“Attar, Mama pulang!” sapa Fara ketika masuk ke dalam kamar. Attar menyambutnya dengan suara tawa.Fara membawa anak itu ke pelukannya dan menciumnya berkali-kali. Aroma Attar selalu bisa memenangkannya. Kemudian, perhatiannya beralih pada Liana yang duduk di hadapannya.“Attar rewel gak?”“Gak, Bu. Attar tidur dua jam siang ini dan sudah ngabisin dua kantong asi. Sudah saya mandikan sore juga.”“Terima kasih ya, kamu boleh lanjut ngerjain tugas di luar. Nanti kalau saya butuh, saya panggil kamu lagi.”“Saya yang makasih, Bu. Saya permisi dulu.”Fara mengangguk sambil tersenyum. Dia melihat Attar yang sedang menguap.“Attar udah ngantuk lagi? Yuk, tidur, yuk. Biar cepat besar. Kalau sudah besar, bisa jagain Mama,” ujar Fara sambil menimang Attar dalam gendongannya. Bayi itu mulai merasa berat pada kelopak matanya. Tak lama kemudian, Attar akhirnya tertidur dan Fara menaruhnya di boks bayi.Baru saja Fara memutar tubuhnya menuju kamar mandi, pintu kamarnya didobrak dengan kencang. Dia
Fara tidak bisa mengendalikan gemetar di sekujur tubuhnya akibat perlakuan Omar. Dia merasa sangat hancur hingga tidak tahu lagi sebenarnya bagian mana saja yang sakit.Di luar mobil, hujan mulai turun dengan deras. Beberapa pengendara motor segera berteduh. Sebagian berteduh untuk memakai jas hujan, sebagian lainnya harus rela menunggu hujan berhenti di pinggiran ruko yang tutup.“Ke apartemen saya ya, Pak,” ucap Sella pada sopir mereka.“Jangan!” seru Fara.“Lho, terus mau ke mana?”“Kantor polisi terdekat aja. Gue mau visum.”“Visum? Lo yakin? Masalahnya bisa ke mana-mana, Ra.”Fara menatap Sella dengan sengit. Dia mendadak ingat kalau wanita ini yang memberitahu keberadaannya pada Niko dan akhirnya berakhir seperti ini di tangan Omar.“Apa?” tanya Sella ketakutan melihat tatapan Fara.“Pak, berhenti di depan sana,” pinta Fara melihat halte yang berada di beberapa meter di depan mereka.“Lo mau ke mana?”“Kantor polisi. Terserah deh lo mau lapor hal ini atau enggak ke Niko, tapi gu
Sarah membawa Fara dan Attar pulang ke rumah keluarganya. Rumah ini masih terletak di dalam perumahan, hanya saja pengamanannya sudah tidak ketat dan akses keluar-masuk kampung tidak dibatasi.Perumahan ini juga sudah dibangun sejak 30 tahun lalu dan memang bukan tipe ekslusif. Rumah yang ditempati Sarah ini sudah kosong selama setahun karena sepupu Sarah, pemiliknya, tinggal di luar kota. Dia mengizinkan Sarah untuk menempati rumah itu.Beberapa cat dinding rumah sudah mengelupas dan ada beberapa sawang di atas rumah. Sarah belum sempat membersihkan rumah ini karena hampir 24 jam waktunya, dia berada di rumah sakit.Wanita itu menuntun Fara masuk ke ruang tengah dengan menggandengnya. Fara tidak punya kursi roda dan menolak memakai kruk yang ditawarkan oleh pihak rumah sakit. Sementara Attar sedang mengamati ruangan sekitarnya dalam gendongan ibunya.“Kamu bisa pakai kamar sebelah sana,” ujar Sarah sambil menunjukkan salah satu pintu di sebelah kamar mandi. Dia membantu Fara duduk di
“Silakan isi data di sini, Bu,” ujar seorang sipir wanita sambil memberikan buku besar bertuliskan Data Pengunjung 2024.Sarah segera mengikuti arahan dari sipir tersebut. Dia menyempatkan diri menjenguk Shakir setelah memastikan Ryan dalam kondisi stabil dan memungkinkan untuk ditinggal.Setelah mengisi data tersebut, Sarah dipersilakan masuk.Shakir datang beberapa menit kemudian. Pria itu tersenyum pada ibunya dan melambaikan tangan.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Shakir. Suaranya keluar dari lubang-lubang kecil yang ada di kaca pemisah mereka.“Baik. Kamu gimana Shakir? Kamu kurusan.”“Aku baik, Ma. Wajar kalau kurusan, makananku kan dibatasi di sini. Tapi tetap sesuai kebutuhan. Papa gimana?”“Papa sudah lewat masa kritis, tapi masih harus stay di ICU.”Shakir mengangguk. “Sebentar lagi Papa pasti sembuh. Mama yang tenang ya?” pinta Shakir karena melihat mata ibunya yang mulai berkaca-kaca.“Kamu kapan keluar dari sini, Nak?” tanya Sarah tak kuasa menahan air matanya. Dadanya sesa
