Aku meletakkan pisau dan garpu di tangan karena restoran mematikan sebagian besar lampu ruangan demi menciptakan suasana yang romantis untuk sang karakter utama, Pak Malik dan Nona Rosiana.
Musik mengalun dengan indah ditemani balutan cahaya temaram mengiringi mereka berdua yang sedang berada di lantai dansa. Keduanya terlihat menawan.
Rosiana yang memakai gaun putih berputar dengan indah. Dia bergerak selaras dengan dengan gerakan Pak Malik. Di bawah kendali pria itu, mereka berdansa secara harmonis hingga lantunan musik berakhir.
Akhirnya, aku bisa melanjutkan makan malam setelah mereka selesai berdansa. Lelah yang mendera langsung sirna saat menikmati rib eye steik yang dimasak dengan tingkat kematangan medium rare. Andai saja kenikmatan ini bisa didapat setiap hari…
“Permisi Bu, Pak Malik menyuruh kami untuk membawa makanan Ibu ke meja beliau,” ucap salah seorang pegawai restoran.
Ada gila-gilanya juga nih si Bos. Lelaki di belahan bumi mana yang sedang kencan dengan seorang wanita, namun dia membawa sekretarisnya untuk makan di meja yang sama dengan mereka?
Aku tidak ingin usaha yang semua orang lakukan menjadi sia-sia karena tindakan konyol Pak CEO. Pokoknya aku tidak mau ke sana. TIDAK AKAN!
“Apa ada yang menaruh lem di kursi ini?” Pria yang menjadi objek cuci mata para karyawati Pecitra itu berbicara tepat di depan wajahku. Sungguh tak disangka dia akan datang ke sini dengan sendirinya.
Aku pun segera menggeleng sebagai respons atas pertanyaan dari beliau.
“Kenapa masih di sini?” Lelaki itu masih bergeming di tempatnya.
“Saya tidak ingin merusak kencan Bapak dan Nona Rosiana. Wanita mana pun akan kecewa jika ada perempuan lain selain dia yang menemani pasangannya.” Tuhan bantu aku agar dia memahami niat baik sekretarisnya yang berhati bidadari ini.
“Tidak ada perempuan lain di ruangan ini,” sanggahnya.
Lelaki ini membuat kadar emosiku memuncak hingga menyentuh titik maksimal. Di matanya, aku hanya dianggap sebagai robot superego.
“Pak! Tidak peduli bagaimana Bapak tidak menganggap saya sebagai perempuan, faktanya jenis kelamin saya di KTP tertulis ‘perempuan’, tubuh yang sedang Bapak pandang ini adalah perempuan. Jiwa yang ada di badan ini juga perempuan!” Ayo kita lihat, apa yang akan dia katakan.
“Tapi….” Pak Malik mengepalkan tangan. “Tidak ada perempuan lain di sini selain kamu.” Dia berbicara tanpa membuka mulut, hanya menggerakkan bibirnya. Memang boleh kesal begitu?
Aku langsung berdiri dan balik badan untuk membuktikan omongan Pak Bos. Benar saja, Rosiana sudah tidak ada di kursinya.
“Nona Rosiana…, pergi ke mana?” tanyaku.
Pria yang menjadi atasanku tersebut mengangkat kedua bahunya. “Mana saya tahu.”
“Kenapa dia pergi?” Aku tak percaya wanita itu pergi begitu saja tanpa alasan.
“Entahlah.” Pak Malik mengambil tasku.
“Mungkin karena saya bilang kalau badannya tidak cocok untuk saya.” Beliau menggandengku berjalan ke mejanya, di mana makan malam pria itu disajikan.
***
Mawar merah yang sengaja disiapkan untuk acara kencan buta Pak Malik berakhir menjadi bunga tabur yang menggenangi bak mandiku. Wanita yang seharusnya menerima buket bunga ini pergi begitu saja meninggalkan si Bos tanpa membawa bunga dan gaun merah dari Pak Malik.
Jika Rosiana hanya wanita biasa, aku tak perlu pusing memikirkan kejadian semalam. Masalahnya, wanita itu adalah putri dari Pak Wirawan, Direktur PT Onenabe yang masih menjadi rekan bisnis Pelisia Grup. Ditambah lagi, wanita itu adalah Manajer Project di sana.
Demi menjaga hubungan baik yang sudah terjalin antara kedua belah pihak, mau tak mau aku harus minta maaf atas nama Pak Malik karena dilihat dari sisi mana pun, lelaki itu enggan untuk melakukannya.
“Kamu bawa saja, aku tidak ingin memakannya.” Dia menolak bingkisan yang aku bawa tanpa membukanya terlebih dahulu.
Aku pergi ke PT Onenabe membawa kue kesukaan Rosiana. Devil cake, kue yang memiliki tekstur lembut dengan rasa cokelat yang kaya, merupakan pilihan yang sempurna bagi pecinta kue cokelat.
Devil cake memiliki warna yang lebih gelap dari kue cokelat lainnya karena penggunaan cokelat hitam yang bereaksi dengan bahan lain yang bersifat asam. Proses karamelisasi juga ikut berperan dalam menambah warna gelap pada kue.
“Apa Ibu sudah tahu apa yang saya bawa ini?” Aku tak akan menyerah begitu saja, demi Pecitra.
“Devil cake dari Weloveu Bakery, kan?” Rosiana memutar kedua bola matanya.
Hah! Ternyata dia sudah tahu.
“Kalau begitu, Ibu pasti tahu kan bagaimana ketulusan saya? Untuk mendapatkan kue ini, saya harus melakukan perjalanan selama dua jam dari Jakarta ke Bogor balik lagi ke Jakarta. Empat jam saya habiskan waktu di jalan.” Bohong. Sebenarnya aku membeli kue itu dengan layanan pesan antar.
Dia menggenggam tanganku. “Katakan dengan jujur. Kamu datang ke sini karena keinginan sendiri atau karena perintah atasan?”
Ini pertanyaan jebakan yang sulit untuk dijawab. Aku harus berpikir jernih memikirkan apa yang harus dikatakan.
“Sebenarnya, Pak Malik ingin datang sendiri menemui Ibu. Sayangnya, Bapak memiliki pertemuan yang tidak dapat dijadwalkan ulang. Maka dari itu saya datang ke sini atas nama beliau.” Sungguh, ini adalah jawaban yang sempurna.
“Sepertinya pertemuan itu sangat penting.” Ia menyesap kopi hitam yang tersaji di atas meja.
“Tapi, kenapa dia tidak membawa sekretarisnya ke sana? Kamu bohong, kan? Sebenarnya dia memang tidak ada niatan untuk bertemu secara langsung,” imbuh wanita itu.
Dari cara bicara dan bahasa tubuh yang dia tunjukkan, sepertinya dia bisa membaca isi kepala orang lain. Dalam hatiku bertanya-tanya, mungkinkah dia seorang indigo?
“Itu tidak benar. Beliau tulus ingin menemui Anda.” Aku buru-buru menyangkal perkataan beliau.
“Kenapa dia ingin menemuiku? Mau minta maaf? Jangan harap dia akan mendapatkannya!” pekik Rosiana.
Si Bos ini benar-benar ya! Sebenarnya apa yang beliau lakukan pada wanita ini tadi malam? Mengapa emosinya meledak tak terkendali seperti kembang api di malam tahun baru.
“Seumur hidup, aku belum pernah bertemu laki-laki kurang ajar seperti dia.” Rosiana memukul meja.
“Kamu tahu apa yang dia katakan semalam?” Mata wanita itu melotot, aku takut sekali.
“Dia bilang kalau kukuku bentuknya seperti kuaci.” Dia menunjukkan jemarinya disertai dengan bibir yang mengerucut.
Rosiana memasang kuku tiruan yang ujungnya berbentuk sangat runcing. Jika dilihat sekilas, bentuknya memang terlihat seperti kuaci. Tapi, ini kan model yang sedang digemari oleh kalangan wanita muda. Memang dasar Pak Malik saja yang tak tahu sama sekali tentang selera perempuan.
“Dia juga bilang kalau sepatu yang aku pakai kemarin tumitnya terlalu tinggi, kalau jatuh saat berdansa maka akan merepotkan dirinya.” Rosiana menggenggam tanganku dengan kuat. “Padahal kemarin aku hanya menggunakan yang 10 cm.”
Hey siapa pun kalian!
Beri tahu aku bagaimana cara menahan diri untuk mengendalikan mulut ini agar tidak menganga. High heels 10 cm dia bilang ‘hanya’? Luar biasa sekali perempuan ini.
“Dan kamu tahu dia bilang apa lagi? ‘Kalau pasang implan dada jangan terlalu besar, nanti kamu cepat jadi bungkuk’ dia bilang begitu!” Rosiana memperbaiki posisi duduknya dan memastikan bahwa dia duduk dengan tegap.
Wanita itu menggenggam tanganku, lalu dia membisikkan kalimat yang membuatku tercengang. “Aku cuma cerita ini ke kamu. Implan yang aku pasang ini 300cc. Ini termasuk ukuran yang wajar, kan?”
***
Aku mengantar kopi dan beberapa kudapan manis untuk Pak Malik. Saat memasuki ruangannya, beliau sedang membaca laporan keuangan tahunan 2022. Mukanya berbinar-binar karena pencapaian sales tahun kemarin mencapai angka seratus lima belas persen dari target yang ditentukan oleh perusahaan, di mana pertumbuhan sales 37,7% lebih tinggi dari tahun 2021. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya pengusaha yang mendirikan merek baru di bidang kosmetik dan perawatan kulit, dan mereka memercayakan produksinya di Pecitra.“Alba, duduk dulu!” ucap Pak CEO.“Baik, Pak.” Aku menempati sofa yang terletak tidak jauh dari pintu masuk.Pak Malik datang kemari membawa berkas yang berisi data para perempuan lajang yang aku berikan padanya beberapa hari yang lalu.“Kamu atur pertemuan dengan mereka. Satu orang saat makan siang, masing-masing satu orang di jam tujuh dan delapan malam, setiap hari. Selebihnya, atur jadwal untuk satu perempuan setiap tiga puluh menit mulai dari jam delapan pagi hingga tujuh malam s
Usai berbincang dengan Dian, aku mendapat sumur inspirasi. Jika Pak Malik setuju dengan gagasan ini, maka tugasku di masa depan akan semakin lancar tanpa hambatan yang berarti.“Pak, ada yang ingin saya sampaikan,” kataku, setelah mengantarkan kopi dan kudapan ke ruangan CEO.Pak Malik tidak memberi respons apa pun. Dia sibuk dengan dokumen di tangannya yang sudah ditandatangani. Apa sih yang sedang beliau pikirkan sampai tidak fokus?“PAK!!” Kali ini suaraku lebih keras dari sebelumnya.Si Bos mendesah lalu dia menutup dokumennya.“Al, saya ini bukan pembina upacara yang perlu kamu teriaki dengan lantang. Bicara saja sewajarnya,”-dia menunjuk daun telinga kirinya-“gendang telingaku ini masih bergetar dengan normal, tahu! Kamu mau bicara apa?”Sebelum menyajikan inti pembicaraan, aku mengambil kue kemudian menyuapi Pak Malik.“Enak tidak, Pak?”Tidak ada kata yang terucap.Aku bosan dengan reaksi Pak CEO yang tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengangguk dengan ekspresi bingung. Seti
“Sejak kapan Pecitra mempekerjakan panda, Maduku?” Aulia tertawa renyah memenuhi ruangan pantri.Apa yang bisa aku perbuat untuk menyelamatkan lingkar hitam di mataku?“Mikirin apa sih sampai harus bergadang. Tuh, selain mirip panda, kamu juga mirip hantu yang suka makan bakso.” Dia memajang cermin kecil di depan mukaku. Terlihat sangat mengerikan.“Mikirin suamiku kapan pulang wajib militer.” Maafkan daku karena harus berbohong.Sebenarnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam memikirkan ucapan Pak Malik. Tawaran yang beliau berikan memang sangat menggiurkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja, akan tetapi konsekuensi yang harus aku tanggung juga tak seringan kapas yang beterbangan di cakrawala.“Maduku, aku mau cerita.” Lebih baik minta pendapat Aulia dahulu sebelum mengambil keputusan.“Tentang teman kamu ya?” Dia sungguh bersemangat.“BUKAN
Suara interkom di atas meja kerja menyadarkan diri ini yang tengah larut dalam pikiranku sendiri. Mengingat apa yang aku dan Aulia bicarakan di pantri kemarin, hatiku tidak henti bertanya-tanya, bagaimana jika yang dikatakan oleh maduku ternyata benar?“Bawakan kopi untuk saya!” perintah atasanku.Kopi terus. Lama-kelamaan aku bisa jadi barista kalau setiap hari kerjanya menyeduh kopi untuk si ‘bossy’.“Baik, Pak,” jawabku.Aku membawa diri menuju pantri setelah panggilan berakhir. Walau diri ini enggan untuk melakukannya, namun perintah atasan harus dijalankan, daripada dipecat. Tidak lucu kan kalau karyawan diberhentikan hanya karena tak mau membuat minuman untuk bosnya?Tidak butuh waktu lama menyajikan kopi buatanku untuk Pak Bos. Sama seperti yang biasa dilakukan, setiap membawa kopi ke ruangan beliau, aku selalu menyertakan kudapan untuknya seperti kue dan kukis.“Silakan nikmati kopinya, Pak.” Aku meletakkan minuman panas yang masih mengepulkan uap air itu di meja atasanku, lalu
Bibir lumpuh seketika manakala rasa malu menyelimuti setiap inci dari tubuh ini. Malu karena sudah bertindak sembrono pada atasanku, tidak tepat dalam memadupadankan pakaian, dan riasan yang berantakan.Aku langsung bertolak dari ruangan CEO menuju toilet, merapikan penampilanku yang awut-awutan tidak jelas. Pertama-tama perbaiki dulu riasan wajah. Setelah itu, aku balik badan, mengangkat rambutku yang terurai panjang. Untung saja pada saat itu hanya aku yang berada di toilet sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui keadaanku yang sedang kacau.Sungguh memalukan.Pakaian dalam yang berwarna merah terpampang dengan jelas karena kemeja putih yang aku kenakan basah akibat tetesan air AC. Pantas saja Pak Malik menyuruhku pulang.***“Cara berpakaianmu sudah seperti artis yang sedang terkena skandal.”Keahlian Pak Bos dalam mencibir tidak perlu diragukan, tapi apa dia perlu melakukannya sekarang di saat kami sedang menikmati makan malam?
“Pak…, jangan lakukan ini! Saya selalu menjaga diri demi suami yang sedang wajib militer. Bapak jangan coba-coba merusaknya!” Pak Malik membopongku dari sofa ke atas ranjangnya.Pria yang memiliki tubuh kekar itu sama sekali tidak menghiraukan pekikanku. Aku melakukan perlindungan diri dengan cara tangan kanan memegang bahu kiri dan sebaliknya, memegang bahu kanan dengan tangan kiri.“Tidak disangka ternyata kepalamu dipenuhi dengan pikiran kotor,”-si Bos menurunkanku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhku-“saya tidak membiarkanmu pulang ke unit sebelah karena khawatir kalau kamu akan menangis lagi jika sudah sendirian.”Enak saja orang ini mengatur di mana aku harus tidur. Memangnya dia punya hak apa untuk mengatur wilayah pribadiku? Keluarga? Bukan. Sanak saudara? Juga Bukan. Suami? Apalagi!“Saya terbiasa tidur dengan memeluk suami, di sini tidak ada dia jadi saya tidak bisa tidur!” Buat saja alasan sembarang.Drrrtt…“Halo. Iya M
Tidak ada orang lain selain aku yang berada di rumah Pak Malik. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mencari surat pernyataan yang aku tulis semalam.Diawali dari ruang kerja Pak Malik. Aku memeriksa setiap dokumen yang tersimpan di sana mulai dari dokumen yang ada di atas meja, di dalam laci, rak buku hingga yang tersembunyi di balik lukisan. Namun, surat itu tidak ada di sana.Pantang menyerah! Aku melanjutkan pencarian di ruang tamu, memeriksa setiap laci yang ada, dan mengintip ke bawah kolong meja dan sofa. Hasilnya nihil.DI MANA?DI MANA LAGI AKU HARUS MENCARI?***“IYA…, TUNGGU SEBENTAR!”Aku berlari dari kamar buru-buru membuka pintu masuk. Sesuai janjinya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, Pak Malik berkata bahwa dia akan datang menjemputku saat jam makan siang.“Maaf, Pak. Sudah membuat Anda menunggu lama,” ucapku sekadar basa-basi. Kalau tidak dibahas jadi basi.
“Selamat Pagi, Pak.”“Selamat pagi, Pak.”Semua karyawan yang memberi salam pada atasan kami yang agung hanya mendapat balasan anggukan sang CEO. Beliau memang tidak suka banyak bicara, kecuali pada orang-orang tertentu seperti diriku yang menjadi tempat pembuangan unek-uneknya yang tidak jelas.“Ke ruangan saya, sekarang!” Pak Bos baru saja tiba di kantor, beliau langsung memanggilku.“Baik, Pak.” Aku mengikuti Pak Malik dari belakang.Beliau dengan santai duduk bersandar di kursinya. “Apa agendaku hari ini?”“Pukul sepuluh sampai sebelas Anda akan bertemu dengan Direktur Immanuel untuk membahas masalah yang terjadi di Plant Cibitung. Pada pukul satu siang, Anda memiliki pertemuan dengan Departemen Penelitian dan Pengembangan. Setelah itu, Anda tidak memiliki agenda khusus dan bisa tetap berada di kantor,” terangku.Pak Malik diam saja. Matanya juga tidak fokus entah ke mana. Apabila beliau sudah bertingkah seperti ini, akan ada sesu