Hari-hari awal Valerie sebagai sekretaris CEO terasa seperti ujian mental. Jadwal Aldrich yang padat, rapat yang tak ada habisnya, dan tuntutan perfeksionisme membuatnya bekerja ekstra keras.
Namun, kejadian memalukan di hari ketiga membuatnya ingin menggali lubang dan menghilang. Saat itu Valerie tengah sibuk menyortir email ketika Aldrich memintanya untuk mengirimkan daftar belanja pribadi kepada asisten rumah tangganya. Daftar itu sederhana. Hanya berisi bahan makanan, beberapa botol anggur, dan satu catatan tambahan yang nyaris luput dari perhatian Valerie. Karena terburu-buru, dia salah menekan tombol dan mengirimkan email itu ke seluruh divisi perusahaan. Dampaknya langsung terasa. Ponsel Valerie berbunyi tanpa henti, kolega mulai berbisik-bisik, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak. Baru saat itulah Valerie membuka kembali email yang ia kirimkan dan membaca bagian akhirnya: PS: Jangan lupa beli almond milk, bukan susu sapi biasa. Saya tidak mau jerawatan saat meeting besar nanti. Valerie memucat. Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika pintu ruang Aldrich terbuka, dan pria itu keluar dengan ekspresi bercampur aduk antara bingung dan geli. "Valerie," katanya pelan, memperlihatkan ponselnya. "Tolong jelaskan kenapa kepala divisi operasional baru saja menanyakan preferensi susu saya?" Valerie merasa seperti akan pingsan, tapi dia mencoba tetap tenang. Dengan wajah memerah, dia menjawab, "Saya… saya pikir Anda ingin berbagi rahasia kulit mulus Anda dengan semua orang, Pak." Aldrich memandangnya lama sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang jarang ia tunjukkan di kantor. "Kamu benar-benar berbeda," katanya sambil menggelengkan kepala. "Aku harus mengakui, ini pertama kalinya sesuatu seperti ini terjadi." Valerie hanya bisa tersenyum kaku, berharap lantai di bawahnya bisa membawanya menjauh dari rasa malu itu. Kejadian email itu menjadi bahan candaan selama beberapa hari, tapi Aldrich tidak pernah membahasnya lagi secara serius. Dia bahkan tampak lebih santai di sekitar Valerie, meskipun sikap profesionalnya tetap terjaga. Namun, Valerie tidak menyangka bahwa kesalahannya akan membawa dampak yang lebih besar. Seminggu kemudian, dalam rapat besar bersama kepala divisi, salah satu peserta tiba-tiba mengangkat tangan dan berkata, "Pak Aldrich, kami sudah mengatur pengiriman almond milk Anda untuk pantry kantor. Kami ingin memastikan Anda siap menghadapi semua meeting penting tanpa masalah." Ruang rapat langsung dipenuhi tawa, dan Valerie hanya bisa menundukkan kepalanya, berharap bisa menghilang. “Bodoh sekali kau Valerie!” rutuknya dalam hati. Aldrich meliriknya sekilas dengan senyum yang jelas mengatakan, ‘Kau membuat ini terjadi’, sebelum dia menanggapi, "Terima kasih atas perhatian kalian. Saya rasa itu keputusan yang bijaksana." Setelah rapat selesai, Aldrich mendekati Valerie yang masih sibuk membereskan dokumen. Dia menunduk sedikit hingga wajahnya hampir sejajar dengannya dan berbisik, "Kau membuat hariku lebih menarik, Valerie. Jangan pernah berubah." --- Beberapa minggu bekerja, Valerie mulai menyadari bahwa menjadi sekretaris Aldrich lebih sulit dari yang ia bayangkan. Selain harus menghadapi tatapan pria itu yang kadang terlalu intens, ia juga harus terus menghindari panggilan telepon dari Bastian, ayahnya. “Valerie, kenapa kau tidak menjawab teleponku?” Bastian berkata dengan nada tegas suatu hari saat ia akhirnya berhasil menelepon Valerie di tengah pekerjaannya. “Karena saya sedang sibuk bekerja, Ayah,” jawab Valerie sambil berbisik agar Aldrich tidak