“Jadi, Aldrich...” Suara berat Bastian terdengar dari telepon, bercampur antara bingung dan terkejut. "Kau CEO HC Group?"
"Benar, Pak Bastian," jawab Aldrich dengan santai, namun suaranya memancarkan dominasi. "Dan Valerie sekarang bekerja sebagai sekretaris saya. Sangat berbakat sekali putri Anda." Valerie, yang duduk di seberang meja, hampir tersedak napasnya. Sejenak, hanya ada keheningan di ujung telepon. Kemudian Bastian tertawa lega. "Baiklah kalau begitu. Saya senang dia tidak bekerja di tempat sembarangan." Setelah percakapan selesai, Aldrich menyerahkan ponsel Valerie kembali. Namun, senyum kecil di wajahnya penuh dengan ejekan terselubung. "Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Valerie." Valerie memicingkan matanya, mencoba menahan kekesalannya. Dengan nada berbisik tajam, ia menjawab, "Pak Aldrich, Anda tidak seharusnya ikut campur!" "Oh?" Aldrich menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi, tatapannya tajam namun penuh permainan. "Jadi, ini rahasia? Dan siapa pria yang ingin dijodohkan denganmu?" "Itu bukan urusan Anda!" Valerie menukas, suaranya bergetar oleh kemarahan. Wajahnya mulai memerah, menandakan emosi yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Aldrich tersenyum tipis, seperti predator yang baru saja menemukan kelemahan mangsanya. "Ah, jadi itu sebabnya kau kabur ke Paris?" tanyanya, suaranya begitu tenang, namun ada nada mengejek yang tidak bisa disembunyikan. Valerie tertegun, tubuhnya membeku sesaat. Pertanyaan itu seperti tamparan tak terduga. "Bagaimana Anda tahu?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya membesar karena keterkejutan, ketegangan merambat melalui tubuhnya. Aldrich mengangkat bahu dengan santai. "Aku punya cara, Valerie. Informasi itu murah, tapi sering kali sangat berguna. Apalagi tentang orang yang bekerja denganku," katanya, nadanya seperti pisau yang diayunkan perlahan. Valerie mengepalkan jemarinya, kuku-kukunya menekan telapak tangannya untuk menahan rasa gemetar. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, berusaha mengembalikan kendali dirinya. "Tentu, Anda mungkin tahu sesuatu," katanya, suaranya lebih stabil. "Tapi jangan pernah berpikir Anda tahu segalanya tentang saya." Setelah meninggalkan ruangan Aldrich, siangnya, Valerie, berjalan terburu-buru membawa dokumen penting untuk pria itu, dia tidak memperhatikan seorang staf yang mendorong troli berisi cangkir-cangkir kopi panas. Dalam hitungan detik, tabrakan tak terelakkan. Cangkir-cangkir itu melayang ke udara, dan Valerie hanya bisa menyaksikan dengan horor saat salah satu cangkir menumpahkan isinya ke kemeja putih Aldrich. "Astaga!" Valerie berseru panik. "Saya tidak sengaja! Maaf, Pak Aldrich!" Aldrich berdiri, menatap kemejanya yang basah kuyup, sebelum mendongak dengan ekspresi datar. "Valerie..." "Saya akan mengganti kemeja Anda! Saya akan beli yang baru!" Valerie buru-buru menawarkan, nyaris kehilangan akal. Namun alih-alih menjawab, Aldrich mulai membuka kancing kemejanya. Valerie langsung memalingkan wajah. "Pak Aldrich! Jangan buka baju di sini!" katanya, setengah berteriak. Aldrich mengangkat bahu santai. "Kalau begitu, bagaimana aku bekerja dengan kemeja basah?" Valerie terdiam sejenak, lalu tergagap, "Saya... saya akan ambilkan jaket dari ruang kerja Anda!" Ia melarikan diri dengan wajah merah padam, meninggalkan Aldrich yang hanya tertawa kecil di belakangnya. Setelah insiden ketumpahan kopi di lobi, sorenya, seorang staf mendatangi Valerie dengan wajah cemas. "Nona Valerie, maaf mengganggu. Ada seorang pria tua di lobi yang ingin bertemu dengan bos kita." "Pria tua?" Valerie mengernyit. "Dia bilang dia ayah Anda," jawab staf itu ragu. Jantung Valerie hampir melompat ke tenggorokan. "Apa? Ayah saya?" "Iya, dan dia ingin bertemu dengan Tuan Aldrich." Firasat buruk langsung merambati pikiran