“Cih, bisa-bisanya dia tidak tergoda dengan tubuhku!” gerutu Jennifer dalam hati, frustrasi.Tatapan matanya melirik Valerie yang terlihat tenang sambil menggoyangkan pena di tangannya. Tapi saat Jennifer memperhatikan lebih saksama, dia menangkap senyum kecil yang seolah menantangnya. Itu membuat darah Jennifer mendidih. “Wanita sialan!” umpatnya dalam hati.Sejak dulu, Jennifer selalu berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, tanpa pengecualian. Charlos, kekasih Valerie, adalah salah satu contohnya. Dia tidak perlu usaha ekstra untuk menaklukkan pria itu, hanya sedikit godaan dan sikap manis palsu, Charlos sudah ada dalam genggamannya. Dan itulah yang membuat Jennifer merasa superior atas Valerie.Sebenarnya, Jennifer tidak pernah benar-benar menyukai Valerie. Persahabatan mereka dulu hanyalah kamuflase. Jennifer mendekati Valerie karena wanita itu selalu dikelilingi banyak orang, baik pria maupun wanita. Valerie populer, berbakat, dan karismatik—semua hal yang tidak dimiliki
“Kau merasa menang karena berpikir bisa mendapatkan Pak Aldrich, bukan? Ketahuilah, pria seperti Aldrich itu tidak menyukai wanita kampung sepertimu!” sindir Jennifer dengan nada tajam.Keduanya sedang berada di toilet. Valerie berdiri di depan wastafel, mencuci tangannya dengan tenang, sementara Jennifer sibuk memperbarui lipstiknya di depan cermin. Ada senyum sinis di wajah Jennifer, penuh kepuasan karena merasa lebih unggul.Namun, Jennifer tidak tahu bahwa Valerie adalah anak Bastian, pemilik EliteCrop. Sama seperti Charlos, Jennifer pun tidak pernah menyadari identitas asli Valerie, karena Valerie memang sengaja menyembunyikannya selama ini.Valerie tidak menggubris hinaan itu. Dia mengeringkan tangannya dengan santai dan bersiap untuk keluar. Tetapi tiba-tiba, Jennifer menarik bahunya dengan kasar. Tarikan itu membuat Valerie terhuyung ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“Hei!” Valerie menatap Jennifer dengan pandangan tajam. Jennifer hanya memasang wajah pura-pura tak
“Tunggu aku,” kata Aldrich singkat sebelum membuka pintu mobil.Valerie hanya mengangguk, mengatur gaunnya yang sedikit naik. Mereka berada di mansion besar milik Bastian, ayah Valerie. Bangunan itu berdiri megah di atas lahan yang luas, bergaya klasik Eropa dengan dinding marmer putih dan pilar-pilar besar yang menjulang di bagian depan. Halamannya dihiasi taman rapi dengan air mancur kecil di tengahnya, memberikan kesan elegan namun tetap hangat.Suasana mansion tidak terlalu sepi seperti biasanya. Ada beberapa staf mondar-mandir dengan kesibukan masing-masing, membuat Valerie sedikit bingung. Saat turun setelah Aldrich membukakan pintu untuknya, kepala pelayan langsung menyambutnya.“Selamat datang kembali di rumah, Nona Muda,” sapa pria tua itu dengan suara yang ramah, sedikit serak namun penuh wibawa. Rambutnya sudah sepenuhnya memutih, disisir rapi ke belakang, dan ia mengenakan jas hitam klasik dengan kacamata persegi yang mempertegas matanya yang tajam namun hangat.Valerie
