“Dari mana kau?” Pertanyaan bernada dingin terlontar dari bibir Rakhan ketika Mentari baru saja memasuki ruang keluarga. Pria itu tampak sedang duduk di sofa berbentuk setengah lingkaran sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. Tatapannya menjelajah wajah Mentari sampai ia menemukan sembap di mata wanita itu. “Apa kau menangisi dia lagi?” tanya Rakhan lagi dan tidak memberikan kesempatan pada Mentari untuk menjawab pertanyaan pertamanya.“Bukan urusanmu.” Mentari tidak memedulikan interogasi Rakhan. Wanita itu bergegas meninggalkan ruangan dan berjalan cepat menuju tangga.Pengabaian Mentari berhasil memancing rasa kesal Rakhan untuk menyeruak. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu mengejar Mentari dengan langkah yang cepat. Rakhan mencekal tangan Mentari sebelum ia menaiki anak tangga sekaligus menghentikan langkahnya. “Aku sedang bicara dengan kau, Tari.” Rakhan berbicara dengan suara yang sengaja ditekan dan terdengar sedikit berat.Nada bicara Rakhan yang memberi kesan mengintimid
“Apa?!” Mata Rakhan menyipit sementara air mukanya mendadak tampak mengeras. Dalam hitungan detik, keterkejutan sukses melenyapkan arogansi yang menjadi ciri khasnya. “Ayah tidak bercanda, ‘kan?”Handoko menggeleng. “Ayah tidak sedang bercanda, Rakhan. Mungkin sudah saatnya kau tahu bahwa sebenarnya Lucian Sagara adalah ayah kandungmu.”“Kenapa Ayah baru menceritakan semua ini padaku sekarang?”Handoko mengembus napas. Pundaknya melorot seiring rasa sesal yang mulai tergambar di wajahnya. Pria tua itu menatap Rakhan dengan seksama. “Ayah sudah mengkhianati Lucian dengan menceritakan semua ini kepada engkau, Nak. Namun, Ayah tidak tahan kau terus menghina ayah kandungmu sendiri.”“Mengkhianati bagaimana?” irama penuh kuriositas terlontar dari pertanyaan Rakhan. Raut wajah pria itu tampak tegang lantaran tidak sabar mendengar jawaban Handoko.“Lucian tidak ingin kau tahu bahwa dia adalah ayah kandungmu. Dia ingin kau hidup jauh dari dunianya agar kau tetap aman dan tidak terbebani denga
Rakhan bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan memo agar minumannya dan Drew dimasukkan ke dalam tagihannya sebagai member eksklusif Club bar tersebut. Di tengah langkahnya berjalan cepat ke pelataran parkir, Rakhan memberitahu Drew bahwa dirinya meninggalkan bar dan akan mencari Mentari melalui pesan singkat.“Sialan! Kenapa nggak diangkat sih HP-nya?” kesal Rakhan sembari melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir bar. Dari balik kemudi, Rakhan berusaha keras membagi konsentrasi terhadap keramaian jalan di gelap malam dan juga ponsel. Rakhan tidak berhenti berfokus pada salah satunya. Ia terus berusaha menghubungi ponsel Mentari dan juga si pengawal. Di saat yang sama kewaspadaannya akan padatnya lalu lintas pun terus ia lakukan. Sialnya, baik Mentari maupun si pengawal tetap tidak mengangkat panggilan telepon darinya. Perasaan Rakhan semakin kalut, bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada Mentari. Selain dari itu, hasrat ingin menjaga Mentari yang Rakhan ra
“Aku peduli kepadamu dan tidak bermaksud mengekang,” tukas Rakhan. Rasa bersalah mengalir deras di dalam dirinya. Ia sukses mengacau lagi. Dua kali dalam sehari ia telah memulai perang mulut dengan Mentari. “Aku capek,” keluh Mentari sembari menangis. Tubuh dan tangannya mulai gemetar menahan rasa pedih yang kembali menyelimuti.Melihat reaksi Mentari, Rakhan meraih mangkuk asinan buah dari tangan wanita itu, lalu meletakkannya di atas bangku kayu. Ia kemudian memeluk Mentari. “Aku tahu apa yang kau rasakan. Aku melakukan semua ini karena aku sungguh-sungguh peduli kepadamu. Aku tidak ingin kau mengalami hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi.”“Jika semua ini hanya alasanmu, tolong jangan bilang kau sungguh peduli. Selama ini tidak ada yang pernah benar-benar peduli dan sayang kepadaku, bahkan papaku pun tidak. Hanya Arya yang sungguh-sungguh peduli dan mencintaiku, tapi sekarang dia sudah pergi. Dia pergi, mungkin meninggal, dan akulah pembunuhnya.” Mentari terisak-isak dalam dek