Valerie. Ia segera bergegas menuju ruang Aldrich. Saat tiba, pintu ruangan itu sudah setengah terbuka. Dari celahnya, Valerie melihat ayahnya duduk di sofa dengan anggun, mengenakan jas mahal yang ia tahu khusus dipakai untuk pertemuan penting. "Ayah?" Valerie masuk dengan langkah terburu-buru. "Apa yang Ayah lakukan di sini?" Bastian menoleh, menatap putrinya dengan tatapan tajam tetapi lembut. "Apa lagi kalau bukan memastikan keadaanmu? Dan tentu saja, bertemu dengan... calon suamimu.” "Suami?!" tanya Valerie setengah berteriak, matanya bergantian memandang ayahnya dan Aldrich. "Siapa? Ayah bercanda, kan?" Bastian tampak puas melihat keterkejutan putrinya. "Aldrich adalah pria pilihan Ayah. Dia memiliki segalanya—karier, karakter, dan reputasi yang baik." Valerie memutar tubuhnya ke arah Aldrich, tatapannya tajam. "Anda tahu soal ini?" Aldrich mengangkat bahu santai. "Aku tahu sejak awal. Ayahmu sudah membahas ini denganku sebelum kau melamar ke sini." Kemarahan Valerie memuncak. "Jadi ini jebakan? Ayah sengaja menjodohkan aku dengan bosku tanpa memberitahuku?" "Jebakan?" Bastian menatapnya datar. "Kau sendiri yang melamar ke sini, Nak. Ayah hanya ingin memastikan masa depanmu baik." Valerie tertawa sinis. "Masa depan yang baik? Ayah tahu aku tidak setuju dengan perjodohan!" "Kau mungkin tidak setuju sekarang, tapi kau akan mengerti nanti," balas Bastian mantap. Valerie mendengus, berbalik ke Aldrich. "Kau sama saja. Aku berhenti!" Aldrich yang tadinya diam kini berbicara dengan nada serius. "Berhenti? Silakan saja." Ia mengangkat dokumen kontraknya. "Tapi kau harus membayar penalti lima ratus juta." Valerie membeku. Setelah menatap tajam keduanya, ia berkata dengan nada penuh tekad, "Baiklah. Jika kalian pikir bisa mengatur hidupku, kita lihat saja. Aku tidak akan kalah." Dengan langkah cepat, ia keluar dan membanting pintu keras-keras. Di dalam, Bastian menatap Aldrich dengan penuh harap. "Kau bisa menjinakkannya, kan?" Aldrich tersenyum kecil. "Tentu saja. Putri Anda adalah tantangan paling menarik yang pernah kutemui.""Arghhht!" Valerie berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Setelah meninggalkan ruangan Aldrich dengan langkah tergesa dan pintu yang sengaja ia banting keras, ia berakhir di tangga darurat. Tempat yang sunyi itu menjadi pelarian sesaat dari kekacauan pikirannya.Ia menarik napas panjang, tapi udara yang ia hirup terasa berat, penuh dengan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Tangannya gemetar memegang pegangan tangga, sementara matanya mulai berkaca-kaca.Valerie merasa marah. Ayahnya telah mengatur hidupnya tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaannya, memperlakukannya seperti pion dalam permainan bisnis. Ia juga bingung, karena Aldrich—pria yang ia kira gigolo saat di Paris—ternyata sudah mengenalnya sejak saat itu. Lebih buruk lagi, Aldrich adalah calon suami yang dijodohkan untuknya."Hell!" pikirnya pahit. Ia kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan yang diatur ayahnya, tapi malah menghabiskan malam bersama pria itu. Ironisnya, saat itu ia sempat menga
Hari itu, setelah menyegel aliansi canggung mereka, Valerie dan Aldrich sepakat untuk bertemu setelah jam kerja di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Valerie memilih tempat yang jauh dari keramaian kantor atau lingkungan bisnis, memastikan privasi mereka.Setelah menunggu beberapa saat, Aldrich muncul, mengenakan setelan santai tanpa dasi. Ia melirik sekeliling sebelum berjalan ke meja Valerie. "Pilihan tempat yang menarik," komentarnya saat duduk."Aku tidak ingin orang-orang membicarakan ini," jawab Valerie datar sambil mengaduk kopinya. "Kita di sini untuk rencana. Jadi, apa yang kau punya?"Aldrich mengangkat alis, sedikit tersenyum melihat Valerie yang langsung to the point. "Langsung ke inti, ya? Baiklah. Pertama-tama, kita perlu mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan oleh kedua pihak keluarga kita.""Apa maksudmu? Bukannya jelas? Ayahku ingin aku menikah dengan pewaris HC group, dan kau jelas adalah alat untuk itu," jawab Valerie tajam.Aldrich mengangguk. "Itu kelihatan
