Home / CEO / Jebakan Cinta sang CEO / Bab 5 | Lima Persen

Share

Bab 5 | Lima Persen

Usai berbincang dengan Dian, aku mendapat sumur inspirasi. Jika Pak Malik setuju dengan gagasan ini, maka tugasku di masa depan akan semakin lancar tanpa hambatan yang berarti.

“Pak, ada yang ingin saya sampaikan,” kataku, setelah mengantarkan kopi dan kudapan ke ruangan CEO.

Pak Malik tidak memberi respons apa pun. Dia sibuk dengan dokumen di tangannya yang sudah ditandatangani. Apa sih yang sedang beliau pikirkan sampai tidak fokus?

“PAK!!” Kali ini suaraku lebih keras dari sebelumnya.

Si Bos mendesah lalu dia menutup dokumennya.

“Al, saya ini bukan pembina upacara yang perlu kamu teriaki dengan lantang. Bicara saja sewajarnya,”-dia menunjuk daun telinga kirinya-“gendang telingaku ini masih bergetar dengan normal, tahu! Kamu mau bicara apa?”

Sebelum menyajikan inti pembicaraan, aku mengambil kue kemudian menyuapi Pak Malik.

“Enak tidak, Pak?”

Tidak ada kata yang terucap.

Aku bosan dengan reaksi Pak CEO yang tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengangguk dengan ekspresi bingung. Setidaknya katakan sesuatu, Bos.

“Ini adalah kue lamarannya Dian,”-aku mengambil telepon genggam-“Bapak tahu tidak? Dia bertemu dengan calonnya lewat aplikasi, loh,”-membuka aplikasi kencan yang digunakan Dian dan menunjukkannya pada Pak Malik-“saya sudah mengatur profil Bapak, yang perlu Anda lakukan yaitu menggeser layar ke kanan pada profil wanita yang cocok dengan kriteria Bapak.”

Aku sangat bersyukur karena tuhan memberiku kepala yang cerdas. Pak Malik yang tampan ini pasti akan menyukai hasil kerjaku yang brilian.

“Terima kasih. Saya akan memeriksanya setelah menerima telepon.” Dia melambaikan tangan, menyuruhku untuk meninggalkan ruangan.

***

“Selamat siang, Pak. Bagaimana saya bisa membantu?” ucapku saat menjawab panggilan interkom dari ruangan CEO.

“Batalkan semua jadwal saya hari ini, lalu pesan tiket penerbangan ke Singapura dengan jadwal paling dekat dari sekarang. Kamu ikut saya ke sana!” perintah lelaki itu.

“Baik, Pak. Saya akan melakukan penjadwalan ulang agenda Anda, lalu memesan tiket penerbangan ke Singapura untuk dua orang, serta mengatur mobil untuk menjemput Anda di bandara tujuan.” Asyik!! Dinas ke luar negeri.

***

Setelah mendarat di Singapura, kami menuju rumah sakit besar yang terdapat di negara tersebut. Saat tiba di sana, Pak Malik langsung menuju salah satu ruangan VIP. Sebelum masuk, Pak Malik berhenti sejenak di depan pintu. Beliau menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskan secara pelan.

“Ma…,” ucap Pak Malik pada wanita yang terbaring di ranjang pasien. Dirinya terbaring lemah dengan infus dan alat bantu pernapasan setia menemani.

“Bagaimana perasaan Mama?” Pak Malik sambil memegangi telapak tangan ibunya.

“Rara…, mama baik-baik saja,”-dia melihat ke arahku-“siapa perempuan ini?”

“Ini Alba, Ma. Sekretarisnya Rara.”

Aku mengangguk kepada wanita itu. Dia adalah Ibu Susan, ibu dari atasanku sekaligus pemilik Pelisia. Selama sepuluh tahun bekerja, aku memang beberapa kali bertemu dengan beliau, namun kami tidak pernah berbincang secara pribadi. Jadi, wajar saja jika beliau tidak mengenal diriku.

“Ternyata kamu cuma sekretaris…,”-wanita itu mengamatiku dari rambut hingga kaki, lalu dia mengubah posisi tidur membelakangi putranya-“kirain calon menantuku.”

Ahh…, jadi seperti itu. Ternyata alasan Pak Malik mencari pasangan kencan karena ibunya sedang menuntut pria itu untuk memberinya menantu. Seperti di drama saja.

“Bagaimana dia mau jadi menantu Mama kalau jadi sekretaris saja Mama sudah tidak bersemangat saat bertemu dengannya,”-Pak Malik mengambil air di atas meja lalu memberikan pada ibunya-“kalau Rara memperkenalkan Alba sebagai calon menantu Mama, aku yakin Mama pasti akan menolaknya mentah-mentah.”

Memangnya kenapa kalau cuma sekretaris? Apabila beliau tahu bagaimana diriku berusaha keras memenuhi standarnya, maka beliau tidak akan membicarakanku seperti itu. Aku yakin!

Mentang-mentang aku cuma budak korporasi, mereka berbicara seenaknya mengenai diriku. Segala membandingkan antara sekretaris dan calon menantu. Mereka pikir aku bersedia jika menjadi bagian dari keluarganya?

Tidak nyaman. Itu yang dirasakan manakala ibu dan anak ini bergunjing tentang statusku di depan diriku langsung. Di dalam ruangan sana, tercium firasat yang tidak menyenangkan.

“Mana mungkin!” pekik Bu Susan

“Memangnya Mama ini seperti wanita kaya yang kolot seperti di drama?” lanjutnya.

