“Sejak kapan Pecitra mempekerjakan panda, Maduku?” Aulia tertawa renyah memenuhi ruangan pantri.
Apa yang bisa aku perbuat untuk menyelamatkan lingkar hitam di mataku?
“Mikirin apa sih sampai harus bergadang. Tuh, selain mirip panda, kamu juga mirip hantu yang suka makan bakso.” Dia memajang cermin kecil di depan mukaku. Terlihat sangat mengerikan.
“Mikirin suamiku kapan pulang wajib militer.” Maafkan daku karena harus berbohong.
Sebenarnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam memikirkan ucapan Pak Malik. Tawaran yang beliau berikan memang sangat menggiurkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja, akan tetapi konsekuensi yang harus aku tanggung juga tak seringan kapas yang beterbangan di cakrawala.
“Maduku, aku mau cerita.” Lebih baik minta pendapat Aulia dahulu sebelum mengambil keputusan.
“Tentang teman kamu ya?” Dia sungguh bersemangat.
“BUKAN!”
Kalau menjawab iya, maka dia akan tahu kalau sebenarnya aku membicarakan tentang diriku sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum di bawah langit dunia, jika ada seorang manusia yang bercerita ke orang lain dan dia memulai pembicaraan dengan kalimat ‘aku mau cerita, ini bukan tentang aku tapi temanku’ dapat dipastikan bahwa sebenarnya cerita yang dia bicarakan adalah tentang dirinya sendiri.
“Aku dengar satu gosip. Ada pengusaha dari negeri seberang, dia menyuruh salah satu karyawatinya untuk menjadi istri kontrak selama setahun. Kamu tahu si perempuan itu dikasih apa kalau dia bersedia? Dia bakal dapat saham perusahaan milik pengusaha itu sebanyak lima persen. Menurut kamu masuk akal tidak? Memangnya ada yah lelaki sedermawan itu?”
“Ada,”-Aulia menyesap kopinya-“di dalam cerita novel dan drama yang tayang di ‘Netplikse’.”
Ucapan Aulia menamparku dengan keras. Aku tak memiliki dalih apa pun untuk mendebat pendapatnya karena yang wanita ini ucapkan terdengar lebih masuk akal dibanding penawaran yang Pak Malik berikan.
“Tapi ya, Al. Seandainya di dunia ini ada lelaki yang melakukan hal itu, motifnya patut dicurigai,” imbuh Aulia.
“Lanjut!” Aku membuka kue yang tersedia di pantri, lalu memberikannya pada Aulia, si maduku.
“Pertama, sebagai pengusaha orang itu memiliki naluri ‘tidak mau rugi’. Jika dia memberikan lima persen saham perusahaan dengan mudah, itu artinya dia mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari yang dia berikan ke karyawatinya.”
Masuk akal juga apa yang Aulia katakan. Namun, apa yang didapatkan oleh Pak Malik ya?
“Kedua, ada kemungkinan perusahaan itu merugi sampai di tahap yang sangat memprihatinkan hingga tidak dapat diselamatkan lagi. Dia memberikan sahamnya agar dirinya tidak dikejar-kejar oleh penagih hutang.”
Kalau yang ini tidak benar, sih. Selama dipimpin oleh Pak Malik, Pelisia Citra Ayu tidak pernah mendapat laba negatif. Jika anak perusahaan selalu menghasilkan laba, maka perusahaan induk otomatis akan mendapatkan laba juga. Tapi, TUNGGU! Pelita Lestari Indonesia bukanlah perusahaan terbuka seperti Pecitra sehingga laporan keuangannya tidak dipublikasikan. Bagaimana jika perusahaan itu ternyata merugi?
“Ngomong-ngomong tahu gak, bagaimana kinerja keuangan Pelita Lestari?” tanyaku pada Aulia.
“Kalau perusahaan induk aku tidak tahu-menahu,”-Aulia menepuk pundakku-“kamu kan dekat sama Pak Malik, tanya saja ke beliau. Si Bos pasti punya datanya.”
***
Entah berapa banyak masker mata terbuang untuk menghilangkan lingkar hitam di bawah mata. Pakai lagi pakai terus. Hasilnya tetap sama, warna hitam di bawah mata tidak hilang. Seperti ini hasilnya kalau bergadang sepanjang malam.
“Ha…, aku harus bagaimana?” desahku, seraya menjatuhkan tubuh yang penuh dengan kekhawatiran akan penampilanku.
“Tinggal datang ke rumahku saja, makan malam sudah siap. Hari ini aku yang masak.”
