Mentari terus menangis saat perawat kembali memasang selang infus di tangannya. Si perawat yang terlihat sudah berumur itu sampai harus turut serta menenangkan pasien VVIP tersebut. Dan setelah perawat tersebut meninggalkan kamar Mentari, Rakhan mencoba untuk mendekati Mentari. Namun, Mentari yang terlanjur kecewa akhirnya membuang muka.Rakhan kembali ke samping ranjang Mentari. Ia membungkuk, mengulurkan tangan membelai puncak kepala Mentari, lalu mengecup keningnya. “Aku mencintaimu, Tari. Jangan katakan kalau aku tidak peduli kepadamu. Itu tidak benar.”“Sudahlah, Rakhan. Jangan pura-pura lagi. Kenyataannya, kau hanya pura-pura peduli kepadaku dan Papa agar orang lain bisa menilaimu lebih. Kau hanya sedang melakukan pencitraan. Aku akui kau berhasil melakukan itu.”Handoko yang seda
“Kamu bisa bersabar sampai besok, ‘kan?” tanya Rakhan nyaris berbisik di telinga Mentari.Embusan napas Rakhan yang menyapa cuping telinga Mentari membuat tengkuk wanita itu meremang. Tanpa sadar, Mentari menyelipkan tangan ke tengkuk dan mengusap-usapnya seolah dengan melakukan itu bisa menormalkan tubuhnya yang sedikit menegang.“Kenapa?” bisik Rakhan yang kemudian mengecup cuping telinga Mentari dan hal itu spontan membuat sang istri bergerak menjauh.“Jangan dekat-dekat.” Kali ini Mentari mengusap daun telinga dengan tangannya yang lain. “Aku jadi merinding.”Gelak tawa Rakhan memenuhi ruangan. Ia menarik kembali Mentari ke dalam pelukannya. “Kau pikir aku hantu?”
Saat semua orang beranjak menuju ruang makan, Rakhan menahan langkah Mentari, meminta wanita itu untuk tetap tinggal sejenak. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, sesuatu yang selama ini ditahannya karena ego yang tertanam begitu dalam sejak lama. Namun kini, di tengah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka, Rakhan merasa sudah waktunya untuk membuka belenggu itu, mengalirkan perasaannya yang selama ini tertahan.Rakhan menggenggam tangan Mentari, kali ini dengan kelembutan yang belum pernah ditunjukkannya sebelumnya. Ia menatap wajah istrinya dengan seksama, mencari ketenangan yang perlahan mulai terlihat di sana. Senyum lembut Mentari tak dapat disembunyikan, meski ada sejumput kekhawatiran yang masih bersembunyi di sudut matanya.“Mulai malam ini, aku akan menemanimu tidur,” ujar Rakhan dengan hati-hati, suaranya nyaris seperti b
Kadang, untuk menjalani hidup sesuai keinginan diperlukan perjuangan besar dan kerja sama dari pasangan. Meskipun satu per satu masalah yang mendera Rakhan dan Mentari bisa dilewati, tetapi masih ada karang terjal yang mencoba menghalau laju bahtera rumah tangga mereka. Bersantai dari setiap pemikiran sulit tentang kenyataan dan rumitnya sebuah hubungan, malam itu Rakhan berusaha untuk merealisasikan salah satu bagian penting kerja samanya dengan Mentari, mempererat ikatan perasaannya dengan sang istri.“Kau tahu, Sayang. Ternyata kau sangat berani kemarin. Aku bangga kepadamu.” Rakhan melingkarkan tangannya ke pinggang Mentari dari belakang, lalu mengecup lembut pipi wanita itu. Ia kemudian sedikit menempelkan pipinya ke samping pipi Mentari dan melihat wajah polos istrinya melalui cermin rias yang menggantung di dinding di hadapan mereka.Ai
