Waktu berlalu tanpa dapat ditahan. Suka atau tidak hari bergulir terus. Dan sudah sepuluh hari terlewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi. Sementara di Kerajaan Karang Setra sedang diadakan pertemuan di dalam ruang kehormatan, setelah Srikandi mengusulkan untuk mengadakan penyambutan sederhana untuk kedatangan Jejaka. Itu pun tanpa sepengetahuan Jejaka. Srikandi tahu, Jejaka tidak bakal menyukainya. Dalam pribadinya yang sering ugal-ugalan. Jejaka memang menyimpan kerendahan hati.
Ruang kehormatan yang luas ini terletak di tengah istana, berbatasan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Di tengah ruangan tampak meja persegi yang besar dan panjang. Di sisinya tersusun kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus untuk Bayureksa di ujung meja. Dinding ruang itu diperindah oleh lukisan keluarga istana dan lukisan-lukisan panorama negeri Karang Setra.
Setelah para dayang menyajikan makanan serta minuman yang ditata dengan apik, para undangan memasuki ruangan besar ini
Memang, sewaktu pertama kali Srikandi memperkenalkannya pada anak muda itu, Jejaka langsung memotong ucapan Srikandi. Sehingga, Srikandi tidak sempat menyebutkan, siapa Jejaka sebenarnya.“Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Bajing Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Jejaka?” sambung Prabu Jaya Mahesa.Jejaka sebentar terkesiap.“Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,” jawab pemuda itu terbata.“Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih dekat mengenalmu?” tambah Prabu Jaya Mahesa.Jejaka segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.“Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki ole
JEJAKA sulit mengerti, mengapa Rintih Jelita menyusulnya hingga ke istana. Setelah memohon diri pada Prabu Jaya Mahesa dan para pembesar kerajaan, Jejaka dan Srikandi segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu berjalan beriring menuju taman istana.“Ada apa Rintih Jelita?” tanya Jejaka, begitu tiba di taman istana.“Rintih Manja! Rupanya kau...,” timpal Srikandi. Srikandi lalu memandang Jejaka. Dia masih bingung kenapa Jejaka memanggil wanita itu Rintih Jelita? Bukankah dia bernama Rintih Manja?“Sudah dua kali kau menyebut Rintih Manja dengan panggilan Rintih Jelita. Apa memang dia punya dua nama?” tanya Srikandi pada Jejaka.“Ah! Aku hampir lupa,” tukas Jejaka bergegas. Jejaka memang lupa untuk menjelaskan pada Srikandi tentang saudara kembar Rintih Manja, yaitu Rintih Jelita. “Ini Rintih Jelita, saudara kembar Rintih Manja.”.“Jadi Rintih Manja benar-b
“Sungguh! Aku memang Rintih Manja,” jawab gadis itu lagi. Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambarkan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta kehilangan.Jejaka mengernyitkan kening dalam-dalam. “Aku pasti salah dengar,” gumam Jejaka.“Tapi Jejaka...,” sela Rintih Manja. “Bisa kubuktikan kalau aku adalah Rintih Manja! Aku kenal Srikandi atau Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama kali berjumpa. Kalau aku Rintih Jelita, mana mungkin kenal Srikandi?”Jejaka menghentikan langkahnya. Tubuhnya mematung, membelakangi Rintih Manja dan Srikandi. Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Rintih Manja masih hidup. Masih dapat dirasakan puing-puing kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian Rintih Manja, orang yang menanam benih cinta pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya masih menganga. Dan tiba-tiba saja, wanita d
“Aku sudah memiliki dendam pada Bajing Ireng waktu itu!” penggal Jejaka kasar. “Kakekku dan orang-orang perguruan mekar bumi. Saudari-saudari perguruanmu juga gurumu, Nyai Lirih Dewi, gurumu. Mereka dibunuh oleh keparat itu! Dan itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk menjalani penyempurnaan”Dada Jejaka turun naik. Napasnya kontan berhembus cepat. Kegusaran yang tiba-tiba membludak berusaha dihelanya.Sementara Srikandi jadi tercekat. Sungguh tidak disangka Jejaka yang selama ini dikenal sebagai anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu.Sementara itu, Rintih Manja menundukkan kepala dalam-dalam. Matanya terhujam pada rerumputan halus di sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka warna tidak membuatnya menjadi nyaman. Kegalauan seketika mengepungnya dari setiap sudut.“Kalau begitu, maafkan aku, Jejaka. Aku mengira..”Rintih Manja terdiam sesaat. Seperti ada sesua