mendengar. “Bekerja? Di mana? Aku ingin kau bertemu pria yang kupilih untukmu.” Valerie hampir tersedak. “Ayah, tolong jangan mencampuri hidupku. Aku sudah dewasa!” Namun, saat itu Aldrich berjalan ke arahnya, mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya. “Siapa itu, Valerie?” tanyanya dengan nada datar, tapi mata itu menyelidik. “Oh, ini hanya…,” Valerie mencoba mencari alasan, tapi Aldrich sudah mengambil ponselnya dan menempelkan ke telinganya. “Ini Aldrich, CEO HC group. Apa ada yang bisa saya bantu?” katanya tanpa basa-basi. Di ujung sana, suara Bastian langsung berubah serius. “Aldrich? Kau?!” Valerie membeku. Aldrich mengangkat satu alisnya. “Oh, jadi Anda ayah Valerie? Senang sekali akhirnya bisa berbicara dengan Anda, Pak Bastian.” Valerie nyaris pingsan. Dalam hati ia hanya bisa berteriak, “Habis sudah aku!”“Jadi, Aldrich...” Suara berat Bastian terdengar dari telepon, bercampur antara bingung dan terkejut. "Kau CEO HC Group?""Benar, Pak Bastian," jawab Aldrich dengan santai, namun suaranya memancarkan dominasi. "Dan Valerie sekarang bekerja sebagai sekretaris saya. Sangat berbakat sekali putri Anda."Valerie, yang duduk di seberang meja, hampir tersedak napasnya.Sejenak, hanya ada keheningan di ujung telepon. Kemudian Bastian tertawa lega. "Baiklah kalau begitu. Saya senang dia tidak bekerja di tempat sembarangan."Setelah percakapan selesai, Aldrich menyerahkan ponsel Valerie kembali. Namun, senyum kecil di wajahnya penuh dengan ejekan terselubung. "Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Valerie."Valerie memicingkan matanya, mencoba menahan kekesalannya. Dengan nada berbisik tajam, ia menjawab, "Pak Aldrich, Anda tidak seharusnya ikut campur!""Oh?" Aldrich menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi, tatapannya tajam namun penuh permainan. "Jadi, ini rahasia? Dan siapa
"Arghhht!" Valerie berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Setelah meninggalkan ruangan Aldrich dengan langkah tergesa dan pintu yang sengaja ia banting keras, ia berakhir di tangga darurat. Tempat yang sunyi itu menjadi pelarian sesaat dari kekacauan pikirannya.Ia menarik napas panjang, tapi udara yang ia hirup terasa berat, penuh dengan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Tangannya gemetar memegang pegangan tangga, sementara matanya mulai berkaca-kaca.Valerie merasa marah. Ayahnya telah mengatur hidupnya tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaannya, memperlakukannya seperti pion dalam permainan bisnis. Ia juga bingung, karena Aldrich—pria yang ia kira gigolo saat di Paris—ternyata sudah mengenalnya sejak saat itu. Lebih buruk lagi, Aldrich adalah calon suami yang dijodohkan untuknya."Hell!" pikirnya pahit. Ia kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan yang diatur ayahnya, tapi malah menghabiskan malam bersama pria itu. Ironisnya, saat itu ia sempat menga
Hari itu, setelah menyegel aliansi canggung mereka, Valerie dan Aldrich sepakat untuk bertemu setelah jam kerja di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Valerie memilih tempat yang jauh dari keramaian kantor atau lingkungan bisnis, memastikan privasi mereka.Setelah menunggu beberapa saat, Aldrich muncul, mengenakan setelan santai tanpa dasi. Ia melirik sekeliling sebelum berjalan ke meja Valerie. "Pilihan tempat yang menarik," komentarnya saat duduk."Aku tidak ingin orang-orang membicarakan ini," jawab Valerie datar sambil mengaduk kopinya. "Kita di sini untuk rencana. Jadi, apa yang kau punya?"Aldrich mengangkat alis, sedikit tersenyum melihat Valerie yang langsung to the point. "Langsung ke inti, ya? Baiklah. Pertama-tama, kita perlu mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan oleh kedua pihak keluarga kita.""Apa maksudmu? Bukannya jelas? Ayahku ingin aku menikah dengan pewaris HC group, dan kau jelas adalah alat untuk itu," jawab Valerie tajam.Aldrich mengangguk. "Itu kelihatan