Obrolan Mentari dan Sri di udara berakhir setelah mereka saling mengucapkan selamat malam dan sampai jumpa. Namun, Mentari merasakan otaknya kembali bekerja keras karena dipaksa memikirkan inti obrolannya dengan Sri. Semua informasi yang diberikan Sri tadi terus mengiang di telinga dan menuntut jawaban. Selama beberapa puluh menit Mentari hanya bisa berdiam diri dengan isi kepala yang bercampur aduk. Mentari benar-benar memerlukan udara segar untuk sekadar melepas beban pikiran. Otaknya bisa pecah dan hancur berantakan apabila terus menerus mengelola informasi yang belum jelas penyelesaiannya itu. Akhirnya, Mentari memutuskan turun dari tempat tidur dan menghirup udara malam di balkon.“Tari!” Panggilan Rakhan sesaat kemudian mengejutkan Mentari. Mentari menoleh ke belakang. Ia melihat Rakhan berjalan ke arahnya. Rona panik dan khawatir tampak mewarnai wajah pria tersebut. Sementara itu, Mentari hanya terpaku di tempatnya berdiri. Dan ketika langkah Rakhan mulai menyusutkan jarak di
Di sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari laboratorium, Rakhan dan Drew duduk berhadapan.Uap tipis mengepul dari permukaan hitam pekat di setiap cangkir, menandakan betapa panas dan segarnya kopi tersebut. Namun, tidak ada yang berniat menyentuhnya. Rakhan memandang ke luar jendela, sementara Drew menatap Rakhan dengan perhatian yang mendalam."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Drew, mencoba membuka percakapan. Ia tahu bahwa Rakhan sedang bergulat dengan perasaannya sendiri.Rakhan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Jujur, Drew, aku tidak tahu. Aku merasa ... cemas, bingung, dan entah bagaimana, takut. Takut kalau semuanya akan berubah setelah hasil tes ini keluar."Drew mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku bisa mengerti, Rakhan. Tapi, apa yang sebenarnya kau takutkan? Bukankah ini semua demi mengetahui kebenaran?"Rakhan mengangguk pelan, tetapi sorot matanya tetap kosong. "Ya, aku tahu. Tapi... kalau ternyata aku benar-benar anak Lucian, aku akan merasa
Selama Mentari pingsan, Rakhan tidak pernah meninggalkannya. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Mentari dengan erat, dan memperhatikan setiap napas yang diambil oleh istrinya itu. Wajah Rakhan penuh dengan kekhawatiran dan ketegangan, tapi ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang agar tidak menambah kecemasan yang sudah ada.Waktu terasa melambat. Rakhan menyadari bahwa ini adalah momen yang penting, tidak hanya karena kehamilan yang baru terungkap, tetapi juga karena saat-saat ketika ia harus menunjukkan dukungan dan kepeduliannya pada Mentari, terlepas dari segala ketidaksepakatan di antara mereka.Pada awalnya, Rakhan tidak tahu berapa lama Mentari akan tetap tidak sadar. Setiap kali ia mendengar suara napas atau perubahan kecil dalam ekspresi wajah Mentari, hatinya terasa seperti melonjak ke tengah-tengah keprihatinan. Ia bahkan lupa untuk makan dan tidur, fokus sepenuhnya pada Mentari.Ketika akhirnya Mentari mulai menunjukkan tanda-tanda bangun dari pingsann
Setelah beberapa saat, Handoko memberi isyarat kepada Rakhan untuk mengikutinya keluar dari kamar. "Mari kita bicara di ruang kerja Ayah. Ada sesuatu yang penting yang harus kau ketahui."Rakhan mengangguk dan mengikuti ayahnya ke ruang kerja yang berada di ujung koridor. Setelah pintu ditutup, Handoko duduk di kursinya dan menatap Rakhan dengan serius."Ada apa, Yah?" tanya Rakhan, merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap ayahnya.Handoko menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ini tentang Arya, mantan kekasih Mentari."Rakhan mengernyit, menduga-duga arah pembicaraan Handoko. Jangan-jangan ayahnya tahu sesuatu tentang Arya yang ia juga sudah ketahui, pikir Rakhan. "Ada apa dengan Arya dan dari mana Ayah tahu bahwa Arya kekasih Mentari?”