"Ah, akhirnya!" Valerie mendesah sambil merebahkan diri di ranjang apartemennya. Matanya menatap kosong ke langit-langit yang bercahaya lembut, sementara pikirannya melayang ke kejadian-kejadian yang baru saja berlalu. Ruangan itu tenang, nyaris terlalu sunyi, meskipun deru samar kendaraan dari luar masih terdengar."Paris..." gumamnya pelan, mengingat malam itu.Bayangan kamar hotel megah yang pernah ia tempati bersama Aldrich tiba-tiba muncul. Ranjang besar dengan seprai putih beraroma lavender, jendela kaca lebar yang menghadap gemerlap menara Eiffel, dan keheningan yang terasa begitu menusuk. Saat itu, ia masih mengira Aldrich adalah pria biasa—atau lebih tepatnya, gigolo mahal yang bisa ia bayar untuk melupakan kesedihannya."Lucu sekali," katanya sambil tertawa kecil, namun ada kepahitan di ujung suaranya. "Gigolo yang ternyata seorang bos besar. Apa lagi kejutan yang kau simpan, Aldrich? Ah... dia juga calon yang Ayah pilihkan.”Valerie mendesah sekali lagi, sebelum memili
Kring!Alarm Valerie berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi yang tenang. Dengan mata setengah tertutup, ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, mencari tombol mati pada jam itu. Begitu berhasil, ia kembali membenamkan dirinya ke dalam selimut, berharap bisa mencuri beberapa menit lagi dalam kehangatan kasurnya.Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat.Drrt... drrt...Ponselnya mulai bergetar di atas meja. Valerie mendesah panjang, memutar badan untuk meraih ponsel, tetapi getaran itu tak kunjung berhenti.“Siapa sih pagi-pagi begini?” gerutunya setengah mengantuk, memaksakan mata untuk menatap layar ponsel. Namun begitu melihat nama yang tertera, kantuknya langsung hilang.Gigolo tampan.Nama itu selalu membuat darahnya berdesir—campuran antara rasa kesal dan gugup. Aldrich, bosnya sekaligus pria yang entah bagaimana selalu berhasil membuatnya merasa tak terkendali. Terlebih setelah ia mengetahui bahwa pria itu adalah lelaki yang di jodohkan Ayahnya dalam pernikah
“Pagi, Val!”Valerie mengangguk sambil tersenyum ramah, membalas sapaan beberapa karyawan yang lewat. Sepatu hak rendahnya mengeluarkan suara lembut setiap kali menyentuh lantai, memberikan kesan santai namun tetap anggun. Meski pagi ini dia harus tergesa-gesa, Valerie tetap menjaga wajahnya terlihat tenang.Dia berjalan menuju lift bersama beberapa karyawan lainnya, sesekali melirik ponselnya untuk memastikan tidak ada pesan mendesak dari Aldrich. Saat sampai di depan lift, ia berdiri tenang, menunggu pintu terbuka. Suara obrolan kecil dari karyawan lain memenuhi ruangan, tetapi Valerie hanya fokus pada pikirannya sendiri."Aldrich pasti sudah di ruang rapat. Kalau aku terlambat, dia pasti akan mengomentari penampilanku lagi. Ah, kenapa aku peduli? Yang penting dokumen lengkap."Suara ding dari lift membuyarkan lamunannya. Valerie melangkah masuk bersama beberapa orang lainnya. Tangannya memegang erat tas kulitnya, dan ia bersandar ke dinding lift, menikmati momen singkat untuk me
"Valerie, tolong perjelas lagi soal target jangka pendek." Suara Aldrich terdengar tegas namun santai, memecah kesunyian setelah Valerie menyelesaikan presentasinya.Valerie mengangguk kecil, kembali berdiri dan mengklik slide berikutnya. "Tentu, Pak. Untuk jangka pendek, langkah-langkah ini dirancang agar mulai diterapkan minggu depan. Tim operasional sudah dibriefing, jadi prosesnya bisa langsung dimulai setelah keputusan disepakati hari ini."Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Baik. Itu terdengar menjanjikan. Lanjutkan."Valerie mengakhiri presentasi dengan percaya diri. Tepuk tangan singkat dari para direktur mengiringi langkahnya kembali duduk. Namun, ketegangan di pundaknya belum sepenuhnya menghilang. Rapat berakhir tanpa hambatan, dan ia segera membereskan dokumen-dokumennya.Namun, saat Valerie berdiri untuk keluar, suara Aldrich memanggilnya. "Valerie."Nada suaranya rendah tapi cukup menarik perhatian. Valerie menoleh, men
