“Luar biasa, indah sekali!" kata Valerie dengan mata berbinar, tak mampu menyembunyikan kekagumannya pada dekorasi balkon yang memukau.Aldrich tersenyum kecil, lalu mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Valerie dari belakang. Dia mengecup lembut pundaknya, membuat Valerie sedikit terpaku. Aldrich kemudian menyandarkan dagunya di bahu Valerie, menatap ke arah dekorasi yang telah ia siapkan."Kau suka?" tanyanya dengan nada lembut.Valerie mengangguk cepat, ekspresinya menunjukkan kejujuran. "Suka sekali! Aku tak menyangka akan diberi kejutan seperti ini olehmu," katanya. Suaranya terdengar tulus, meski ada sedikit nada terkejut.Pikiran Valerie melayang ke masa lalu. Saat masih menjalin hubungan dengan Charlos, dia selalu menjadi pihak yang berinisiatif. Mengingatkan hari jadi mereka, merencanakan makan malam romantis, bahkan memberikan kejutan-kejutan kecil. Charlos memang terlihat mencintainya, tetapi lelaki itu seringkali melupakan hari-hari penting mereka.Namun, Aldric
“Aldrich.”Valerie menghindari ciuman Aldrich yang hampir menyentuh bibirnya. Sebaliknya, ciuman itu mendarat lembut di lehernya. Setelah mendengar pernyataan Aldrich tadi, Valerie merasa semuanya menjadi lebih rumit. Dia tidak bisa bersikap seperti biasa lagi.Aldrich menatap mata Valerie, mencoba tersenyum tipis untuk meredakan ketegangan. “Maaf,” ucapnya lembut.Valerie terdiam sejenak, menarik napas berat. “Aku tidak bisa melakukannya setelah mendengar pernyataanmu tadi. Sebelumnya, kita sepakat hanya untuk berpura-pura dan berbagi ranjang. Tetapi...” Suaranya terputus, dia tak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya.Aldrich menghela napas panjang, wajahnya tampak lebih serius. “Ya, aku tahu. Maaf karena jatuh cinta seperti ini padamu.”“Tetapi aku tidak bisa mengontrol perasaanku, Val.” Aldrich menambahkan dengan nada yang tulus, sorot matanya memancarkan rasa frustasi sekaligus kejujuran.Valerie memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur pikirannya yang berantakan. Ketika ia mem
“Morning, babe, tidurmu nyenyak?”Suara serak Aldrich, rendah dan lembut, menyapa Valerie yang masih terbaring di tempat tidur. Cahaya mentari menerobos melalui jendela besar, menyinari wajah Valerie yang perlahan menggeliat, mencoba menyesuaikan diri dengan pagi.“Tidak pernah senyenyak ini,” gumam Valerie, matanya masih setengah tertutup.Aldrich tersenyum, melingkarkan tangannya di pinggang Valerie, menariknya sedikit lebih dekat. Tanpa peringatan, dia mengecup cepat bibir Valerie, membuat wanita itu membuka mata sepenuhnya.“Morning kiss,” katanya santai, dengan senyum tampannya yang sulit untuk diabaikan.Sontak Valerie mendesah, memasang ekspresi pura-pura jijik. “Kau belum sikat gigi!” tegurnya, mencoba menghindar dari wajah Aldrich yang terlalu dekat.Namun Aldrich tidak peduli. Setelah makan malam romantis di balkon tadi malam, dia benar-benar membiarkan Valerie tidur nyenyak sebagai bentuk hadiah ulang tahunnya. Dengan gerakan santai, Aldrich memutar tubuhnya sehingga kini
