Selama Mentari pingsan, Rakhan tidak pernah meninggalkannya. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Mentari dengan erat, dan memperhatikan setiap napas yang diambil oleh istrinya itu. Wajah Rakhan penuh dengan kekhawatiran dan ketegangan, tapi ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang agar tidak menambah kecemasan yang sudah ada.Waktu terasa melambat. Rakhan menyadari bahwa ini adalah momen yang penting, tidak hanya karena kehamilan yang baru terungkap, tetapi juga karena saat-saat ketika ia harus menunjukkan dukungan dan kepeduliannya pada Mentari, terlepas dari segala ketidaksepakatan di antara mereka.Pada awalnya, Rakhan tidak tahu berapa lama Mentari akan tetap tidak sadar. Setiap kali ia mendengar suara napas atau perubahan kecil dalam ekspresi wajah Mentari, hatinya terasa seperti melonjak ke tengah-tengah keprihatinan. Ia bahkan lupa untuk makan dan tidur, fokus sepenuhnya pada Mentari.Ketika akhirnya Mentari mulai menunjukkan tanda-tanda bangun dari pingsann
Setelah beberapa saat, Handoko memberi isyarat kepada Rakhan untuk mengikutinya keluar dari kamar. "Mari kita bicara di ruang kerja Ayah. Ada sesuatu yang penting yang harus kau ketahui."Rakhan mengangguk dan mengikuti ayahnya ke ruang kerja yang berada di ujung koridor. Setelah pintu ditutup, Handoko duduk di kursinya dan menatap Rakhan dengan serius."Ada apa, Yah?" tanya Rakhan, merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap ayahnya.Handoko menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ini tentang Arya, mantan kekasih Mentari."Rakhan mengernyit, menduga-duga arah pembicaraan Handoko. Jangan-jangan ayahnya tahu sesuatu tentang Arya yang ia juga sudah ketahui, pikir Rakhan. "Ada apa dengan Arya dan dari mana Ayah tahu bahwa Arya kekasih Mentari?”
Rakhan baru saja tiba di ruang kerjanya saat ponselnya berdering. Dadanya berdebar kencang melihat nama penelepon, Laboratorium RS.“Bagaimana hasilnya?” Rakhan bertanya dengan perasaan waswas yang melingkupi dirinya. Sesaat kemudian setelah mendapatkan penjelasan dari petugas laboratorium, Rakhan menutup panggilan telepon tersebut. Ia kemudian membuka pesan yang berisi file hasil tes DNA-nya. Hasilnya jelas: ia adalah anak kandung Lucian Sagara.Emosi Rakhan bercampur aduk antara marah, terkejut, kebingungan, dan rasa penasaran. Mengapa Lucian, ayah kandungnya, tega meminta Handoko dan istrinya untuk mengadopsinya saat dia masih berusia dua tahun? Pertanyaan itu terus menggelayut di pikirannya.Setelah beberapa saat merenung, Rakhan memutuskan untuk mencari jawaban. Rakhan segera meninggalkan kant
Di tengah keriuhan menjelang prosesi wisuda, ketika calon wisudawan dan wisudawati lainnya disibukkan dengan tawa dan kegembiraan, Mentari hanya bisa menelan kecemasannya yang semakin mencekik. Pemberitahuan Sri tentang rencana Edo tempo hari masih menyisakan kegamangan yang sulit diusir. Konsentrasinya pecah, meskipun ia berusaha keras untuk tetap fokus pada hari besarnya.Dengan mengenakan kebaya modern berwarna hijau yang tersembunyi di balik toganya, Mentari berjalan memasuki gedung prosesi dengan didampingi oleh Rakhan dan Lucian. Kehadiran Lucian, dengan setelan jas abu-abu yang selalu rapi, menarik perhatian beberapa wartawan. Namun, tidak ada yang lebih menarik daripada pasangan Mentari dan Rakhan. Rakhan, dengan setelan kemeja putih berlapis jas hitam, tampak serasi dengan Mentari. Beberapa wartawan mendekati mereka, mengambil foto dan melontarkan pertanyaan yang seolah tak ada habisnya. Lucian, begitu tiba di dalam, langsung duduk di kursi tamu yang telah disediakan. Sedangk
