"Terimalah ini, anggap saja sebagai penebus rasa bersalah Bapak padamu." Ucapan Bapak terngiang-ngiang di kepalaku. Anam dan Riri, sepasang suami istri yang hidupnya sangat sederhana sekali atau bisa dibilang miskin, hinaan, dan cacian sudah terbiasa mereka dapatkan dari para tetangga dan saudara nya. Akan tetapi, biarpun demikian tak membuat keduanya patah semangat dalam menjalani hidup, hingga suatu hari mereka mendapatkan sebuah rezeki yang teramat besar hingga menjadikan mereka seorang jutawan, lantas apakah setelah mereka menjadi jutawan, hinaan dan cacian yang kerap mereka terima akan lenyap?
View MoreKETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN
Bab 1"Bu Ida tolong beli telornya dua biji, sama tepung terigu seperempat saja," ucapku saat berbelanja di warungnya."Beli apa ngutang nih!" sentak Bu Ida dengan ketus padaku."Emm, ngutang, Bu," ucapku sembari menggigit bibirku untuk menguatkan diri. Bukannya aku tak tahu jika aku berhutang pada Bu Ida akan mendapatkan lontaran teramat pedas dari mulutnya yang tajam, tapi aku tak bisa berbuat apa pun karena cuma warung Bu Ida yang bisa dihutangi."Orang kok hobi bener ngutang, hutang lima puluh ribu yang dibayar baru lima ribu. Eh, udah ambil hutang lagi, kalau bukan karena dulu Ibu kamu pernah menolong aku, gak sudi aku ngutangin kamu, Ri!" sentak bu Ida ketus padaku."Maaf, Bu, saya belum gajian, dan lagi, Mas Anam belum kirim uang, nanti kalau sudah gajian atau Mas Amar kirim uang saya lunasi, Bu. ""Alah, kayak uang yang dikirim suamimu cukup aja, Ri,m. Sejauh ini juga uang kiriman suamimu itu tidak mencukupi kan? Jngankan untuk membayar hutang, lha untuk makanmu sama anakmu saja gak cukup. Makanya kamu kerja jadi babu di rumah orang, " cebik Bu Ida sembari memberikan barang belanjaanku. Hati ini sudah kebal dengan ucapan yang Bu Ida lontarkan. Sudah teramat sering Bu Ida maupun orang-orang di sini menghinaku dan juga suamiku, hanya karena kami ini orang miskin."Terimakasih, Bu, secepatnya aku akan melunasi hutangku, permisi. ""Eh tunggu, Ri." Tiba-tiba saja ucapan Mas Haris tetanggaku menghentikan langkahku."Ada apa, Mas? ""Tunggu bentar ya. ""Bu Ida, berapa total belanjaan Riri dan hutangnya?""Total semuanya enam puluh ribu, kenapa?""Ini, Bu, untuk bayar belanjaan Riri dan hutangnya. ""Ini beneran?" sahut Bu Ida."Iya, Bu, beneran. ""Yaudah, saya terima ya," ucap Bu Ida sembari memasukkan uang itu ke sakunya."Maaf, Mas, tapi gak usah, aku gak mau punya hutang budi.""Ah enggak kok, Ri, ini kebetulan sekalian aku juga mau belanja, jadi sekalian bayar aja. ""Tapi, Mas, nanti Mbak Fitri salah paham. ""Ck, udah kamu gak usah pikirin si Fitri, itu urusanku. Yaudah sana pulang, anakmu pasti udah nungguin.""Yaudah kalau gitu aku pamit dulu ya, permisi."Namaku Riri Novianti, aku sudah menikah dengan seorang pria bermama Yazid Khairul Anam dan aku memanggilnya Mas Anam. Pernikahan kami sudah memasuki tahun ke lima dan kami juga sudah dikaruniai seorang putri berumur empat tahun bernama zahra putri.Saat ini Mas Anam tengah pergi merantau ke kota, dan setiap bulannya ia akan mengirimiku uang sebesar 500 ribu rupiah saja. Memang terbilang sangat pas-pasan, tapi apa mau dikata. Hanya itu yang Mas Anam mampu berikan padaku, dan aku ikhlas menerimanya dengan rasa syukur.Selain Mas Anam yang bekerja, aku juga ikut membantu perekonomian dengan menjadi pembantu di rumah orang kaya di kampungku. Dari pagi hingga siang saja, asalkan pekerjaanku sudah selesai maka aku diperbolehkan pulang. Yah, meskipun upahnya tidak terlalu