“Cih!”Valerie menurunkan tangannya dengan kesal, mengabaikan Aldrich yang tersenyum penuh kemenangan.“Sepertinya kau akan menerima ajakan nonton itu. Kau menyukainya? Jadi, tipe pria yang kau sukai seperti itu?” tanya Aldrich panjang lebar, suaranya terdengar datar tapi memancing.Rahang Valerie nyaris terjatuh. “Serius? Kau bertanya sebanyak itu hanya tentang Leo?” balasnya tak percaya, kedua alisnya naik.Aldrich hanya mengangkat bahu, bibir bawahnya dimajukan dengan sikap acuh. “Aku hanya penasaran.”Valerie menghela napas panjang sambil menyibak rambutnya ke belakang. “Aku tidak menyukai Leo. Hanya saja, mungkin aku akan menerima ajakan nonton itu kalau sore nanti kita tidak ada janji dengan Ayah,” jawab Valerie santai, berusaha menahan kesal.Namun, ekspresi Aldrich tetap tak puas. Dia berbalik dan berjalan lebih dulu memasuki lift tanpa sepatah kata, meninggalkan Valerie yang tercengang.“Kau meninggalkanku!” gerutu Valerie, berlari kecil mengejar Aldrich.Aldrich hanya meliri
"Benar. Tapi aku hanya ingin memastikan kau tidak merasa tertekan. Aku tahu ayahmu, dan aku, terkadang membuat situasi menjadi lebih rumit."Aldrich memandang Valerie dengan tatapan yang sulit diartikan.Seketika Valerie pun menghela napas panjang, mencoba meredam emosi yang muncul. "Aldrich, aku sudah bilang aku bisa mengatasi ini. Kau tak perlu mengkhawatirkanku," katanya sambil menatap lurus pada Aldrich.Aldrich mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. "Baiklah. Kalau begitu, kau hanya perlu ingat satu hal—malam ini, kau adalah pusat perhatian. Dan aku adalah pria paling beruntung yang bisa berdiri di sampingmu."Valerie terkejut mendengar kata-kata itu, tapi segera menutupi rasa gugupnya dengan senyum tipis. "Kalau begitu, pastikan kau tidak mempermalukanku," balasnya, mencoba terdengar santai.Aldrich terkekeh. "Percayalah, aku tidak akan pernah melakukannya."Setelahnya, Valerie berdiri, bersiap untuk kembali ke ruangannya. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Aldrich mema
“Ka—kalau begitu saya pamit dulu, Pak. Val. Masih ada pekerjaan yang belum selesai,” ucap Leo dengan terbata-bata, sebelum akhirnya berlari keluar pantry dengan langkah tergesa.Valerie menghela napas panjang, lalu menatap Aldrich dengan tajam. Namun, pria itu hanya memasang wajah tak berdosa, seolah tidak ada yang salah dengan tindakannya tadi.“Kenapa? Apa kau baru menyadari bahwa aku tampan?” tanya Aldrich dengan nada percaya diri, lengkap dengan senyum khasnya yang menyebalkan.Valerie memutar matanya, berusaha menahan keinginan untuk melempar gelas kopinya ke wajah pria itu. Tetapi ia ingat—Aldrich adalah bosnya, dan ia harus menjaga profesionalitas.“Ingat, Val. Dia adalah bosmu! Bosmu yang menyebalkan!” batinnya mengingatkan.Setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, Valerie akhirnya berkata, “Kau tidak boleh menakutinya seperti itu, Aldrich. Leo tidak salah apa-apa.”Kini hanya mereka berdua yang tersisa di pantry, suasana terasa sedikit tegang.Aldrich meng
“Kenapa lama sekali, Val?” Aldrich menghampiri Valerie begitu melihatnya datang dengan ekspresi gusar.“Maaf, Al, sepertinya aku tidak bisa menemanimu,” ujar Valerie. Ia mengusap rambutnya dengan kedua tangan, tampak kesal. “Aku tidak tahu kenapa, tetapi Alicia sepertinya sengaja menabrakku dan membuat bajuku terkena kopi,” jelasnya, sedikit menahan napas akibat amarah yang mulai naik.Dahi Aldrich berkerut, “Tunggu, Alicia?” tanyanya memastikan.Valerie mengangguk sambil melipat tangan di depan dada. “Ya, salah satu karyawanmu di departemen pemasaran. Aku dengar dia juga pernah jadi kandidat sekretarismu waktu itu,” katanya, mengingat desas-desus yang sempat ia dengar di awal ia bekerja.Aldrich mendesah panjang, jelas merasa kesal. “Lupakan soal Alicia. Fokus ke hal yang lebih penting. Kau harus ganti pakaian sekarang. Kalau tidak, kita akan terlambat. Kau tahu, bukan? Meeting kali ini cukup penting,” ucapnya dengan tegas.Valerie hanya bisa menghela napas, merasa serba salah. Meli