Pak Malik berpaling kepadaku, lalu menggunakan lirikan matanya seraya mendongak kemudian menjatuhkan pandangan ke bahu kanannya sendiri sebagai kode untuk menyuruhku berdiri di sisi lelaki itu. Aku pun tidak memiliki pilihan selain mengikuti instruksi beliau.

Tubuhku terasa seperti terkena sengatan listrik karena Putra dari Bu Susan itu langsung meraih pinggangku tepat ketika diri ini berada di sampingnya. Aku berusaha melepaskan diri, namun Pak Malik malah semakin erat menahanku dalam jeratannya.

“Ma…, sebenarnya Rara dan Alba memang  menjalin hubungan.” Sekarang tangan kirinya menggenggam tanganku.

Ruangan pasien yang tenang berubah menjadi taman bermain sang putra Pelisia dengan tingkat kebisingan 101 desibel yang menyerang telingaku. Tidak habis pikir, iblis mana yang merasuki atasanku hingga mengucapkan kebohongan dengan sekonyong-konyong.

“Maafkan Rara karena merahasiakan hubungan kami. Rara takut kalau Mama tidak merestui kami berdua karena latar belakang keluarganya,” imbuh si Bos.

Aku tak kuasa menahan diri untuk membeliak. Aku harus memukul kepala pria di sampingku agar dia mendapatkan kesadaran diri sehingga tidak bertindak seenak jidat membawa namaku dalam urusan keluarganya.

Masih segar dalam ingatanku saat pria ini menyuruhku untuk mencarikan pasangan kencan. Tidak peduli bagaimana tidak ada wanita yang berhasil menjadi pasangannya, bukan berarti aku yang harus dijadikan tumbal. Salah siapa dia memiliki selera wanita yang terlalu unik, atau mungkin dia tidak memiliki selera terhadap wanita, siapa yang tahu.

“Apa benar yang anakku katakan?” tanya Bu Susan padaku.

“Tidak….”

“TIDAK SALAH!!” Pak Malik langsung menyambar perkataanku. Dia memberi kode padaku untuk menutup mulut saja dan mengangguk.

***

Pak Malik membawaku ke restoran mewah yang terletak di atap gedung lantai 39. Di sana kami bisa menyaksikan keindahan matahari terbenam di langit Singapura. Saat malam menyapa, pengunjung akan menikmati pemandangan kota di mana gedung-gedung tinggi memamerkan pesonanya.

Nuansa bubungan atap yang dipenuhi dengan tanaman yang rindang membuat para pengunjung merasa tenang. Mereka dapat merasakan suasana alam asri yang berada di tengah kota, seperti berada di dua lingkungan yang berbeda dalam waktu yang sama.

“Apa maksud Bapak berbicara seperti itu pada ibu Anda?”

Meskipun Pak Malik membawaku ke restoran yang sangat memanjakan mata, aku tidak akan luluh. Harga diriku sebagai pekerja yang profesional sudah dia injak-injak dengan mengatakan kalau aku adalah kekasihnya. Lebih parahnya lagi, setelah itu Bu Susan meminta kami untuk segera melangsungkan pernikahan.

“Sama seperti yang kamu dengar.” Kemudian dia menyantap lobster pedas seperti tidak ada rasa bersalah padaku.

“Saya tidak bersedia.”

“Satu tahun…, cukup menjadi istriku satu tahun lalu kita bisa berpisah, bagaimana?” tanyanya.

“Tidak mau!” pekikku.

Dia mengepalkan tangannya serasa menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskanya kasar.

“Tidak ada penolakan, kamu harus melakukannya. Ingat dengan perjanjian kerja yang sudah ditandatangani? Bersedia melakukan tugas yang bersifat pribadi untuk atasan apabila diperlukan.” Pak Bos tersenyum licik.

Oh Tuhan! Beri tahu hamba apa yang harus dilakukan. Saat menandatangani perjanjian itu, aku mengira kalau tugas pribadi yang dimaksud hanya berada pada situasi mengurus keperluan baju dan makanan atasan. Tidak disangka, si bedebah yang sedang duduk manis menggunakan pasal ini untuk menjeratku dalam pernikahan yang konyol.

“Tidak masuk akal! Kalau bapak mau menikah kan bisa dengan orang lain. Salah satu dari wanita yang beberapa hari lalu berkencan dengan Bapak, misalnya.” Jangan pikir aku akan menyerahkan diri pada pernikahan tanpa cinta!

“Tidak ada yang cocok denganku,” jawabnya enteng.

“Bapak masih bisa mencari yang lain lewat aplikasi kencan yang saya beri tahu ke Bapak tadi siang.”

“Tidak mau.”

Arrrgggggg… kenapa orang ini  sulit sekali diajak negosiasi sih? Apa yang harus dilakukan agar dia menyerah terhadapku? Mengancamnya dengan pura-pura melakukan percobaan bunuh diri mungkin akan berhasil. Aku harus mencobanya.

“Lebih baik saya mati saja, Pak. Daripada menikah dengan orang yang saya tidak cintai.” Aku berdiri, bersiap menuju sisi tepi atap gedung.

“Lima persen.”

Langkahku berhenti setelah mendengar ucapan Pak Malik.

“Aku akan memberimu lima persen saham,” ucapnya.

“Lima persen dari saham Bapak?”

“Lima persen dari saham Pelita Lestari,”-Pak Malik memelukku dari belakang-“Bagaimana?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status