“Ayah,” panggil Valerie dengan suara lembut namun cukup tegas untuk menarik perhatian semua orang di aula. Seketika semua mata tertuju padanya, termasuk tatapan penuh harap dari sang ayah, Bastian.Valerie meneguk ludah gugup, lalu terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. Dengan gerakan pelan, dia menyenggol lengan Aldrich yang berdiri di sebelahnya. “Katakan sesuatu,” bisiknya pelan di telinga pria itu, berharap Aldrich bisa mengambil alih situasi seperti biasanya.Namun, Aldrich tidak langsung merespons. Dia hanya menatap Valerie dengan senyum tipis yang menambah gugup wanita itu.“Ada apa, Nak?” tanya Bastian akhirnya, menatap Valerie dengan dahi sedikit berkerut.“Ah, begini…” Valerie memulai, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia menarik napas dalam, lalu menatap Aldrich lagi, memberikan kode dengan matanya untuk segera membantu.Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad bagi Valerie, Aldrich akhirnya angkat bicara. “Kami ingin mengucapkan terima kasih, Ayah, at
Valerie memegangi kepalanya. Akhir-akhir ini begitu banyak kejadian yang terjadi sampai-sampai dia melupakan hari lahirnya sendiri.“Ah, Ayah benar-benar!” keluh Valerie sambil memijat pelipisnya.Tak terbayangkan jika kurang dari 48 jam, semua orang sudah mengetahui statusnya dengan Aldrich. Rencana pura-pura mereka akan menjadi drama besar jika salah satu pihak salah langkah.“Kau di sini?”Valerie tak perlu repot-repot menoleh saat mendengar suara Aldrich. Dia mendengus, dan detik berikutnya, Aldrich sudah duduk di sebelahnya, membawa sepotong cake dari bufet yang sudah tertata rapi di aula.“Selamat ulang tahun,” katanya ringan, menyodorkan cake stroberi dengan whipped cream di atas piring kecil.Valerie mendengus lagi, tetapi tetap mengambil cake itu dengan malas. “Kau tidak memberitahuku kalau hari ini ulang tahunmu,” kata Aldrich sambil menatap Valerie.“Bahkan aku sendiri pun tak ingat soal itu,” jawab Valerie acuh, menyendokkan cake ke mulutnya. Lembutnya sponge cake berpadu
"Hah, padahal kau bilang akan mengantarku pulang," gumam Valerie sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil, matanya memandang ke luar dengan tatapan kesal.Aldrich, yang mendengar gumaman itu, hanya terkekeh kecil tanpa memberikan respons. Tak berapa lama, mobilnya mulai melambat saat memasuki kawasan mansion mewah miliknya. Kali ini, tidak seperti sebelumnya, suasana di sana terasa lebih sunyi. Lampu-lampu taman menyala lembut, memberikan kesan elegan, tetapi tetap misterius."Kita sudah sampai. Ayo turun," kata Aldrich sambil membuka pintu mobilnya sendiri dan keluar.Valerie melirik Aldrich, mengerutkan dahi saat melihat pria itu tidak seperti biasanya yang akan membukakan pintu untuknya. Aldrich terlihat santai, menyelipkan kedua tangannya di saku celana sambil menunggu di sisi mobilnya."Ayo," panggil Aldrich lagi, nadanya sedikit memerintah.Dengan mendengus, Valerie membuka pintunya sendiri, menghampiri Aldrich dengan langkah berat. "Kenapa kau membawaku ke sini?" ta
“Luar biasa, indah sekali!" kata Valerie dengan mata berbinar, tak mampu menyembunyikan kekagumannya pada dekorasi balkon yang memukau.Aldrich tersenyum kecil, lalu mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Valerie dari belakang. Dia mengecup lembut pundaknya, membuat Valerie sedikit terpaku. Aldrich kemudian menyandarkan dagunya di bahu Valerie, menatap ke arah dekorasi yang telah ia siapkan."Kau suka?" tanyanya dengan nada lembut.Valerie mengangguk cepat, ekspresinya menunjukkan kejujuran. "Suka sekali! Aku tak menyangka akan diberi kejutan seperti ini olehmu," katanya. Suaranya terdengar tulus, meski ada sedikit nada terkejut.Pikiran Valerie melayang ke masa lalu. Saat masih menjalin hubungan dengan Charlos, dia selalu menjadi pihak yang berinisiatif. Mengingatkan hari jadi mereka, merencanakan makan malam romantis, bahkan memberikan kejutan-kejutan kecil. Charlos memang terlihat mencintainya, tetapi lelaki itu seringkali melupakan hari-hari penting mereka.Namun, Aldric