“Eh, tunggu,” kata Valerie, menghentikan langkahnya. Aldrich yang sudah melangkah lebih dulu menoleh dengan satu alis terangkat. “Kenapa lagi?” tanyanya, terdengar sedikit tidak sabar.Valerie menggaruk pipinya yang tidak gatal, lalu menunjuk arah berbeda. “Kita lewat sini saja,” katanya santai, meski ada kilatan jahil di matanya.Aldrich memandang lorong yang ditunjuk Valerie dengan dahi berkerut. Namun, dalam hitungan detik, senyum kecil di sudut bibirnya pun terbit. Dia tahu maksud Valerie “Oke, kita lewat sini,” balas Aldrich, menuruti permintaan Valerie tanpa banyak protes.Dia melangkah lebih dulu, tangan dimasukkan ke dalam saku, auranya yang tenang membuat semua orang di ruangan terdiam saat dia lewat. Valerie mengikuti di belakangnya, sambil menahan senyum geli.Saat mereka melewati ruang pemasaran, banyak mata mulai menoleh. Tidak terkecuali Alicia. Wanita itu bahkan memanjangkan lehernya, berusaha mengintip Aldrich yang jarang muncul di departemennya. Alicia nyaris melomp
“M-Madam, tolong beri saya kesempatan—”“Cukup!” Elizabeth memotong tajam. “Kau sudah cukup mempermalukan dirimu sendiri.”Lalu, Elizabeth berbalik pada Valerie dengan ekspresi yang jauh lebih lembut. “Valerie sayang, aku benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Seharusnya stafku lebih terlatih.”Valerie mengangkat bahu santai. “Tidak masalah, Liz. Aku sudah terbiasa dengan orang yang menilaiku hanya dari tampilan luar.”Elizabeth mendesah sebelum tersenyum kecil. “Setidaknya biarkan aku menebus kesalahanku. Kau boleh memilih satu gaun di sini, anggap saja sebagai permintaan maaf dari butik kami.”Aldrich yang sejak tadi diam, akhirnya menambahkan, “Tapi kami masih ingin melihat rekaman CCTV.”Elizabeth meliriknya sejenak sebelum mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin memastikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.”Pegawai yang bersalah itu hanya bisa semakin tenggelam dalam ketakutan.Rekaman CCTV pun akhirnya diputar di ruangan khusus. Dalam layar besar, terlihat jelas bagaimana pegaw
“A-Apa?”Aldrich menatapnya dingin. “Tentu saja, itu hanya prosedur biasa. Aku ingin memastikan kejadian ini benar-benar seperti yang kau katakan. Lagipula, butik sebesar ini pasti memiliki sistem keamanan yang baik, bukan?”Pegawai itu menelan ludah. “T-Tapi, Tuan… CCTV kami sedang mengalami gangguan teknis hari ini. Mungkin tidak ada rekaman yang bisa diperiksa,” katanya cepat, berharap Aldrich tidak akan memaksanya.Valerie mendecak pelan. “Ah, kebetulan sekali,” katanya dengan nada mengejek. “Hari ini, di saat kau menuduhku, CCTV justru mengalami gangguan.”Aldrich tersenyum miring, tetapi tatapan matanya tetap tajam. “Benar-benar kebetulan yang menarik,” gumamnya pelan, sebelum menatap pegawai itu dengan tatapan penuh arti.Pegawai itu mulai berkeringat, tidak tahu harus menjawab apa.Aldrich menyeringai tipis, menikmati ekspresi panik di wajah pegawai itu. “Tapi hari ini mungkin adalah keberuntunganmu,” katanya santai, lalu memasukkan satu tangan ke dalam saku celana. “Karena ma