besar, yakni hanya 500 ribu rupiah saja tiap bulannya, tapi insyaallah cukup untuk aku dan anakku bertahan hidup."Yeaay, Ibu pulang, Ibu Pulang. Bu, kita jadi makan sama telor kan, Bu? " celoteh anakku Zahra sudah menyambutku saat kaki ini sampai di teras rumah."Jadi dong, Sayang, ini telornya udah Ibu beli, yaudah yuk kita masuk, Ibu mau masak dulu. ""Yeay, asik, kita makan enak hari ini, gak selalu makan daun singkong ya, Bu." Ucapan anakku tentu saja membuat hati ini teramat perih.Telur memanglah makanan mewah bagi kami, sebulan sekali pun belum tentu aku dan Zahra makan dengan lauk telur. Uang yang dikirimkan Mas Anam akan habis untuk bayar cicilan rumah yang kutempati. Yah, karena rumah ini masih menyicil sebesar 650 ribu rupiah setiap bulannya, dan masih belum lunas. Kami bisa membeli rumah ini secara kredit pun pada saat Mas Anam masih bekerja sebagai karyawan pabrik dulu. Setelah Mas Anam terdampak phk besar-besaran karena pabrik tempatnya bekerja gulung tikar. Kini Mas Anam harus bekerja sebagai kuli panggul pasar di jakarta sana."Zahra, ayo kita makan, Nak, ini nasi dan telurnya sudah matang," ucapku memanggil anakku yang sedang menonton televisi yang kami beli sewaktu Mas Anam masih bekerja dulu."Iya Bu, " jawab Zahra kemudian menyambangiku. Lantas kami berdua pun menikmati makan siang dengan nikmat. Jika biasanya habis dzuhur aku baru pulang bekerja dan baru akan merapihkan rumah dan memasak, tapi karena hari ini aku sedang libur maka jam segini aku sudah merapihkan rumah dan masak untuk Zahra."Emmm, nikmat banget, Bu, rasanya, coba kalau tiap hari bisa makan telur, pasti aku seneng, " ucap Zahra dengan mulut penuh nasi.Betapa hatiku teramat perih mendengar ucapan anak balitaku ini. Bagimana tidak? Jika anak seusianya diharuskan makan penuh gizi dan bisa jajan yang enak tapi tidak dengan Zahra. Di usianya yang sekecil itu sudah kupaksa untuk makan dengan lauk seadanya. Bahkan, tak jarang kami hanya makan dengan garam saja, jika memang aku sudah betul-betul tak memiliki uang lagi."Riri! Riri! Keluar kamu! Dasar wanita sundal! ""Sudahlah Kartika. Kita baru satu hari di sini. Bersabar saja dulu. Setelah nanti kita laksanakan rencana kita dan berhasil maka kita akan tendang mereka semua dari sini, lagian bukankah kamu tertarik sama Amar waktu papa kasih lihat ftonya padamu? Apa kamu gak mau menyingkirkan Aliyah dari kehidupan Amar?" ucap papa yang membutku sedikit terbellak. Rupanya ada bibit pelakor kecil dalam rumah tanggakuYah, meskipun aku sudah menduganya hanya saja aku tidak sangka jika keluargaku akan dihinggapi benalu seperti mereka. Bergegas kumatikan mode rekam di ponselku. Kurasa ini semua sudah cukup sedikit bukti. Nanti akan kucari tahu apa rencana mereka tentang ini.***"Assalamualaikum!"Suara Mas Amar terdengar dari balik pintu. Be
"Kau pikir kau siapa mau menyamakan posisimu dengan suami dan anak-anakku? Apa perlu kuingatkan lagi kalau posisimu dan Papamu itu di sini hanya menumpang? Jadi, sadarlah diri sedikit karena tidak selamanya seorang tuan rumah itu harus welcome pada tamunya," desisku sembari menatap tajam wajah Kartika yang memuakkan itu."Kalau aku tidak mau lalu kau mau apa?" tantang Tika yang juga membalas tatapan mataku tajam."Dengan senang hati aku akan mempersilahkanmu dan Papamu untuk angkat kaki dari rumahku ini," ucapku penuh penekanan. Perlu Kartika ketahui jika seorang Aliyah tidak pernah main-main dalam perkataannya."Memangnya ini rumahmu? Ini rumah Mas Amar, Mas Amar itu kakakku, jadi aku dan Papa juga berhak dong tinggal di sini."