Sengatan rasa sakit menembus hingga ke jantung Mentari saat melihat Rakhan berpelukan dengan Annika. Serangan keterkejutan membuat wanita itu membeku selama beberapa waktu hingga Rakhan akhirnya menyadari bahwa sang istri tengah melihatnya dari celah pintu yang terbuka lebar.“Tari ....” Rakhan segera melepas pelukannya dari Annika. Namun, ia terlambat untuk bisa mengejar Mentari.Mentari berlari menuju lift dan tak menghiraukan panggilan Ani yang berusaha menahannya, begitupun dengan panggilan Rakhan sesaat kemudian. Pintu lift sudah tertutup rapat dan bergerak turun ketika Rakhan tiba di depan alat transportasi vertikal itu. Tiba di lobi, Mentari bergegas keluar. Meskipun tidak dengan berlari, tetapi langkah cepat wanita sempat menarik perhatian beberapa staf termasuk Sam yang menunggunya di sana. Sam beranjak dari zona santainya segera sete
Barry mengembus napas. Otot-otot di wajahnya mengencang hingga air mukanya tampak tegang, begitupun dengan rahangnya yang mengeras. Emosi kuat terbentuk dan diekspresikan dalam suaranya yang dalam dan tertahan.“Kau bicara apa? Aku tidak akan mengemis minta diakui sebagai ayah kepada Mentari. Aku cukup tahu diri untuk tidak memintanya. Kau salah mencari istrimu di sini.”Rakhan mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. “Beberapa karyawanku menjadi saksi penculikan Mentari. Mereka pun melihat mobilmu, bahkan ada yang hafal dengan nomor polisi mobilmu, Pak Tua.”“Mentari diculik? Penculiknya memakai mobilku?” Irama keterkejutan meluncur dari bibir Barry.“Kau jangan menolak lupa, Barry Haryanto. Kejadiannya baru satu jam yang lalu ....” Rakhan melirik arlojinya,
Erlangga mengangguk-angguk. “Bisa jadi. Kita bicarakan masalah ini bersama Ayah. Aku tunggu kau di bawah.”“Oke. aku akan segera turun.”Rakhan benar-benar bekerja keras untuk menemukan Mentari. Selain menunggu kabar dari Anton, sejak pagi Rakhan dan Erlangga berkeliling kota berusaha menemukan mobil dengan ciri-ciri yang disebutkan Sam. Namun, mereka belum menemukan mobil tersebut sampai hari menjelang gelap. Diselimuti rasa marah, kecewa, dan juga cemas yang luar biasa, ide untuk mendatangi rumah Barry sekali lagi sempat terlintas di kepala Rakhan.Teeeet! Rakhan membunyikan klakson panjang ketika tiba-tiba mobil yang dikendarainya hampir menabrak pejalan kaki yang sedang berjalan di atas
“Kau boleh mengatakan apa saja tentangnya, Arya. Aku tetap berpikir dia lebih baik darimu meskipun dia tidak menjadikanku satu-satunya wanita dalam hidupnya.” Mentari menunjukkan reaksi yang bertolak belakang dari harapan Arya.Bisikan amarah mulai menggoda Arya untuk mempertegas tekadnya. Arya melayangkan tatapan tajamnya pada Mentari. “Dasar bodoh!”“Aku memang bodoh memilihnya, tapi aku akan menjadi lebih bodoh jika mau terus bersamamu,” bantah Mentari, “kau orang paling munafik yang pernah kukenal, Arya. Kau menerima tawaran papaku, tapi kau juga tidak menolak kuajak lari. Kau hanya menjadikanku alat untuk meraup keuntungan.”“Itu tidak benar, Tari.”“Tidak benar?” Mentari tersenyum mencemooh sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dua milyar bukan uang yang sedikit. Kau menerima uang itu dari papaku dengan tangan terbuka. Kau memanfaatku.”“Aku mencintaimu, Tari. Aku melakukannya agar kita punya bekal saat kita kabur.”“Aku tidak melihatnya begitu. Kenyataannya, sekarang kau telah m