Home / CEO / Jebakan Cinta sang CEO / Bab 7 | Jangan Mengunakan Warna Merah di Balik Kemeja Putih

Share

Bab 7 | Jangan Mengunakan Warna Merah di Balik Kemeja Putih

Suara interkom di atas meja kerja menyadarkan diri ini yang tengah larut dalam pikiranku sendiri. Mengingat apa yang aku dan Aulia bicarakan di pantri kemarin, hatiku tidak henti bertanya-tanya, bagaimana jika yang dikatakan oleh maduku ternyata benar?

“Bawakan kopi untuk saya!” perintah atasanku.

Kopi terus. Lama-kelamaan aku bisa jadi barista kalau setiap hari kerjanya menyeduh kopi untuk si ‘bossy’.

“Baik, Pak,” jawabku.

Aku membawa diri menuju pantri setelah panggilan berakhir. Walau diri ini enggan untuk melakukannya, namun perintah atasan harus dijalankan, daripada dipecat. Tidak lucu kan kalau karyawan diberhentikan hanya karena tak mau membuat minuman untuk bosnya?

Tidak butuh waktu lama menyajikan kopi buatanku untuk Pak Bos. Sama seperti yang biasa dilakukan, setiap membawa kopi ke ruangan beliau, aku selalu menyertakan kudapan untuknya seperti kue dan kukis.

“Silakan nikmati kopinya, Pak.” Aku meletakkan minuman panas yang masih mengepulkan uap air itu di meja atasanku, lalu pergi menuju pantri untuk mengembalikan nampan.

Dalam perjalanan kembali dari sana, aku hampir saja terpeleset karena lantai kantor basah akibat tetesan air yang jatuh dari pendingin ruangan. Beruntungnya diriku karena saat bisa mengendalikan keseimbangan tubuh dengan baik. Jika tidak, maka aku pasti sudah menjadi tontonan yang menarik bagi semua orang.

Punggungku terasa dingin karena beberapa tetes air yang berasal dari pendingin ruangan berhasil mengenaiku. Ada rasa sedikit menyesal karena hari ini aku mencepol rambut. Andai saja aku menggerai rambutku yang panjang, tentu tetesan air itu tidak akan mengenai punggung.

Aku ingin memeriksa seberapa buruk akibat dari tetesan air itu terhadap penampilanku, namun mengurus suara interkom di meja harus didahulukan.

“Ke ruangan saya sekarang!” perintah Pak Malik.

Saat tiba di dalam sana, Pak Bos melemparkan pandangan yang tajam padaku seperti elang yang sedang mengunci targetnya.

“Minum itu!” Pak Malik menggunakan alisnya untuk menunjuk kopi yang aku sajikan beberapa saat lalu.

Jangan takut, Alba! Lakukan saja apa yang disuruh atasan. Itulah kalimat yang selalu kuucap dalam hati di setiap langkah.

Aku mengambil cangkir kopi di atas meja kerja beliau. Terlihat jejak ampas kopi mengarah ke salah satu sisi, artinya lelaki di depanku ini sempat menyesap minuman ini sebelum aku datang.

Biar aku tebak. Dia menyuruhku meminum kopi dari cangkir yang sama dengannya pasti karena dia ingin berbagi minuman denganku. Dasar bos mesum!

Karena Pak Malik terus melihat ke arahku, memastikan jika aku meminum kopi tersebut, apa boleh buat? Aku pun meminumnya sedikit.

“Bagaimana rasanya?” Pak Malik melipat tangannya di atas meja.

Aku tersenyum malu, malu semalu-malunya.

Ternyata kopi yang kusajikan pada lelaki ini sangat manis hingga dapat membuat seseorang kehilangan akal sehat. Jika orang yang sedang sakit gigi meminum kopi buatanku ini, mungkin saja dia akan pergi ke dokter anestesi untuk mematikan syaraf giginya.

“Ini sih bukan kopi, tetapi larutan gula,” gumamku. Sialnya, saat aku berkata demikian, Pak Malik melihatku dengan mata yang membulat.

“Biar saya ganti, Pak,” ucapku buru-buru, lalu membalikkan badan hendak melangkah ke luar ruangan.

“Tidak perlu. Kamu pulang saja,” ucapnya lirih dengan muka datar.

Oh tidak!!

Jika seorang bos mengatakan ‘kamu pulang saja’ tepat setelah kamu melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, percayalah itu bukan sesuatu yang baik. Niscaya kalimat lanjutan yang akan dia ucapkan adalah….

Aku balik badan menghadap ke beliau, lalu berkata, “Pulang? Mana mungkin saya berani. Jam kerja kan masih panjang.”

“Apa kamu perlu menemui dokter THT?” Dia pikir aku sedang membangkang. Sudah, abaikan saja mulutnya yang pedas seperti cabai Carolina.

“Tidak Pak,” jawabku.

“Kalau begitu jangan biarkan saya mengulangi perkataan yang sebelumnya!” titahnya. “Mulai besok kamu….”