Pegawai butik itu mengerutkan kening saat melihat cara Valerie melangkah dengan percaya diri, seolah mengenal butik ini lebih baik daripada dirinya sendiri.“Sepertinya Nona cukup sering berbelanja di tempat mewah,” katanya dengan nada sinis, namun kali ini lebih hati-hati.Valerie hanya menanggapinya dengan gumaman ringan, tidak ingin membuang waktu untuk berdebat dengan seseorang yang jelas-jelas meremehkannya. Namun, sikap santai Valerie justru membuat pegawai itu semakin kesal.Saat Valerie menyusuri deretan gaun premium, pegawai itu memperhatikan sekelilingnya dengan cepat, lalu tersenyum licik. Sebuah ide buruk melintas di benaknya—mungkin ini kesempatan bagus untuk mempermalukan Valerie di depan Aldrich.Dengan gerakan yang sengaja dibuat sehalus mungkin, pegawai itu menyenggol sebuah rak kecil berisi aksesori mahal, membuat sebuah bros berlian jatuh tepat ke dalam lipatan rok Valerie tanpa disadari.Kemudian, pegawai itu dengan sengaja menjatuhkan sebuah gaun sutra mahal dari
“Ah, sudah lama aku tidak ke sini,” ujar Valerie sambil menghirup udara yang khas dari butik mewah itu. Aroma lembut parfum ruangan bercampur dengan wangi kain mahal memenuhi udara.Butik ini adalah butik eksklusif yang hanya menjual pakaian branded dan custom-made—setiap potongannya unik, hanya ada satu di dunia. Interiornya megah dengan dinding kaca yang memperlihatkan koleksi terbaru, sementara lampu kristal yang menggantung di langit-langit memberikan pencahayaan sempurna untuk menampilkan keindahan setiap busana.Sejak memutuskan kabur dan meninggalkan seluruh harta serta fasilitas yang diberikan ayahnya, Valerie memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini.Aldrich, yang berjalan santai di sebelahnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, menoleh dan terkekeh. “Kalau kau serindu itu dengan kehidupan lamamu, kenapa tidak kembali saja?” godanya.Valerie melotot padanya, lalu menjawab tegas, “Big no!”Belum sempat Aldrich membalas, seorang pegawai butik me
“Oh, hai. Siapa ini?”Valerie menarik napas panjang. Tanpa perlu menoleh, dia sudah tahu siapa yang baru saja menyapanya.Jennifer.“Pak Aldrich, saya tak menyangka orang seperti Bapak mau merendahkan standar dengan makan di sini,” ucap Jennifer, sengaja menekankan kata rendah dengan nada sinis.Valerie tahu betul bahwa komentar Jennifer itu ditujukan untuknya. Jennifer, mantan sahabatnya, masih saja bersikap congkak meski kenyataan tidak berpihak padanya. Yang Jennifer tidak tahu adalah status Valerie sekarang.“Valerie Brianna Caitlin, lama tidak bertemu.”Deg.Valerie membeku. Ia mengenal suara itu dengan baik—suara mantan tunangannya, Charlos Marquel.Aldrich yang sedari tadi mengamati Valerie menangkap perubahan ekspresi di wajahnya. Ia menyandarkan punggung ke kursi dengan santai, lalu melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyilangkan kaki, sikapnya penuh kewaspadaan.“Restoran ini bagus. Dan yang terpenting makanannya enak. Kenapa saya harus malu atau merasa rendah hany
Tak lama, hidangan lainnya juga tiba—semuanya disusun rapi di atas meja yang tadinya kosong, kini penuh dengan berbagai makanan khas restoran itu. Ada salad segar dengan saus wijen, pangsit kukus berisi udang yang masih mengepul, serta sepiring kecil ayam goreng renyah dengan saus madu pedas di sampingnya.Valerie mendecak kecil, menggelengkan kepala. “Kau serius memesan semuanya? Meja ini hampir tidak muat!” protesnya, meskipun matanya jelas-jelas berbinar melihat semua makanan itu.Aldrich mengambil sepasang sumpit dan menatap Valerie sambil tersenyum penuh percaya diri. “Kalau kau tidak makan, aku akan memakan bagianmu juga.”Valerie mendengus, kemudian mengambil sumpitnya sendiri. “Kau tidak perlu mengancamku. Aku akan memastikan kau tidak mendapatkan bagian lebih dari ramen ini,” katanya sambil mulai menyendok kuah ke dalam mangkuk kecilnya.Begitu mencicipi suapan pertama, Valerie terdiam. Kuah ramen itu terasa begitu kaya dengan perpaduan gurih dan sedikit pedas, sementara mie