“Aldrich.”Valerie menghindari ciuman Aldrich yang hampir menyentuh bibirnya. Sebaliknya, ciuman itu mendarat lembut di lehernya. Setelah mendengar pernyataan Aldrich tadi, Valerie merasa semuanya menjadi lebih rumit. Dia tidak bisa bersikap seperti biasa lagi.Aldrich menatap mata Valerie, mencoba tersenyum tipis untuk meredakan ketegangan. “Maaf,” ucapnya lembut.Valerie terdiam sejenak, menarik napas berat. “Aku tidak bisa melakukannya setelah mendengar pernyataanmu tadi. Sebelumnya, kita sepakat hanya untuk berpura-pura dan berbagi ranjang. Tetapi...” Suaranya terputus, dia tak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya.Aldrich menghela napas panjang, wajahnya tampak lebih serius. “Ya, aku tahu. Maaf karena jatuh cinta seperti ini padamu.”“Tetapi aku tidak bisa mengontrol perasaanku, Val.” Aldrich menambahkan dengan nada yang tulus, sorot matanya memancarkan rasa frustasi sekaligus kejujuran.Valerie memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur pikirannya yang berantakan. Ketika ia mem
"Val, duluan ya!"Seorang rekan kerja Valerie menyapa sebelum meninggalkan ruangannya. Valerie, yang baru saja selesai merapikan tumpukan berkas di mejanya, menoleh dan mengangguk."Iya, Mbak. Hati-hati," balasnya singkat.Sekarang jam istirahat, dan Valerie sudah memiliki janji makan siang dengan Aldrich. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan menu yang akan mereka santap, tetapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuatnya bersemangat.Sambil bersenandung kecil, Valerie mengambil tasnya lalu berdiri. Langkahnya ringan, menunjukkan suasana hatinya yang baik. Ia tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, hubungannya dengan Aldrich kini berkembang ke arah yang lebih dalam—sesuatu yang dulu ia hindari, tetapi kini justru ia nikmati.Setibanya di lobi, ia melihat Aldrich sudah menunggunya di dekat pintu keluar. Pria itu berdiri dengan anggun, mengenakan kemeja biru gelap yang sedikit tergulung di bagian lengan. Mata tajamnya menatap ke arah Valerie, dan begitu wanita itu mendekat, b
“Ada apa ini?”Suara berat Aldrich menggema di ruangan. Langkahnya terhenti begitu melihat Alicia terduduk di lantai, separuh tubuhnya basah kuyup, sementara para karyawan berusaha menahan tawa mereka.Alicia, yang masih sibuk mengatur emosinya, segera berusaha bangkit. Tatapannya beralih pada Aldrich, berharap pria itu akan menolongnya. Namun, Aldrich hanya menatapnya dengan ekspresi datar selama sepersekian detik sebelum perhatiannya beralih kepada Valerie, yang baru saja keluar dari ruangannya.“Selamat pagi, Pak Aldrich. Anda sudah datang?” sapa Valerie dengan senyum tipis, seolah tidak terjadi apa-apa.Sudut bibir Aldrich berkedut. Wanita itu benar-benar tahu cara bermain peran. Dengan wajahnya yang tenang dan sedikit jahil, Valerie paling cantik saat seperti ini. Alicia, yang tidak terima melihat interaksi itu, segera membuka mulutnya dengan nada memanas. “Ini semua salah Valerie, Pak! Dia yang mendorong saya!” serunya, berusaha menuntut pembelaan.Aldrich mengangkat alisnya