"Ah, akhirnya!" Valerie mendesah sambil merebahkan diri di ranjang apartemennya. Matanya menatap kosong ke langit-langit yang bercahaya lembut, sementara pikirannya melayang ke kejadian-kejadian yang baru saja berlalu. Ruangan itu tenang, nyaris terlalu sunyi, meskipun deru samar kendaraan dari luar masih terdengar."Paris..." gumamnya pelan, mengingat malam itu.Bayangan kamar hotel megah yang pernah ia tempati bersama Aldrich tiba-tiba muncul. Ranjang besar dengan seprai putih beraroma lavender, jendela kaca lebar yang menghadap gemerlap menara Eiffel, dan keheningan yang terasa begitu menusuk. Saat itu, ia masih mengira Aldrich adalah pria biasa—atau lebih tepatnya, gigolo mahal yang bisa ia bayar untuk melupakan kesedihannya."Lucu sekali," katanya sambil tertawa kecil, namun ada kepahitan di ujung suaranya. "Gigolo yang ternyata seorang bos besar. Apa lagi kejutan yang kau simpan, Aldrich? Ah... dia juga calon yang Ayah pilihkan.”Valerie mendesah sekali lagi, sebelum memili
Kring!Alarm Valerie berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi yang tenang. Dengan mata setengah tertutup, ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, mencari tombol mati pada jam itu. Begitu berhasil, ia kembali membenamkan dirinya ke dalam selimut, berharap bisa mencuri beberapa menit lagi dalam kehangatan kasurnya.Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat.Drrt... drrt...Ponselnya mulai bergetar di atas meja. Valerie mendesah panjang, memutar badan untuk meraih ponsel, tetapi getaran itu tak kunjung berhenti.“Siapa sih pagi-pagi begini?” gerutunya setengah mengantuk, memaksakan mata untuk menatap layar ponsel. Namun begitu melihat nama yang tertera, kantuknya langsung hilang.Gigolo tampan.Nama itu selalu membuat darahnya berdesir—campuran antara rasa kesal dan gugup. Aldrich, bosnya sekaligus pria yang entah bagaimana selalu berhasil membuatnya merasa tak terkendali. Terlebih setelah ia mengetahui bahwa pria itu adalah lelaki yang di jodohkan Ayahnya dalam pernikah
“Pagi, Val!”Valerie mengangguk sambil tersenyum ramah, membalas sapaan beberapa karyawan yang lewat. Sepatu hak rendahnya mengeluarkan suara lembut setiap kali menyentuh lantai, memberikan kesan santai namun tetap anggun. Meski pagi ini dia harus tergesa-gesa, Valerie tetap menjaga wajahnya terlihat tenang.Dia berjalan menuju lift bersama beberapa karyawan lainnya, sesekali melirik ponselnya untuk memastikan tidak ada pesan mendesak dari Aldrich. Saat sampai di depan lift, ia berdiri tenang, menunggu pintu terbuka. Suara obrolan kecil dari karyawan lain memenuhi ruangan, tetapi Valerie hanya fokus pada pikirannya sendiri."Aldrich pasti sudah di ruang rapat. Kalau aku terlambat, dia pasti akan mengomentari penampilanku lagi. Ah, kenapa aku peduli? Yang penting dokumen lengkap."Suara ding dari lift membuyarkan lamunannya. Valerie melangkah masuk bersama beberapa orang lainnya. Tangannya memegang erat tas kulitnya, dan ia bersandar ke dinding lift, menikmati momen singkat untuk me
"Valerie, tolong perjelas lagi soal target jangka pendek." Suara Aldrich terdengar tegas namun santai, memecah kesunyian setelah Valerie menyelesaikan presentasinya.Valerie mengangguk kecil, kembali berdiri dan mengklik slide berikutnya. "Tentu, Pak. Untuk jangka pendek, langkah-langkah ini dirancang agar mulai diterapkan minggu depan. Tim operasional sudah dibriefing, jadi prosesnya bisa langsung dimulai setelah keputusan disepakati hari ini."Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Baik. Itu terdengar menjanjikan. Lanjutkan."Valerie mengakhiri presentasi dengan percaya diri. Tepuk tangan singkat dari para direktur mengiringi langkahnya kembali duduk. Namun, ketegangan di pundaknya belum sepenuhnya menghilang. Rapat berakhir tanpa hambatan, dan ia segera membereskan dokumen-dokumennya.Namun, saat Valerie berdiri untuk keluar, suara Aldrich memanggilnya. "Valerie."Nada suaranya rendah tapi cukup menarik perhatian. Valerie menoleh, men
Sabtu malam tiba dengan cepat. Valerie berdiri di depan cermin panjang di kamarnya, memastikan gaun pilihannya sudah sempurna. Valerie memilih gaun satin berwarna emerald green dengan potongan klasik yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Gaun itu memiliki detail belahan tinggi di sisi kanan dan potongan off-shoulder yang memperlihatkan tulang selangkanya yang indah. Sepasang anting berlian kecil menggantung di telinganya, memberikan kilauan halus saat ia bergerak.Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami, membuatnya terlihat elegan namun tidak terlalu berlebihan. Ia melengkapinya dengan sepatu hak tinggi berwarna nude dan clutch kecil senada. Valerie mengambil napas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Santai saja, ini hanya malam formal seperti biasa."Ketika bel apartemennya berbunyi, Valerie berjalan menuju pintu dengan langkah percaya diri. Namun, saat ia membukanya, ia terkejut melihat Aldrich berdiri di sana. Pria itu mengenakan tuksedo hitam kl
Jennifer menggigit kukunya sembari berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Tatapannya terpaku pada layar televisi yang terus menayangkan berita tentang penangkapan Charlos."Bodoh!" gerutunya gemas, menggertakkan gigi.Dia menghela napas kasar, satu tangan bertolak pinggang sementara tangan lainnya meremas rambutnya sendiri. "Tenang, Jenn… Charlos tidak akan bisa menyeretmu secara langsung. Kau tidak akan masuk penjara," ucapnya, mencoba menenangkan diri.Tapi rasa panik tetap menggigitnya.Rencana menculik dan menyebarkan video editan Valerie—semua itu adalah idenya. Namun, Jennifer tidak pernah menyangka Charlos akan sebodoh itu hingga tertangkap dengan begitu mudah."Sial! Aku harus kabur!"Tanpa membuang waktu, Jennifer bergegas mengeluarkan koper, memasukkan barang-barang berharganya dengan terburu-buru. Tangannya gemetar saat mengambil paspor dan uang tunai yang sudah ia simpan sejak lama untuk keadaan darurat seperti ini.Namun sebelum koper itu penuh, suara ketukan keras men
Valerie berlari secepat yang dia bisa, napasnya memburu. Lorong rumah sakit terasa semakin panjang dan mencekam. Dia bisa mendengar langkah kaki berat yang mengejarnya, mendekat semakin cepat.Saat menoleh ke belakang, mata Valerie melebar melihat Charlos yang semakin dekat. Wajah pria itu dipenuhi amarah dan obsesinya yang semakin tak terkendali.“Berhenti, Valerie!” seru Charlos, suaranya menggema di lorong kosong.Tapi Valerie tidak mau berhenti. Dia mempercepat langkahnya, menyeberangi koridor lain, mencari tempat yang bisa dia gunakan untuk bersembunyi. Namun, di tikungan berikutnya, tubuhnya ditarik kasar.“Akh—!” Valerie hampir menjerit, tetapi Charlos buru-buru membekap mulutnya dengan tangan.“Jangan melawan,” bisik Charlos dengan nada mengancam. “Kita perlu bicara, Valerie. Kau pikir bisa lari dariku?”Valerie meronta, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Charlos begitu kuat.Sebelum Charlos bisa membawanya pergi lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepa
“Sebentar,” katanya sebelum keluar dari ruangan untuk menerima panggilan.Sementara itu, Valerie kembali menatap ayahnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan. “Ayah… bertahanlah, ya,” bisiknya.Ia ingin berbagi kabar tentang kehamilannya. Tentang bagaimana dia kini mengandung cucu Bastian. Tapi kapan waktu yang tepat? Ayahnya masih terbaring lemah di sini, sementara hidupnya sendiri masih dipenuhi ketidakpastian.Tiba-tiba, Valerie merasakan pusing yang aneh. Pandangannya sedikit berputar, dan ia harus memejamkan mata sejenak untuk meredakan rasa tidak nyaman itu.“Aku harus kuat,” gumamnya pelan.Namun, sebelum ia bisa benar-benar menenangkan diri, Aldrich kembali masuk dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya.“Ada apa?” tanya Valerie, mencoba membaca raut wajah pria itu.Aldrich ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Ada masalah di perusahaan. Aku harus pergi sebentar.”“Lagi?” tanya Valerie menghela, menatapnya dalam diam. Di satu sisi, ia ingin
Mobil masih melaju dengan kecepatan stabil, membawa Aldrich dan Valerie menjauh dari kekacauan di rumah sakit. Valerie duduk diam di kursinya, masih memegang erat tangan Aldrich, seolah takut jika melepaskannya, semua ini hanya akan menjadi mimpi buruk yang belum berakhir.Aldrich menoleh ke arahnya, merasakan bagaimana jari-jari Valerie menggenggamnya begitu erat. "Apa yang ingin kau katakan tadi?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Valerie menatapnya, keragu-raguan tergambar jelas di wajahnya. Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian. Ini adalah saat yang tepat. Ia ingin mengatakan segalanya. Bahwa ia hamil. Bahwa ada kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya, anak mereka.Tapi sebelum kata-kata itu sempat keluar dari bibirnya, ponselnya tiba-tiba berdering keras, memecah keheningan. Valerie tersentak, seolah tersadar kembali ke dunia nyata. Ia menoleh ke layar ponsel, dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Bastian.Dengan cepat, ia mengangkat panggilan itu. "Ayah?"Su
Aldrich membawa Valerie dalam gendongannya, langkahnya cepat dan penuh kewaspadaan. Ia tahu mereka belum sepenuhnya aman. Jika ada anak buah Charlos di sini, kemungkinan ada lebih banyak lagi di luar.Saat mereka mencapai lorong menuju pintu keluar darurat, Valerie meremas bahunya. "Aldrich... bagaimana kalau mereka masih ada di luar?"Aldrich menegang, lalu menurunkannya dengan hati-hati. Tatapan matanya tajam saat menatap pintu di depan mereka. "Aku akan pastikan kita keluar dari sini dengan selamat."Ia merogoh ponselnya dan menekan tombol panggilan cepat. "Kirim mobil ke pintu keluar darurat rumah sakit. Aku butuh pengawalan sekarang juga."Valerie menelan ludah. Nafasnya masih belum stabil setelah kejadian tadi. "Aldrich... aku takut."Aldrich menatapnya dalam, lalu mengusap pipinya dengan lembut. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu lagi."Saat ia mendekat ke pintu, langkahnya melambat. Jantung Valerie berdegup kencang. Aldrich mengintip melalui celah pintu dan melihat
