mana ada putri raja yang tolol?” ejek pemuda itu.“Diam! Jelaskan saja padaku!” bentak Srikandi.Wajahnya merah padam, seperti baru dipanggang.“Ki Nogom
Taman Anjangsana keluarga istana temaram di malam hari. Bunga beraneka warna tertunduk menikmati udara malam. Hanya bunga sedap malam yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh taman.Sejak Rintih Manja datang, Jejaka lebih sering bersamanya daripada bersama Srikandi. Termasuk, malam ini. Mereka tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya purnama.“Aku dendam sekali pada gerombolan Bajing Ireng, Jejaka,” kata Rintih Manja.“Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, kan? Meski Perguruan Naga Kencana bukan keluarga-mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu, kan?” timpal Jejaka. “Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan mendatangi gerombolan itu untuk menuntut balas. Serahkan semuanya pada Dewata. Kalau kita tak mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah merampas sesuatu yang kita cintai, Dewata tak akan mengharuskan kita. Berbuatlah hal-hal yang bisa diperbuat, sebatas kemampuan
Srikandi tak menjawab, dan hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak memerah. Pertanyaan Jejaka barusan rupanya tepat mengusik sudut hatinya. Memang, kecemburuannya pada Rintih Manja membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu. Dia sendiri sering bertanya pada diri sendiri, “Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya jauh di bawahnya? Jejaka berusia delapan belas tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah itu pantas?”Pantas tidak pantas, hati Srikandi tetap mengakui kalau pribadi Jejaka membuatnya terjatuh dalam kubangan cinta yang ganjil. Ya! Ganjil karena mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh. Tapi, bukankah cinta tak mengenal kata ganjil? Karena, cinta itu sendiri pun aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan menimpa siapa saja.“Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda ini?” keluh gadis itu dalam hati.Terkadang Rintih Manja memang bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama Jejaka. Apakah itu
“Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Bajing Ireng dapat menghabisi Prabu Jaya Mahesa tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,” jawab Jejaka pasti.“Oh, Dewata...,” desah Srikandi bergetar.Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya.“Aku takut, ayahku akan terbunuh, Jejaka,” desah gadis itu lirih, nyaris terisak.“Jangan cengeng! Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?” bentak Jejaka, tidak sungguh-sungguh.Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu. Jejaka sendiri dapat maklum kalau Srikandi seperti itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.“Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau Dewata mengizin
Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat berbalik. Dan sekali lagi dia terkecoh. Matanya ternyata tidak menemukan seorang pun.“Keparat,” desis orang itu, setelah mengetahui ada seseorang yang sedang mempermainkannya.“Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng Menotok Babi',” ucap seseorang di belakang orang bercaping itu.Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di bagian punggungnya.Tuk!Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar. Dan sebelum orang itu menyentuh tanah, Jejaka cepat menyambarnya.“Wah! Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya? Apa kau mabuk? Kapan minumnya? Kemarin?” oceh Jejaka, saat memanggul tubuh orang bercaping dengan senyum lebar di bibirnya.Secepat bayangan setan, tubuh Jejaka berkelebat. Orang itu memang akan dibawanya ke kamar, agar bisa dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia termasuk orang yang tidak p
Mata Jejaka langsung terbelalak lebar saat melihat wajah orang itu.“Rintih Manja...?” desis Jejaka, nyaris tak percaya. Rintih Manja hanya bisa menatap Jejaka. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena kartunya sudah terbuka, mulutnya jadi malas berkata-kata.“Apa-apaan kau ini?!” gerutu Jejaka.Segera dibebaskannya totokan di tubuh Rintih Manja. Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga meringis-ringis.“Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu itu?” tanya Jejaka.Rintih Manja hanya menyembunyikan wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk. Memang, gadis itulah yang telah membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang saat Jejaka, Srikandi, Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di atas bukit.“O, bagus!” rutuk Jejaka. “Kau telah menyerang pembesar istana.