Suara Pak Malik sungguh mengagetkan, membuatku hampir berjingkrak dengan gaya bebas.
“Bagaimana Bapak bisa masuk?” Tanpa suara pula, mirip seperti burung hantu.
“Karena aku punya kuncinya.” Dia melemparkan diri ke sofa di ruang tamu di mana aku berada sekarang.
Hampir saja aku lupa kalau Pak Malik merupakan pemilik rumah yang aku tempati sekarang. Berawal dari tugas mengurus keperluan pribadi beliau saat tahun ketiga waktu aku masih bekerja di PT Pelita Lestari Indonesia, perusahaan induk Pecitra.
Berangkat kerja saat masih subuh dan seringnya pulang tengah malam karena harus bersama Pak Malik, membuat tubuhku tumbang hingga harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Sejak itu, Pak Malik menyuruh pindah ke Apartemen Mirrorpage dan tinggal di samping unit beliau. Dia juga tidak pernah lagi lembur sehingga aku bisa pulang tepat waktu, selalu. Meskipun demikian, setelah sampai rumah, ia menyuruhku untuk memasak untuknya. Yah, sama saja kerja lembur kalau begitu.
“Ternyata kamu seorang maniak ya.” Pak Malik beranjak dari posisinya menuju tempatku, lalu mengambil pelembab bibir di tas kosmetik setelah itu dia aplikasikan di bibirnya sendiri.
‘Pak! Modal dong! Perkara pelembab bibir masa pakai punya saya’. Ingin sekali rasanya memukul wajah si Bos menggunakan kalimat tersebut.
“Atas dasar apa Bapak menuduh saya maniak?” Aku melipat kedua tangan di depan dada.
“Kamu lihat di sana,”-dia menunjuk dinding yang yang ditempel wallpaper dengan motif wajahnya Jin di semua sisi-“dinding itu terlihat seperti tempat menaruh kepala korban tumbal.”
Itu tidak benar!!
Gambar yang terpampang di sana adalah karya seni. Pemilik wajah yang menghiasi dinding ruangan ini merupakan lelaki paling tampan di jagat raya.
“Bapak menyesal ya, karena sudah membiarkan saya tinggal di sini?” Jawab yang jujur, Pak. Jangan ada dusta!
“Bukan begitu,” sanggahnya.
Lalu?
“Maksud saya, jadi orang bertingkahlah yang wajar. Tidak perlu menyukai sesuatu secara berlebihan. Sesungguhnya yang berlebihan itu tidak baik.”
Perkataan si dia terdengar seperti kalimat yang diucapkan oleh orang suci. Memangnya dia suci?
“Saya tidak berlebihan kok, Pak.” Aku memalingkan muka darinya.
“Tidak berlebihan kamu bilang? Lihat bantal ini,”-dia menunjuk bantal sofa yang dibungkus dengan sarung bergambar wajah Jin-“lalu ini”-ia mengangkat mug yang bergambar wajah Jin-“di sana”-dia menunjuk gorden yang bermotif wajah Jin, tentunya.
“Semua barang apa pun yang dapat dipesan secara custom pasti ada wajah si penyanyi korea itu. Terutama yang di sana,”-Pak Malik menunjuk pintu masuk yang terpasang foto Jin dengan ukuran yang sama seperti ukuran daun pintu-“tidak ada manusia yang masih menggunakan akal sehatnya akan melakukan hal yang sama denganmu. Tidak salah lagi, kamu memang seorang maniak.”
“Bukan seperti itu, Pak.” Tuduhan Pak Malik padaku tidak benar. Aku bukan maniak. Bukan…, Bukan….
“Saya memasang foto Jin di daun pintu sebagai sumber semangat saat keluar rumah dan penghibur diri setelah pulang kerja,” ucapku.
“Jadi kamu menggunakannya sebagai lelaki penghibur?” Pak Malik geleng-geleng, tampak jelas dari matanya kalau dia sedang mengejekku.
“ITU TIDAK BENAR!” Suara ini memekik.
“Sttt…,”-dia menempelkan jari telunjuknya di bibirku-“aku tahu itu tidak benar karena yang sebenarnya kamu tidak membutuhkan lelaki penghibur. Kamu tahu alasannya? Karena dengan bertemu denganku saja sudah cukup untuk menghiburmu.”