Sabtu malam tiba dengan cepat. Valerie berdiri di depan cermin panjang di kamarnya, memastikan gaun pilihannya sudah sempurna. Valerie memilih gaun satin berwarna emerald green dengan potongan klasik yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Gaun itu memiliki detail belahan tinggi di sisi kanan dan potongan off-shoulder yang memperlihatkan tulang selangkanya yang indah. Sepasang anting berlian kecil menggantung di telinganya, memberikan kilauan halus saat ia bergerak.Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami, membuatnya terlihat elegan namun tidak terlalu berlebihan. Ia melengkapinya dengan sepatu hak tinggi berwarna nude dan clutch kecil senada. Valerie mengambil napas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Santai saja, ini hanya malam formal seperti biasa."Ketika bel apartemennya berbunyi, Valerie berjalan menuju pintu dengan langkah percaya diri. Namun, saat ia membukanya, ia terkejut melihat Aldrich berdiri di sana. Pria itu mengenakan tuksedo hitam kl
"Aku benar-benar tidak salah pilih. Kalian cocok sekali," kata Bastian dengan nada puas. Matanya berbinar memperhatikan Aldrich yang baru saja dengan santai memindahkan sepotong daging ke piring Valerie.Valerie, yang sedang meraih gelas anggurnya, hampir tersedak mendengar ucapan ayahnya itu. Ia menatap Bastian dengan mata melebar, mencoba memberikan sinyal agar pria itu berhenti. Namun, Bastian tampaknya sengaja mengabaikan ekspresi putrinya."Bisnis dan keluarga memang sering kali berjalan seiring," tambah Bastian, kini dengan senyum yang lebih lebar. Seolah-olah ia baru saja meletakkan potongan puzzle terakhir dari rencana besarnya.Valerie membuka mulut untuk menyanggah, tapi sebelum sempat mengeluarkan kata-kata, suara Aldrich terdengar lebih dulu."Tentu, wajahku memang tidak pernah salah," ujar Aldrich santai, sambil menyunggingkan senyum tipis. Tatapan matanya sekilas beralih ke Valerie yang tampak kesal namun berusaha tetap tenang. "Tapi, Tuan Bastian," lanjutnya dengan
“Cih, bisa-bisanya dia tidak tergoda dengan tubuhku!” gerutu Jennifer dalam hati, frustrasi.Tatapan matanya melirik Valerie yang terlihat tenang sambil menggoyangkan pena di tangannya. Tapi saat Jennifer memperhatikan lebih saksama, dia menangkap senyum kecil yang seolah menantangnya. Itu membuat darah Jennifer mendidih. “Wanita sialan!” umpatnya dalam hati.Sejak dulu, Jennifer selalu berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, tanpa pengecualian. Charlos, kekasih Valerie, adalah salah satu contohnya. Dia tidak perlu usaha ekstra untuk menaklukkan pria itu, hanya sedikit godaan dan sikap manis palsu, Charlos sudah ada dalam genggamannya. Dan itulah yang membuat Jennifer merasa superior atas Valerie.Sebenarnya, Jennifer tidak pernah benar-benar menyukai Valerie. Persahabatan mereka dulu hanyalah kamuflase. Jennifer mendekati Valerie karena wanita itu selalu dikelilingi banyak orang, baik pria maupun wanita. Valerie populer, berbakat, dan karismatik—semua hal yang tidak dimiliki