Valerie melangkah masuk ke lobi perusahaan dengan penuh percaya diri. Sepasang kaki jenjangnya yang terbungkus stiletto hitam mengayun anggun, berpadu dengan rok pensil selutut yang membentuk lekuk tubuhnya. Blus putih berpotongan rapi membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, dipermanis dengan blazer tipis yang menggantung di lengannya. Rambut panjangnya yang bergelombang jatuh sempurna di bahu, mempertegas aura elegan seorang wanita yang tahu betul caranya membawa diri.Namun, baru saja ia hendak menuju ruangannya, suara nyaring yang sudah tak asing lagi terdengar memenuhi ruangan.“Kau datang ke perusahaan ini seolah milik ayahmu saja!”Valerie menghela napas pelan sebelum mengangkat dagunya sedikit. Di hadapannya berdiri Alicia, dengan ekspresi sinis dan tangan yang terlipat di dada. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah marun, dengan potongan rendah yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Rambut panjang lurusnya tergerai, dengan riasan yang sedikit berlebihan untuk
Valerie berdiri di depan pantry dengan wajah sedikit mengantuk, mengenakan kemeja Aldrich yang kebesaran di tubuhnya. Kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang indah, sementara ujung kemeja jatuh hingga pertengahan pahanya. Rambut panjangnya berantakan, bukti dari malam yang panjang dan panas bersama Aldrich.“Garam, penyedap... apalagi ya?” gumamnya pelan, mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil berpikir.Dia bukan seseorang yang ahli dalam memasak. Seumur hidupnya, selalu ada pelayan atau chef yang menyiapkan makanan untuknya. Namun, setelah hidup mandiri dan semakin dekat dengan Aldrich, Valerie merasa ingin mencoba sesuatu yang baru—termasuk membuat nasi goreng dadakan pagi ini.Lagipula, Aldrich juga pernah memasakkan sesuatu untuknya. Rasanya tidak adil jika dia hanya menerima tanpa memberi balasan.Menghela napas, Valerie membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan yang menurutnya bisa digunakan. Dia menatap bawang merah dan bawang putih di tangannya
Aldrich menyeringai kembali, matanya berbinar penuh hasrat. Tanpa ragu, ia menarik tengkuk Valerie, memperdalam ciuman mereka setelah mendengar wanita itu mengatakan tidak akan pulang malam ini.Ciumannya semakin dalam, semakin menuntut. Aldrich melumat bibir Valerie dengan intensitas yang membuat napas mereka saling bercampur. Tangannya merambat ke punggung Valerie, menekan tubuhnya lebih erat ke dadanya yang bidang.Saat Valerie mulai kehilangan kendali, Aldrich pun melepaskan ciumannya, hanya untuk menurunkan bibirnya ke rahang Valerie, menelusuri garis lembutnya sebelum akhirnya mendarat di leher jenjang wanita itu. Ia mengecapnya pelan, kemudian menggigit kecil, menikmati bagaimana tubuh Valerie menegang di bawah sentuhannya."Vanila yang kurindukan," bisiknya, suaranya serak dan dalam, menggema di kulit Valerie, membuat bulu kuduknya meremang.Tanpa memberi kesempatan Valerie untuk berpikir, Aldrich kemudian melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu dan dengan mudah merebah
"Kau benar-benar tidak tertarik padaku?" tanya Aldrich, suaranya lebih dalam dari biasanya.Menatap Valerie dengan mata yang sulit ditebak. Ada keraguan, ada penasaran, dan sedikit—hanya sedikit—kesedihan yang terselip di sana.Valerie terkekeh, nada tawanya sedikit berat karena efek alkohol yang mulai menguasai dirinya. Ia mengangkat gelas wine ke dahinya, membiarkan dinginnya menyentuh kulitnya sejenak sebelum matanya terpejam. Beberapa detik berlalu, lalu ia membuka matanya lagi, menatap Aldrich dengan sorot yang sulit diartikan."Aku suka," katanya, suaranya samar dan menggoda.Aldrich mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya berubah serius. "Lalu mengapa kau menolakku?" tanyanya, ada nada sedih.Valerie tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya juga, jari-jarinya menyentuh bahu Aldrich dengan lembut. "Dengar," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja, seolah ingin lebih fokus pada percakapan mereka. "Kau itu lelaki pil
"Aku tidak tahan!"Valerie hampir saja berdiri, tapi sebelum dia sempat menggeser kursinya, Jennifer dan Charlos sudah lebih dulu bangkit. Wanita itu menempel mesra di lengan Charlos, tangannya melingkar erat seolah menandai kepemilikannya.Valerie menyipitkan mata, mengamati keduanya yang berjalan keluar dari kafe dengan penuh percaya diri, seakan tak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar. Jennifer bahkan tertawa kecil sambil menepuk dada Charlos sebelum mereka benar-benar menghilang di balik pintu kaca."Akhirnya mereka pergi juga," keluh Valerie, lalu menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan napas panjang.Aldrich, yang sejak tadi menyaksikan reaksinya dengan ekspresi terhibur, terkekeh santai. "Apa kau juga ingin pergi? Tidak perlu menebak, mereka pasti berakhir di hotel malam ini."Valerie menoleh cepat, menatap Aldrich dengan wajah setengah kesal. "Aku tidak peduli!" ketusnya, memutar bola mata.Tapi Aldrich tidak tertipu. Dia melihat bagaimana Valerie meneguk minumannya
“Aku tidak tahu mengapa bisa sebuta itu dan menyukai dia!” keluh Valerie, sebelum meneguk minumannya dengan gerakan cepat dan kesal.Di hadapannya, Aldrich hanya terkekeh kecil. Saat pelayan datang membawa cangkir espresso keduanya, ia mengangguk singkat sebagai tanda terima kasih, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Valerie.“Wajar saja jika manusia khilaf,” komentarnya santai, nada suaranya penuh hiburan melihat ekspresi kesal Valerie.Valerie menghela napas panjang, lalu diam-diam mengangguk, mengakui kebenaran ucapan Aldrich. Dahulu, ia benar-benar menganggap Charlos sebagai pria baik. Seseorang yang ia pikir akan selalu ada untuknya. Namun kenyataannya, pria itu dengan mudah mengkhianatinya, memilih sahabatnya sendiri, Jennifer—dan meninggalkan Valerie begitu saja.Dan sekarang? Mendengar sendiri rencana busuk serta percakapan menjijikkan antara Charlos dan Jennifer membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dulu, ia begitu bodoh hingga menangisi pria brengsek seperti
"Jadi?" Charlos menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Jennifer dengan penuh selidik. "Apa rencanamu?"Jennifer tersenyum kecil, matanya bersinar licik. Dengan gerakan anggun, ia mengaduk kopinya perlahan sebelum menjawab, "Kita akan memainkan kesetiaan sebagai senjata. Buat Aldrich percaya bahwa Valerie masih mencintaimu, bahwa hubungan kalian belum benar-benar berakhir."Charlos mengangkat alis, belum sepenuhnya yakin. "Dan kau yakin itu akan berhasil?"Jennifer tertawa pelan, suara lembutnya penuh racun. "Tentu saja." Ia menatap Charlos tajam. "Valerie meninggalkanmu karena perselingkuhanmu denganku. Sekarang, bagaimana jika Aldrich berpikir Valerie masih berharap kembali padamu? Pria sepertinya tak akan tahan dengan pengkhianatan. Dia pasti akan membenci Valerie."Charlos mengusap dagunya, perlahan senyum terbentuk di wajahnya. Membayangkan skenario itu, membayangkan Valerie yang kaya raya dan terluka, kembali dalam genggamannya, terdengar sangat menarik.Dulu, ia meningga