Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
“Hhh .…” Valerie menarik napas tajam, sebuah desahan halus lolos dari bibirnya. Suara itu seperti undangan tanpa kata, ia membiarkan sentuhan Aldrich menghangatkan kulitnya. Menarik napas dalam-dalam, ia mencoba mengenyahkan rasa sakit hati yang terus membayanginya. Suara detak jam di suite hotel mewah di tengah kota Paris menjadi satu-satunya penanda waktu yang terus berjalan, sementara ia merasa dunia seolah berhenti. Di luar jendela besar, Menara Eiffel berdiri anggun, dikelilingi kerlip cahaya malam. Namun, pemandangan itu tak seberapa dibandingkan intensitas tatapan pria di depannya yang sulit diabaikan. “Kamu yakin ingin melanjutkan ini?” Aldrich bertanya pelan. Mata Aldrich menelisik dalam, seakan mampu melihat semua luka dan rasa sakit yang disembunyikan Valerie di balik sikap tenangnya. Valerie mengangguk, mencoba menyembunyikan kekacauan emosinya. “Iya … aku butuh ini. Aku butuh … sesuatu untuk melupakan semuanya,” jawabnya. Tatapan Valerie penuh keyakinan. Hati
“Sial, aku terlambat!” Valerie, wanita berusia 23 tahun itu mempercepat langkah kakinya, sesekali ia melirik jam di pergelangan tangan. Ia tiba di sebuah gedung perkantoran dengan perasaan campur aduk. Penerbangan panjang dari Paris tak mampu mengalihkan pikirannya dari malam terakhirnya di kota tersebut. Mengingat gigolo malam itu membuat hatinya berdenyut aneh—antara malu, kecewa, dan rasa rindu yang tak masuk akal. Namun, Valerie segera menepis pikirannya. Hari ini, ia harus bersikap profesional. Wawancara kerja di perusahaan IT ternama ini adalah kesempatan besar, setelah ia memilih untuk kabur dari rumah karena sang Daddy yang mengatur perjodohan untuknya. Hell, ia baru saja dikhianati oleh dua orang terpercaya sekaligus. Pacar dan sahabatnya. Dan sekarang ia tidak akan membiarkan pikirannya kacau hanya karena kenangan sesaat dengan seorang pria. Saat Valerie memasuki ruang resepsionis, ia disambut oleh suasana modern dengan kaca-kaca besar yang memantulkan sinar ma
“Jadi, itu alasan saya ingin bergabung di perusahaan ini,” ucap Valerie, menjawab pertanyaan Aldrich dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.Aldrich memiringkan kepala sedikit, memperhatikan wanita di depannya dengan intensitas yang tidak sepenuhnya ia sadari. “Valerie,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. “Kau terlihat… siap untuk kesempatan ini.”Tatapannya tanpa sengaja turun ke jemari Valerie yang tampak meremas clutch-nya dengan gugup. Gerakan kecil itu tidak terlewat dari matanya, memberi kesan bahwa di balik sikap percaya dirinya, ada kelembutan yang sengaja ia sembunyikan. Valerie segera sedikit menegakkan tubuh, berusaha memperkuat auranya yang profesional. Ia tidak ingin Aldrich, atau siapa pun, melihat sisi rentannya. “Terima kasih,” jawabnya dengan nada yang terdengar mantap, meskipun di dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia abaikan.Mata mereka bertemu untuk beberapa detik, masing-masing mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di
Hari-hari awal Valerie sebagai sekretaris CEO terasa seperti ujian mental. Jadwal Aldrich yang padat, rapat yang tak ada habisnya, dan tuntutan perfeksionisme membuatnya bekerja ekstra keras.Namun, kejadian memalukan di hari ketiga membuatnya ingin menggali lubang dan menghilang.Saat itu Valerie tengah sibuk menyortir email ketika Aldrich memintanya untuk mengirimkan daftar belanja pribadi kepada asisten rumah tangganya. Daftar itu sederhana. Hanya berisi bahan makanan, beberapa botol anggur, dan satu catatan tambahan yang nyaris luput dari perhatian Valerie. Karena terburu-buru, dia salah menekan tombol dan mengirimkan email itu ke seluruh divisi perusahaan. Dampaknya langsung terasa. Ponsel Valerie berbunyi tanpa henti, kolega mulai berbisik-bisik, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak. Baru saat itulah Valerie membuka kembali email yang ia kirimkan dan membaca bagian akhirnya: PS: Jangan lupa beli almond milk, bukan susu sapi biasa. Saya tidak mau jerawatan saat meeting b
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa
“Jadi, apa yang ingin kau katakan tentang Charlos kemarin malam?” tanya Valerie pelan, matanya tetap tertuju pada layar, tapi perhatiannya jelas hanya untuk pria di sebelahnya.Aldrich menghabiskan sisa popcorn di dalam mulutnya, lalu menoleh menatap Valerie. Dengan santai namun penuh intensi, tangannya yang berada di bahu Valerie menarik wanita itu semakin mendekat. Tanpa berkata apa-apa terlebih dulu, Aldrich menunduk dan melabuhkan satu kecupan lembut di bibir Valerie.Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk membuat darah Valerie berdesir. Wajahnya otomatis memerah, namun ia dengan cepat mengontrol ekspresinya, pura-pura tetap biasa saja meski jantungnya berdebar dua kali lebih kencang.Aldrich tersenyum kecil atas reaksi Valerie, lalu menjawab dengan nada tenang, “Dia mengakui semuanya, sayang. Dan kemungkinan sidang pertamanya tidak akan lama lagi.”Valerie mengangguk pelan, lalu memiringkan tubuhnya agar bisa lebih fokus mendengarkan. Tatapan Aldrich berubah serius saat melanjutka
Valerie sibuk mengocok telur di mangkuk sambil bersenandung kecil. Aroma roti panggang mulai memenuhi dapur, berpadu dengan wangi kopi yang mengepul dari mesin. Aldrich duduk di meja, dagunya bertumpu pada tangan, memperhatikan setiap gerak-gerik Valerie dengan tatapan yang tidak bisa lebih jatuh cinta dari itu.“Aku masih heran,” kata Aldrich tiba-tiba, alisnya bertaut sedikit. “Dokter bilang kau sedang hamil, tapi… kenapa perutmu masih saja datar?”Valerie menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh dengan ekspresi bingung sekaligus geli.“Aldrich…” katanya pelan, “Aku bahkan belum telat dua belas minggu.”Aldrich mengerjap. “Serius? Tapi bukankah harusnya... ya setidaknya... buncit sedikit?”Valerie tak bisa menahan tawanya. Telurnya nyaris tumpah dari mangkuk karena tubuhnya terguncang menahan geli. Ia menatap Aldrich dengan ekspresi antara sayang dan ingin melemparkan spatula ke wajah tampannya.“Itu bukan sulap, Mr. Aldrich,” katanya sambil berjalan ke arahnya dengan telur mas