“Hah, dasar ular!” Valerie menggerutu sambil meninju udara kosong di depannya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga karena rasa jijik yang mendidih di dalam dirinya.“Dia pikir aku akan iri dan menangis hanya karena tahu tentang kehamilannya?” Valerie mendesis pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. "Charlos tidak sepenting itu."Dia menggertakkan giginya, menahan diri agar tidak melampiaskan kemarahan dengan cara yang buruk. Valerie punya seribu alasan untuk membalas Jennifer. Apalagi menjambak rambut wanita itu di tempat. Tapi, Valerie memilih menahan diri. Dia tahu, menghadapi Jennifer dengan cara seperti itu hanya akan menurunkan martabatnya.“Sabar, Val. Kau harus tenang," katanya pada dirinya sendiri sambil mengatur napas. "Tarik napas, tahan. Hembuskan perlahan.”Valerie menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan amarah yang membara di dadanya. Setelah beberapa detik, dia membuka matanya lagi dengan sorot yang lebih tenang, meskipun masih ada s
Saat Valerie sedang menikmati croissant-nya, ponsel di dalam tasnya bergetar. Dia meletakkan roti di atas tisu sementara tangannya meraih ponsel. Membuka pesan yang masuk, matanya membulat saat membaca isi pesan tersebut:[Datang ke rumah nanti malam dengan Aldrich. Ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan.]Valerie mendengus pelan, dahinya langsung berkerut. Dia memandangi layar ponsel selama beberapa detik, lalu menoleh ke Aldrich yang sedang fokus mengemudi.“Aldrich...” panggilnya pelan.“Hm?” Aldrich menjawab tanpa menoleh, tapi sudut bibirnya naik sedikit, menunjukkan dia masih memperhatikan Valerie meski matanya tertuju pada jalan.“Ayahku...” Valerie berhenti sejenak, seolah ragu melanjutkan, tapi akhirnya dia melanjutkan juga. “Dia ingin kita datang ke rumahnya nanti malam. Katanya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.”Aldrich melirik Valerie sekilas dengan alis terangkat. “Kedengarannya serius. Apakah ini tentang rencana perjodohan kita?”Valerie mendengus, meletakkan ponselny
“Hatschi!”Valerie bersin lagi, lalu mengusap hidungnya yang sudah memerah. Sedangkan Aldrich, duduk di sebelahnya, menyodorkan tisu dengan ekspresi tenang namun ada sedikit geli di matanya.“Terima kasih,” ucap Valerie sembari menerima tisu itu. Suaranya terdengar serak, jelas akibat dinginnya angin semalam.Mereka berada di dalam mobil Aldrich, yang melaju dengan elegan menuju kantor. Aldrich tampak lebih santai hari ini—kemeja putihnya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kokoh, sementara dasinya tergantung longgar di lehernya. Rambutnya yang hitam legam disisir rapi, dengan beberapa helai jatuh di dahinya, membuatnya terlihat seperti model di sampul majalah.Sementara itu, Valerie tampil sederhana namun tetap stylish. Ia mengenakan celana panjang hitam yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan blus putih berpotongan longgar. Blus itu ia lapisi dengan blazer wanita berwarna navy yang memberi kesan profesional. Rambutnya diikat ala bun sederhana di atas kepala, memperlihat
“Kau menatapku seolah ingin menerkamku saja,” kata Valerie dengan nada tenang, meskipun ada senyum kecil bermain di sudut bibirnya. Ia menangkap tatapan Aldrich dari sudut matanya, yang begitu lekat hingga membuatnya sedikit salah tingkah.Valerie menggoyangkan gelasnya perlahan, melihat cairan di dalamnya berputar membentuk riak halus. Aromanya harum, campuran buah persik dan vanila yang lembut, bercampur dengan rasa hangat khas alkohol ringan. Ia membawa gelas itu ke bibir, menyesapnya perlahan. Cairannya meninggalkan rasa manis sekaligus segar di lidah, mengalir hangat di tenggorokannya.Aldrich terkekeh, tidak berniat mengelak. “Mungkin saja,” katanya ringan, dengan nada goda yang khas.Ia meraih gelasnya sendiri, meneguk cairan bening keemasan itu sebelum menyandarkan tubuhnya santai di sofa. Matanya menatap lurus ke depan, menikmati malam yang begitu cerah. Langit bertabur bintang tampak seolah sebuah kanvas penuh kilauan, menciptakan pemandangan yang menenangkan.“Banyak bint
