Hingga senja tiba, barulah Handoko melepas kepergian Lucian. Dari jendela kamarnya di lantai dua, Rakhan menyaksikan pemandangan yang mengusik hatinya. Ayahnya, seorang pengusaha besar yang menguasai tujuh puluh persen dunia bisnis di negeri ini, terlihat begitu patuh dan bersahabat saat mengantar Lucian ke mobilnya. Rakhan tahu betul, utang budi bisa mengalahkan segalanya.Rakhan kembali duduk di kursi santai di samping jendela, mencoba meredakan guncangan yang menerpa hatinya. Namun, rasa sakit yang menyusup ke dalam dadanya tak kunjung mereda. Ia menyumpahi dirinya sendiri karena perasaan itu, perasaan yang tak pernah ia duga datang dari seorang wanita yang sebelumnya tak pernah ia inginkan menjadi istrinya.Tiba-tiba, derit pintu yang terbuka membuat punggung Rakhan menegang. Iris gelapnya segera tertuju pada Mentari yang masuk dengan langkah tergesa-gesa. Penampilan Mentari yang begitu pucat dan tatapannya yang layu seakan membidik jantung Rakhan dengan denyut sakit yang lebih da
Wajah Barry tampak berseri-seri, kilatan matanya berbinar terang menyambut kedatangan Mentari. Ada perasaan aneh menyelinap di dada Mentari, menimbulkan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Apakah Barry sedang berakting baik kepadanya?“Mentari, selamat datang di rumah Om. Silakan masuk,” kata Barry dengan antusias.Keterkejutan masih menyelimuti Mentari sampai Barry mempersilakannya masuk untuk yang kedua kalinya. “Silakan masuk, Mentari.”“I-iya, Om,” jawab Mentari gugup, kemudian melangkah masuk.“Kau bersama siapa, Mentari?” tanya Barry, menyadari kehadiran orang lain di belakang Mentari.Mentari menghentikan langkahnya, diikuti oleh Barry dan Sri. “Kenalkan, Om. Ini teman Tari, namanya Sri.”Sri mengangguk penuh hormat, bibirnya mengulas senyum simpul.“Oh, baiklah. Nama yang bagus,” ujar Barry, kemudian menunjuk ke arah sofa tamu berwarna cokelat di ruangan lain. “Kita duduk di sana.”Mentari dan Sri duduk bersebelahan di sofa, sementara Barry mengambil tempat di seb
Tiba-tiba, semua kata menguap dari benak Arya. Bibirnya terbuka sejenak, namun ia hanya bisa memalingkan wajah, mengumpulkan keberanian sebelum kembali menatap Mentari. Keinginan untuk menyalahkan wanita itu begitu kuat, namun cinta yang dalam untuk Mentari berhasil menepis segala amarah yang meluap-luap dalam hatinya.“Maafkan aku...” Mentari mengucapkan kata-kata itu dengan suara lirih, penuh penyesalan. Beban kepedihan terasa semakin berat, membuatnya harus berjuang keras agar tidak roboh di hadapan Arya.Mata Arya yang gelap kini berkabut, mencerminkan perasaan yang terselubung dalam hati. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh, merembes keluar dari sudut matanya. Dalam hatinya, ia tahu, cinta pada putri Lucian Sagara adalah sesuatu yang berisiko besar. Namun, keputusan telah diambil, dan nasi sudah menjadi bubur. Arya berani mencintai Mentari, mak
“Rakhan, lepaskan tanganmu!” Mentari mengerang kesakitan. “Rakhan, tanganku sakit.”“Hatiku jauh lebih sakit!” tandas Rakhan, “kau sudah mengobrak-abrik harga diriku. Mau apa kau menemui Arya?”“Mau apa?!” Mentari menyergah dengan nada tinggi, sama marahnya dengan Rakhan. “Kau tanya mau apa aku bertemu Arya?! Rakhan, kau ini tolol atau pura-pura tolol? Kau tahu selama ini aku mencari Arya dan kau pun ikut membantuku. Sudah jelas kalau aku sangat mengharapkannya untuk kembali. Aku hanya ingin menebus semua rasa bersalahku kepadanya. Aku yang menyebabkab Arya—““Menebus rasa bersalahmu dengan menemuinya. Sekadar menemuinya atau kau masih mengharapkan ada yang lain selain bertemu?” Ketidakrelaan sekaligus curiga mendasari semua uc