"Ini sarapannya, Yah, kalian juga cepat dimakan sarapannya, ini sudah jam enam lebih lima belas menit sebentar lagi masuk sekolah nanti telat," ucapku pada mas Amar dan ketiga anakku yang masing-masing sudah duduk di kursi makan.Tiba-tiba saja papa dan Kartika datang. Tampak sekali kalau mereka baru bangun tidur. Hal itu bisa terlihat dari wajah papa dan Kartika yang terlihat kusut serta papa yang masih menggunakan piyama dan Kartika yang masih menggunakan daster sebatas lutut.Astaghfirullah … bukankah mas Amar kemarin suda mewanti-wanti Kartika untuk memakai baju lebih sopan jika ingin tinggal di sini? Tapi lihatlah penampilan dia saat ini, daster yang dikenakannya selain hanya sebatas di atas lutut juga tidak memiliki lengan dengan bentuk kerah yang rendah ke arah dada."Wah, udah pada sarapan aja, kok gak bangunin kita?" ucap papa membuka percakapan sembari sesekali ngelap iler di sudut bibi
"Apa kamu gak mau gitu memberikan dukungan moril sama aku?" ucapku sembari tersenyum penuh arti. Aliyah yang seolah mengerti maksudku pun turut tersenyum serta. Ah, sungguh indah ciptaanMU Tuhan. Beruntungnya aku memiliki istri sepertinya."Tadi 'kan sudah diberi dukungan moril.""Itu 'kan moril pada umumnya. Kalau yang aku maksud moril yang jalur khusus, ah masa Bunda gak paham maksud Ayah sih?""Hahaha, kamu ada-ada sih, Yah, udah kayak kendaraan saja ada jalur khususnya," ucap Aliyah sembari tergelak memperlihatkan lesung pipinya yang membuat tambah manis wajah istriku itu.Tiba-tiba saja ada yang berdesir dalam dada ini. Ah, aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada istriku sendiri. Akhirnya aku dan Aliyah pun memadu kasih dalam balutan hubungan halal ini.Pov AliyahAku mengusap keringat di dahi mas Amar, suamiku. Kami baru
"Oh iya, mulai besok baik itu di rumah maupun di kedai jangan lagi berpakaian seperti ini. Terutama di rumah ini, sakit mataku lihat kancing bajumu yang sedari tadi seperti tersiksa karena dipaksa menahan tubuhmu yang besar itu. Pakailah pakaian yang sopan, atau kalau tidak dengan senang hati aku akan memintamu angkat kaki dari rumah ini!" ucapku pada Kartika sembari berdiri berniat ingin meninggalkan ruang tamu yang terasa panas."Iya-iya, Mar, kamu tenang saja, Kartika setelah ini akan memakai baju tertutup kok," ucap Papa cepat."Baguslah kalau begitu, oh iya, Bun, tolong bilang sama Ibu dan Bapak, kita ke rumah mereka besok saja, ini sudah sore takut kemalaman di jalan," ucapku pada Aliyah sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarku.***"Yah, kamu kenapa?" tanya Aliyah sembari mengusap-usap dadaku yang kata orang bidang akibat dulu setiap hari selalu mendorong gerobak mie ayam
Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku."Huft ... "Kuhembuskan napasku demi menghilangkan sesak yang tiba-tiba menghantam dada."Mas, jangan begitu, biar gimana pun beliau orang tua kamu. Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku agar selalu menebar kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu?"Suara merdu Aliyah mampu menghipnotis pikiranku. Yah, aku lupa jika aku pernah menasehatinya seperti itu. Aku seperti seorang pecundang yang pandai menasehati tapi tidak pandai mengerjakan nasehat yang kubuat."Baiklah, mau berapa lama kalian numpang di sini?"&
Tak berselang lama Dokter dan perawat itu pun masuk kedalam kamar perawatan Lintang. "Gimana rasanya, Bu? Apakah sudah membaik?" tanya Dokter, sedangkan suster meletakkan buah dan pisaunya di nakas sebelah tempat tidur Lintang. "Dokter, bisa jelaskan kenapa kaki saya hilang?" Akhirnya dengan terpaksa dokter pun menceritakan bagaimana kaki lintang bisa diamputasi, air mata tak hentinya jatuh membasahi pipi Lintang. Lintang merasa semua nasib buruk yang menimpanya sungguh tidak adil. Kenapa, kenapa harus dia, bukan Riri saja yang mengalami semua ini, begitu pikir Lintang. Setelah dokter memberikan penjelasan dan berusaha menghibur Lintang, dokter itu pun pamit, karena masih ada pasien yang harus ditangani. "Yasudah Ibu Lintang, sini biar saya yang kupaskan apelnya," ucap perawat pada Lintang, tapi dengan tegas Lintang menolaknya. "Gak usah, Sus, biar saya saja, lebih baik suster keluar, karena saya mau sendiri sambil menikmati buah ini," ucap Lintang pada perawat, akhirnya perawat
"Alhamdulillah, aku kira Mas beneran sudah melakukan itu dengan Lintang.""Enggak Lah, Dek, Mungkin saja Tuhan memang masih menjaga Mas dari niatan jahat Lintang, karena Tuhan tahu hati Mas itu seperti apa.""Terimakasih, mas,""Untuk?""Untuk semuanya, untuk kesetiaanmu, tanggung jawabmu, juga perhatianmu, semoga keluarga kita selalu dalam lindunganNya," Anam dan Riri saling menggenggam erat tangan mereka. Hingga saat Dokter keluar dari ruangan dimana Lintang dirawat."Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Anam pada Dokter tersebut."Pasien dalam keadaan koma luka bakarnya cukup serius, yakni 60% seandainya pasien sadar, kami terpaksa memutuskan untuk mengamputasi kakinya, karena api yang membakar tubuh pasien telah mematikan saraf-saraf di kakinya hingga harus diamputasi, berdoa saja semoga pasien secepatnya diberikan kesadaran, dan kita segera lakukan oper
"Ya Allah Lintang, kenapa kamu jadi seperti ini sih," ucap Anam dengan wajah sendu."Sabar, Mas, aku juga gak tahu kenapa Lintang sampai segitu bencinya padaku, padahal selama ini aku selalu berusaha baik padanya," ucap Riri."Dek, maafkan Mas ya, Mas sudah gagal mendidik adik Mas.""Ini bukan salahmu, Mas, Lintang dan kamu itu beda rahim, sudah pasti beda watak, bahkan yang satu rahim saja bisa berbeda wataknya, apalagi yang berbeda, aku tak pernah menyalahkanmu, semoga dengan ini menjadikan Lintang sadar sepenuhnya.""Sebenarnya ada yang mau Mas beritahu padamu, kenapa Lintang bisa membencimu.""Kenapa memangnya, Mas?" ucap Riri mengernyitkan dahi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments