Usai berbincang dengan Dian, aku mendapat sumur inspirasi. Jika Pak Malik setuju dengan gagasan ini, maka tugasku di masa depan akan semakin lancar tanpa hambatan yang berarti.
“Pak, ada yang ingin saya sampaikan,” kataku, setelah mengantarkan kopi dan kudapan ke ruangan CEO.
Pak Malik tidak memberi respons apa pun. Dia sibuk dengan dokumen di tangannya yang sudah ditandatangani. Apa sih yang sedang beliau pikirkan sampai tidak fokus?
“PAK!!” Kali ini suaraku lebih keras dari sebelumnya.
Si Bos mendesah lalu dia menutup dokumennya.
“Al, saya ini bukan pembina upacara yang perlu kamu teriaki dengan lantang. Bicara saja sewajarnya,”-dia menunjuk daun telinga kirinya-“gendang telingaku ini masih bergetar dengan normal, tahu! Kamu mau bicara apa?”
Sebelum menyajikan inti pembicaraan, aku mengambil kue kemudian menyuapi Pak Malik.
“Enak tidak, Pak?”
Tidak ada kata yang terucap.
Aku bosan dengan reaksi Pak CEO yang tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengangguk dengan ekspresi bingung. Setidaknya katakan sesuatu, Bos.
“Ini adalah kue lamarannya Dian,”-aku mengambil telepon genggam-“Bapak tahu tidak? Dia bertemu dengan calonnya lewat aplikasi, loh,”-membuka aplikasi kencan yang digunakan Dian dan menunjukkannya pada Pak Malik-“saya sudah mengatur profil Bapak, yang perlu Anda lakukan yaitu menggeser layar ke kanan pada profil wanita yang cocok dengan kriteria Bapak.”
Aku sangat bersyukur karena tuhan memberiku kepala yang cerdas. Pak Malik yang tampan ini pasti akan menyukai hasil kerjaku yang brilian.
“Terima kasih. Saya akan memeriksanya setelah menerima telepon.” Dia melambaikan tangan, menyuruhku untuk meninggalkan ruangan.
***
“Selamat siang, Pak. Bagaimana saya bisa membantu?” ucapku saat menjawab panggilan interkom dari ruangan CEO.
“Batalkan semua jadwal saya hari ini, lalu pesan tiket penerbangan ke Singapura dengan jadwal paling dekat dari sekarang. Kamu ikut saya ke sana!” perintah lelaki itu.
“Baik, Pak. Saya akan melakukan penjadwalan ulang agenda Anda, lalu memesan tiket penerbangan ke Singapura untuk dua orang, serta mengatur mobil untuk menjemput Anda di bandara tujuan.” Asyik!! Dinas ke luar negeri.
***
Setelah mendarat di Singapura, kami menuju rumah sakit besar yang terdapat di negara tersebut. Saat tiba di sana, Pak Malik langsung menuju salah satu ruangan VIP. Sebelum masuk, Pak Malik berhenti sejenak di depan pintu. Beliau menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskan secara pelan.
“Ma…,” ucap Pak Malik pada wanita yang terbaring di ranjang pasien. Dirinya terbaring lemah dengan infus dan alat bantu pernapasan setia menemani.
“Bagaimana perasaan Mama?” Pak Malik sambil memegangi telapak tangan ibunya.
“Rara…, mama baik-baik saja,”-dia melihat ke arahku-“siapa perempuan ini?”
“Ini Alba, Ma. Sekretarisnya Rara.”
Aku mengangguk kepada wanita itu. Dia adalah Ibu Susan, ibu dari atasanku sekaligus pemilik Pelisia. Selama sepuluh tahun bekerja, aku memang beberapa kali bertemu dengan beliau, namun kami tidak pernah berbincang secara pribadi. Jadi, wajar saja jika beliau tidak mengenal diriku.
“Ternyata kamu cuma sekretaris…,”-wanita itu mengamatiku dari rambut hingga kaki, lalu dia mengubah posisi tidur membelakangi putranya-“kirain calon menantuku.”
Ahh…, jadi seperti itu. Ternyata alasan Pak Malik mencari pasangan kencan karena ibunya sedang menuntut pria itu untuk memberinya menantu. Seperti di drama saja.
“Bagaimana dia mau jadi menantu Mama kalau jadi sekretaris saja Mama sudah tidak bersemangat saat bertemu dengannya,”-Pak Malik mengambil air di atas meja lalu memberikan pada ibunya-“kalau Rara memperkenalkan Alba sebagai calon menantu Mama, aku yakin Mama pasti akan menolaknya mentah-mentah.”
Memangnya kenapa kalau cuma sekretaris? Apabila beliau tahu bagaimana diriku berusaha keras memenuhi standarnya, maka beliau tidak akan membicarakanku seperti itu. Aku yakin!
Mentang-mentang aku cuma budak korporasi, mereka berbicara seenaknya mengenai diriku. Segala membandingkan antara sekretaris dan calon menantu. Mereka pikir aku bersedia jika menjadi bagian dari keluarganya?
Tidak nyaman. Itu yang dirasakan manakala ibu dan anak ini bergunjing tentang statusku di depan diriku langsung. Di dalam ruangan sana, tercium firasat yang tidak menyenangkan.
“Mana mungkin!” pekik Bu Susan
“Memangnya Mama ini seperti wanita kaya yang kolot seperti di drama?” lanjutnya.
Pak Malik berpaling kepadaku, lalu menggunakan lirikan matanya seraya mendongak kemudian menjatuhkan pandangan ke bahu kanannya sendiri sebagai kode untuk menyuruhku berdiri di sisi lelaki itu. Aku pun tidak memiliki pilihan selain mengikuti instruksi beliau.
Tubuhku terasa seperti terkena sengatan listrik karena Putra dari Bu Susan itu langsung meraih pinggangku tepat ketika diri ini berada di sampingnya. Aku berusaha melepaskan diri, namun Pak Malik malah semakin erat menahanku dalam jeratannya.
“Ma…, sebenarnya Rara dan Alba memang menjalin hubungan.” Sekarang tangan kirinya menggenggam tanganku.
Ruangan pasien yang tenang berubah menjadi taman bermain sang putra Pelisia dengan tingkat kebisingan 101 desibel yang menyerang telingaku. Tidak habis pikir, iblis mana yang merasuki atasanku hingga mengucapkan kebohongan dengan sekonyong-konyong.
“Maafkan Rara karena merahasiakan hubungan kami. Rara takut kalau Mama tidak merestui kami berdua karena latar belakang keluarganya,” imbuh si Bos.
Aku tak kuasa menahan diri untuk membeliak. Aku harus memukul kepala pria di sampingku agar dia mendapatkan kesadaran diri sehingga tidak bertindak seenak jidat membawa namaku dalam urusan keluarganya.
Masih segar dalam ingatanku saat pria ini menyuruhku untuk mencarikan pasangan kencan. Tidak peduli bagaimana tidak ada wanita yang berhasil menjadi pasangannya, bukan berarti aku yang harus dijadikan tumbal. Salah siapa dia memiliki selera wanita yang terlalu unik, atau mungkin dia tidak memiliki selera terhadap wanita, siapa yang tahu.
“Apa benar yang anakku katakan?” tanya Bu Susan padaku.
“Tidak….”
“TIDAK SALAH!!” Pak Malik langsung menyambar perkataanku. Dia memberi kode padaku untuk menutup mulut saja dan mengangguk.
***
Pak Malik membawaku ke restoran mewah yang terletak di atap gedung lantai 39. Di sana kami bisa menyaksikan keindahan matahari terbenam di langit Singapura. Saat malam menyapa, pengunjung akan menikmati pemandangan kota di mana gedung-gedung tinggi memamerkan pesonanya.
Nuansa bubungan atap yang dipenuhi dengan tanaman yang rindang membuat para pengunjung merasa tenang. Mereka dapat merasakan suasana alam asri yang berada di tengah kota, seperti berada di dua lingkungan yang berbeda dalam waktu yang sama.
“Apa maksud Bapak berbicara seperti itu pada ibu Anda?”
Meskipun Pak Malik membawaku ke restoran yang sangat memanjakan mata, aku tidak akan luluh. Harga diriku sebagai pekerja yang profesional sudah dia injak-injak dengan mengatakan kalau aku adalah kekasihnya. Lebih parahnya lagi, setelah itu Bu Susan meminta kami untuk segera melangsungkan pernikahan.
“Sama seperti yang kamu dengar.” Kemudian dia menyantap lobster pedas seperti tidak ada rasa bersalah padaku.
“Saya tidak bersedia.”
“Satu tahun…, cukup menjadi istriku satu tahun lalu kita bisa berpisah, bagaimana?” tanyanya.
“Tidak mau!” pekikku.
Dia mengepalkan tangannya serasa menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskanya kasar.
“Tidak ada penolakan, kamu harus melakukannya. Ingat dengan perjanjian kerja yang sudah ditandatangani? Bersedia melakukan tugas yang bersifat pribadi untuk atasan apabila diperlukan.” Pak Bos tersenyum licik.
Oh Tuhan! Beri tahu hamba apa yang harus dilakukan. Saat menandatangani perjanjian itu, aku mengira kalau tugas pribadi yang dimaksud hanya berada pada situasi mengurus keperluan baju dan makanan atasan. Tidak disangka, si bedebah yang sedang duduk manis menggunakan pasal ini untuk menjeratku dalam pernikahan yang konyol.
“Tidak masuk akal! Kalau bapak mau menikah kan bisa dengan orang lain. Salah satu dari wanita yang beberapa hari lalu berkencan dengan Bapak, misalnya.” Jangan pikir aku akan menyerahkan diri pada pernikahan tanpa cinta!
“Tidak ada yang cocok denganku,” jawabnya enteng.
“Bapak masih bisa mencari yang lain lewat aplikasi kencan yang saya beri tahu ke Bapak tadi siang.”
“Tidak mau.”
Arrrgggggg… kenapa orang ini sulit sekali diajak negosiasi sih? Apa yang harus dilakukan agar dia menyerah terhadapku? Mengancamnya dengan pura-pura melakukan percobaan bunuh diri mungkin akan berhasil. Aku harus mencobanya.
“Lebih baik saya mati saja, Pak. Daripada menikah dengan orang yang saya tidak cintai.” Aku berdiri, bersiap menuju sisi tepi atap gedung.
“Lima persen.”
Langkahku berhenti setelah mendengar ucapan Pak Malik.
“Aku akan memberimu lima persen saham,” ucapnya.
“Lima persen dari saham Bapak?”
“Lima persen dari saham Pelita Lestari,”-Pak Malik memelukku dari belakang-“Bagaimana?”
***
“Sejak kapan Pecitra mempekerjakan panda, Maduku?” Aulia tertawa renyah memenuhi ruangan pantri.Apa yang bisa aku perbuat untuk menyelamatkan lingkar hitam di mataku?“Mikirin apa sih sampai harus bergadang. Tuh, selain mirip panda, kamu juga mirip hantu yang suka makan bakso.” Dia memajang cermin kecil di depan mukaku. Terlihat sangat mengerikan.“Mikirin suamiku kapan pulang wajib militer.” Maafkan daku karena harus berbohong.Sebenarnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam memikirkan ucapan Pak Malik. Tawaran yang beliau berikan memang sangat menggiurkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja, akan tetapi konsekuensi yang harus aku tanggung juga tak seringan kapas yang beterbangan di cakrawala.“Maduku, aku mau cerita.” Lebih baik minta pendapat Aulia dahulu sebelum mengambil keputusan.“Tentang teman kamu ya?” Dia sungguh bersemangat.“BUKAN
Suara interkom di atas meja kerja menyadarkan diri ini yang tengah larut dalam pikiranku sendiri. Mengingat apa yang aku dan Aulia bicarakan di pantri kemarin, hatiku tidak henti bertanya-tanya, bagaimana jika yang dikatakan oleh maduku ternyata benar?“Bawakan kopi untuk saya!” perintah atasanku.Kopi terus. Lama-kelamaan aku bisa jadi barista kalau setiap hari kerjanya menyeduh kopi untuk si ‘bossy’.“Baik, Pak,” jawabku.Aku membawa diri menuju pantri setelah panggilan berakhir. Walau diri ini enggan untuk melakukannya, namun perintah atasan harus dijalankan, daripada dipecat. Tidak lucu kan kalau karyawan diberhentikan hanya karena tak mau membuat minuman untuk bosnya?Tidak butuh waktu lama menyajikan kopi buatanku untuk Pak Bos. Sama seperti yang biasa dilakukan, setiap membawa kopi ke ruangan beliau, aku selalu menyertakan kudapan untuknya seperti kue dan kukis.“Silakan nikmati kopinya, Pak.” Aku meletakkan minuman panas yang masih mengepulkan uap air itu di meja atasanku, lalu
Bibir lumpuh seketika manakala rasa malu menyelimuti setiap inci dari tubuh ini. Malu karena sudah bertindak sembrono pada atasanku, tidak tepat dalam memadupadankan pakaian, dan riasan yang berantakan.Aku langsung bertolak dari ruangan CEO menuju toilet, merapikan penampilanku yang awut-awutan tidak jelas. Pertama-tama perbaiki dulu riasan wajah. Setelah itu, aku balik badan, mengangkat rambutku yang terurai panjang. Untung saja pada saat itu hanya aku yang berada di toilet sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui keadaanku yang sedang kacau.Sungguh memalukan.Pakaian dalam yang berwarna merah terpampang dengan jelas karena kemeja putih yang aku kenakan basah akibat tetesan air AC. Pantas saja Pak Malik menyuruhku pulang.***“Cara berpakaianmu sudah seperti artis yang sedang terkena skandal.”Keahlian Pak Bos dalam mencibir tidak perlu diragukan, tapi apa dia perlu melakukannya sekarang di saat kami sedang menikmati makan malam?
“Pak…, jangan lakukan ini! Saya selalu menjaga diri demi suami yang sedang wajib militer. Bapak jangan coba-coba merusaknya!” Pak Malik membopongku dari sofa ke atas ranjangnya.Pria yang memiliki tubuh kekar itu sama sekali tidak menghiraukan pekikanku. Aku melakukan perlindungan diri dengan cara tangan kanan memegang bahu kiri dan sebaliknya, memegang bahu kanan dengan tangan kiri.“Tidak disangka ternyata kepalamu dipenuhi dengan pikiran kotor,”-si Bos menurunkanku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhku-“saya tidak membiarkanmu pulang ke unit sebelah karena khawatir kalau kamu akan menangis lagi jika sudah sendirian.”Enak saja orang ini mengatur di mana aku harus tidur. Memangnya dia punya hak apa untuk mengatur wilayah pribadiku? Keluarga? Bukan. Sanak saudara? Juga Bukan. Suami? Apalagi!“Saya terbiasa tidur dengan memeluk suami, di sini tidak ada dia jadi saya tidak bisa tidur!” Buat saja alasan sembarang.Drrrtt…“Halo. Iya M
Tidak ada orang lain selain aku yang berada di rumah Pak Malik. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mencari surat pernyataan yang aku tulis semalam.Diawali dari ruang kerja Pak Malik. Aku memeriksa setiap dokumen yang tersimpan di sana mulai dari dokumen yang ada di atas meja, di dalam laci, rak buku hingga yang tersembunyi di balik lukisan. Namun, surat itu tidak ada di sana.Pantang menyerah! Aku melanjutkan pencarian di ruang tamu, memeriksa setiap laci yang ada, dan mengintip ke bawah kolong meja dan sofa. Hasilnya nihil.DI MANA?DI MANA LAGI AKU HARUS MENCARI?***“IYA…, TUNGGU SEBENTAR!”Aku berlari dari kamar buru-buru membuka pintu masuk. Sesuai janjinya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, Pak Malik berkata bahwa dia akan datang menjemputku saat jam makan siang.“Maaf, Pak. Sudah membuat Anda menunggu lama,” ucapku sekadar basa-basi. Kalau tidak dibahas jadi basi.
“Selamat Pagi, Pak.”“Selamat pagi, Pak.”Semua karyawan yang memberi salam pada atasan kami yang agung hanya mendapat balasan anggukan sang CEO. Beliau memang tidak suka banyak bicara, kecuali pada orang-orang tertentu seperti diriku yang menjadi tempat pembuangan unek-uneknya yang tidak jelas.“Ke ruangan saya, sekarang!” Pak Bos baru saja tiba di kantor, beliau langsung memanggilku.“Baik, Pak.” Aku mengikuti Pak Malik dari belakang.Beliau dengan santai duduk bersandar di kursinya. “Apa agendaku hari ini?”“Pukul sepuluh sampai sebelas Anda akan bertemu dengan Direktur Immanuel untuk membahas masalah yang terjadi di Plant Cibitung. Pada pukul satu siang, Anda memiliki pertemuan dengan Departemen Penelitian dan Pengembangan. Setelah itu, Anda tidak memiliki agenda khusus dan bisa tetap berada di kantor,” terangku.Pak Malik diam saja. Matanya juga tidak fokus entah ke mana. Apabila beliau sudah bertingkah seperti ini, akan ada sesu
“Kemarin, Pak Malik memberi perintah untuk memperbaiki semua unit pendingin udara di kantor ini. Beliau juga mengisi ulang freon,”-Aulia menjauhkan mulutnya dari indra pendengaranku-“hasilnya kamu lihat sekarang. Ruangan jadi sangat dingin, membuat kita semua ingin buang air kecil lebih sering dari biasanya.”Perkataan Aulia tidak hanya terdengar memuji perbuatan yang dilakukan oleh Pak Malik, tetapi juga mencibirnya di saat yang bersamaan. Hal itu membuat Bunga tidak terima.“Bu kalau lagi ngomongin kebaikan Pak Malik yang total dong, jangan setengah-setengah. Selain memperbaiki pendingin udara, beliau juga memasang alat pelembab udara yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Dia lelaki yang sangat hangat. Tahu saja kalau wanita membutuhkan pelembab udara agar rambut dan kulitnya tidak kering.”Gadis ini memuji Pak Malik dengan berapi-api. Penggemar memang beda.***Tidak ada manusia yang hidup di muka bumi tanpa memiliki masalah. Mereka datang dan
“AAAAAYOO DIGOYAAAAANG…! SEMUANYA TERIIAAAK AAAAAAAAAAAAA!”Semua orang bersemangat, tak terkecuali Aulia yang kini sedang bernyanyi di depan sana.Sesuai dengan perkataan Pak Malik, seluruh karyawan Pecitra yang berada di lantai 17 Pelisia Quarter Keeps menikmati makan malam bersama dan bernyanyi ria setelahnya.Mereka memanfaatkan momen ini dengan baik. Kapan lagi orang-orang ini dapat bersenang-senang tanpa perlu memikirkan biaya yang dihabiskan.“ALBA! KENAPA SIH PAK MALIK TIDAK IKUT?” tanya Aulia. Wanita tersebut masih memegang mik di tangan kanannya.“TIDAK TAHU!”Sebenarnya aku tidak memberi tahu Pak Malik di mana lokasi acara malam ini karena aku tidak ingin bertemu beliau. Bosan rasanya setiap hari bertemu dengan orang itu terus-menerus dari pagi, siang hingga malam.“AYO KITA BUAT VIDEO TERIMA KASIH UNTUK BAPAK. SEMUANYA KUMPUL DI SINI.” Aulia meminta semua orang untuk b
Terima kasih aku ucapkan pada:Editorku, Kak Dian dan Kak Lucy. Berkat kalian berdua, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ dapat tayang di Goodnovel;Para pembaca. Kalian memotivasiku untuk menyelesaikan cerita. ‘Jebakan Cinta sang CEO’ atau memiliki judul lain ‘Suami Magnetis’ merupakan naskah pertamaku di platform ini. Aku harap kalian menyukainya;Terkhusus untuk Jin, lelaki paling tampan di dunia dan sejagat raya pada abad ini. Oppa, thank you for giving me inspiration in writing this manuscript. If Oppa hadn’t held fan meeting a few months ago as well as became the torch bearer for The Paris 2024 Olympics, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ would have had a different storyline. Oppa, i have a dream that one day my scripts will be adapted into drama and you become the one who play the main role. I hope my dreams come true.Saat ini aku sedang mengerjakan naskah lain berjudul Hidden Tea. Semoga cerita tersebut dapat tayang di platform ini juga. Sekian.
“Sayang, kamu enggak marah sama aku?” tanyaku.Saat ini diriku berada di bawah selimut yang sama dengan Rasenda. Setelah kami berdua melakukan penyatuan, rindu yang mengapur pun melebur. Suasana yang awalnya dingin, kini menjadi cair.Dengan lembut, Rasenda memeluk tubuhku yang masih polos dan apa adanya. “Marah kenapa?”“Karena aku jual Jantung Medusa, hadiah dari Mama,” jawabku dengan suara yang pelan, lalu menyembunyikan wajah di pelukan Rasenda.Pada saat diriku bilang ke Rosiana bahwa aku akan melepas Jantung Medusa, sebenarnya aku takut jika Rasenda membenciku. Meski pada saat itu lelaki ini membiarkan tindakanku, namun tetap saja ada perasaan tak enak.“Asalkan itu membuatmu senang, tidak ada masalah,” jawabnya.“Lagi pula, kamu tidak jual benda itu atas dasar keputusanmu sendiri. Aku masih punya andil di dalamnya. Ingat! Aku yang melepas perhiasan itu ke orang lain karena akulah yang menyimpannya. Jadi, jangan salahkan dirimu, oke,” imbuhnya.Betapa baiknya suamiku. Padahal ka
Empat hari kami berada di Korea mulai dari Kamis hingga Minggu. Kalau saja Aulia bukan budak korporasi, mungkin kami akan berada di sana hingga satu minggu ke depan.“Manu, tolong bawa ke dalam dan bagi dengan yang lain,” pintaku pada orang itu, wanita yang disuruh oleh Rasenda untuk mengawasi gerak-gerikku.Dia membawa masuk koper yang kuberikan dan membukanya. Betapa terkejut wanita itu setelah dia melihat isi dalam koper tersebut. Terdapat berbagai produk kecantikan, seperti masker wajah, lipstik dan pelembab. Tak ketinggalan juga teh yuja, ginseng serta berbagai makanan khas Korea.Selama berada di negeri K-pop, Aku dan Aulia memuaskan diri berkeliling ke berbagai tempat. Dari lokasi wisata hingga pusat perbelanjaan, kami kunjungi semua. Tak peduli mau beli atau tidak, yang penting kami bisa cuci mata.“Ya ampun banyak banget, Bu. Apa enggak rugi kena cukai?” respons Manu.Persetan dengan cukai atau apa pun itu, toh yang bayar suamiku. Dia sendiri juga sudah bilang agar aku memuas
“Hai sayang! Gimana kabar?” Rosiana mencium pipiku, kiri dan kanan.“Baik Kak. Kakak gimana?” jawabku.Wanita yang kini mengenakan kemeja putih ini menggenggam tanganku. “Luar biasa.”Kami bertemu di kafe yang terletak di daerah Megamendung. Tempat itu memiliki pemandangan indah yang menghadap ke Gunung Salak.Selain memanjakan mata, kafe tersebut juga memanjakan lidah, terutama bagi pengunjung yang mencintai makanan pedas. Mereka menyediakan berbagai menu yang dipadukan dengan sambal bakar seperti ikan gurame, ayam bakar pedas manis, steik bumbu kacang dan masih banyak lagi.“Langsung saja tidak usah basa-basi. Aku dengar kamu punya Jantung Medusa.” Baru saja bertemu, wanita ini sudah bertanya tentang perhiasan.“Dari mana Kakak mendengarnya?” tanyaku.“Dari kenalanku. Dia ingin membelinya,” ujar Rosiana.Memang yang namanya gosip cepat beredar. Mend
“Sayang kamu pasti bercanda, kan?”Aku menarik jas pria ini dengan tangan yang gemetar. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu kejam?Kertas yang dia berikan padaku merupakan surat pengunduran diri yang sudah diatur olehnya. Dia, bahkan tak meminta pendapatku lebih dahulu. Inikah hukuman darinya?“Selama ini aku tak bermaksud untuk menyembunyikan kebenaran ini. Aku hanya belum sempat mengatakannya…, tidak…, aku tak berani mengatakannya karena takut kalau kamu jadi makin sedih,” ucapku.“Saat itu, kamu baru saja kehilangan Mama. Jika aku memberi tahu kalau aku keguguran….”“Tetap saja aku berhak tahu!” bentaknya. “Bagaimanapun juga, dia juga anakku.”Seumur hidup, aku tak pernah melihat Rasenda marah sampai membentakku seperti malam ini. Biasanya, tak peduli seburuk apa suasana hatinya, dia tak akan berbicara dengan nada tinggi padaku.“Apa kar
Semenjak Ayu mengunggah video klarifikasi, kepercayaan publik yang sempat hilang pun kembali. Demikian juga dengan kepulangan Rasenda dari Singapura membuat atmosfer Pecitra menjadi lebih baik dari hari ke hari.Lelaki itu berhasil membujuk klien Pecitra yang ingin memutus kerja sama untuk mengurungkan niatnya. Dengan demikian, kerugian yang mengancam perusahaan dapat ditekan.Rasenda berjalan keluar dari ruangannya dan singgah di mejaku. “Sayang, buka akun sekuritas kamu deh,” ucap lelaki itu. Aku pun menurutinya.Betapa terkejut diriku saat melihat ekuitas yang aku miliki saat ini. Besarnya tak tanggung-tanggung hingga mencapai enam bagger. Modal awal yang aku taruh adalah delapan belas miliar enam ratus juta rupiah dan kini nilainya menjadi seratus sebelas miliar enam ratus juta rupiah.“Sayang! Ini beneran uang aku naik lima ratus persen?” tanyaku pada suami untuk memastikan diriku yang masih percaya bahwa ini mimpi.
Setelah menyelesaikan sambungan telepon dengan suami, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di bawah sana. Awalnya hanya terasa lengket, namun makin lama terasa kian deras.“Bu, silakan dipakai.” Bu Angelic memberikan pembalut padaku. “Di dekat sini ada mol, kita bisa pakai toilet di sana,” sambungnya.Setelah wanita itu berkata demikian, aku pun refleks meraba celanaku dan melihat ke belakang sana. Betapa terkejutnya diriku mendapati rembesan darah yang masih segar.“Ini tidak mungkin,” gumamku.“Sudah Bu, tidak usah malu. Kita kan sama-sama perempuan. Wajar saja kalau bocor saat sedang deras-derasnya,” ujar Ibu Angelic.Selama ini, tak ada yang mengetahui kehamilanku, kecuali suami dan ibu mertua. Oleh karena itu, tak heran jika wanita ini mengira bahwa aku sedang menstruasi. Hal ini ada baiknya juga sebab pendarahanku tak menimbulkan kegaduhan.“Pak Kevin dan Bu Angelic balik duluan
“Surprise, moda faka!” ucapku dengan intonasi yang manis disertai senyuman lebar pada Ayu, wanita yang membuat kekacauan di tubuh Pecitra dalam beberapa minggu belakangan.Perempuan itu terburu-buru menutup kembali pintu masuk begitu dia tahu kalau yang berkunjung ke tempat tinggalnya adalah diriku dan dua pejabat tinggi Pecitra. Berani bertaruh, dia pasti tak menyangka kalau kami akan datang ke rumah yang dia rahasiakan dengan baik.“Tidak mempersilakan kami masuk?” Aku menahan daun pintu dengan sepatu.Ayu tetap bersikeras menutup pintu, namun Pak Kevin berhasil menariknya dan menerobos masuk. Perempuan itu pun berteriak minta tolong. Sayangnya, usaha tersebut tak membuahkan hasil karena kami lebih dahulu membungkam mulutnya.“Jangan kamu pikir bisa berbuat seenaknya setelah merusak nama baik Pecitra,” ucapku padanya dengan suara pelan, tepat di telinga perempuan itu.“Kalau kalian berani macam-m
“Bagaimana situasi di Jakarta?” tanya Rasenda padaku yang sedang berada dalam perjalanan menuju Petals Allure.“Semua aman terkendali meskipun ada kayu yang melintang. Kamu tenang saja karena aku sudah membereskannya,” kataku, merujuk pada Rapat Dewan Direksi yang baru saja digelar.Bila teringat tentang rapat tersebut, dadaku jadi bergemuruh. Kalau berbuat kekerasan tak melanggar hukum, mungkin aku sudah menarik rambut para direksi sampai kepala mereka botak.“Aku kesal banget tahu. Bisa-bisanya mereka mau gantiin kamu. Dibilangnya kamu mangkir dari tugas saat perusahaan sedang ada masalah. Padahal kan di sana kamu juga masih mengerjakan urusan kantor,” sambungku.“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu dari balik telepon.“Ya aku lawan. Untung saja kamu kasih aku surat kuasa untuk atur saham yang kamu punya. Aku bilang saja kalau aku memegang saham mayoritas bahkan sampai tujuh puluh persen, jadinya mereka enggak bisa berdebat lagi,” jawabku.Rasenda pun tertawa keras setelah