Sebuah gudang tua. Gelap. Sepi. Tapi terdengar suara—lirih, seperti tangisan.Rasa penasaran dan insting gilanya muncul. Ia mendekat, lalu mengintip lewat celah jendela dan melihat seorang anak lelaki yang disekap, wajahnya penuh luka, tapi tetap tampak… tampan. Bahkan dalam kondisi begitu, ada sesuatu dari bocah itu yang menggetarkan Valerie kecil.Tanpa pikir panjang, Valerie melempar batu ke kaca. Tak peduli jika ia akan dimarahi, ia hanya ingin menyelamatkan seseorang.Sayangnya, langkah heroiknya tak berjalan mulus. Mereka menangkapnya juga. Valerie kecil menjerit, tapi tetap mencoba menggigit tangan penculik yang membekapnya, sambil memegangi tangan bocah lelaki itu.Namun, sebelum semuanya bertambah buruk, dua pria bertubuh besar menerobos masuk—bodyguard Valerie. Mereka melumpuhkan para penculik dengan cepat. Tak lama kemudian, datang pula pria elegan dengan tatapan mengerikan yang disertai pasukan. Itu adalah Daddy dari bocah lelaki yang diselamatkannya.Valerie dan anak lel
Aldrich memandangi wajah Valerie yang begitu dekat dengannya, napasnya nyaris tercekat di tenggorokan. Cahaya lampu ruangan yang hangat membingkai wajah wanita itu dengan sempurna. Mata yang dulu pernah menatapnya penuh keberanian saat ia tersungkur dalam ketakutan, kini menatapnya penuh harap dan keraguan yang manis.Perlahan, Aldrich mengangkat tangan, menyentuh pipi Valerie. Sentuhan itu lembut, nyaris seperti menyentuh mimpi yang paling rapuh.“Aku mencintaimu, Valerie,” ucap Aldrich tiba-tiba. Suaranya dalam dan jujur, tak lagi terbebani. “Sejak dulu, rasa kagum itu tumbuh perlahan. Aku bahkan tak sadar kapan rasa itu berubah jadi cinta. Tapi yang jelas… bukan karena hubungan panas kita, bukan karena kedekatan fisik yang sering kita habiskan bersama.”Valerie menatapnya, mata membulat perlahan.Aldrich mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah mencoba menyembunyikan perasaan yang mengalir terlalu deras. “Aku tahu, kau pasti tak mungkin mencintaiku. Bukan karena kau tak bisa, t
Pagi itu, matahari menyelinap lembut dari balik tirai tipis yang menari pelan tertiup angin. Cahaya keemasan membelai pelan kulit Valerie yang hangat dan bersinar alami. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia bangun dengan senyuman lebar tanpa alasan lain… selain bahagia.Tidak ada beban. Tidak ada rasa ragu. Tidak ada kebohongan.Hanya perasaan yang mengalir ringan seperti aliran udara pagi yang segar.Ia memiringkan tubuhnya perlahan, dan matanya segera jatuh pada sosok yang berbaring di sebelahnya. Aldrich.Pria itu masih terlelap, wajahnya damai, tanpa sedikit pun garis kekhawatiran seperti biasanya. Rambutnya berantakan dengan cara yang justru menambah pesonanya. Rahangnya yang tajam terlihat lebih santai dalam tidur, dan bibir tipisnya sedikit menganga, membuat Valerie tergoda untuk menempelkan ciuman kecil di sudutnya.Tapi bukan hanya wajahnya yang menarik perhatian.Selimut tipis yang menutupi tubuh Aldrich hanya sampai di pinggul, memperlihatkan sebagian bes
Valerie sibuk mengocok telur di mangkuk sambil bersenandung kecil. Aroma roti panggang mulai memenuhi dapur, berpadu dengan wangi kopi yang mengepul dari mesin. Aldrich duduk di meja, dagunya bertumpu pada tangan, memperhatikan setiap gerak-gerik Valerie dengan tatapan yang tidak bisa lebih jatuh cinta dari itu.“Aku masih heran,” kata Aldrich tiba-tiba, alisnya bertaut sedikit. “Dokter bilang kau sedang hamil, tapi… kenapa perutmu masih saja datar?”Valerie menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh dengan ekspresi bingung sekaligus geli.“Aldrich…” katanya pelan, “Aku bahkan belum telat dua belas minggu.”Aldrich mengerjap. “Serius? Tapi bukankah harusnya... ya setidaknya... buncit sedikit?”Valerie tak bisa menahan tawanya. Telurnya nyaris tumpah dari mangkuk karena tubuhnya terguncang menahan geli. Ia menatap Aldrich dengan ekspresi antara sayang dan ingin melemparkan spatula ke wajah tampannya.“Itu bukan sulap, Mr. Aldrich,” katanya sambil berjalan ke arahnya dengan telur mas
“Jadi, apa yang ingin kau katakan tentang Charlos kemarin malam?” tanya Valerie pelan, matanya tetap tertuju pada layar, tapi perhatiannya jelas hanya untuk pria di sebelahnya.Aldrich menghabiskan sisa popcorn di dalam mulutnya, lalu menoleh menatap Valerie. Dengan santai namun penuh intensi, tangannya yang berada di bahu Valerie menarik wanita itu semakin mendekat. Tanpa berkata apa-apa terlebih dulu, Aldrich menunduk dan melabuhkan satu kecupan lembut di bibir Valerie.Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk membuat darah Valerie berdesir. Wajahnya otomatis memerah, namun ia dengan cepat mengontrol ekspresinya, pura-pura tetap biasa saja meski jantungnya berdebar dua kali lebih kencang.Aldrich tersenyum kecil atas reaksi Valerie, lalu menjawab dengan nada tenang, “Dia mengakui semuanya, sayang. Dan kemungkinan sidang pertamanya tidak akan lama lagi.”Valerie mengangguk pelan, lalu memiringkan tubuhnya agar bisa lebih fokus mendengarkan. Tatapan Aldrich berubah serius saat melanjutka
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa
“Jadi, apa yang ingin kau katakan tentang Charlos kemarin malam?” tanya Valerie pelan, matanya tetap tertuju pada layar, tapi perhatiannya jelas hanya untuk pria di sebelahnya.Aldrich menghabiskan sisa popcorn di dalam mulutnya, lalu menoleh menatap Valerie. Dengan santai namun penuh intensi, tangannya yang berada di bahu Valerie menarik wanita itu semakin mendekat. Tanpa berkata apa-apa terlebih dulu, Aldrich menunduk dan melabuhkan satu kecupan lembut di bibir Valerie.Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk membuat darah Valerie berdesir. Wajahnya otomatis memerah, namun ia dengan cepat mengontrol ekspresinya, pura-pura tetap biasa saja meski jantungnya berdebar dua kali lebih kencang.Aldrich tersenyum kecil atas reaksi Valerie, lalu menjawab dengan nada tenang, “Dia mengakui semuanya, sayang. Dan kemungkinan sidang pertamanya tidak akan lama lagi.”Valerie mengangguk pelan, lalu memiringkan tubuhnya agar bisa lebih fokus mendengarkan. Tatapan Aldrich berubah serius saat melanjutka
Valerie sibuk mengocok telur di mangkuk sambil bersenandung kecil. Aroma roti panggang mulai memenuhi dapur, berpadu dengan wangi kopi yang mengepul dari mesin. Aldrich duduk di meja, dagunya bertumpu pada tangan, memperhatikan setiap gerak-gerik Valerie dengan tatapan yang tidak bisa lebih jatuh cinta dari itu.“Aku masih heran,” kata Aldrich tiba-tiba, alisnya bertaut sedikit. “Dokter bilang kau sedang hamil, tapi… kenapa perutmu masih saja datar?”Valerie menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh dengan ekspresi bingung sekaligus geli.“Aldrich…” katanya pelan, “Aku bahkan belum telat dua belas minggu.”Aldrich mengerjap. “Serius? Tapi bukankah harusnya... ya setidaknya... buncit sedikit?”Valerie tak bisa menahan tawanya. Telurnya nyaris tumpah dari mangkuk karena tubuhnya terguncang menahan geli. Ia menatap Aldrich dengan ekspresi antara sayang dan ingin melemparkan spatula ke wajah tampannya.“Itu bukan sulap, Mr. Aldrich,” katanya sambil berjalan ke arahnya dengan telur mas
