Aku mengantar kopi dan beberapa kudapan manis untuk Pak Malik. Saat memasuki ruangannya, beliau sedang membaca laporan keuangan tahunan 2022. Mukanya berbinar-binar karena pencapaian sales tahun kemarin mencapai angka seratus lima belas persen dari target yang ditentukan oleh perusahaan, di mana pertumbuhan sales 37,7% lebih tinggi dari tahun 2021. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya pengusaha yang mendirikan merek baru di bidang kosmetik dan perawatan kulit, dan mereka memercayakan produksinya di Pecitra.
“Alba, duduk dulu!” ucap Pak CEO.
“Baik, Pak.” Aku menempati sofa yang terletak tidak jauh dari pintu masuk.
Pak Malik datang kemari membawa berkas yang berisi data para perempuan lajang yang aku berikan padanya beberapa hari yang lalu.
“Kamu atur pertemuan dengan mereka. Satu orang saat makan siang, masing-masing satu orang di jam tujuh dan delapan malam, setiap hari. Selebihnya, atur jadwal untuk satu perempuan setiap tiga puluh menit mulai dari jam delapan pagi hingga tujuh malam saat akhir pekan.” Dia kembali ke mejanya, menyesap kopi.
Ya Tuhan!! Tolong aku.
Apa yang telah terjadi dengan Pak Bos? Awalnya beliau adalah manusia yang tidak peduli pada apa pun selain uang dan perusahaannya. Mengapa sekarang dia sangat peduli dengan kencan buta?
Mungkinkah si Bos ingin merayakan kesuksesan perusahaan yang dia pimpin, dengan bersenang-senang bersama perempuan? Atau mungkin dia sedang berusaha mengurangi risiko mengidap kanker prostat di kemudian hari?
***
Sesuai dengan perintah Pak Malik, hari-hariku menjadi sangat sibuk karena pekerjaan tambahan sebagai makcomblang dadakan. Senin membuat si Bos bertemu dengan Sinta, Shandy, Sherly. Selasa si bapak bertemu dengan Mikha, Marsha, dan Monica. Begitu seterusnya hingga atasanku menemukan wanita yang cocok.
Mengatur pertemuan antara Pak Malik dengan para wanita pilihan harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai mereka tahu kalau atasanku itu menghadiri kencan buta sehari tiga kali seperti minum obat.
Ada satu lagi yang tidak kalah penting, aku selalu memastikan agar Pak Malik mengingat data diri perempuan yang ditemuinya sesuai jadwal, jangan sampai beliau tidak ingat nama mereka, apalagi namanya tertukar antara perempuan yang satu dengan yang lain.
***
Dua minggu setelah menjadi makcomblang, badan rasanya mau runtuh. Bukan hanya karena kelelahan fisik, melainkan juga beban moral yang harus dipikul karena aku harus berdiri pada dua sisi.
Pada sisi Pak Malik yang menjadi atasanku, ada tuntutan untuk mencapai keberhasilan dalam mempertemukan beliau dengan wanita ideal yang sesuai kriteria yang beliau idamkan. Sedangkan pada sisi wanita yang menjadi pasangan kencan Pak Malik, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa bersalah karena menjodohkan mereka dengan seorang pria yang tidak memiliki pengalaman dengan wanita sehingga dia tidak tahu bagaimana harus menjaga sikap.
Diri ini sungguh letih karena tugas pribadi dari Pak Malik belum mendapat hasil yang memuaskan. Dari semua wanita yang aku atur untuk kencan dengan beliau selama dua minggu ini, tidak satu pun dari mereka yang berhasil mencuri hati sang CEO.
“Hah. Aku harus cari perempuan di mana lagi untuk Pak Bos, ya? Mana daftar namanya sudah habis.”
“Perkataanmu luar biasa ya. Kalau ada orang lain yang mendengar, mereka pasti mengira kalau saya ini adalah gadun metropolitan.”
Jantung ini hampir saja melompat dari dalam dada karena posisi Pak Malik tepat di belakang meja kerjaku. Efek kejut yang ditimbulkan sama besarnya seperti kondisi tubuh manusia saat melihat suatu penampakan di siang bolong. Apalagi perkataan yang Pak Malik lontarkan, terdengar seperti guntur di antara letusan gunung api.
“Pak!” Aku bangkit dari kursi.
“Kenapa…,”-Pak Malik memajukan badannya hingga mengapit badanku di antara dirinya dan meja kerja-“kamu terlihat sangat gugup?”
