Obrolan Mentari dan Sri di udara berakhir setelah mereka saling mengucapkan selamat malam dan sampai jumpa. Namun, Mentari merasakan otaknya kembali bekerja keras karena dipaksa memikirkan inti obrolannya dengan Sri. Semua informasi yang diberikan Sri tadi terus mengiang di telinga dan menuntut jawaban. Selama beberapa puluh menit Mentari hanya bisa berdiam diri dengan isi kepala yang bercampur aduk. Mentari benar-benar memerlukan udara segar untuk sekadar melepas beban pikiran. Otaknya bisa pecah dan hancur berantakan apabila terus menerus mengelola informasi yang belum jelas penyelesaiannya itu. Akhirnya, Mentari memutuskan turun dari tempat tidur dan menghirup udara malam di balkon.“Tari!” Panggilan Rakhan sesaat kemudian mengejutkan Mentari. Mentari menoleh ke belakang. Ia melihat Rakhan berjalan ke arahnya. Rona panik dan khawatir tampak mewarnai wajah pria tersebut. Sementara itu, Mentari hanya terpaku di tempatnya berdiri. Dan ketika langkah Rakhan mulai menyusutkan jarak di
Di sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari laboratorium, Rakhan dan Drew duduk berhadapan.Uap tipis mengepul dari permukaan hitam pekat di setiap cangkir, menandakan betapa panas dan segarnya kopi tersebut. Namun, tidak ada yang berniat menyentuhnya. Rakhan memandang ke luar jendela, sementara Drew menatap Rakhan dengan perhatian yang mendalam."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Drew, mencoba membuka percakapan. Ia tahu bahwa Rakhan sedang bergulat dengan perasaannya sendiri.Rakhan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Jujur, Drew, aku tidak tahu. Aku merasa ... cemas, bingung, dan entah bagaimana, takut. Takut kalau semuanya akan berubah setelah hasil tes ini keluar."Drew mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku bisa mengerti, Rakhan. Tapi, apa yang sebenarnya kau takutkan? Bukankah ini semua demi mengetahui kebenaran?"Rakhan mengangguk pelan, tetapi sorot matanya tetap kosong. "Ya, aku tahu. Tapi... kalau ternyata aku benar-benar anak Lucian, aku akan merasa
Selama Mentari pingsan, Rakhan tidak pernah meninggalkannya. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Mentari dengan erat, dan memperhatikan setiap napas yang diambil oleh istrinya itu. Wajah Rakhan penuh dengan kekhawatiran dan ketegangan, tapi ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang agar tidak menambah kecemasan yang sudah ada.Waktu terasa melambat. Rakhan menyadari bahwa ini adalah momen yang penting, tidak hanya karena kehamilan yang baru terungkap, tetapi juga karena saat-saat ketika ia harus menunjukkan dukungan dan kepeduliannya pada Mentari, terlepas dari segala ketidaksepakatan di antara mereka.Pada awalnya, Rakhan tidak tahu berapa lama Mentari akan tetap tidak sadar. Setiap kali ia mendengar suara napas atau perubahan kecil dalam ekspresi wajah Mentari, hatinya terasa seperti melonjak ke tengah-tengah keprihatinan. Ia bahkan lupa untuk makan dan tidur, fokus sepenuhnya pada Mentari.Ketika akhirnya Mentari mulai menunjukkan tanda-tanda bangun dari pingsann
Setelah beberapa saat, Handoko memberi isyarat kepada Rakhan untuk mengikutinya keluar dari kamar. "Mari kita bicara di ruang kerja Ayah. Ada sesuatu yang penting yang harus kau ketahui."Rakhan mengangguk dan mengikuti ayahnya ke ruang kerja yang berada di ujung koridor. Setelah pintu ditutup, Handoko duduk di kursinya dan menatap Rakhan dengan serius."Ada apa, Yah?" tanya Rakhan, merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap ayahnya.Handoko menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ini tentang Arya, mantan kekasih Mentari."Rakhan mengernyit, menduga-duga arah pembicaraan Handoko. Jangan-jangan ayahnya tahu sesuatu tentang Arya yang ia juga sudah ketahui, pikir Rakhan. "Ada apa dengan Arya dan dari mana Ayah tahu bahwa Arya kekasih Mentari?”