***
Suara interkom di atas meja kerja menyadarkan diri ini yang tengah larut dalam pikiranku sendiri. Mengingat apa yang aku dan Aulia bicarakan di pantri kemarin, hatiku tidak henti bertanya-tanya, bagaimana jika yang dikatakan oleh maduku ternyata benar?“Bawakan kopi untuk saya!” perintah atasanku.Kopi terus. Lama-kelamaan aku bisa jadi barista kalau setiap hari kerjanya menyeduh kopi untuk si ‘bossy’.“Baik, Pak,” jawabku.Aku membawa diri menuju pantri setelah panggilan berakhir. Walau diri ini enggan untuk melakukannya, namun perintah atasan harus dijalankan, daripada dipecat. Tidak lucu kan kalau karyawan diberhentikan hanya karena tak mau membuat minuman untuk bosnya?Tidak butuh waktu lama menyajikan kopi buatanku untuk Pak Bos. Sama seperti yang biasa dilakukan, setiap membawa kopi ke ruangan beliau, aku selalu menyertakan kudapan untuknya seperti kue dan kukis.“Silakan nikmati kopinya, Pak.” Aku meletakkan minuman panas yang masih mengepulkan uap air itu di meja atasanku, lalu
Bibir lumpuh seketika manakala rasa malu menyelimuti setiap inci dari tubuh ini. Malu karena sudah bertindak sembrono pada atasanku, tidak tepat dalam memadupadankan pakaian, dan riasan yang berantakan.Aku langsung bertolak dari ruangan CEO menuju toilet, merapikan penampilanku yang awut-awutan tidak jelas. Pertama-tama perbaiki dulu riasan wajah. Setelah itu, aku balik badan, mengangkat rambutku yang terurai panjang. Untung saja pada saat itu hanya aku yang berada di toilet sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui keadaanku yang sedang kacau.Sungguh memalukan.Pakaian dalam yang berwarna merah terpampang dengan jelas karena kemeja putih yang aku kenakan basah akibat tetesan air AC. Pantas saja Pak Malik menyuruhku pulang.***“Cara berpakaianmu sudah seperti artis yang sedang terkena skandal.”Keahlian Pak Bos dalam mencibir tidak perlu diragukan, tapi apa dia perlu melakukannya sekarang di saat kami sedang menikmati makan malam?
“Pak…, jangan lakukan ini! Saya selalu menjaga diri demi suami yang sedang wajib militer. Bapak jangan coba-coba merusaknya!” Pak Malik membopongku dari sofa ke atas ranjangnya.Pria yang memiliki tubuh kekar itu sama sekali tidak menghiraukan pekikanku. Aku melakukan perlindungan diri dengan cara tangan kanan memegang bahu kiri dan sebaliknya, memegang bahu kanan dengan tangan kiri.“Tidak disangka ternyata kepalamu dipenuhi dengan pikiran kotor,”-si Bos menurunkanku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhku-“saya tidak membiarkanmu pulang ke unit sebelah karena khawatir kalau kamu akan menangis lagi jika sudah sendirian.”Enak saja orang ini mengatur di mana aku harus tidur. Memangnya dia punya hak apa untuk mengatur wilayah pribadiku? Keluarga? Bukan. Sanak saudara? Juga Bukan. Suami? Apalagi!“Saya terbiasa tidur dengan memeluk suami, di sini tidak ada dia jadi saya tidak bisa tidur!” Buat saja alasan sembarang.Drrrtt…“Halo. Iya M
Tidak ada orang lain selain aku yang berada di rumah Pak Malik. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mencari surat pernyataan yang aku tulis semalam.Diawali dari ruang kerja Pak Malik. Aku memeriksa setiap dokumen yang tersimpan di sana mulai dari dokumen yang ada di atas meja, di dalam laci, rak buku hingga yang tersembunyi di balik lukisan. Namun, surat itu tidak ada di sana.Pantang menyerah! Aku melanjutkan pencarian di ruang tamu, memeriksa setiap laci yang ada, dan mengintip ke bawah kolong meja dan sofa. Hasilnya nihil.DI MANA?DI MANA LAGI AKU HARUS MENCARI?***“IYA…, TUNGGU SEBENTAR!”Aku berlari dari kamar buru-buru membuka pintu masuk. Sesuai janjinya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, Pak Malik berkata bahwa dia akan datang menjemputku saat jam makan siang.“Maaf, Pak. Sudah membuat Anda menunggu lama,” ucapku sekadar basa-basi. Kalau tidak dibahas jadi basi.
“Selamat Pagi, Pak.”“Selamat pagi, Pak.”Semua karyawan yang memberi salam pada atasan kami yang agung hanya mendapat balasan anggukan sang CEO. Beliau memang tidak suka banyak bicara, kecuali pada orang-orang tertentu seperti diriku yang menjadi tempat pembuangan unek-uneknya yang tidak jelas.“Ke ruangan saya, sekarang!” Pak Bos baru saja tiba di kantor, beliau langsung memanggilku.“Baik, Pak.” Aku mengikuti Pak Malik dari belakang.Beliau dengan santai duduk bersandar di kursinya. “Apa agendaku hari ini?”“Pukul sepuluh sampai sebelas Anda akan bertemu dengan Direktur Immanuel untuk membahas masalah yang terjadi di Plant Cibitung. Pada pukul satu siang, Anda memiliki pertemuan dengan Departemen Penelitian dan Pengembangan. Setelah itu, Anda tidak memiliki agenda khusus dan bisa tetap berada di kantor,” terangku.Pak Malik diam saja. Matanya juga tidak fokus entah ke mana. Apabila beliau sudah bertingkah seperti ini, akan ada sesu
“Kemarin, Pak Malik memberi perintah untuk memperbaiki semua unit pendingin udara di kantor ini. Beliau juga mengisi ulang freon,”-Aulia menjauhkan mulutnya dari indra pendengaranku-“hasilnya kamu lihat sekarang. Ruangan jadi sangat dingin, membuat kita semua ingin buang air kecil lebih sering dari biasanya.”Perkataan Aulia tidak hanya terdengar memuji perbuatan yang dilakukan oleh Pak Malik, tetapi juga mencibirnya di saat yang bersamaan. Hal itu membuat Bunga tidak terima.“Bu kalau lagi ngomongin kebaikan Pak Malik yang total dong, jangan setengah-setengah. Selain memperbaiki pendingin udara, beliau juga memasang alat pelembab udara yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Dia lelaki yang sangat hangat. Tahu saja kalau wanita membutuhkan pelembab udara agar rambut dan kulitnya tidak kering.”Gadis ini memuji Pak Malik dengan berapi-api. Penggemar memang beda.***Tidak ada manusia yang hidup di muka bumi tanpa memiliki masalah. Mereka datang dan
“AAAAAYOO DIGOYAAAAANG…! SEMUANYA TERIIAAAK AAAAAAAAAAAAA!”Semua orang bersemangat, tak terkecuali Aulia yang kini sedang bernyanyi di depan sana.Sesuai dengan perkataan Pak Malik, seluruh karyawan Pecitra yang berada di lantai 17 Pelisia Quarter Keeps menikmati makan malam bersama dan bernyanyi ria setelahnya.Mereka memanfaatkan momen ini dengan baik. Kapan lagi orang-orang ini dapat bersenang-senang tanpa perlu memikirkan biaya yang dihabiskan.“ALBA! KENAPA SIH PAK MALIK TIDAK IKUT?” tanya Aulia. Wanita tersebut masih memegang mik di tangan kanannya.“TIDAK TAHU!”Sebenarnya aku tidak memberi tahu Pak Malik di mana lokasi acara malam ini karena aku tidak ingin bertemu beliau. Bosan rasanya setiap hari bertemu dengan orang itu terus-menerus dari pagi, siang hingga malam.“AYO KITA BUAT VIDEO TERIMA KASIH UNTUK BAPAK. SEMUANYA KUMPUL DI SINI.” Aulia meminta semua orang untuk b
Rasa kesal dalam dada terhadap Pak Malik tak bisa ditutupi. Bagaimana tidak? Ternyata tempat yang beliau datangi malam ini adalah butik pengantin, yang lebih mengesalkan adalah ketika seorang karyawan butik bertanya tentang model gaun pengantin seperti apa yang kami inginkan, dengan santainya Pak Malik berucap kalau dia ingin yang paling mahal. Mentang-mentang dia kaya.“Calon pengantin wanita sudah siap,” ucap salah satu pegawai butik di mana aku mencoba gaun pengantin.Saat kain penutup kamar pas dibuka, pemandangan pertama yang aku lihat adalah ekspresi Pak Malik yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya. Pria itu bangkit dari kursi tunggu dengan mata membulat. Terlihat jakunnya naik turun bersamaan dengan ludah yang meluncur dalam kerongkongan.“Bagaimana, Pak?” tanyaku.“Yang ini saja.” Lelaki itu menghampiriku kemudian memasang tudung pengantin.Hanya itu yang Bapak katakan? Setidaknya berikan pendapat meskipun hanya satu kalimat singkat.“Yakin tidak mau lihat yang lain dulu?”