Share

Bab 6 | Maniak

“Sejak kapan Pecitra mempekerjakan panda, Maduku?” Aulia tertawa renyah memenuhi ruangan pantri.

Apa yang bisa aku perbuat untuk menyelamatkan lingkar hitam di mataku?

“Mikirin apa sih sampai harus bergadang. Tuh, selain mirip panda, kamu juga mirip  hantu yang suka makan bakso.” Dia memajang cermin kecil di depan mukaku. Terlihat sangat mengerikan.

“Mikirin suamiku kapan pulang wajib militer.” Maafkan daku karena harus berbohong.

Sebenarnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam memikirkan ucapan Pak Malik. Tawaran yang beliau berikan memang sangat menggiurkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja, akan tetapi konsekuensi yang harus aku tanggung juga tak seringan kapas yang beterbangan di cakrawala.

“Maduku, aku mau cerita.” Lebih baik minta pendapat Aulia dahulu sebelum mengambil keputusan.

“Tentang teman kamu ya?” Dia sungguh bersemangat.

“BUKAN!”

Kalau menjawab iya, maka dia akan tahu kalau sebenarnya aku membicarakan tentang diriku sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum di bawah langit dunia, jika ada seorang manusia yang bercerita ke orang lain dan dia memulai pembicaraan dengan kalimat ‘aku mau cerita, ini bukan tentang aku tapi temanku’ dapat dipastikan bahwa sebenarnya cerita yang dia bicarakan adalah tentang dirinya sendiri.

“Aku dengar satu gosip. Ada pengusaha dari negeri seberang, dia menyuruh salah satu karyawatinya untuk menjadi istri kontrak selama setahun. Kamu tahu si perempuan itu dikasih apa kalau dia bersedia? Dia bakal dapat saham perusahaan milik pengusaha itu sebanyak lima persen. Menurut kamu masuk akal tidak? Memangnya ada yah lelaki sedermawan itu?”

“Ada,”-Aulia menyesap kopinya-“di dalam cerita novel dan drama yang tayang di ‘Netplikse’.”

Ucapan Aulia menamparku dengan keras. Aku tak memiliki dalih apa pun untuk mendebat pendapatnya karena yang wanita ini ucapkan terdengar lebih masuk akal dibanding penawaran yang Pak Malik berikan.

“Tapi ya, Al. Seandainya di dunia ini ada lelaki yang melakukan hal itu, motifnya patut dicurigai,” imbuh Aulia.

“Lanjut!” Aku membuka kue yang tersedia di pantri, lalu memberikannya pada Aulia, si maduku.

“Pertama, sebagai pengusaha orang itu memiliki naluri ‘tidak mau rugi’. Jika dia memberikan lima persen saham perusahaan dengan mudah, itu artinya dia mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari yang dia berikan ke karyawatinya.”

Masuk akal juga apa yang Aulia katakan. Namun, apa yang didapatkan oleh Pak Malik ya?

“Kedua, ada kemungkinan perusahaan itu merugi sampai di tahap yang sangat memprihatinkan hingga tidak dapat diselamatkan lagi. Dia memberikan sahamnya agar dirinya tidak dikejar-kejar oleh penagih hutang.”

Kalau yang ini tidak benar, sih. Selama dipimpin oleh Pak Malik, Pelisia Citra Ayu tidak pernah mendapat laba negatif. Jika anak perusahaan selalu menghasilkan laba, maka perusahaan induk otomatis akan mendapatkan laba juga. Tapi, TUNGGU! Pelita Lestari Indonesia bukanlah perusahaan terbuka seperti Pecitra sehingga laporan keuangannya tidak dipublikasikan. Bagaimana jika perusahaan itu ternyata merugi?

“Ngomong-ngomong tahu gak, bagaimana kinerja keuangan Pelita Lestari?” tanyaku pada Aulia.

“Kalau perusahaan induk aku tidak tahu-menahu,”-Aulia menepuk pundakku-“kamu kan dekat sama Pak Malik, tanya saja ke beliau. Si Bos pasti punya datanya.”

***

Entah berapa banyak masker mata terbuang untuk menghilangkan lingkar hitam di bawah mata. Pakai lagi pakai terus. Hasilnya tetap sama, warna hitam di bawah mata tidak hilang. Seperti ini hasilnya kalau bergadang sepanjang malam.

“Ha…, aku harus bagaimana?” desahku, seraya menjatuhkan tubuh yang penuh dengan kekhawatiran akan penampilanku.

“Tinggal datang ke rumahku saja, makan malam sudah siap. Hari ini aku yang masak.”

Suara Pak Malik sungguh mengagetkan, membuatku hampir berjingkrak dengan gaya bebas.

“Bagaimana Bapak bisa masuk?” Tanpa suara pula, mirip seperti burung hantu.

“Karena aku punya kuncinya.” Dia melemparkan diri ke sofa di ruang tamu di mana aku berada sekarang.

Hampir saja aku lupa kalau Pak Malik merupakan pemilik rumah yang aku tempati sekarang. Berawal dari tugas mengurus keperluan pribadi beliau saat tahun ketiga waktu aku masih bekerja di PT Pelita Lestari Indonesia, perusahaan induk Pecitra.

Berangkat kerja saat masih subuh dan seringnya pulang tengah malam karena harus bersama Pak Malik, membuat tubuhku tumbang hingga harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Sejak itu, Pak Malik menyuruh pindah ke Apartemen Mirrorpage dan tinggal di samping unit beliau. Dia juga tidak pernah lagi lembur sehingga aku bisa pulang tepat waktu, selalu. Meskipun demikian, setelah sampai rumah, ia menyuruhku untuk memasak untuknya. Yah, sama saja kerja lembur kalau begitu.

“Ternyata kamu seorang maniak ya.” Pak Malik beranjak dari posisinya menuju tempatku, lalu mengambil pelembab bibir di tas kosmetik setelah itu dia aplikasikan di bibirnya sendiri.

‘Pak! Modal dong! Perkara pelembab bibir masa pakai punya saya’. Ingin sekali rasanya memukul wajah si Bos menggunakan kalimat tersebut.

“Atas dasar apa Bapak menuduh saya maniak?” Aku melipat kedua tangan di depan dada.

“Kamu lihat di sana,”-dia menunjuk dinding yang yang ditempel wallpaper dengan motif wajahnya Jin di semua sisi-“dinding itu terlihat seperti tempat menaruh kepala korban tumbal.”

Itu tidak benar!!

Gambar yang terpampang di sana adalah karya seni. Pemilik wajah yang menghiasi dinding ruangan ini merupakan lelaki paling tampan di jagat raya.

“Bapak menyesal ya, karena sudah membiarkan saya tinggal di sini?” Jawab yang jujur, Pak. Jangan ada dusta!

“Bukan begitu,” sanggahnya.

Lalu?

“Maksud saya, jadi orang bertingkahlah yang wajar. Tidak perlu menyukai sesuatu secara berlebihan. Sesungguhnya yang berlebihan itu tidak baik.”

Perkataan si dia terdengar seperti kalimat yang diucapkan oleh orang suci. Memangnya dia suci?

“Saya tidak berlebihan kok, Pak.” Aku memalingkan muka darinya.

“Tidak berlebihan kamu bilang? Lihat bantal ini,”-dia menunjuk bantal sofa yang dibungkus dengan sarung bergambar wajah Jin-“lalu ini”-ia mengangkat mug yang bergambar wajah Jin-“di sana”-dia menunjuk gorden yang bermotif wajah Jin, tentunya.

“Semua barang apa pun yang dapat dipesan secara custom pasti ada wajah si penyanyi korea itu. Terutama yang di sana,”-Pak Malik menunjuk pintu masuk yang terpasang foto Jin dengan ukuran yang sama seperti ukuran daun pintu-“tidak ada manusia yang masih menggunakan akal sehatnya akan melakukan hal yang sama denganmu. Tidak salah lagi, kamu memang seorang maniak.”

“Bukan seperti itu, Pak.” Tuduhan Pak Malik padaku tidak benar. Aku bukan maniak. Bukan…, Bukan….

“Saya memasang foto Jin di daun pintu sebagai sumber semangat saat keluar rumah dan penghibur diri setelah pulang kerja,” ucapku.

“Jadi kamu menggunakannya sebagai lelaki penghibur?” Pak Malik geleng-geleng, tampak jelas dari matanya kalau dia sedang mengejekku.

“ITU TIDAK BENAR!” Suara ini memekik.

“Sttt…,”-dia menempelkan jari telunjuknya di bibirku-“aku tahu itu tidak benar karena yang sebenarnya kamu tidak membutuhkan lelaki penghibur. Kamu tahu alasannya? Karena dengan bertemu denganku saja sudah cukup untuk menghiburmu.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status