Taman Anjangsana keluarga istana temaram di malam hari. Bunga beraneka warna tertunduk menikmati udara malam. Hanya bunga sedap malam yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh taman.
Sejak Rintih Manja datang, Jejaka lebih sering bersamanya daripada bersama Srikandi. Termasuk, malam ini. Mereka tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya purnama.
“Aku dendam sekali pada gerombolan Bajing Ireng, Jejaka,” kata Rintih Manja.
“Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, kan? Meski Perguruan Naga Kencana bukan keluarga-mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu, kan?” timpal Jejaka. “Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan mendatangi gerombolan itu untuk menuntut balas. Serahkan semuanya pada Dewata. Kalau kita tak mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah merampas sesuatu yang kita cintai, Dewata tak akan mengharuskan kita. Berbuatlah hal-hal yang bisa diperbuat, sebatas kemampuan
Srikandi tak menjawab, dan hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak memerah. Pertanyaan Jejaka barusan rupanya tepat mengusik sudut hatinya. Memang, kecemburuannya pada Rintih Manja membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu. Dia sendiri sering bertanya pada diri sendiri, “Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya jauh di bawahnya? Jejaka berusia delapan belas tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah itu pantas?”Pantas tidak pantas, hati Srikandi tetap mengakui kalau pribadi Jejaka membuatnya terjatuh dalam kubangan cinta yang ganjil. Ya! Ganjil karena mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh. Tapi, bukankah cinta tak mengenal kata ganjil? Karena, cinta itu sendiri pun aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan menimpa siapa saja.“Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda ini?” keluh gadis itu dalam hati.Terkadang Rintih Manja memang bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama Jejaka. Apakah itu
“Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Bajing Ireng dapat menghabisi Prabu Jaya Mahesa tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,” jawab Jejaka pasti.“Oh, Dewata...,” desah Srikandi bergetar.Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya.“Aku takut, ayahku akan terbunuh, Jejaka,” desah gadis itu lirih, nyaris terisak.“Jangan cengeng! Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?” bentak Jejaka, tidak sungguh-sungguh.Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu. Jejaka sendiri dapat maklum kalau Srikandi seperti itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.“Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau Dewata mengizin
Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat berbalik. Dan sekali lagi dia terkecoh. Matanya ternyata tidak menemukan seorang pun.“Keparat,” desis orang itu, setelah mengetahui ada seseorang yang sedang mempermainkannya.“Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng Menotok Babi',” ucap seseorang di belakang orang bercaping itu.Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di bagian punggungnya.Tuk!Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar. Dan sebelum orang itu menyentuh tanah, Jejaka cepat menyambarnya.“Wah! Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya? Apa kau mabuk? Kapan minumnya? Kemarin?” oceh Jejaka, saat memanggul tubuh orang bercaping dengan senyum lebar di bibirnya.Secepat bayangan setan, tubuh Jejaka berkelebat. Orang itu memang akan dibawanya ke kamar, agar bisa dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia termasuk orang yang tidak p
Mata Jejaka langsung terbelalak lebar saat melihat wajah orang itu.“Rintih Manja...?” desis Jejaka, nyaris tak percaya. Rintih Manja hanya bisa menatap Jejaka. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena kartunya sudah terbuka, mulutnya jadi malas berkata-kata.“Apa-apaan kau ini?!” gerutu Jejaka.Segera dibebaskannya totokan di tubuh Rintih Manja. Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga meringis-ringis.“Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu itu?” tanya Jejaka.Rintih Manja hanya menyembunyikan wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk. Memang, gadis itulah yang telah membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang saat Jejaka, Srikandi, Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di atas bukit.“O, bagus!” rutuk Jejaka. “Kau telah menyerang pembesar istana.
“Sejak Bajing Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas. Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Bajing Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau menyerahkan diri pada Bajing Ireng. Maka itu, aku menyamar dengan pakaian lelaki dan caping lebar ini. Sengaja senjata kipasku tak kugunakan dengan alasan tadi. Sebagai gantinya, kugunakan pisau-pisau kecil sebagai senjataku,” jelas Rintih Manja.“Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung dengan Bajing Ireng menangkap, kemudian menyerahkan dirimu pada pemimpin mereka? Bukankah Bajing Ireng sudah mengenalimu? Kalau sudah begitu, kau tetap akan dijadikan sandera!” penggal Jejaka keras.Jejaka bukan takut menghadapi tokoh aliran sesat itu, tapi hanya khawatir keselamatan Rintih Manja.Rintih Manja kembali menancapkan pandangan ke lan
PAGI baru berlalu sekian saat. Sang Raja Siang merayap perlahan menuju puncaknya. Panas terasa mulai tak bersahabat. Di sebuah jalan rumput yang membelah padang luas, terlihat arak-arakan kecil. Beberapa orang terlihat berjalan di belakang kereta kuda yang dihela seorang kusir bertubuh ramping. Empat orang di antaranya mengendarai kuda. Dua berada paling depan, sedangkan sisanya berada di barisan paling belakang. Melihat dari bendera yang dibawa, bisa ditebak kalau arak-arakan itu adalah rombongan kerajaan.Dua hari yang lalu, Prabu Jaya Mahesa merencanakan pergi untuk menemui raja dari negeri tetangga yang akan bekerjasama dengannya memberantas gerombolan Bajing Ireng. Menurut Prabu Jaya Mahesa, raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh meluasnya kekuasaan Bajing Ireng ke wilayahnya. Makanya, dia mengirim pesan rahasia pada Prabu Jaya Mahesa untuk mengadakan kerjasama. Tawaran itu tentu saja diterima gembira.Agar kepergian ini tidak dicurigai mata-mata Bajing I
Setombak demi setombak, rombongan kerajaan makin menghampiri perangkap yang dipasang Bajing Ireng. Saat mereka berada di celah antara dua bukit yang menjadi jalan tembus, Bajing Ireng dan kaki tangannya siap akan menyergap.Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit. Dan....“Maju!” perintah Bajing Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu.Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Bajing Ireng dan anak buahnya berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang di depan. Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang.Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi. Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap merencah.Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput. Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cada
Ketika kuda berlari sekian langkah di dekat sebuah pohon besar, Jejaka segera masuk ke dalam. Sedangkan, Prabu Jaya Mahesa keluar dan bersembunyi di balik pohon besar itu. Kejadian ini begitu cepat. Sehingga, beberapa perwira yang memburu untuk menghentikan lari kuda tak sempat melihatnya.“Wah wah wah...! Kenapa matamu melotot seperti orang banyak hutang, Bajing Ireng?” ejek Jejaka seraya memutar-mutar kain bercorak catur di depan dada, seperti orang kepanasan.“Kau..., ternyata kau belum mati?” kata Bajing Ireng, geram.“Aku selalu punya nyawa cadangan yang kusimpan dalam perutku. Kau mau lihat nyawa cadanganku?” ujar Jejaka acuh. “Nih. ”Truut... dut! Du. brot!Jejaka mengeluarkan angin yang dikatakannya tadi sebagai nyawa cadangan. Dan angin itu dikeluarkan melalui lubang pantatnya!“Hebat, bukan?”“Keparat!” geram Bajing Ireng amat memuncak. Mata tokoh hitam