Pagi itu, matahari menyelinap lembut dari balik tirai tipis yang menari pelan tertiup angin. Cahaya keemasan membelai pelan kulit Valerie yang hangat dan bersinar alami. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia bangun dengan senyuman lebar tanpa alasan lain… selain bahagia.Tidak ada beban. Tidak ada rasa ragu. Tidak ada kebohongan.Hanya perasaan yang mengalir ringan seperti aliran udara pagi yang segar.Ia memiringkan tubuhnya perlahan, dan matanya segera jatuh pada sosok yang berbaring di sebelahnya. Aldrich.Pria itu masih terlelap, wajahnya damai, tanpa sedikit pun garis kekhawatiran seperti biasanya. Rambutnya berantakan dengan cara yang justru menambah pesonanya. Rahangnya yang tajam terlihat lebih santai dalam tidur, dan bibir tipisnya sedikit menganga, membuat Valerie tergoda untuk menempelkan ciuman kecil di sudutnya.Tapi bukan hanya wajahnya yang menarik perhatian.Selimut tipis yang menutupi tubuh Aldrich hanya sampai di pinggul, memperlihatkan sebagian bes
Aldrich memandangi wajah Valerie yang begitu dekat dengannya, napasnya nyaris tercekat di tenggorokan. Cahaya lampu ruangan yang hangat membingkai wajah wanita itu dengan sempurna. Mata yang dulu pernah menatapnya penuh keberanian saat ia tersungkur dalam ketakutan, kini menatapnya penuh harap dan keraguan yang manis.Perlahan, Aldrich mengangkat tangan, menyentuh pipi Valerie. Sentuhan itu lembut, nyaris seperti menyentuh mimpi yang paling rapuh.“Aku mencintaimu, Valerie,” ucap Aldrich tiba-tiba. Suaranya dalam dan jujur, tak lagi terbebani. “Sejak dulu, rasa kagum itu tumbuh perlahan. Aku bahkan tak sadar kapan rasa itu berubah jadi cinta. Tapi yang jelas… bukan karena hubungan panas kita, bukan karena kedekatan fisik yang sering kita habiskan bersama.”Valerie menatapnya, mata membulat perlahan.Aldrich mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah mencoba menyembunyikan perasaan yang mengalir terlalu deras. “Aku tahu, kau pasti tak mungkin mencintaiku. Bukan karena kau tak bisa, t
Sebuah gudang tua. Gelap. Sepi. Tapi terdengar suara—lirih, seperti tangisan.Rasa penasaran dan insting gilanya muncul. Ia mendekat, lalu mengintip lewat celah jendela dan melihat seorang anak lelaki yang disekap, wajahnya penuh luka, tapi tetap tampak… tampan. Bahkan dalam kondisi begitu, ada sesuatu dari bocah itu yang menggetarkan Valerie kecil.Tanpa pikir panjang, Valerie melempar batu ke kaca. Tak peduli jika ia akan dimarahi, ia hanya ingin menyelamatkan seseorang.Sayangnya, langkah heroiknya tak berjalan mulus. Mereka menangkapnya juga. Valerie kecil menjerit, tapi tetap mencoba menggigit tangan penculik yang membekapnya, sambil memegangi tangan bocah lelaki itu.Namun, sebelum semuanya bertambah buruk, dua pria bertubuh besar menerobos masuk—bodyguard Valerie. Mereka melumpuhkan para penculik dengan cepat. Tak lama kemudian, datang pula pria elegan dengan tatapan mengerikan yang disertai pasukan. Itu adalah Daddy dari bocah lelaki yang diselamatkannya.Valerie dan anak lel
Valerie tak langsung menjawab.Tubuhnya masih, wajahnya pucat, dan napasnya seolah tercekat di tenggorokan. Ia bahkan tak sadar kalau cangkir teh hangat di tangannya sudah mulai mendingin. Matanya menatap Aldrich, tapi seperti menembusnya… mencari kepastian dalam kerumitan yang tiba-tiba memenuhi kepalanya.Ia membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Tak ada satu pun kata yang sanggup ia ucapkan.Sementara hatinya… berdebar tak menentu.Bagaimana bisa seorang pria merencanakan semuanya begitu rapi? Bagaimana bisa ia jatuh pada seseorang yang diam-diam sudah mengenalnya bahkan sebelum pertemuan mereka yang ia pikir hanya sekadar kebetulan? Dan bagaimana bisa hatinya tidak marah, saat justru pengakuan itu terasa seperti sesuatu yang… manis sekaligus menyakitkan?“Valerie…”Suara Aldrich lembut, namun mengandung kekhawatiran. Ia bisa melihat sorot mata Valerie yang gamang, dan itu membuat jantungnya ikut nyeri.Valerie menggigit bibir bawahnya pelan. Matanya mulai memerah, tapi bukan ka