DASAR MESUM!
Jika menuruti isi hati, aku ingin sekali memberontak serta berteriak keras, namun kepalaku masih menggunakan logikanya. Terlalu banyak gerak hanya akan membuang energi. Selain itu, kami harus menghemat oksigen, jangan sampai menghabiskannya untuk hal yang tak perlu.
Demi menyelamatkan diri dari serangan lelaki yang tak punya akhlak, aku harus memukul leher belakang Pak Malik supaya dia jatuh pingsan. Menyerang dengan cara yang halus adalah kunci agar dia tidak mencurigai rencanaku yang luar biasa ini.
Langkah pertama dimulai dengan meraba dadanya, lalu naik ke atas menelusuri batang leher….
Tunggu sebentar! Sepertinya ada yang salah.
Pak Bos berkeringat sangat banyak, napasnya sesak, dan tangannya bergetar hebat. Benar-benar gawat. Telah terjadi sesuatu yang buruk pada pria yang menjadi motor kebanggaan Pecitra.
Aku segera mengambil telepon genggam, lalu menyalakan senter. Terlihat wajah Pak Malik pucat pasi. Tanpa membuang waktu, aku langsung melepas dasinya, lalu membuka beberapa kancing baju lelaki itu agar dia bisa bernapas lega.
“Duduk dulu, Pak.”
Aku ambil saputangan yang berada di kantong jas Pak Malik kemudian menggunakan saputangan tersebut untuk menyeka keringat pada tubuh milik pria yang lemah tak berdaya itu. Setelahnya, aku memeluk tubuh sang CEO Pecitra erat-erat dan membiarkan lelaki itu bersandar di bahuku.
“Tidak apa-apa….” Aku menepuk-nepuk punggung Pak Malik dengan lembut dan beberapa kali mengelusnya.
“Semua akan baik-baik saja…, semuanya baik-baik saja,” imbuhku.
***
“Jika Bapak masih merasa kurang nyaman, saya akan membatalkan agenda Bapak dengan Nona Rosiana,” ucapku ketika kami sudah berada di dalam mobil.
Untung saja teknisi lift segera datang setelah aku menekan tombol bantuan sehingga kami dapat keluar dari sana dengan cepat.
“Lakukan saja seperti yang sudah direncanakan,” ucapnya.
“Baik Pak,” jawabku.
Ah orang ini bikin gemas saja. Meski beberapa waktu yang lalu beliau terlihat sangat memprihatinkan, namun sekarang kelakuannya seperti orang benar, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
“Pak, tolong mampir dulu ke mal terdekat ya,” pintaku pada Pak Budi, sopir yang mengantar kami.
Pak Malik tidak boleh menemui pasangan kencan butanya dengan pakaian seperti ini. Terdapat bekas lipstik di kemeja putih yang dia pakai sekarang. Pasti tertinggal di sana ketika lelaki berparas rupawan ini memelukku di lift.
Kalau tahu akan terjadi kejadian yang memalukan seperti ini, aku pasti tidak akan menggunakan pewarna bibir yang mudah luntur ke benda lain.
***
Menurut sebuah survei yang dilakukan di Amerika, satu dari tiga wanita menyukai pria yang mengenakan celana jin dan kemeja putih di acara kencan pertama mereka.
“Bagaimana?” Pak Malik menanyakan pendapat tentang penampilannya setelah mencoba baju di kamar pas.
Mempesona.
Hanya kata itu yang pas digunakan untuk menggambarkan dirinya saat ini. Ternyata survei yang aku baca tersebut ada benarnya juga. Semoga si Bos berhasil dalam kencannya nanti.
“Bagus, cocok sama Bapak,” jawabku.
Aku membuka tas dan mengambil kartu kredit milik perusahaan yang selalu kubawa untuk memenuhi kebutuhan sang CEO. “Kalau begitu saya bayar dulu, Pak.”
“Tunggu!” Pak Malik meraih tanganku.
“Coba pakai ini!” Dia menyodorkan gaun panjang warna merah dengan belahan kaki yang tinggi hingga di atas lutut.
TUNGGU! APA?!
Gaun merah, belahan tinggi. Beliau sadar tidak sih kalau pasangan kencan butanya bukan aku?
Baiklah, berpikir positif saja. Mungkin beliau ingin memberikan gaun itu ke Nona Rosiana dan sebelum itu ia memintaku untuk menjadi modelnya. Tak ada salahnya juga menuruti permintaan lelaki ini.
Anda lihat saja, Bos. Akan aku tunjukkan bagaimana penampilanku setelah yang memakai gaun itu.
“Saya beli yang itu juga,” ucap Pak Malik pada pegawai toko baju di mana kami berada.
Sudah tidak perlu diragukan lagi, dia pasti puas dengan performa sang Sekretaris, siapa lagi kalau bukan diriku, Alba Ayuningtyas. Aku doakan semoga Bapak langsung jatuh cinta pada orang yang memakai gaun merah yang dia berikan.
***
Kami tiba di restoran yang aku sewa untuk Pak Malik. Sebelum turun dari mobil, aku memastikan kembali bagaimana penampilan sang Pimpinan Pecitra. Dimulai dari tatanan rambut, kerapian pakaian, sepatu, jam tangan hingga aroma tubuhnya.
Semua sudah bagus, hanya saja masih ada yang bisa diberi sentuhan magis. Aku membuka tiga kancing baju teratas pada kemeja yang beliau kenakan agar pasangan kencan Pak Malik melihat dadanya yang kokoh dan menggoda.
“Pak, mohon tunggu sebentar ya,” pintaku
Aku keluar dari mobil menuju bagasi untuk mengambil buket bunga mawar merah yang sudah dipersiapkan serta gaun yang sebelumnya dibeli oleh Pak Malik, lalu menyerahkan kedua senjata cinta tersebut pada lelaki itu.
***
Semua karyawan restoran menyambut kami di pintu masuk. Setelah itu, kami langsung diantar ke meja yang sudah di pesan.
“Kenapa dia belum datang?” Pak Malik melihat jam tangannya.
Beliau pasti menanyakan tentang pasangan kencan butanya. Aku pun segera menjawab, “Karena kita datang lebih awal 30 menit dari waktu yang dijanjikan, Pak.”
Lelaki itu memutar posisi tubuhnya. “Alba, kamu tahu kalau aku tidak suka menunggu, bukan?”
“Tentu saja, Pak. Namun, malam ini Bapak harus melakukannya demi calon pasangan Anda kelak. Ini juga bisa menjadi latihan kesabaran karena salah satu kunci menjaga hubungan dengan pasangan agar langgeng adalah sabar,” jawabku.
“Begitu ya? Aku mengerti,” ucap Pak Malik.
Karena Pak Bos sudah tidak ada keluhan, maka aku bisa pergi dari sana dan mencari tempat makan lain untuk menikmati makan malam. Tidak peduli bagaimana kita bekerja keras dari pagi hingga malam, kesejahteraan perut tetap harus dijadikan prioritas utama.
“Kenapa pergi?” tanya Pak Malik.
Praktis, pertanyaan beliau menghentikan langkah kakiku yang sudah mengobarkan semangat berapi-api untuk meninggalkan si Bos di sana.
“Mau keluar cari makan, Pak.” Aku katakan saja apa adanya.
“Kalau mau makan kan tinggal duduk saja di salah satu kursi. Kenapa harus keluar?” timpalnya.
Mengapa hari ini Pak CEO banyak sekali maunya sih? Dasar bos bawel. Sudah cerewet, tidak peka pula. Dia kan mau kencan, seharusnya orang itu membiarkanku pergi agar tak menjadi obat nyamuk di antara mereka. Tapi apa yang terjadi sekarang?
Dia menunjuk salah satu kursi di yang ada di restoran itu dengan gerakan matanya. “Kamu tidak sedang menungguku untuk menggendongmu duduk di sana, kan?”
***
Aku meletakkan pisau dan garpu di tangan karena restoran mematikan sebagian besar lampu ruangan demi menciptakan suasana yang romantis untuk sang karakter utama, Pak Malik dan Nona Rosiana.Musik mengalun dengan indah ditemani balutan cahaya temaram mengiringi mereka berdua yang sedang berada di lantai dansa. Keduanya terlihat menawan.Rosiana yang memakai gaun putih berputar dengan indah. Dia bergerak selaras dengan dengan gerakan Pak Malik. Di bawah kendali pria itu, mereka berdansa secara harmonis hingga lantunan musik berakhir.Akhirnya, aku bisa melanjutkan makan malam setelah mereka selesai berdansa. Lelah yang mendera langsung sirna saat menikmati rib eye steik yang dimasak dengan tingkat kematangan medium rare. Andai saja kenikmatan ini bisa didapat setiap hari…“Permisi Bu, Pak Malik menyuruh kami untuk membawa makanan Ibu ke meja beliau,” ucap salah seorang pegawai restoran.Ada gila-gilanya juga nih si Bos. Lelaki di belahan bumi mana yang sedang kencan dengan seorang wanita
Aku mengantar kopi dan beberapa kudapan manis untuk Pak Malik. Saat memasuki ruangannya, beliau sedang membaca laporan keuangan tahunan 2022. Mukanya berbinar-binar karena pencapaian sales tahun kemarin mencapai angka seratus lima belas persen dari target yang ditentukan oleh perusahaan, di mana pertumbuhan sales 37,7% lebih tinggi dari tahun 2021. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya pengusaha yang mendirikan merek baru di bidang kosmetik dan perawatan kulit, dan mereka memercayakan produksinya di Pecitra.“Alba, duduk dulu!” ucap Pak CEO.“Baik, Pak.” Aku menempati sofa yang terletak tidak jauh dari pintu masuk.Pak Malik datang kemari membawa berkas yang berisi data para perempuan lajang yang aku berikan padanya beberapa hari yang lalu.“Kamu atur pertemuan dengan mereka. Satu orang saat makan siang, masing-masing satu orang di jam tujuh dan delapan malam, setiap hari. Selebihnya, atur jadwal untuk satu perempuan setiap tiga puluh menit mulai dari jam delapan pagi hingga tujuh malam s
Usai berbincang dengan Dian, aku mendapat sumur inspirasi. Jika Pak Malik setuju dengan gagasan ini, maka tugasku di masa depan akan semakin lancar tanpa hambatan yang berarti.“Pak, ada yang ingin saya sampaikan,” kataku, setelah mengantarkan kopi dan kudapan ke ruangan CEO.Pak Malik tidak memberi respons apa pun. Dia sibuk dengan dokumen di tangannya yang sudah ditandatangani. Apa sih yang sedang beliau pikirkan sampai tidak fokus?“PAK!!” Kali ini suaraku lebih keras dari sebelumnya.Si Bos mendesah lalu dia menutup dokumennya.“Al, saya ini bukan pembina upacara yang perlu kamu teriaki dengan lantang. Bicara saja sewajarnya,”-dia menunjuk daun telinga kirinya-“gendang telingaku ini masih bergetar dengan normal, tahu! Kamu mau bicara apa?”Sebelum menyajikan inti pembicaraan, aku mengambil kue kemudian menyuapi Pak Malik.“Enak tidak, Pak?”Tidak ada kata yang terucap.Aku bosan dengan reaksi Pak CEO yang tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengangguk dengan ekspresi bingung. Seti
“Sejak kapan Pecitra mempekerjakan panda, Maduku?” Aulia tertawa renyah memenuhi ruangan pantri.Apa yang bisa aku perbuat untuk menyelamatkan lingkar hitam di mataku?“Mikirin apa sih sampai harus bergadang. Tuh, selain mirip panda, kamu juga mirip hantu yang suka makan bakso.” Dia memajang cermin kecil di depan mukaku. Terlihat sangat mengerikan.“Mikirin suamiku kapan pulang wajib militer.” Maafkan daku karena harus berbohong.Sebenarnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam memikirkan ucapan Pak Malik. Tawaran yang beliau berikan memang sangat menggiurkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja, akan tetapi konsekuensi yang harus aku tanggung juga tak seringan kapas yang beterbangan di cakrawala.“Maduku, aku mau cerita.” Lebih baik minta pendapat Aulia dahulu sebelum mengambil keputusan.“Tentang teman kamu ya?” Dia sungguh bersemangat.“BUKAN
Suara interkom di atas meja kerja menyadarkan diri ini yang tengah larut dalam pikiranku sendiri. Mengingat apa yang aku dan Aulia bicarakan di pantri kemarin, hatiku tidak henti bertanya-tanya, bagaimana jika yang dikatakan oleh maduku ternyata benar?“Bawakan kopi untuk saya!” perintah atasanku.Kopi terus. Lama-kelamaan aku bisa jadi barista kalau setiap hari kerjanya menyeduh kopi untuk si ‘bossy’.“Baik, Pak,” jawabku.Aku membawa diri menuju pantri setelah panggilan berakhir. Walau diri ini enggan untuk melakukannya, namun perintah atasan harus dijalankan, daripada dipecat. Tidak lucu kan kalau karyawan diberhentikan hanya karena tak mau membuat minuman untuk bosnya?Tidak butuh waktu lama menyajikan kopi buatanku untuk Pak Bos. Sama seperti yang biasa dilakukan, setiap membawa kopi ke ruangan beliau, aku selalu menyertakan kudapan untuknya seperti kue dan kukis.“Silakan nikmati kopinya, Pak.” Aku meletakkan minuman panas yang masih mengepulkan uap air itu di meja atasanku, lalu
Bibir lumpuh seketika manakala rasa malu menyelimuti setiap inci dari tubuh ini. Malu karena sudah bertindak sembrono pada atasanku, tidak tepat dalam memadupadankan pakaian, dan riasan yang berantakan.Aku langsung bertolak dari ruangan CEO menuju toilet, merapikan penampilanku yang awut-awutan tidak jelas. Pertama-tama perbaiki dulu riasan wajah. Setelah itu, aku balik badan, mengangkat rambutku yang terurai panjang. Untung saja pada saat itu hanya aku yang berada di toilet sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui keadaanku yang sedang kacau.Sungguh memalukan.Pakaian dalam yang berwarna merah terpampang dengan jelas karena kemeja putih yang aku kenakan basah akibat tetesan air AC. Pantas saja Pak Malik menyuruhku pulang.***“Cara berpakaianmu sudah seperti artis yang sedang terkena skandal.”Keahlian Pak Bos dalam mencibir tidak perlu diragukan, tapi apa dia perlu melakukannya sekarang di saat kami sedang menikmati makan malam?
“Pak…, jangan lakukan ini! Saya selalu menjaga diri demi suami yang sedang wajib militer. Bapak jangan coba-coba merusaknya!” Pak Malik membopongku dari sofa ke atas ranjangnya.Pria yang memiliki tubuh kekar itu sama sekali tidak menghiraukan pekikanku. Aku melakukan perlindungan diri dengan cara tangan kanan memegang bahu kiri dan sebaliknya, memegang bahu kanan dengan tangan kiri.“Tidak disangka ternyata kepalamu dipenuhi dengan pikiran kotor,”-si Bos menurunkanku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhku-“saya tidak membiarkanmu pulang ke unit sebelah karena khawatir kalau kamu akan menangis lagi jika sudah sendirian.”Enak saja orang ini mengatur di mana aku harus tidur. Memangnya dia punya hak apa untuk mengatur wilayah pribadiku? Keluarga? Bukan. Sanak saudara? Juga Bukan. Suami? Apalagi!“Saya terbiasa tidur dengan memeluk suami, di sini tidak ada dia jadi saya tidak bisa tidur!” Buat saja alasan sembarang.Drrrtt…“Halo. Iya M
Tidak ada orang lain selain aku yang berada di rumah Pak Malik. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mencari surat pernyataan yang aku tulis semalam.Diawali dari ruang kerja Pak Malik. Aku memeriksa setiap dokumen yang tersimpan di sana mulai dari dokumen yang ada di atas meja, di dalam laci, rak buku hingga yang tersembunyi di balik lukisan. Namun, surat itu tidak ada di sana.Pantang menyerah! Aku melanjutkan pencarian di ruang tamu, memeriksa setiap laci yang ada, dan mengintip ke bawah kolong meja dan sofa. Hasilnya nihil.DI MANA?DI MANA LAGI AKU HARUS MENCARI?***“IYA…, TUNGGU SEBENTAR!”Aku berlari dari kamar buru-buru membuka pintu masuk. Sesuai janjinya tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, Pak Malik berkata bahwa dia akan datang menjemputku saat jam makan siang.“Maaf, Pak. Sudah membuat Anda menunggu lama,” ucapku sekadar basa-basi. Kalau tidak dibahas jadi basi.