“Cih!”Aldrich berdecih, lalu menarik kursi di hadapan Valerie. Gerakannya santai, namun tetap menunjukkan wibawa seorang pria yang tahu apa yang ia inginkan. Ia duduk dengan nyaman, menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menatap Valerie.Merasa diawasi, Valerie mendongak dari piringnya. Tatapannya polos, seakan baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu. “Kau juga makan?” tanyanya sambil mengedip.Aldrich mengangkat alis, tatapannya penuh sindiran. “Menurutmu?”Valerie memutar bola matanya, meletakkan garpu di piringnya. “Kukira kau hanya memasakkan untukku saja,” katanya setengah mengomel sebelum kembali menyendok nasi goreng ke mulutnya.Aldrich tersenyum tipis, memerhatikan Valerie yang tampak menikmati masakannya. “Aku juga butuh tenaga,” katanya santai, menyandarkan siku di meja, “untuk membuatmu lembur malam ini.”Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Aldrich, tapi dampaknya langsung terlihat pada Valerie. Wajahnya seketika merona. Ia hampir saja tersedak jika tidak bur
Kruuk!Valerie memejamkan mata erat, wajahnya langsung menenggelam di dada Aldrich. Dalam hati, dia berharap pria itu tidak mendengar suara perutnya yang baru saja berbunyi.Namun harapannya pupus. Valerie merasakan bahu Aldrich bergetar, dan tak lama suara tawa rendah pria itu pecah, menggema di kamar yang sunyi.“Jangan tertawa!” protes Valerie, suaranya ketus.Alih-alih berhenti, Aldrich justru tertawa lebih keras, membuat Valerie mendengus kesal. Dia mendorong dada Aldrich, lalu bangkit dan duduk bersila, selimutnya ditarik hingga menutupi tubuhnya. Dengan wajah masam, Valerie melipat kedua tangannya di depan dada.“Kau benar-benar tidak bisa menahan diri, ya?” sindir Valerie, menatap Aldrich yang masih berusaha mengendalikan tawanya.“Kebiasaan,” balas Aldrich santai, senyum lebar masih menghiasi wajahnya. Dia bangkit dari tempat tidur, memungut asal kausnya yang tergeletak di lantai, dan memakainya dengan santai.“Kau mau ke mana?” tanya Valerie, menoleh dengan alis terangkat,
Valerie tidak bisa memungkiri fakta itu, meskipun mulutnya enggan mengakui. Pertama kali melihat Aldrich di Paris—saat dia masih mengira pria itu seorang gigolo—matanya memang tertarik pada tubuh tegap serta wajah tampannya yang begitu sempurna. Namun, rasa gengsinya lebih besar.“Cih. Dalam mimpimu, sayang,” balas Valerie sambil tersenyum penuh arti. Kali ini, dengan sengaja, dia menyentuh titik sensitif Aldrich dengan gerakan menggoda.Aldrich mengerang pelan, suara yang terdengar dalam dan penuh godaan. Cengkramannya di pinggang Valerie semakin menguat, menahan gerakan isengnya. “Kau sengaja ya?” tanyanya, suaranya berat dengan nada menantang.Valerie tidak berusaha membantah. Dia tertawa kecil, puas melihat ekspresi Aldrich yang campuran antara terkendali dan tersiksa. “Aku hanya memastikan kau tidak terlalu santai, Tuan,” katanya dengan nada main-main, matanya berkilat penuh kemenangan.Aldrich menatap Valerie dengan pandangan yang sulit ditebak, separuh geli, separuh terpeso
“Ahh... jadi, kau pernah punya kekasih?” Valerie berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Suaranya terdengar berat, mencoba mengalihkan fokus dari intensitas di antara mereka. Aldrich, di sisi lain, tampak tenang, seperti sedang menikmati keunggulannya.Aldrich tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengangkat salah satu kaki Valerie dengan gerakan lembut namun tegas, memperlihatkan dominasi alaminya. Ia menatap Valerie dengan sorot mata penuh teka-teki, lalu menundukkan kepala, mengendus ringan aroma yang berasal dari kulitnya, seolah menikmati keberadaan wanita itu dengan semua indranya.Valerie menggigit bibir bawah, merasa malu namun tak mampu mengalihkan pandangan. Jantungnya berdetak lebih cepat saat Aldrich menegakkan tubuhnya kembali, pandangan mereka bertemu.“Tidak bisa dibilang sebagai kekasih,” jawab Aldrich akhirnya, dengan suara serak yang terkesan menggoda. Kata-katanya melayang samar, tidak memberikan kepastian apa pun, justru meninggalkan ruang bagi Valerie untuk