Hingga senja tiba, barulah Handoko melepas kepergian Lucian. Dari jendela kamarnya di lantai dua, Rakhan menyaksikan pemandangan yang mengusik hatinya. Ayahnya, seorang pengusaha besar yang menguasai tujuh puluh persen dunia bisnis di negeri ini, terlihat begitu patuh dan bersahabat saat mengantar Lucian ke mobilnya. Rakhan tahu betul, utang budi bisa mengalahkan segalanya.Rakhan kembali duduk di kursi santai di samping jendela, mencoba meredakan guncangan yang menerpa hatinya. Namun, rasa sakit yang menyusup ke dalam dadanya tak kunjung mereda. Ia menyumpahi dirinya sendiri karena perasaan itu, perasaan yang tak pernah ia duga datang dari seorang wanita yang sebelumnya tak pernah ia inginkan menjadi istrinya.Tiba-tiba, derit pintu yang terbuka membuat punggung Rakhan menegang. Iris gelapnya segera tertuju pada Mentari yang masuk dengan langkah tergesa-gesa. Penampilan Mentari yang begitu pucat dan tatapannya yang layu seakan membidik jantung Rakhan dengan denyut sakit yang lebih da
Wajah Barry tampak berseri-seri, kilatan matanya berbinar terang menyambut kedatangan Mentari. Ada perasaan aneh menyelinap di dada Mentari, menimbulkan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Apakah Barry sedang berakting baik kepadanya?“Mentari, selamat datang di rumah Om. Silakan masuk,” kata Barry dengan antusias.Keterkejutan masih menyelimuti Mentari sampai Barry mempersilakannya masuk untuk yang kedua kalinya. “Silakan masuk, Mentari.”“I-iya, Om,” jawab Mentari gugup, kemudian melangkah masuk.“Kau bersama siapa, Mentari?” tanya Barry, menyadari kehadiran orang lain di belakang Mentari.Mentari menghentikan langkahnya, diikuti oleh Barry dan Sri. “Kenalkan, Om. Ini teman Tari, namanya Sri.”Sri mengangguk penuh hormat, bibirnya mengulas senyum simpul.“Oh, baiklah. Nama yang bagus,” ujar Barry, kemudian menunjuk ke arah sofa tamu berwarna cokelat di ruangan lain. “Kita duduk di sana.”Mentari dan Sri duduk bersebelahan di sofa, sementara Barry mengambil tempat di seb
Tiba-tiba, semua kata menguap dari benak Arya. Bibirnya terbuka sejenak, namun ia hanya bisa memalingkan wajah, mengumpulkan keberanian sebelum kembali menatap Mentari. Keinginan untuk menyalahkan wanita itu begitu kuat, namun cinta yang dalam untuk Mentari berhasil menepis segala amarah yang meluap-luap dalam hatinya.“Maafkan aku...” Mentari mengucapkan kata-kata itu dengan suara lirih, penuh penyesalan. Beban kepedihan terasa semakin berat, membuatnya harus berjuang keras agar tidak roboh di hadapan Arya.Mata Arya yang gelap kini berkabut, mencerminkan perasaan yang terselubung dalam hati. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh, merembes keluar dari sudut matanya. Dalam hatinya, ia tahu, cinta pada putri Lucian Sagara adalah sesuatu yang berisiko besar. Namun, keputusan telah diambil, dan nasi sudah menjadi bubur. Arya berani mencintai Mentari, mak
“Rakhan, lepaskan tanganmu!” Mentari mengerang kesakitan. “Rakhan, tanganku sakit.”“Hatiku jauh lebih sakit!” tandas Rakhan, “kau sudah mengobrak-abrik harga diriku. Mau apa kau menemui Arya?”“Mau apa?!” Mentari menyergah dengan nada tinggi, sama marahnya dengan Rakhan. “Kau tanya mau apa aku bertemu Arya?! Rakhan, kau ini tolol atau pura-pura tolol? Kau tahu selama ini aku mencari Arya dan kau pun ikut membantuku. Sudah jelas kalau aku sangat mengharapkannya untuk kembali. Aku hanya ingin menebus semua rasa bersalahku kepadanya. Aku yang menyebabkab Arya—““Menebus rasa bersalahmu dengan menemuinya. Sekadar menemuinya atau kau masih mengharapkan ada yang lain selain bertemu?” Ketidakrelaan sekaligus curiga mendasari semua uc