Rakhan baru saja tiba di ruang kerjanya saat ponselnya berdering. Dadanya berdebar kencang melihat nama penelepon, Laboratorium RS.“Bagaimana hasilnya?” Rakhan bertanya dengan perasaan waswas yang melingkupi dirinya. Sesaat kemudian setelah mendapatkan penjelasan dari petugas laboratorium, Rakhan menutup panggilan telepon tersebut. Ia kemudian membuka pesan yang berisi file hasil tes DNA-nya. Hasilnya jelas: ia adalah anak kandung Lucian Sagara.Emosi Rakhan bercampur aduk antara marah, terkejut, kebingungan, dan rasa penasaran. Mengapa Lucian, ayah kandungnya, tega meminta Handoko dan istrinya untuk mengadopsinya saat dia masih berusia dua tahun? Pertanyaan itu terus menggelayut di pikirannya.Setelah beberapa saat merenung, Rakhan memutuskan untuk mencari jawaban. Rakhan segera meninggalkan kant
Di tengah keriuhan menjelang prosesi wisuda, ketika calon wisudawan dan wisudawati lainnya disibukkan dengan tawa dan kegembiraan, Mentari hanya bisa menelan kecemasannya yang semakin mencekik. Pemberitahuan Sri tentang rencana Edo tempo hari masih menyisakan kegamangan yang sulit diusir. Konsentrasinya pecah, meskipun ia berusaha keras untuk tetap fokus pada hari besarnya.Dengan mengenakan kebaya modern berwarna hijau yang tersembunyi di balik toganya, Mentari berjalan memasuki gedung prosesi dengan didampingi oleh Rakhan dan Lucian. Kehadiran Lucian, dengan setelan jas abu-abu yang selalu rapi, menarik perhatian beberapa wartawan. Namun, tidak ada yang lebih menarik daripada pasangan Mentari dan Rakhan. Rakhan, dengan setelan kemeja putih berlapis jas hitam, tampak serasi dengan Mentari. Beberapa wartawan mendekati mereka, mengambil foto dan melontarkan pertanyaan yang seolah tak ada habisnya. Lucian, begitu tiba di dalam, langsung duduk di kursi tamu yang telah disediakan. Sedangk
Hingga senja tiba, barulah Handoko melepas kepergian Lucian. Dari jendela kamarnya di lantai dua, Rakhan menyaksikan pemandangan yang mengusik hatinya. Ayahnya, seorang pengusaha besar yang menguasai tujuh puluh persen dunia bisnis di negeri ini, terlihat begitu patuh dan bersahabat saat mengantar Lucian ke mobilnya. Rakhan tahu betul, utang budi bisa mengalahkan segalanya.Rakhan kembali duduk di kursi santai di samping jendela, mencoba meredakan guncangan yang menerpa hatinya. Namun, rasa sakit yang menyusup ke dalam dadanya tak kunjung mereda. Ia menyumpahi dirinya sendiri karena perasaan itu, perasaan yang tak pernah ia duga datang dari seorang wanita yang sebelumnya tak pernah ia inginkan menjadi istrinya.Tiba-tiba, derit pintu yang terbuka membuat punggung Rakhan menegang. Iris gelapnya segera tertuju pada Mentari yang masuk dengan langkah tergesa-gesa. Penampilan Mentari yang begitu pucat dan tatapannya yang layu seakan membidik jantung Rakhan dengan denyut sakit yang lebih da
Wajah Barry tampak berseri-seri, kilatan matanya berbinar terang menyambut kedatangan Mentari. Ada perasaan aneh menyelinap di dada Mentari, menimbulkan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Apakah Barry sedang berakting baik kepadanya?“Mentari, selamat datang di rumah Om. Silakan masuk,” kata Barry dengan antusias.Keterkejutan masih menyelimuti Mentari sampai Barry mempersilakannya masuk untuk yang kedua kalinya. “Silakan masuk, Mentari.”“I-iya, Om,” jawab Mentari gugup, kemudian melangkah masuk.“Kau bersama siapa, Mentari?” tanya Barry, menyadari kehadiran orang lain di belakang Mentari.Mentari menghentikan langkahnya, diikuti oleh Barry dan Sri. “Kenalkan, Om. Ini teman Tari, namanya Sri.”Sri mengangguk penuh hormat, bibirnya mengulas senyum simpul.“Oh, baiklah. Nama yang bagus,” ujar Barry, kemudian menunjuk ke arah sofa tamu berwarna cokelat di ruangan lain. “Kita duduk di sana.”Mentari dan Sri duduk bersebelahan di sofa, sementara Barry mengambil tempat di seb