Hari ini bunga-bunga dalam hati Shakir sedang bermekaran. Hanya beberapa menit lagi, dia bisa bertemu dengan istri dan anaknya. Dia bisa kembali bercengkerama dan menghabiskan waktu dengan keluarganya.Shakir turun dari taksi tepat di depan rumah Sarah. Dengan menenteng sebuah tas, dia melangkah memasuki pagar rumah.Dia mengernyit ketika mendapati pagar rumah tidak ditutup. Namun, hal itu tak menyurutkan senyum yang mengembang di wajahnya.Bau harum masakan masuk ke dalam hidungnya dan mendadak dia merasa lapar. Tiba-tiba dia teringat masa-masa sarapan bersama dengan keluarganya di meja makan. Senda gurau, canda tawa, keisinisan sang ibu pada istrinya, Shakir rindu itu.Shakir juga berharap Fara sudah jauh lebih baik dari terakhir kali dia melihat hasil visum wanita itu. Dia bersedia membantu dan merawat Fara supaya bisa kembali sehat dan bahagia.Namun, saat Shakir sampai di ambang pintu, dia tidak melihat siapa pun kecuali berbagai jenis masakan di atas meja makan. Kursi bayi ada d
Sarah melirik jam dinding di rumahnya. Dia juga melongok keluar pagar untuk melihat kedatangan Shakir dan Fara.Dia melakukan itu bergantian sejak Shakir pergi. Namun, setelah dua jam berlalu, Shakir dan Fara belum juga muncul.Attar merengek dan mengeluarkan suara yang sangat nyaring. Sarah segera menghampirinya.“Ada apa, Attar? Kan baru minum susu?” Sarah mengajak Attar bicara. Attar sedikit berkeringat.Saat Sarah mengendus-endus, dia mencium aroma kurang sedap. Dia tersenyum.“Oh popoknya kotor? Oma ganti dulu ya,” ucap Sarah lagi sambil mengambil popok bersih yang terletak di atas lemari baju Fara. Kemudian dia mengganti popok Attar sambil bersenandung untuk menenangkan Attar.Tangisan bayi itu akhirnya reda dan hanya tersisa isakan kecil saja. Mukanya masih merah dan basah dengan air mata. Sarah segera mengelap sisa air mata itu dengan tisu.“Doain Papa dan Mama ya, Attar. Semoga gak terjadi apa-apa sama mereka.”Ponsel Sarah berdenting setelahnya. Dia segera memeriksa benda pi
“Sebenarnya saya sudah cukup jarang menangani kasus seperti ini, Pak. Tapi karena Pak Ryan dan Shakir pernah menolong saya waktu hampir dijebloskan ke penjara oleh petinggi Polri yang melakukan korupsi, saya akan bantu,” jawab Gandi setelah bergeming selama beberapa saat.“Terima kasih banyak, Pak Gandi! Saya benar-benar berharap dengan Pak Gandi. Shakir tidak terbukti melakukan penggelapan dana, jadi seharusnya dia bisa mendapatkan posisinya kembali di Afnan Projects.”“Betul, Pak. Tolong beri saya waktu untuk mempelajari kasus ini dan saya harap, saya bisa bertemu secara langsung dengan Shakir.”“Ya, saya akan bilang ke Shakir supaya dia menghubungi Pak Gandi.”Panggilan telepon itu ditutup setelah mereka mengucapkan salam perpisahan. Ryan tersenyum lebar pada Sarah. Senyum itu menular pada istrinya yang kini ikut tersenyum. Lalu, dia menggenggam tangan istrinya dengan penuh kasih sayang, menaruh harapannya di sana.***Sella menginjak pedal rem mobilnya beberapa meter sebelum merek
"Shakir Afnan ada di sini, Pak. Apa yang harus saya lakukan?” tanya seorang penjaga yang Omar sewa dan sedang bertugas di depan pintu gerbang villa.Omar menaikkan salah satu sudut bibirnya dan matanya menatap ke arah layar cctv yang menyorot gerbang depan villa. Dia mengamati sosok Shakir yang datang bersama Sella. Hatinya mendidih panas membayangkan Fara bisa saja berakhir bersama pria yang baru saja keluar dari penjara itu.“Biarkan dia masuk,” jawabnya kemudian.“Baik.”Panggilan telepon di putus. Dia yakin akan ada pertunjukan menarik beberapa saat lagi.Sejak perasaan lamanya kembali muncul untuk Fara, dia ingin sekali melihat Shakir dari jarak dekat sebagai seorang rival. Apa yang dilihat Fara dari pria itu? Kelebihan apa yang pria itu punya hingga membuat Fara mencintainya?Saat Omar memutar tubuhnya hendak keluar dari kamarnya, dia melihat Fara berdiri di ambang pintunya. Wanita itu menatapnya dengan tajam dan bibirnya terkatup. Rambutnya berantakan dan dia tidak menggunakan