Siapa yang tidak gugup kalau pria setampan ini berdiri sangat dekat denganku. Dia bahkan mengungkung tubuh ini hingga kami berdua berimpit. Untuk menghindari kontak fisik yang tidak diperlukan, aku merendahkan tubuh ini ke atas meja, dan tanpa sengaja menyenggol pigura yang ada di atas meja.
“Dia siapa Al?” Pak Bos menunjuk pigura yang tersenggol tadi.
“Oh ini,”-aku dorong tubuh Pak Malik, lalu mengambil pigura yang dimaksud-“Dia suami saya, Pak.”
“Kalian nikah di bawah umur?” tanyanya.
“Maksud Bapak?”
“Selama sepuluh tahun bekerja bersama, kamu tidak pernah mengajukan cuti menikah, jadi?” Dia merebut pigura tersebut dari tanganku.
Si Bos mengamati potret lelaki yang ada di sana. Seorang pria tampan yang sedang menabur konfeti untuk dirinya di karpet merah. Entah apa yang ada di dalam isi kepalanya hingga membuat dia tidak mengedipkan mata.
“Panggil Manajer Keuangan ke kantorku, sekarang!” CEO itu kembali ke ruangannya dengan membawa foto ‘suamiku’ bersamanya.
***
“Alba!” seru Aulia. Wanita itu baru saja keluar dari kantor CEO. Dia berjalan menuju kursi di mana aku sedang duduk.
“Kamu tahu tidak?”-dia membungkukkan badannya dan berbisik di telingaku-“si Bos nanyain kapan kamu nikah.”
Bagaimana aku tahu kapan akan menikah, punya calon suami saja tidak.
Aulia bangkit, kemudian dia berdiri menyandarkan tubuhnya di meja. “Terus aku bilang begini, ‘saya tidak tahu, Pak. Alba belum kasih saya undangan.’ Terus kamu tahu si Bapak ngapain setelah itu?”
Aku tidak berkata apa pun, hanya menggeleng.
“Dia kasih ini,”-Aulia menunjukkan potret ‘suamiku’ yang dibawa Pak Malik beberapa saat yang lalu-“terus aku bilang, ‘ini kan suami saya, ganteng banget ya, Pak?’ Eh setelah itu dia malah kesal.”
***
Beberapa saat yang lalu…
“Tadi si Alba bilang kalau orang ini adalah suaminya, sekarang kamu ngaku-ngaku kalau dia suami kamu. Kalian sedang mempermainkan saya, atau memang kalian saling berbagi suami? Kamu jawab dengan baik kalau tidak ingin saya mutasi ke Sulawesi.” pekik Pak Malik pada Aulia.
“Pak, jangan Pak, saya mohon,” pinta Aulia pada Pak CEO, namun lelaki itu enggan untuk mulut, sedangkan kedua matanya memercikkan serpihan kilatan petir yang mengandung listrik statis.
“Siapa namanya, apa pekerjaannya, tinggal di mana?” cecar Pak Malik. Seperti seorang ayah yang sedang menginterogasi calon menantu.
“Namanya Jin, Pak. Dia penyanyi, tinggal di Korea Selatan. Sebenarnya lelaki di foto itu adalah suami khayalan kami.” terang Aulia.
Pak Malik melemparkan tubuhnya ke kursi, lalu memijat-mijat pangkal hidung. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ternyata di dalam perusahannya ada beberapa karyawan yang masih berfantasi gila, padahal usia mereka sudah tidak muda lagi.
***
“Pagi, Bu Alba!” seru Dian, staf Departemen Keuangan.
Panggilan gadis itu menyadarkanku dari lamunan yang menjerat kuat saat sedang menunggu mesin penyeduh kopi siap. Kepala ini dikuasai oleh pertanyaan yang berputar-putar di dalam sana tentang wanita mana lagi yang harus aku jodohkan dengan Pak Malik.
“Pagi, Dian. Sedang ada acara apa?”
Perempuan itu membawa berbagai jenis pastri ke perusahaan. Apakah dia mau menawarkan dagangan?
“Bu, ambil saja ya. Ini kue lamaran saya semalam,” ujarnya.
Ternyata tebakanku salah.
“Selamat ya, saya ikut senang. Semoga lancar sampai hari H.” Ayo tebar senyum sosial!
“Terima kasih banyak, Bu. Sebenarnya saya juga tidak menyangka kalau dia akan melamar saya secepat ini.”
Aku sedang pusing mencari pasangan, namun kamu malah pamer pasangan. Terlalu!
“Oh, ya? Memangnya kenapa begitu?” Pura-pura penasaran saja.
“Karena kami baru kenal tiga bulan, makanya….”
Demi apa?!
“Dian, bagaimana kamu bertemu dengan calonmu itu?” tanyaku menyelidik.
***
Usai berbincang dengan Dian, aku mendapat sumur inspirasi. Jika Pak Malik setuju dengan gagasan ini, maka tugasku di masa depan akan semakin lancar tanpa hambatan yang berarti.“Pak, ada yang ingin saya sampaikan,” kataku, setelah mengantarkan kopi dan kudapan ke ruangan CEO.Pak Malik tidak memberi respons apa pun. Dia sibuk dengan dokumen di tangannya yang sudah ditandatangani. Apa sih yang sedang beliau pikirkan sampai tidak fokus?“PAK!!” Kali ini suaraku lebih keras dari sebelumnya.Si Bos mendesah lalu dia menutup dokumennya.“Al, saya ini bukan pembina upacara yang perlu kamu teriaki dengan lantang. Bicara saja sewajarnya,”-dia menunjuk daun telinga kirinya-“gendang telingaku ini masih bergetar dengan normal, tahu! Kamu mau bicara apa?”Sebelum menyajikan inti pembicaraan, aku mengambil kue kemudian menyuapi Pak Malik.“Enak tidak, Pak?”Tidak ada kata yang terucap.Aku bosan dengan reaksi Pak CEO yang tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengangguk dengan ekspresi bingung. Seti
“Sejak kapan Pecitra mempekerjakan panda, Maduku?” Aulia tertawa renyah memenuhi ruangan pantri.Apa yang bisa aku perbuat untuk menyelamatkan lingkar hitam di mataku?“Mikirin apa sih sampai harus bergadang. Tuh, selain mirip panda, kamu juga mirip hantu yang suka makan bakso.” Dia memajang cermin kecil di depan mukaku. Terlihat sangat mengerikan.“Mikirin suamiku kapan pulang wajib militer.” Maafkan daku karena harus berbohong.Sebenarnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam memikirkan ucapan Pak Malik. Tawaran yang beliau berikan memang sangat menggiurkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja, akan tetapi konsekuensi yang harus aku tanggung juga tak seringan kapas yang beterbangan di cakrawala.“Maduku, aku mau cerita.” Lebih baik minta pendapat Aulia dahulu sebelum mengambil keputusan.“Tentang teman kamu ya?” Dia sungguh bersemangat.“BUKAN
Suara interkom di atas meja kerja menyadarkan diri ini yang tengah larut dalam pikiranku sendiri. Mengingat apa yang aku dan Aulia bicarakan di pantri kemarin, hatiku tidak henti bertanya-tanya, bagaimana jika yang dikatakan oleh maduku ternyata benar?“Bawakan kopi untuk saya!” perintah atasanku.Kopi terus. Lama-kelamaan aku bisa jadi barista kalau setiap hari kerjanya menyeduh kopi untuk si ‘bossy’.“Baik, Pak,” jawabku.Aku membawa diri menuju pantri setelah panggilan berakhir. Walau diri ini enggan untuk melakukannya, namun perintah atasan harus dijalankan, daripada dipecat. Tidak lucu kan kalau karyawan diberhentikan hanya karena tak mau membuat minuman untuk bosnya?Tidak butuh waktu lama menyajikan kopi buatanku untuk Pak Bos. Sama seperti yang biasa dilakukan, setiap membawa kopi ke ruangan beliau, aku selalu menyertakan kudapan untuknya seperti kue dan kukis.“Silakan nikmati kopinya, Pak.” Aku meletakkan minuman panas yang masih mengepulkan uap air itu di meja atasanku, lalu
Bibir lumpuh seketika manakala rasa malu menyelimuti setiap inci dari tubuh ini. Malu karena sudah bertindak sembrono pada atasanku, tidak tepat dalam memadupadankan pakaian, dan riasan yang berantakan.Aku langsung bertolak dari ruangan CEO menuju toilet, merapikan penampilanku yang awut-awutan tidak jelas. Pertama-tama perbaiki dulu riasan wajah. Setelah itu, aku balik badan, mengangkat rambutku yang terurai panjang. Untung saja pada saat itu hanya aku yang berada di toilet sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui keadaanku yang sedang kacau.Sungguh memalukan.Pakaian dalam yang berwarna merah terpampang dengan jelas karena kemeja putih yang aku kenakan basah akibat tetesan air AC. Pantas saja Pak Malik menyuruhku pulang.***“Cara berpakaianmu sudah seperti artis yang sedang terkena skandal.”Keahlian Pak Bos dalam mencibir tidak perlu diragukan, tapi apa dia perlu melakukannya sekarang di saat kami sedang menikmati makan malam?
“Pak…, jangan lakukan ini! Saya selalu menjaga diri demi suami yang sedang wajib militer. Bapak jangan coba-coba merusaknya!” Pak Malik membopongku dari sofa ke atas ranjangnya.Pria yang memiliki tubuh kekar itu sama sekali tidak menghiraukan pekikanku. Aku melakukan perlindungan diri dengan cara tangan kanan memegang bahu kiri dan sebaliknya, memegang bahu kanan dengan tangan kiri.“Tidak disangka ternyata kepalamu dipenuhi dengan pikiran kotor,”-si Bos menurunkanku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhku-“saya tidak membiarkanmu pulang ke unit sebelah karena khawatir kalau kamu akan menangis lagi jika sudah sendirian.”Enak saja orang ini mengatur di mana aku harus tidur. Memangnya dia punya hak apa untuk mengatur wilayah pribadiku? Keluarga? Bukan. Sanak saudara? Juga Bukan. Suami? Apalagi!“Saya terbiasa tidur dengan memeluk suami, di sini tidak ada dia jadi saya tidak bisa tidur!” Buat saja alasan sembarang.Drrrtt…“Halo. Iya M
Tidak ada orang lain selain aku yang berada di rumah Pak Malik. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mencari surat pernyataan yang aku tulis semalam.Diawali dari ruang kerja Pak Malik. Aku memeriksa setiap dokumen yang tersimpan di sana mulai dari dokumen yang ada di atas meja, di dalam laci, rak buku hingga yang tersembunyi di balik lukisan. Namun, surat itu tidak ada di sana.Pantang menyerah! Aku melanjutkan pencarian di ruang tamu, memeriksa setiap laci yang ada, dan mengintip ke bawah kolong meja dan sofa. Hasilnya nihil.DI MANA?DI MANA LAGI AKU HARUS MENCARI?***“IYA…, TUNGGU SEBENTAR!”Aku berlari dari kamar buru-buru membuka pintu masuk. Sesuai janjinya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, Pak Malik berkata bahwa dia akan datang menjemputku saat jam makan siang.“Maaf, Pak. Sudah membuat Anda menunggu lama,” ucapku sekadar basa-basi. Kalau tidak dibahas jadi basi.
“Selamat Pagi, Pak.”“Selamat pagi, Pak.”Semua karyawan yang memberi salam pada atasan kami yang agung hanya mendapat balasan anggukan sang CEO. Beliau memang tidak suka banyak bicara, kecuali pada orang-orang tertentu seperti diriku yang menjadi tempat pembuangan unek-uneknya yang tidak jelas.“Ke ruangan saya, sekarang!” Pak Bos baru saja tiba di kantor, beliau langsung memanggilku.“Baik, Pak.” Aku mengikuti Pak Malik dari belakang.Beliau dengan santai duduk bersandar di kursinya. “Apa agendaku hari ini?”“Pukul sepuluh sampai sebelas Anda akan bertemu dengan Direktur Immanuel untuk membahas masalah yang terjadi di Plant Cibitung. Pada pukul satu siang, Anda memiliki pertemuan dengan Departemen Penelitian dan Pengembangan. Setelah itu, Anda tidak memiliki agenda khusus dan bisa tetap berada di kantor,” terangku.Pak Malik diam saja. Matanya juga tidak fokus entah ke mana. Apabila beliau sudah bertingkah seperti ini, akan ada sesu
“Kemarin, Pak Malik memberi perintah untuk memperbaiki semua unit pendingin udara di kantor ini. Beliau juga mengisi ulang freon,”-Aulia menjauhkan mulutnya dari indra pendengaranku-“hasilnya kamu lihat sekarang. Ruangan jadi sangat dingin, membuat kita semua ingin buang air kecil lebih sering dari biasanya.”Perkataan Aulia tidak hanya terdengar memuji perbuatan yang dilakukan oleh Pak Malik, tetapi juga mencibirnya di saat yang bersamaan. Hal itu membuat Bunga tidak terima.“Bu kalau lagi ngomongin kebaikan Pak Malik yang total dong, jangan setengah-setengah. Selain memperbaiki pendingin udara, beliau juga memasang alat pelembab udara yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Dia lelaki yang sangat hangat. Tahu saja kalau wanita membutuhkan pelembab udara agar rambut dan kulitnya tidak kering.”Gadis ini memuji Pak Malik dengan berapi-api. Penggemar memang beda.***Tidak ada manusia yang hidup di muka bumi tanpa memiliki masalah. Mereka datang dan