Barry mengembus napas. Otot-otot di wajahnya mengencang hingga air mukanya tampak tegang, begitupun dengan rahangnya yang mengeras. Emosi kuat terbentuk dan diekspresikan dalam suaranya yang dalam dan tertahan.“Kau bicara apa? Aku tidak akan mengemis minta diakui sebagai ayah kepada Mentari. Aku cukup tahu diri untuk tidak memintanya. Kau salah mencari istrimu di sini.”
Rakhan mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. “Beberapa karyawanku menjadi saksi penculikan Mentari. Mereka pun melihat mobilmu, bahkan ada yang hafal dengan nomor polisi mobilmu, Pak Tua.”
“Mentari diculik? Penculiknya memakai mobilku?” Irama keterkejutan meluncur dari bibir Barry.
“Kau jangan menolak lupa, Barry Haryanto. Kejadiannya baru satu jam yang lalu ....” Rakhan melirik arlojinya,
Erlangga mengangguk-angguk. “Bisa jadi. Kita bicarakan masalah ini bersama Ayah. Aku tunggu kau di bawah.”“Oke. aku akan segera turun.”Rakhan benar-benar bekerja keras untuk menemukan Mentari. Selain menunggu kabar dari Anton, sejak pagi Rakhan dan Erlangga berkeliling kota berusaha menemukan mobil dengan ciri-ciri yang disebutkan Sam. Namun, mereka belum menemukan mobil tersebut sampai hari menjelang gelap. Diselimuti rasa marah, kecewa, dan juga cemas yang luar biasa, ide untuk mendatangi rumah Barry sekali lagi sempat terlintas di kepala Rakhan.Teeeet! Rakhan membunyikan klakson panjang ketika tiba-tiba mobil yang dikendarainya hampir menabrak pejalan kaki yang sedang berjalan di atas
“Kau boleh mengatakan apa saja tentangnya, Arya. Aku tetap berpikir dia lebih baik darimu meskipun dia tidak menjadikanku satu-satunya wanita dalam hidupnya.” Mentari menunjukkan reaksi yang bertolak belakang dari harapan Arya.Bisikan amarah mulai menggoda Arya untuk mempertegas tekadnya. Arya melayangkan tatapan tajamnya pada Mentari. “Dasar bodoh!”“Aku memang bodoh memilihnya, tapi aku akan menjadi lebih bodoh jika mau terus bersamamu,” bantah Mentari, “kau orang paling munafik yang pernah kukenal, Arya. Kau menerima tawaran papaku, tapi kau juga tidak menolak kuajak lari. Kau hanya menjadikanku alat untuk meraup keuntungan.”“Itu tidak benar, Tari.”“Tidak benar?” Mentari tersenyum mencemooh sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dua milyar bukan uang yang sedikit. Kau menerima uang itu dari papaku dengan tangan terbuka. Kau memanfaatku.”“Aku mencintaimu, Tari. Aku melakukannya agar kita punya bekal saat kita kabur.”“Aku tidak melihatnya begitu. Kenyataannya, sekarang kau telah m
“Oke.” Rakhan mengangguk. Ia lalu menatap Arya lagi dengan mata sedikit menyipit dan alis yang berkerut. “Yang pertama, kau akan dikenai pasal pemalsuan plat kendaraan bermotor. Kedua, pasal penculikan yang disertai kekerasan. Ketiga, pasal penggelapan. Keempat, pasal perbuatan tidak menyenangkan. Kau siap dengan tuntutan pasal berlapis itu?”Arya tersenyum mencemooh. “Kenapa aku harus tidak siap?”Sekarang giliran Rakhan yang melempar senyuman. “Aku senang kau siap dengan semua itu. Papaku dan orang-orangnya di rutan pasti senang kedatangan tamu istimewa sepertimu.”Wajah Arya mendadak muram. Ia terlalu bersemangat mengatakan siap, tetapi ia lupa ia akan berhadapan dengan siapa seandainya ia tidak merelakan egonya. Di dalam penjara sana, Lucian bagai si raja hutan yang punya kawanan. Sedangkan dirinya, hanya sendirian. Arya belum siap mati sia-sia di dalam sana. Ia tahu reputasi Lucian. Lucian hanya sedikit mengalah karena Mentari. Kini, Lucian tidak punya alasan lagi untuk tidak men
Mentari menutup album foto kenangan bersampul cokelat yang sudah tampak usang. Duduk di hadapannya, Lucian tengah sibuk bercengkerama dengan laptop. Entah apa yang sedang dikerjakan pria baya itu, tapi Lucian terlihat sangat serius. Tidak berniat mengganggu, tetapi rasa penasaran yang menggerogoti dirinya membuatnya melontarkan tanya.“Bagaimana Papa bisa mengenal Papa Barry dan Ayah Handoko?”Gerakan jari-jari Lucian yang menekan tombol-tombol keyboard berhenti seketika. Ia mengembus napas dan sesaat kemudian menutup layar laptopnya. Lucian memandangi Mentari selama beberapa detik.“Cerita itu kelam dan gelap. Kau tidak harus mengetahui semua cerita masa lalu, Tari. Cukup kau tahu kalau papa kandungm
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti