Setelah mengumpulkan kembali kesadarannya, Sarah segera pamit pada petugas administrasi itu sambil mengucapkan terima kasih. Api di hatinya mulai membara. Dia tidak terima Fara melakukan hal seperti itu untuknya.Sarah tidak bisa menerima sumbangan dari uang hasil mencuri. Fara tidak mungkin punya uang sebanyak itu karena dia tidak bekerja.Uang dari Shakir selama setahun menikah tidak mungkin sudah sebesar itu. Fara pasti menerima uang dari Niko.Tagihan rumah sakit mencapai 200 juta lebih dan Fara ingin menanggung biaya perawatan selanjutnya sampai Ryan sembuh. Total biaya yang akan dikeluarkan Fara bisa saja mencapai satu miliar lebih mengingat kondisi Ryan belum juga stabil. Ego Sarah tidak bisa membiarkan Fara menginjak keluarganya.Langkah kakinya bergerak cepat di sekitar lobi rumah sakit. Dia melihat ke sekitar dan berharap menemukan sosok wanita berambut panjang itu. Beberapa orang menatapnya terganggu karena dia beberapa kali menyenggol orang.Setelah memastikan Fara tidak a
Fara menyesap es kopi yang dia pesan di kantin rumah sakit sambil memayungi Attar. Sopir taksi daring yang dia pesan tidak mau masuk ke lobi rumah sakit.Jadi, dia terpaksa menunggunya di luar rumah sakit. Tepatnya di pinggir jalan raya.Matahari mulai naik ke atas kepala. Fara bersyukur dia selalu membawa payung.Sekalipun tidak hujan, payung itu bisa melindungi dia dan Attar dari terik matahari. Bayi itu tersenyum padanya, dia refleks membalas senyuman Attar.Perhatiannya teralihkan ketika Fara mendengar suara rem dari beberapa mesin mobil di waktu yang hampir bersamaan. Dia mengangkat dagunya dan melihat ada lima mobil yang berbaris ke belakang dan berhenti tepat di hadapannya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan dia mematung.Tak lama kemudian, beberapa pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam keluar dari mobil itu dan menghampirinya. Tanpa memberikan kesempatan Fara untuk bicara, salah satu dari pria itu menyeretnya masuk ke dalam mobil hanya dalam waktu beberapa deti
“Gue sampai, Nik,” ujar Omar pada Niko melalui sambungan telepon.Dia tengah berada di dalam taksi dan terjebak kemacetan ibu kota. Di kanannya ada lalu lintas dari arah sebaliknya yang lancar tanpa hambatan dan di sebelah kiri ada mobil Avanza yang jalannya juga tersendat.“Udah minta jemput Pak Nana?”“Gue naik taksi aja, udah di taksi juga. Fara masih di rumah?”“Masih. Setelah gue tarik-ulur waktunya sampai terlalu malam buat dia pergi keluar bawa bayi. Oh ya, Mar. Tahan emosi lo kalau dia berontak. Gue tetap gak setuju lo pakai kekerasan buat naklukin dia.”“Oh jadi dia ngadu ke lo?”“Iya. Gini aja, sebelum lo sampai rumah, mending lo mampir dulu buat beli bunga atau makanan kesukaan dia sebagai permintaan maaf.”“Gue gak salah apa-apa, Nik.”Niko menghela napas dan Omar bisa mendengarnya. “Terus lo datang ke dia mau langsung marah-marah? Lo mau dia kabur lagi? Kalau Fara kabur, kita yang bahaya, Mar. Dia kunci kita.”Omar mematikan panggilan tersebut. Setelah melakukan perjalana
Fara mematut dirinya di depan kaca sambil mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer. Ada bekas lebam di pipi kanannya dan itu sangat mengganggu penampilannya pagi ini.Bekas lebam tidak pernah cocok disatukan dengan dress merah marun kesayangannya dan high heels. Setelah rambutnya kering, Fara segera menyisir rambutnya.Dia juga memakai foundation di bagian pipinya yang lebam. Walaupun foundation tidak mengobati nyeri yang ditimbulkan dari lebam itu, setidaknya wajahnya tidak terlihat babak belur.Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Niko sudah berangkat sejak pukul delapan dan kemungkinan Omar juga begitu.Sebenarnya tadi pagi, Niko sempat mengetuk pintu kamar Fara untuk mengajaknya sarapan bersama. Namun, Fara belum ingin bertemu dengan pria itu dan memilih untuk mengabaikannya. Niko menyerah sekitar lima menit kemudian.Fara tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Dia harus segera pergi selagi Niko dan Omar tidak berada di rumah.Setelah selesai dengan dirinya, dia mengge
“Attar, Mama pulang!” sapa Fara ketika masuk ke dalam kamar. Attar menyambutnya dengan suara tawa.Fara membawa anak itu ke pelukannya dan menciumnya berkali-kali. Aroma Attar selalu bisa memenangkannya. Kemudian, perhatiannya beralih pada Liana yang duduk di hadapannya.“Attar rewel gak?”“Gak, Bu. Attar tidur dua jam siang ini dan sudah ngabisin dua kantong asi. Sudah saya mandikan sore juga.”“Terima kasih ya, kamu boleh lanjut ngerjain tugas di luar. Nanti kalau saya butuh, saya panggil kamu lagi.”“Saya yang makasih, Bu. Saya permisi dulu.”Fara mengangguk sambil tersenyum. Dia melihat Attar yang sedang menguap.“Attar udah ngantuk lagi? Yuk, tidur, yuk. Biar cepat besar. Kalau sudah besar, bisa jagain Mama,” ujar Fara sambil menimang Attar dalam gendongannya. Bayi itu mulai merasa berat pada kelopak matanya. Tak lama kemudian, Attar akhirnya tertidur dan Fara menaruhnya di boks bayi.Baru saja Fara memutar tubuhnya menuju kamar mandi, pintu kamarnya didobrak dengan kencang. Dia
Fara tidak bisa mengendalikan gemetar di sekujur tubuhnya akibat perlakuan Omar. Dia merasa sangat hancur hingga tidak tahu lagi sebenarnya bagian mana saja yang sakit.Di luar mobil, hujan mulai turun dengan deras. Beberapa pengendara motor segera berteduh. Sebagian berteduh untuk memakai jas hujan, sebagian lainnya harus rela menunggu hujan berhenti di pinggiran ruko yang tutup.“Ke apartemen saya ya, Pak,” ucap Sella pada sopir mereka.“Jangan!” seru Fara.“Lho, terus mau ke mana?”“Kantor polisi terdekat aja. Gue mau visum.”“Visum? Lo yakin? Masalahnya bisa ke mana-mana, Ra.”Fara menatap Sella dengan sengit. Dia mendadak ingat kalau wanita ini yang memberitahu keberadaannya pada Niko dan akhirnya berakhir seperti ini di tangan Omar.“Apa?” tanya Sella ketakutan melihat tatapan Fara.“Pak, berhenti di depan sana,” pinta Fara melihat halte yang berada di beberapa meter di depan mereka.“Lo mau ke mana?”“Kantor polisi. Terserah deh lo mau lapor hal ini atau enggak ke Niko, tapi gu
Sarah membawa Fara dan Attar pulang ke rumah keluarganya. Rumah ini masih terletak di dalam perumahan, hanya saja pengamanannya sudah tidak ketat dan akses keluar-masuk kampung tidak dibatasi.Perumahan ini juga sudah dibangun sejak 30 tahun lalu dan memang bukan tipe ekslusif. Rumah yang ditempati Sarah ini sudah kosong selama setahun karena sepupu Sarah, pemiliknya, tinggal di luar kota. Dia mengizinkan Sarah untuk menempati rumah itu.Beberapa cat dinding rumah sudah mengelupas dan ada beberapa sawang di atas rumah. Sarah belum sempat membersihkan rumah ini karena hampir 24 jam waktunya, dia berada di rumah sakit.Wanita itu menuntun Fara masuk ke ruang tengah dengan menggandengnya. Fara tidak punya kursi roda dan menolak memakai kruk yang ditawarkan oleh pihak rumah sakit. Sementara Attar sedang mengamati ruangan sekitarnya dalam gendongan ibunya.“Kamu bisa pakai kamar sebelah sana,” ujar Sarah sambil menunjukkan salah satu pintu di sebelah kamar mandi. Dia membantu Fara duduk di
“Silakan isi data di sini, Bu,” ujar seorang sipir wanita sambil memberikan buku besar bertuliskan Data Pengunjung 2024.Sarah segera mengikuti arahan dari sipir tersebut. Dia menyempatkan diri menjenguk Shakir setelah memastikan Ryan dalam kondisi stabil dan memungkinkan untuk ditinggal.Setelah mengisi data tersebut, Sarah dipersilakan masuk.Shakir datang beberapa menit kemudian. Pria itu tersenyum pada ibunya dan melambaikan tangan.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Shakir. Suaranya keluar dari lubang-lubang kecil yang ada di kaca pemisah mereka.“Baik. Kamu gimana Shakir? Kamu kurusan.”“Aku baik, Ma. Wajar kalau kurusan, makananku kan dibatasi di sini. Tapi tetap sesuai kebutuhan. Papa gimana?”“Papa sudah lewat masa kritis, tapi masih harus stay di ICU.”Shakir mengangguk. “Sebentar lagi Papa pasti sembuh. Mama yang tenang ya?” pinta Shakir karena melihat mata ibunya yang mulai berkaca-kaca.“Kamu kapan keluar dari sini, Nak?” tanya Sarah tak kuasa menahan air matanya. Dadanya sesa