Aldrich melirik arlojinya, lalu menatap Valerie sambil menyunggingkan senyum tipis. “Ayo, kita makan di sana,” katanya santai, sambil menunjuk ke sebuah restoran kecil di seberang jalan.Seketika Valerie pun mengikuti arah tunjuk Aldrich. Restoran itu tampak sederhana namun menarik, dengan dinding bata ekspos, lampu-lampu gantung bergaya vintage, dan papan nama kayu bertuliskan Bistro Avenue. Jendela-jendelanya yang besar memperlihatkan suasana dalam ruangan yang hangat, dipenuhi meja kayu, kursi empuk, serta aroma masakan yang seakan tercium hingga ke luar.“Kau lapar?” tanya Valerie sambil menatap Aldrich.“Kau tidak lapar?” Aldrich balik bertanya dengan nada santai, matanya menyipit seolah menggoda.Valerie tertawa kecil, lalu memasang ekspresi angkuh. Dagunya sedikit terangkat dan kedua tangannya terlipat di depan dada. “Tentu tidak,” katanya dengan percaya diri.Namun, tepat ketika ia hendak melanjutkan kata-katanya, suara keras dari perutnya tiba-tiba terdengar.Kruuk.Valerie
Ruang meeting di lantai atas gedung itu terlihat mewah dengan interior yang didominasi warna putih dan emas. Dinding kaca besar memberikan pemandangan kota yang menakjubkan. Begitu Aldrich dan Valerie memasuki ruangan, beberapa pria berpakaian rapi segera berdiri, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman ramah.“Aldrich! Selalu menyenangkan bertemu dengan Anda,” kata seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu gelap. Dia menjabat tangan Aldrich dengan hangat sebelum matanya beralih pada Valerie.“Dan ini siapa? Apakah ini sekretaris baru Anda?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.Aldrich tersenyum kecil dan melirik Valerie sekilas sebelum menjawab, “Ya, benar. Ini Valerie. Dia adalah sekretaris saya.”Valerie tersenyum sopan dan menganggukkan kepala sebagai sapaan. “Senang bertemu dengan Anda semua,” ucapnya dengan nada ramah.Seorang pria lain, lebih muda dan berpenampilan kasual, memandang Valerie dengan mata berbinar. “Sekretaris yang cantik sekali, Aldrich. Anda memang
“Eh, tunggu,” kata Valerie, menghentikan langkahnya. Aldrich yang sudah melangkah lebih dulu menoleh dengan satu alis terangkat. “Kenapa lagi?” tanyanya, terdengar sedikit tidak sabar.Valerie menggaruk pipinya yang tidak gatal, lalu menunjuk arah berbeda. “Kita lewat sini saja,” katanya santai, meski ada kilatan jahil di matanya.Aldrich memandang lorong yang ditunjuk Valerie dengan dahi berkerut. Namun, dalam hitungan detik, senyum kecil di sudut bibirnya pun terbit. Dia tahu maksud Valerie “Oke, kita lewat sini,” balas Aldrich, menuruti permintaan Valerie tanpa banyak protes.Dia melangkah lebih dulu, tangan dimasukkan ke dalam saku, auranya yang tenang membuat semua orang di ruangan terdiam saat dia lewat. Valerie mengikuti di belakangnya, sambil menahan senyum geli.Saat mereka melewati ruang pemasaran, banyak mata mulai menoleh. Tidak terkecuali Alicia. Wanita itu bahkan memanjangkan lehernya, berusaha mengintip Aldrich yang jarang muncul di departemennya. Alicia nyaris melomp