Bagi Mentari, sikap Rakhan malam itu tidak berbeda dengan sikap Rakhan di awal pernikahan mereka. Sempat lumer dan sedikit memberikan perhatian, ternyata semua itu hanya Rakhan lakukan untuk bisa mengetahui situasi dan memanfaatkan keluguannya. Semalaman kepala Mentari dipenuhi oleh prasangka dan keraguan. Meskipun akhirnya ia bisa tidur pulas, tetapi bayangan peristiwa manis bersama Rakhan yang dipahitkan tetap menggerogoti jiwanya.Terik matahari menyengat kota dan seluruh penduduknya di awal Agustus. Ucapan Lucian mengenai kekhawatiran Mentari akan laporan Edo kepada pihak polisi terbukti benar. Baik Mentari maupun Rakhan tidak satu pun dari mereka yang menerima surat panggilan dari pihak berwenang tersebut. Mentari tidak merasa senang, apalagi tenang. Ia merasa ada sesuatu yang sedang bergerak, merangkak, merancang sesuatu, dan bersembunyi dari pandangannya dan semua orang. Mentari hanya bisa menebak-nebak. Di sisi lain, Mentari harus rela kebebasannya terkekang lantaran setelah
“Dari mana kau?” Pertanyaan bernada dingin terlontar dari bibir Rakhan ketika Mentari baru saja memasuki ruang keluarga. Pria itu tampak sedang duduk di sofa berbentuk setengah lingkaran sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. Tatapannya menjelajah wajah Mentari sampai ia menemukan sembap di mata wanita itu. “Apa kau menangisi dia lagi?” tanya Rakhan lagi dan tidak memberikan kesempatan pada Mentari untuk menjawab pertanyaan pertamanya.“Bukan urusanmu.” Mentari tidak memedulikan interogasi Rakhan. Wanita itu bergegas meninggalkan ruangan dan berjalan cepat menuju tangga.Pengabaian Mentari berhasil memancing rasa kesal Rakhan untuk menyeruak. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu mengejar Mentari dengan langkah yang cepat. Rakhan mencekal tangan Mentari sebelum ia menaiki anak tangga sekaligus menghentikan langkahnya. “Aku sedang bicara dengan kau, Tari.” Rakhan berbicara dengan suara yang sengaja ditekan dan terdengar sedikit berat.Nada bicara Rakhan yang memberi kesan mengintimid
“Apa?!” Mata Rakhan menyipit sementara air mukanya mendadak tampak mengeras. Dalam hitungan detik, keterkejutan sukses melenyapkan arogansi yang menjadi ciri khasnya. “Ayah tidak bercanda, ‘kan?”Handoko menggeleng. “Ayah tidak sedang bercanda, Rakhan. Mungkin sudah saatnya kau tahu bahwa sebenarnya Lucian Sagara adalah ayah kandungmu.”“Kenapa Ayah baru menceritakan semua ini padaku sekarang?”Handoko mengembus napas. Pundaknya melorot seiring rasa sesal yang mulai tergambar di wajahnya. Pria tua itu menatap Rakhan dengan seksama. “Ayah sudah mengkhianati Lucian dengan menceritakan semua ini kepada engkau, Nak. Namun, Ayah tidak tahan kau terus menghina ayah kandungmu sendiri.”“Mengkhianati bagaimana?” irama penuh kuriositas terlontar dari pertanyaan Rakhan. Raut wajah pria itu tampak tegang lantaran tidak sabar mendengar jawaban Handoko.“Lucian tidak ingin kau tahu bahwa dia adalah ayah kandungmu. Dia ingin kau hidup jauh dari dunianya agar kau tetap aman dan tidak terbebani denga
Rakhan bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan memo agar minumannya dan Drew dimasukkan ke dalam tagihannya sebagai member eksklusif Club bar tersebut. Di tengah langkahnya berjalan cepat ke pelataran parkir, Rakhan memberitahu Drew bahwa dirinya meninggalkan bar dan akan mencari Mentari melalui pesan singkat.“Sialan! Kenapa nggak diangkat sih HP-nya?” kesal Rakhan sembari melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir bar. Dari balik kemudi, Rakhan berusaha keras membagi konsentrasi terhadap keramaian jalan di gelap malam dan juga ponsel. Rakhan tidak berhenti berfokus pada salah satunya. Ia terus berusaha menghubungi ponsel Mentari dan juga si pengawal. Di saat yang sama kewaspadaannya akan padatnya lalu lintas pun terus ia lakukan. Sialnya, baik Mentari maupun si pengawal tetap tidak mengangkat panggilan telepon darinya. Perasaan Rakhan semakin kalut, bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada Mentari. Selain dari itu, hasrat ingin menjaga Mentari yang Rakhan ra
“Aku peduli kepadamu dan tidak bermaksud mengekang,” tukas Rakhan. Rasa bersalah mengalir deras di dalam dirinya. Ia sukses mengacau lagi. Dua kali dalam sehari ia telah memulai perang mulut dengan Mentari. “Aku capek,” keluh Mentari sembari menangis. Tubuh dan tangannya mulai gemetar menahan rasa pedih yang kembali menyelimuti.Melihat reaksi Mentari, Rakhan meraih mangkuk asinan buah dari tangan wanita itu, lalu meletakkannya di atas bangku kayu. Ia kemudian memeluk Mentari. “Aku tahu apa yang kau rasakan. Aku melakukan semua ini karena aku sungguh-sungguh peduli kepadamu. Aku tidak ingin kau mengalami hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi.”“Jika semua ini hanya alasanmu, tolong jangan bilang kau sungguh peduli. Selama ini tidak ada yang pernah benar-benar peduli dan sayang kepadaku, bahkan papaku pun tidak. Hanya Arya yang sungguh-sungguh peduli dan mencintaiku, tapi sekarang dia sudah pergi. Dia pergi, mungkin meninggal, dan akulah pembunuhnya.” Mentari terisak-isak dalam dek
Obrolan Mentari dan Sri di udara berakhir setelah mereka saling mengucapkan selamat malam dan sampai jumpa. Namun, Mentari merasakan otaknya kembali bekerja keras karena dipaksa memikirkan inti obrolannya dengan Sri. Semua informasi yang diberikan Sri tadi terus mengiang di telinga dan menuntut jawaban. Selama beberapa puluh menit Mentari hanya bisa berdiam diri dengan isi kepala yang bercampur aduk. Mentari benar-benar memerlukan udara segar untuk sekadar melepas beban pikiran. Otaknya bisa pecah dan hancur berantakan apabila terus menerus mengelola informasi yang belum jelas penyelesaiannya itu. Akhirnya, Mentari memutuskan turun dari tempat tidur dan menghirup udara malam di balkon.“Tari!” Panggilan Rakhan sesaat kemudian mengejutkan Mentari. Mentari menoleh ke belakang. Ia melihat Rakhan berjalan ke arahnya. Rona panik dan khawatir tampak mewarnai wajah pria tersebut. Sementara itu, Mentari hanya terpaku di tempatnya berdiri. Dan ketika langkah Rakhan mulai menyusutkan jarak di
Di sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari laboratorium, Rakhan dan Drew duduk berhadapan.Uap tipis mengepul dari permukaan hitam pekat di setiap cangkir, menandakan betapa panas dan segarnya kopi tersebut. Namun, tidak ada yang berniat menyentuhnya. Rakhan memandang ke luar jendela, sementara Drew menatap Rakhan dengan perhatian yang mendalam."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Drew, mencoba membuka percakapan. Ia tahu bahwa Rakhan sedang bergulat dengan perasaannya sendiri.Rakhan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Jujur, Drew, aku tidak tahu. Aku merasa ... cemas, bingung, dan entah bagaimana, takut. Takut kalau semuanya akan berubah setelah hasil tes ini keluar."Drew mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku bisa mengerti, Rakhan. Tapi, apa yang sebenarnya kau takutkan? Bukankah ini semua demi mengetahui kebenaran?"Rakhan mengangguk pelan, tetapi sorot matanya tetap kosong. "Ya, aku tahu. Tapi... kalau ternyata aku benar-benar anak Lucian, aku akan merasa
Selama Mentari pingsan, Rakhan tidak pernah meninggalkannya. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Mentari dengan erat, dan memperhatikan setiap napas yang diambil oleh istrinya itu. Wajah Rakhan penuh dengan kekhawatiran dan ketegangan, tapi ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang agar tidak menambah kecemasan yang sudah ada.Waktu terasa melambat. Rakhan menyadari bahwa ini adalah momen yang penting, tidak hanya karena kehamilan yang baru terungkap, tetapi juga karena saat-saat ketika ia harus menunjukkan dukungan dan kepeduliannya pada Mentari, terlepas dari segala ketidaksepakatan di antara mereka.Pada awalnya, Rakhan tidak tahu berapa lama Mentari akan tetap tidak sadar. Setiap kali ia mendengar suara napas atau perubahan kecil dalam ekspresi wajah Mentari, hatinya terasa seperti melonjak ke tengah-tengah keprihatinan. Ia bahkan lupa untuk makan dan tidur, fokus sepenuhnya pada Mentari.Ketika akhirnya Mentari mulai menunjukkan tanda-tanda bangun dari pingsann
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”