Tamat sudah riwayatku. Monumen karier yang susah payah dibangun dengan kinerja yang baik selama ini, akan runtuh hanya karena larutan gula yang tidak sengaja aku suguhkan pada atasan.

Ya Tuhan! Tolonglah hamba agar Pak Bos tidak mengucapkan kalimat pemecatan yang sakral ‘mulai besok kamu tidak perlu kembali lagi ke perusahaan’. Jika engkau mengabulkan permohonan hambamu yang lemah putus asa ini, aku bersedia mengorbankan harga diri, rela menikah dengan Pak Malik.

Sebelum Pak Malik menyelesaikan kalimatnya, aku berlari menuju kursi beliau kemudian membungkuk padanya sambil menggenggam kedua tangan lelaki itu dengan kuat.

“Maafkan saya, Pak. Saya bersalah karena tidak menjalankan tugas dari Bapak dengan baik. Seharusnya saya tidak membiarkan ini terjadi.”

Wajah Pak Malik menjadi merah, bulir-bulir keringat juga mengintip keluar melalui pori-porinya. Dia pasti sangat marah padaku.

“Mulai besok kamu….”

Setiap mengucapkan kalimat itu, rasanya jantung ini akan keluar dari dalam dada. Tanganku dengan lincah langsung menutup mulut sang Putra Mahkota Pelisia Grup.

Mata lelaki itu melotot, rasanya sungguh menakutkan. Dia tidak pernah berbuat seperti ini. Rasa takut membuat kekuatanku melemah dan kedua tangan ini berhasil Pak Malik singkirkan dari bibirnya.

“Mulai besok kamu….”

Meskipun tangan ini gemetar dan kedua kakiku kehilangan tenaga untuk menopang tubuh. Namun, dalam situasi yang genting seperti sekarang, aku harus menggunakan cara apa pun juga untuk menghentikan kalimat yang hendak diucapkan oleh Pak Malik.

Pertama-tama jatuhkan tubuh yang lemas ke pangkuan pria yang sedang duduk di kursi kebesarannya. Aku rasa tidak masalah jika membungkam mulut lelaki itu dengan cara menempelkan bibirku dan bibirnya lalu lepaskan secepat kilat. Metode ini biasa digunakan dalam adegan drama dan selalu berakhir dengan sukses.

“Mulai besok kamu….”

Ternyata belum berhasil. Aku coba lagi dengan cara yang sama seperti sebelumnya, namun kali ini aku tidak langsung melepas bibirku begitu saja tetapi menahannya sedikit lebih lama.

“Cukup, Alba!! Kesabaranku sudah mencapai batas,” ucap Pak Malik, suaranya sedikit berat.

Tangan kanan Pak Malik merengkuh pinggangku dengan kuat sementara tangan kiri menelusuri rambutku yang tercepol rapi setelah itu beliau melahap bibirku dan melumatnya hingga beberapa menit. Tindakan itu baru dia hentikan setelah kami berdua kehabisan napas.

Pewarna bibir yang aku gunakan menempel secara berantakan di area bibir Pak Malik. Aku percaya bahwa riasan bibirku saat ini pasti sangat kacau, belepotan tidak keruan.

Pak Malik masih menahan tubuhku di atas pangkuan. Tangan kirinya bergerak aktif melepaskan sirkam yang tersemat sehingga rambutku tergerai dengan sempurna. Lalu dia menciumku sekali lagi, dengan keganasan yang sama.

“Nakal sekali.” Dia tersenyum, lalu berbisik, “Ini akibatnya kalau kamu berani memprovokasiku.”

“Tadi aku mau bilang, mulai besok kamu…,” ucapnya lagi. Aku pun langsung menutup mulutnya dengan tangan.

Tindakanku tersebut dapat ia tangani dengan mudah. Pak Malik menarik tanganku yang sedang membungkam bibir lelaki itu, kemudian dia memindahkan ke leher belakangnya.

Terdengar sangat jelas bagaimana suara helaan napas yang hebat milik lelaki yang sedang memangku diriku saat ini. “Aku penasaran akan satu hal. Mengapa kamu tidak membiarkanku menyelesaikan kata?”

Aku menggeleng.

“Tidak peduli bagaimana kamu berusaha keras untuk mencegahku mengatakannya, aku tetap akan menyelesaikan perkataanku, demi kenyamanan semua orang.”

Demi kenyamanan semua orang, kecuali aku. Siapa yang akan nyaman kalau dipecat dari kantor, terlebih lagi hanya karena terlalu banyak memasukkan gula pada kopi yang diseduh untuk bosnya.

Pak Malik menarik napas dalam-dalam, pandangan lelaki itu menghadap ke bawah di sekitar bibirku. Mulutnya dibuka beberapa kali seperti orang yang sedang mengecap makanan namun tidak ada suara.

Fokusnya bergerak ke atas sehingga mata kami berdua bertemu satu sama lain. Dia mendaratkan kepalaku ke permukaan dadanya yang kokoh dan tangan pria itu mengelus rambutku dengan lembut.

“Jangan memadukan kemeja putih dengan pakaian dalam yang berwarna merah.” Pak Malik mencium puncak kepalaku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status