“Menyiksa dirimu sendiri seperti itu tidak akan membuat kondisi tubuhmu lebih baik.” Kata-kata bernada ketus sekali lagi keluar dari mulut Rakhan sesaat kemudian. Padahal, Rakhan ingin sekali mengatakan sesuatu yang manis untuk mengimplementasikan suara hatinya. Sangat disayangkan, reaksi Mentari yang dingin tidak mendukung niatnya.“Kau tidak perlu menasihatiku. Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku,” tepis Mentari dengan sinis.Rakhan menatapnya dan Mentari melihat rahang pria itu mengetat sebelum ia berkata, “Kau hanya tahu bagaimana caranya untuk lolos dari pernikahan ini dan itu yang terbaik menurutmu.”Lagi dan lagi Rakhan melontarkan tuduhan tidak berdasar karena menurut Mentari, Rakhanlah yang sedang mencari cara untuk segera lolos dari jerat tali pernikahan. Mentar
“Apakah Tari tidak penting untuk Papa sampai Papa harus selalu menanyakan Rakhan?”“Tari.” Lucian mengembus napas. Pandangannya menelaah kesedihan di wajah Mentari selama beberapa saat. “Kau putri Papa satu-satunya. Kau yang terpenting, tapi kini kau sudah bersuami. Suamimu juga menjadi bagian dari yang terpenting itu sekarang.”“Dia tidak penting. Sangat tidak penting,” tepis Mentari dengan mata berkaca-kaca.“Apa kau baik-baik saja?” Lucian mulai menyelidik.Mentari menarik punggungnya dari sandaran sofa. Ia lalu memandang Lucian. “Apa Tari terlihat baik-baik saja, Pa?”“Ada apa?”“Rakhan dan aku akan bercerai, Pa.”Lucian meng
“Mentari, ada apa?” Sekarang giliran Barry yang bertanya untuk kedua kalinya dari seberang tempat duduk Mentari dan Arya.“Aku akan bercerai dengan Rakhan,” Mentari menutup mulut dengan tangan. Gerakan pundaknya naik turun dengan cepat diguncang rasa sakit hati yang sangat hebat. “Bukankah itu bagus? Kau bisa lepas dari segala yang berhubungan dengan Lucian.” Barry mencetuskan opininya yang tidak ia sadari telah membentuk pertanyaan di benak Mentari. “Akhirnya dia menyerah,” celetuk Arya. Mentari tertegun. Ia masih belum mengerti apa yang dikatakan Arya dan Barry, tapi kedua pria itu mengatakan sesuatu yang merangsang kuriositasnya. “Menyerah? Menyerah bagaimana? A-aku tidak mengerti.” Mentari mengungkap keingintahuannya dengan nada sedikit gugup. Arya menatap dalam ke mata Mentari, berusaha menembus pemikiran wanita itu dengan untaian perasaan yang bergejolak di hatinya. “Kau pikir mungkin aku pria idiot jika ingin menggantikan posisi Rakhan setelah kalian bercerai. Namun, aku m
“Lancang sekali kau?” Darah yang menanjak cepat ke kepala Barry memunculkan semburat merah di wajah pria itu. Tidak hanya wajahnya, bola matanya yang melebar pun tampak bersemu merah. Rahangnya yang terlihat kaku menjelaskan emosi yang sedang meledak-ledak.“Jangan mengusikku dan keluargaku kalau Anda tidak mau diusik. Paham?” Rakhan menegaskan dengan nada arogan. Tatapannya pun sama besar dengan nada bicaranya.Mentari butuh memahami apa yang dibicarakan para pria di kamar itu. Seluruh ucapan mereka saling berkaitan, tapi tidak satu pun bisa dimengerti Mentari kecuali kebohongan Rakhan akan pertemuannya dengan Arya.“Ada apa ini? Kenapa kalian semua membicarakan aku?” Mentari berpaling dari Barry, lalu ke Arya, dan kembali lagi ke Arya. Wajahnya yang hanya selevel dengan dada Rakhan membuatnya sedikit mendongak. “Rakhan, ada apa ini?”Tatapan tajam Rakhan terlempar pada Barry seakan sedang berkata, “Aku bisa saja mengatakan semuanya pada Mentari, tapi tidak sekarang.”“Rakhan, aku ti