Valerie berlari tanpa henti, jantungnya berdegup liar seiring langkah kakinya yang beradu dengan lantai rumah sakit. Nafasnya tersengal, tetapi ia tidak berani berhenti. Di belakangnya, suara pria-pria itu kembali terdengar, mengejarnya seperti pemangsa yang tidak akan melepaskan buruannya.Aku harus keluar dari sini!Pikirnya lagi. Ia berbelok di persimpangan lorong, mencoba mencari jalan keluar. Tapi di saat yang sama, salah satu pria pengejarnya muncul dari sisi lain lorong.Sial! Mereka menyebar!Valerie merunduk, menyelinap ke dalam ruang peralatan kebersihan sebelum pria itu bisa melihatnya. Ia menutup pintu pelan dan menahan napas, tubuhnya gemetar.Di luar, suara langkah kaki mendekat."Dia pasti di sekitar sini! Cek semua ruangan!"Valerie menggigit bibirnya, meremas bajunya sendiri untuk menahan ketakutan. Jika mereka menemukannya di ruangan sempit ini, tidak ada jalan keluar.Drrt… Drrt…Ponselnya bergetar. Valerie terkejut dan dengan cepat membungkam ponselnya, tapi suara
Valerie duduk di kursi rumah sakit dengan wajah sedikit pucat. Perutnya sudah jauh lebih baik, tapi ada kegelisahan yang mengganggu pikirannya.Ia melirik ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan masuk. Kenapa Aldrich belum menghubunginya lagi?Seorang perawat datang dan tersenyum. "Nona Valerie, dokter sudah siap menemui Anda."Valerie mengangguk dan berdiri, namun perasaan aneh menggelayut di dadanya. Saat melewati lorong rumah sakit, ia merasa ada seseorang yang mengawasinya.Langkahnya melambat. Matanya melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber perasaan tidak nyaman itu.Lalu, di ujung lorong, ia melihat seseorang berdiri dengan jaket hitam dan topi ditarik rendah. Jantungnya mencelos. Orang itu tidak bergerak, tapi seakan menunggu.Valerie menelan ludah. Jangan panik, Valerie. Mungkin itu hanya pengunjung biasa. Tapi entah mengapa, instingnya berkata lain.Ia melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat. Setiap langkah yang ia ambil, rasa takut dalam dirinya semakin kuat
Sementara itu, Aldrich berada di kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi dingin. Sejak pagi, ia terus menerima laporan dari bawahannya tentang gerakan terakhir Charlos. Semua anak buah Charlos yang mencoba membuntuti mereka sudah dilumpuhkan, dan bukti kejahatan pria itu telah dikumpulkan untuk diserahkan ke pihak berwajib.Namun, sebelum ia bisa menghela napas lega, ponselnya bergetar. Nama Lucas, salah satu orang kepercayaannya, muncul di layar."Bos, ada masalah besar."Aldrich mengernyit. "Apa?""Kami baru saja mendapat informasi bahwa Charlos tidak bekerja sendirian. Ada seseorang yang lebih besar di belakangnya, dan mereka baru saja menggerakkan sesuatu yang berbahaya."Dada Aldrich menegang. "Siapa orang itu?"Lucas terdengar ragu sebelum menjawab. "Kami belum bisa memastikan identitasnya, tetapi menurut informasi yang kami dapat, dia jauh lebih berpengaruh daripada Charlos. Dan yang lebih buruk, mereka tahu bahwa Anda sudah mengumpulkan bukti-bukti kejahatan mereka."
Pagi harinya, cahaya matahari menembus celah tirai, menciptakan semburat keemasan di dalam kamar. Valerie masih terlelap, napasnya teratur, sementara Aldrich sudah terjaga lebih dulu. Ia bangkit perlahan agar tidak membangunkan Valerie, lalu berjalan keluar kamar. Begitu sampai di ruang kerja, ponselnya bergetar di atas meja. Ia mengangkatnya tanpa ragu.“Tuan, orang-orang Charlos yang membuntuti Anda sudah dibereskan. Mereka tidak akan bisa mendekati Anda ataupun Nona Valerie lagi,” ujar suara tegas dari bawahan kepercayaannya.Aldrich bersandar di kursinya, mengusap dagunya yang mulai berpasir dengan ekspresi penuh pemikiran. "Bagus. Apa ada hal lain?""Ya. Kami telah mengumpulkan semua bukti terkait aktivitas Charlos, termasuk transaksi ilegal yang ia lakukan untuk menjatuhkan Anda dan bukti bahwa ia berusaha mencelakai Nona Valerie. Semua dokumen sudah siap untuk dilaporkan ke pihak berwajib."Aldrich mengangguk puas. "Lakukan segera. Pastikan dia tidak punya celah untuk lolos."