Desa Sekarepwetan direbahi cahaya jingga. Matahari memang telah begitu redup tanda datangnya senja. Di saat seperti itu, penduduk desa itu seorang demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul masing-masing. Mereka melenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang telah menunggu.Desa Sekarepwetan yang berbatasan dengan kotaraja bagian utara ini memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat pemerintahan Karang Setra. Karena letaknya cukup dekat dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa Sekarepwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-kereta kerajaan yang datang dari dermaga.Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang membelah Desa Sekarepwetan. Di belakangnya, enam prajurit berkereta mengawal penuh waspada.“Hiaaa...!”Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya menghentakkan tali kekang. Memang muatan ini mesti secepatnya dibawa ke kerajaan. Dorongan t
Siasat perang terakhir yang dikerahkan kini adalah 'Benteng Melingkar'. Bentuk seperti itu biasanya hanya digunakan pada saat-saat terdesak. Mereka menggiring kuda dalam bentuk lingkaran rapat, sehingga ekor kuda masing-masing hampir bertemu. Dengan siasat perang seperti itu, mereka bisa menghindari musuh yang menyerang dari belakang dan samping. Dan musuh hanya bisa menyerang dari depan. Dan itu jelas lebih mengurangi tenaga yang terbuang sia-sia.Tapi, rupanya musuh benar-benar bisa membaca siasat ini. Dengan satu siasat licik, tujuh orang di antara mereka mundur teratur. Sedangkan yang lain tetap menggempur dari sisi yang berbeda. Tanpa takut terkena kawan sendiri, ketujuh orang itu mengeluarkan senjata rahasia masing-masing. Begitu tangan mereka mengebut, senjata rahasia itu melayang ke arah para prajurit istana.Dalam keadaan yang rapat, tentu saja para prajurit mengalami kesulitan untuk menghindari pisau-pisau kecil yang meluncur deras ke arah mereka. Prajurit te
Demi mendengar laporan ini, Prabu Jaya Mahesa menjadi geram. Rahangnya mengeras seketika. Seraya memegangi keningnya yang terasa berdenyut akibat luapan marah, Raja Karang Setra itu merayapi para pembantunya dengan sapuan mata yang sulit diartikan.“Pemberontak itu rupanya benar-benar ingin menghancurkan negeri ini...,” kata Prabu Jaya Mahesa, dengan suara bergetar.“Yang hamba heran, Paduka,” kata kusir kembali. “Kenapa gerombolan Bajing Ireng dapat mengetahui perjalanan kami? Sedangkan semua prajurit pengawal sudah mengenakan pakaian biasa, sehingga tidak tampak lagi sebagai prajurit kerajaan. Lalu, dari mana gerombolan itu tahu tentang kami? Dan, dari mana pula mereka tahu kalau kami akan menjemput muatan pada saat itu?”“Karena di antara kita ada seorang pengkhianat. Dia telah membocorkan rencana itu,” jawab Prabu Jaya Mahesa cepat. Wajahnya menegang demikian rupa, memperlihatkan kemurkaan.Kembali mata
Rupanya lelaki tinggi besar itu tersinggung oleh perkataan rajanya tadi. Di antara pembesar kerajaan lain, Mahapatih Guntur Selaksa memang seorang yang berwatak keras.“Bukannya meragukan kalian semua, tapi hanya meragukan kesetiaan seorang di antara kalian,” sahut Prabu Jaya Mahesa.“Sekali lagi hamba mohon maaf, Paduka. Tapi bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap orang dari kami?” desak Mahapatih Guntur Selaksa. Dari getar ucapannya, tampak sekali kalau hatinya setengah gusar.“Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?” sahut Prabu Jaya Mahesa.Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih Guntur Selaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah la