“Jadi, itu alasan saya ingin bergabung di perusahaan ini,” ucap Valerie, menjawab pertanyaan Aldrich dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.
Aldrich memiringkan kepala sedikit, memperhatikan wanita di depannya dengan intensitas yang tidak sepenuhnya ia sadari. “Valerie,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. “Kau terlihat… siap untuk kesempatan ini.” Tatapannya tanpa sengaja turun ke jemari Valerie yang tampak meremas clutch-nya dengan gugup. Gerakan kecil itu tidak terlewat dari matanya, memberi kesan bahwa di balik sikap percaya dirinya, ada kelembutan yang sengaja ia sembunyikan. Valerie segera sedikit menegakkan tubuh, berusaha memperkuat auranya yang profesional. Ia tidak ingin Aldrich, atau siapa pun, melihat sisi rentannya. “Terima kasih,” jawabnya dengan nada yang terdengar mantap, meskipun di dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia abaikan. Mata mereka bertemu untuk beberapa detik, masing-masing mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di balik ekspresi satu sama lain. Dan untuk sesaat, ruangan terasa dipenuhi ketegangan yang sulit dijelaskan. “Saya telah mempersiapkan ini dengan baik.” Aldrich, yang duduk di balik meja besar dengan sikap santai namun penuh wibawa, mengangguk perlahan. “Baguslah. Itu kontrak kerjamu,” katanya, menunjuk dokumen tebal yang sudah tertata rapi di atas meja. “Kau bisa membacanya terlebih dahulu. Pastikan kau memahami isinya.” Valerie mengambil kontrak itu dengan kedua tangannya. Ia mulai membaca dokumen tersebut dengan cepat tetapi tetap cermat. Namun, matanya membelalak sejenak saat tiba di salah satu bagian: penalti jika ia memutuskan kontrak sebelum masa kerja berakhir. Lima ratus juta rupiah. Jumlah itu mungkin bukan masalah besar jika ia masih menjadi “putri Bastian” dan memiliki akses ke rekening keluarganya. Namun, keputusannya untuk kabur dari rumah, meninggalkan segala kenyamanan, berarti ia kini hanya bergantung pada dirinya sendiri. Saat ini, lima ratus juta adalah angka yang hampir mustahil baginya untuk dicapai. Aldrich, yang mengamatinya dengan cermat, tidak melewatkan perubahan kecil pada ekspresi Valerie. Dengan nada datar namun mengandung sindiran halus, ia berkata, “Kenapa? Kau terlihat seperti seseorang yang berencana melanggar kontrak.” Kata-katanya menusuk Valerie, membuatnya merasa tersudut. Ia mendongak, menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Tentu saja tidak,” balasnya dengan suara yang tetap tegas meskipun hatinya sedikit merutuki keberadaan Aldrich yang sepertinya selalu bisa membaca pikirannya. Aldrich tersenyum kecil, senyum yang sulit diartikan. “Bagus kalau begitu,” ujarnya pelan, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Karena di sini, kami tidak menerima orang yang setengah hati. Jika kau bergabung dengan HC Group, kau harus siap dengan segala risikonya.” Valerie menggenggam pena yang ada di atas meja, jari-jarinya sedikit gemetar. Namun, ia tahu tidak ada jalan mundur. Menyerah pada Aldrich di awal kariernya di sini akan membuatnya terlihat lemah, dan Valerie tidak pernah ingin dianggap seperti itu. Dengan tarikan napas dalam, ia akhirnya menandatangani kontrak tersebut. Suara pena menyentuh kertas terasa seperti pengesahan atas keputusan besar dalam hidupnya. Saat selesai, ia meletakkan pena itu dengan tenang dan menatap Aldrich langsung ke matanya. “Siapa bilang saya akan melanggar?” ucapnya, dengan nada yang penuh tantangan. Aldrich menatapnya, senyumnya bertambah lebar. “Itu lebih seperti dirimu, Nona Valerie.” katanya, sambil mengambil kontrak yang sudah ditandatangani. Dengan gerakan santai, ia menyimpan dokumen itu ke dalam map, lalu melirik Valerie sekali lagi. “Selamat bergabung di HC Group. Mari kita lihat, seberapa jauh kau akan bertahan.” Valerie tidak membalasnya, tetapi hatinya berdebar. Ada sesuatu tentang pria ini yang membuatnya merasa seolah sedang berada di atas papan catur, setiap langkahnya akan menentukan siapa yang akan menang atau kalah. Saat Aldrich mengalihkan pandangannya ke layar komputer, Valerie berdiri, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. “Jika tidak ada yang lain, saya akan mulai bekerja,” katanya sambil melangkah keluar dari ruangan. Tepat sebelum pintu tertutup, suara Aldrich terdengar di belakangnya, cukup pelan namun tetap jelas. “Jangan lupa, Nona Valerie. Ini adalah permainan yang panjang. Pastikan kau tahu aturan sebelum memutuskan untuk bermain.” Valerie menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu, mendengar kata-kata Aldrich yang menggantung di udara seperti tantangan terselubung. Ia menoleh sedikit, cukup untuk memberikan tatapan singkat sebelum menjawab dengan tenang, "Saya tidak pernah bermain untuk kalah, Tuan Aldrich." Pintu menutup di belakangnya, membatasi pandangan Aldrich yang masih tertuju ke arah tempat Valerie berdiri sebelumnya. Senyuman kecil kembali menghiasi wajahnya, kali ini disertai rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Di luar ruangan, Valerie mengatur napas. Jemarinya masih terasa gemetar, bukan karena rasa takut, tetapi lebih kepada tekanan dan adrenalin yang mengalir deras di tubuhnya. Lima ratus juta. Jumlah itu terngiang-ngiang di pikirannya seperti lonceng peringatan. Apa pun risikonya, ia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. Namun, kenapa Aldrich membuatnya merasa seolah ada lebih dari sekadar kontrak kerja di antara mereka? Langkah Valerie terhenti di dekat meja resepsionis. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada sahabatnya, Luna. “Aku resmi diterima di HC Group. Wish me luck!” Tak butuh waktu lama, balasan dari Luna muncul. “Congrats! Tapi hati-hati sama bosmu itu, ya. Aku dengar dia sangat dingin dan kejam.” Valerie membaca pesan itu dengan alis sedikit berkerut. Dingin? Mungkin, tapi Aldrich lebih terasa seperti seseorang yang memiliki agenda tersembunyi, seseorang yang menikmati permainan kekuasaan. Hal itu membuat Valerie merasa seperti bidak yang diposisikan secara hati-hati di papan catur. “Tapi aku juga punya kendali atas langkahku,” pikir Valerie.Hari-hari awal Valerie sebagai sekretaris CEO terasa seperti ujian mental. Jadwal Aldrich yang padat, rapat yang tak ada habisnya, dan tuntutan perfeksionisme membuatnya bekerja ekstra keras.Namun, kejadian memalukan di hari ketiga membuatnya ingin menggali lubang dan menghilang.Saat itu Valerie tengah sibuk menyortir email ketika Aldrich memintanya untuk mengirimkan daftar belanja pribadi kepada asisten rumah tangganya. Daftar itu sederhana. Hanya berisi bahan makanan, beberapa botol anggur, dan satu catatan tambahan yang nyaris luput dari perhatian Valerie. Karena terburu-buru, dia salah menekan tombol dan mengirimkan email itu ke seluruh divisi perusahaan. Dampaknya langsung terasa. Ponsel Valerie berbunyi tanpa henti, kolega mulai berbisik-bisik, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak. Baru saat itulah Valerie membuka kembali email yang ia kirimkan dan membaca bagian akhirnya: PS: Jangan lupa beli almond milk, bukan susu sapi biasa. Saya tidak mau jerawatan saat meeting b
“Jadi, Aldrich...” Suara berat Bastian terdengar dari telepon, bercampur antara bingung dan terkejut. "Kau CEO HC Group?""Benar, Pak Bastian," jawab Aldrich dengan santai, namun suaranya memancarkan dominasi. "Dan Valerie sekarang bekerja sebagai sekretaris saya. Sangat berbakat sekali putri Anda."Valerie, yang duduk di seberang meja, hampir tersedak napasnya.Sejenak, hanya ada keheningan di ujung telepon. Kemudian Bastian tertawa lega. "Baiklah kalau begitu. Saya senang dia tidak bekerja di tempat sembarangan."Setelah percakapan selesai, Aldrich menyerahkan ponsel Valerie kembali. Namun, senyum kecil di wajahnya penuh dengan ejekan terselubung. "Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Valerie."Valerie memicingkan matanya, mencoba menahan kekesalannya. Dengan nada berbisik tajam, ia menjawab, "Pak Aldrich, Anda tidak seharusnya ikut campur!""Oh?" Aldrich menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi, tatapannya tajam namun penuh permainan. "Jadi, ini rahasia? Dan siapa
"Arghhht!" Valerie berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Setelah meninggalkan ruangan Aldrich dengan langkah tergesa dan pintu yang sengaja ia banting keras, ia berakhir di tangga darurat. Tempat yang sunyi itu menjadi pelarian sesaat dari kekacauan pikirannya.Ia menarik napas panjang, tapi udara yang ia hirup terasa berat, penuh dengan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Tangannya gemetar memegang pegangan tangga, sementara matanya mulai berkaca-kaca.Valerie merasa marah. Ayahnya telah mengatur hidupnya tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaannya, memperlakukannya seperti pion dalam permainan bisnis. Ia juga bingung, karena Aldrich—pria yang ia kira gigolo saat di Paris—ternyata sudah mengenalnya sejak saat itu. Lebih buruk lagi, Aldrich adalah calon suami yang dijodohkan untuknya."Hell!" pikirnya pahit. Ia kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan yang diatur ayahnya, tapi malah menghabiskan malam bersama pria itu. Ironisnya, saat itu ia sempat menga
Hari itu, setelah menyegel aliansi canggung mereka, Valerie dan Aldrich sepakat untuk bertemu setelah jam kerja di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Valerie memilih tempat yang jauh dari keramaian kantor atau lingkungan bisnis, memastikan privasi mereka.Setelah menunggu beberapa saat, Aldrich muncul, mengenakan setelan santai tanpa dasi. Ia melirik sekeliling sebelum berjalan ke meja Valerie. "Pilihan tempat yang menarik," komentarnya saat duduk."Aku tidak ingin orang-orang membicarakan ini," jawab Valerie datar sambil mengaduk kopinya. "Kita di sini untuk rencana. Jadi, apa yang kau punya?"Aldrich mengangkat alis, sedikit tersenyum melihat Valerie yang langsung to the point. "Langsung ke inti, ya? Baiklah. Pertama-tama, kita perlu mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan oleh kedua pihak keluarga kita.""Apa maksudmu? Bukannya jelas? Ayahku ingin aku menikah dengan pewaris HC group, dan kau jelas adalah alat untuk itu," jawab Valerie tajam.Aldrich mengangguk. "Itu kelihatan
"Ah, akhirnya!" Valerie mendesah sambil merebahkan diri di ranjang apartemennya. Matanya menatap kosong ke langit-langit yang bercahaya lembut, sementara pikirannya melayang ke kejadian-kejadian yang baru saja berlalu. Ruangan itu tenang, nyaris terlalu sunyi, meskipun deru samar kendaraan dari luar masih terdengar."Paris..." gumamnya pelan, mengingat malam itu.Bayangan kamar hotel megah yang pernah ia tempati bersama Aldrich tiba-tiba muncul. Ranjang besar dengan seprai putih beraroma lavender, jendela kaca lebar yang menghadap gemerlap menara Eiffel, dan keheningan yang terasa begitu menusuk. Saat itu, ia masih mengira Aldrich adalah pria biasa—atau lebih tepatnya, gigolo mahal yang bisa ia bayar untuk melupakan kesedihannya."Lucu sekali," katanya sambil tertawa kecil, namun ada kepahitan di ujung suaranya. "Gigolo yang ternyata seorang bos besar. Apa lagi kejutan yang kau simpan, Aldrich? Ah... dia juga calon yang Ayah pilihkan.”Valerie mendesah sekali lagi, sebelum memili
Kring!Alarm Valerie berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi yang tenang. Dengan mata setengah tertutup, ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, mencari tombol mati pada jam itu. Begitu berhasil, ia kembali membenamkan dirinya ke dalam selimut, berharap bisa mencuri beberapa menit lagi dalam kehangatan kasurnya.Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat.Drrt... drrt...Ponselnya mulai bergetar di atas meja. Valerie mendesah panjang, memutar badan untuk meraih ponsel, tetapi getaran itu tak kunjung berhenti.“Siapa sih pagi-pagi begini?” gerutunya setengah mengantuk, memaksakan mata untuk menatap layar ponsel. Namun begitu melihat nama yang tertera, kantuknya langsung hilang.Gigolo tampan.Nama itu selalu membuat darahnya berdesir—campuran antara rasa kesal dan gugup. Aldrich, bosnya sekaligus pria yang entah bagaimana selalu berhasil membuatnya merasa tak terkendali. Terlebih setelah ia mengetahui bahwa pria itu adalah lelaki yang di jodohkan Ayahnya dalam pernikah
“Pagi, Val!”Valerie mengangguk sambil tersenyum ramah, membalas sapaan beberapa karyawan yang lewat. Sepatu hak rendahnya mengeluarkan suara lembut setiap kali menyentuh lantai, memberikan kesan santai namun tetap anggun. Meski pagi ini dia harus tergesa-gesa, Valerie tetap menjaga wajahnya terlihat tenang.Dia berjalan menuju lift bersama beberapa karyawan lainnya, sesekali melirik ponselnya untuk memastikan tidak ada pesan mendesak dari Aldrich. Saat sampai di depan lift, ia berdiri tenang, menunggu pintu terbuka. Suara obrolan kecil dari karyawan lain memenuhi ruangan, tetapi Valerie hanya fokus pada pikirannya sendiri."Aldrich pasti sudah di ruang rapat. Kalau aku terlambat, dia pasti akan mengomentari penampilanku lagi. Ah, kenapa aku peduli? Yang penting dokumen lengkap."Suara ding dari lift membuyarkan lamunannya. Valerie melangkah masuk bersama beberapa orang lainnya. Tangannya memegang erat tas kulitnya, dan ia bersandar ke dinding lift, menikmati momen singkat untuk me
"Valerie, tolong perjelas lagi soal target jangka pendek." Suara Aldrich terdengar tegas namun santai, memecah kesunyian setelah Valerie menyelesaikan presentasinya.Valerie mengangguk kecil, kembali berdiri dan mengklik slide berikutnya. "Tentu, Pak. Untuk jangka pendek, langkah-langkah ini dirancang agar mulai diterapkan minggu depan. Tim operasional sudah dibriefing, jadi prosesnya bisa langsung dimulai setelah keputusan disepakati hari ini."Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Baik. Itu terdengar menjanjikan. Lanjutkan."Valerie mengakhiri presentasi dengan percaya diri. Tepuk tangan singkat dari para direktur mengiringi langkahnya kembali duduk. Namun, ketegangan di pundaknya belum sepenuhnya menghilang. Rapat berakhir tanpa hambatan, dan ia segera membereskan dokumen-dokumennya.Namun, saat Valerie berdiri untuk keluar, suara Aldrich memanggilnya. "Valerie."Nada suaranya rendah tapi cukup menarik perhatian. Valerie menoleh, men
“A-Apa?”Aldrich menatapnya dingin. “Tentu saja, itu hanya prosedur biasa. Aku ingin memastikan kejadian ini benar-benar seperti yang kau katakan. Lagipula, butik sebesar ini pasti memiliki sistem keamanan yang baik, bukan?”Pegawai itu menelan ludah. “T-Tapi, Tuan… CCTV kami sedang mengalami gangguan teknis hari ini. Mungkin tidak ada rekaman yang bisa diperiksa,” katanya cepat, berharap Aldrich tidak akan memaksanya.Valerie mendecak pelan. “Ah, kebetulan sekali,” katanya dengan nada mengejek. “Hari ini, di saat kau menuduhku, CCTV justru mengalami gangguan.”Aldrich tersenyum miring, tetapi tatapan matanya tetap tajam. “Benar-benar kebetulan yang menarik,” gumamnya pelan, sebelum menatap pegawai itu dengan tatapan penuh arti.Pegawai itu mulai berkeringat, tidak tahu harus menjawab apa.Aldrich menyeringai tipis, menikmati ekspresi panik di wajah pegawai itu. “Tapi hari ini mungkin adalah keberuntunganmu,” katanya santai, lalu memasukkan satu tangan ke dalam saku celana. “Karena ma
Pegawai butik itu mengerutkan kening saat melihat cara Valerie melangkah dengan percaya diri, seolah mengenal butik ini lebih baik daripada dirinya sendiri.“Sepertinya Nona cukup sering berbelanja di tempat mewah,” katanya dengan nada sinis, namun kali ini lebih hati-hati.Valerie hanya menanggapinya dengan gumaman ringan, tidak ingin membuang waktu untuk berdebat dengan seseorang yang jelas-jelas meremehkannya. Namun, sikap santai Valerie justru membuat pegawai itu semakin kesal.Saat Valerie menyusuri deretan gaun premium, pegawai itu memperhatikan sekelilingnya dengan cepat, lalu tersenyum licik. Sebuah ide buruk melintas di benaknya—mungkin ini kesempatan bagus untuk mempermalukan Valerie di depan Aldrich.Dengan gerakan yang sengaja dibuat sehalus mungkin, pegawai itu menyenggol sebuah rak kecil berisi aksesori mahal, membuat sebuah bros berlian jatuh tepat ke dalam lipatan rok Valerie tanpa disadari.Kemudian, pegawai itu dengan sengaja menjatuhkan sebuah gaun sutra mahal dari
“Ah, sudah lama aku tidak ke sini,” ujar Valerie sambil menghirup udara yang khas dari butik mewah itu. Aroma lembut parfum ruangan bercampur dengan wangi kain mahal memenuhi udara.Butik ini adalah butik eksklusif yang hanya menjual pakaian branded dan custom-made—setiap potongannya unik, hanya ada satu di dunia. Interiornya megah dengan dinding kaca yang memperlihatkan koleksi terbaru, sementara lampu kristal yang menggantung di langit-langit memberikan pencahayaan sempurna untuk menampilkan keindahan setiap busana.Sejak memutuskan kabur dan meninggalkan seluruh harta serta fasilitas yang diberikan ayahnya, Valerie memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini.Aldrich, yang berjalan santai di sebelahnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, menoleh dan terkekeh. “Kalau kau serindu itu dengan kehidupan lamamu, kenapa tidak kembali saja?” godanya.Valerie melotot padanya, lalu menjawab tegas, “Big no!”Belum sempat Aldrich membalas, seorang pegawai butik me
“Oh, hai. Siapa ini?”Valerie menarik napas panjang. Tanpa perlu menoleh, dia sudah tahu siapa yang baru saja menyapanya.Jennifer.“Pak Aldrich, saya tak menyangka orang seperti Bapak mau merendahkan standar dengan makan di sini,” ucap Jennifer, sengaja menekankan kata rendah dengan nada sinis.Valerie tahu betul bahwa komentar Jennifer itu ditujukan untuknya. Jennifer, mantan sahabatnya, masih saja bersikap congkak meski kenyataan tidak berpihak padanya. Yang Jennifer tidak tahu adalah status Valerie sekarang.“Valerie Brianna Caitlin, lama tidak bertemu.”Deg.Valerie membeku. Ia mengenal suara itu dengan baik—suara mantan tunangannya, Charlos Marquel.Aldrich yang sedari tadi mengamati Valerie menangkap perubahan ekspresi di wajahnya. Ia menyandarkan punggung ke kursi dengan santai, lalu melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyilangkan kaki, sikapnya penuh kewaspadaan.“Restoran ini bagus. Dan yang terpenting makanannya enak. Kenapa saya harus malu atau merasa rendah hany
Tak lama, hidangan lainnya juga tiba—semuanya disusun rapi di atas meja yang tadinya kosong, kini penuh dengan berbagai makanan khas restoran itu. Ada salad segar dengan saus wijen, pangsit kukus berisi udang yang masih mengepul, serta sepiring kecil ayam goreng renyah dengan saus madu pedas di sampingnya.Valerie mendecak kecil, menggelengkan kepala. “Kau serius memesan semuanya? Meja ini hampir tidak muat!” protesnya, meskipun matanya jelas-jelas berbinar melihat semua makanan itu.Aldrich mengambil sepasang sumpit dan menatap Valerie sambil tersenyum penuh percaya diri. “Kalau kau tidak makan, aku akan memakan bagianmu juga.”Valerie mendengus, kemudian mengambil sumpitnya sendiri. “Kau tidak perlu mengancamku. Aku akan memastikan kau tidak mendapatkan bagian lebih dari ramen ini,” katanya sambil mulai menyendok kuah ke dalam mangkuk kecilnya.Begitu mencicipi suapan pertama, Valerie terdiam. Kuah ramen itu terasa begitu kaya dengan perpaduan gurih dan sedikit pedas, sementara mie
Aldrich melirik arlojinya, lalu menatap Valerie sambil menyunggingkan senyum tipis. “Ayo, kita makan di sana,” katanya santai, sambil menunjuk ke sebuah restoran kecil di seberang jalan.Seketika Valerie pun mengikuti arah tunjuk Aldrich. Restoran itu tampak sederhana namun menarik, dengan dinding bata ekspos, lampu-lampu gantung bergaya vintage, dan papan nama kayu bertuliskan Bistro Avenue. Jendela-jendelanya yang besar memperlihatkan suasana dalam ruangan yang hangat, dipenuhi meja kayu, kursi empuk, serta aroma masakan yang seakan tercium hingga ke luar.“Kau lapar?” tanya Valerie sambil menatap Aldrich.“Kau tidak lapar?” Aldrich balik bertanya dengan nada santai, matanya menyipit seolah menggoda.Valerie tertawa kecil, lalu memasang ekspresi angkuh. Dagunya sedikit terangkat dan kedua tangannya terlipat di depan dada. “Tentu tidak,” katanya dengan percaya diri.Namun, tepat ketika ia hendak melanjutkan kata-katanya, suara keras dari perutnya tiba-tiba terdengar.Kruuk.Valerie
Ruang meeting di lantai atas gedung itu terlihat mewah dengan interior yang didominasi warna putih dan emas. Dinding kaca besar memberikan pemandangan kota yang menakjubkan. Begitu Aldrich dan Valerie memasuki ruangan, beberapa pria berpakaian rapi segera berdiri, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman ramah.“Aldrich! Selalu menyenangkan bertemu dengan Anda,” kata seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu gelap. Dia menjabat tangan Aldrich dengan hangat sebelum matanya beralih pada Valerie.“Dan ini siapa? Apakah ini sekretaris baru Anda?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.Aldrich tersenyum kecil dan melirik Valerie sekilas sebelum menjawab, “Ya, benar. Ini Valerie. Dia adalah sekretaris saya.”Valerie tersenyum sopan dan menganggukkan kepala sebagai sapaan. “Senang bertemu dengan Anda semua,” ucapnya dengan nada ramah.Seorang pria lain, lebih muda dan berpenampilan kasual, memandang Valerie dengan mata berbinar. “Sekretaris yang cantik sekali, Aldrich. Anda memang
“Eh, tunggu,” kata Valerie, menghentikan langkahnya. Aldrich yang sudah melangkah lebih dulu menoleh dengan satu alis terangkat. “Kenapa lagi?” tanyanya, terdengar sedikit tidak sabar.Valerie menggaruk pipinya yang tidak gatal, lalu menunjuk arah berbeda. “Kita lewat sini saja,” katanya santai, meski ada kilatan jahil di matanya.Aldrich memandang lorong yang ditunjuk Valerie dengan dahi berkerut. Namun, dalam hitungan detik, senyum kecil di sudut bibirnya pun terbit. Dia tahu maksud Valerie “Oke, kita lewat sini,” balas Aldrich, menuruti permintaan Valerie tanpa banyak protes.Dia melangkah lebih dulu, tangan dimasukkan ke dalam saku, auranya yang tenang membuat semua orang di ruangan terdiam saat dia lewat. Valerie mengikuti di belakangnya, sambil menahan senyum geli.Saat mereka melewati ruang pemasaran, banyak mata mulai menoleh. Tidak terkecuali Alicia. Wanita itu bahkan memanjangkan lehernya, berusaha mengintip Aldrich yang jarang muncul di departemennya. Alicia nyaris melomp
“Kenapa lama sekali, Val?” Aldrich menghampiri Valerie begitu melihatnya datang dengan ekspresi gusar.“Maaf, Al, sepertinya aku tidak bisa menemanimu,” ujar Valerie. Ia mengusap rambutnya dengan kedua tangan, tampak kesal. “Aku tidak tahu kenapa, tetapi Alicia sepertinya sengaja menabrakku dan membuat bajuku terkena kopi,” jelasnya, sedikit menahan napas akibat amarah yang mulai naik.Dahi Aldrich berkerut, “Tunggu, Alicia?” tanyanya memastikan.Valerie mengangguk sambil melipat tangan di depan dada. “Ya, salah satu karyawanmu di departemen pemasaran. Aku dengar dia juga pernah jadi kandidat sekretarismu waktu itu,” katanya, mengingat desas-desus yang sempat ia dengar di awal ia bekerja.Aldrich mendesah panjang, jelas merasa kesal. “Lupakan soal Alicia. Fokus ke hal yang lebih penting. Kau harus ganti pakaian sekarang. Kalau tidak, kita akan terlambat. Kau tahu, bukan? Meeting kali ini cukup penting,” ucapnya dengan tegas.Valerie hanya bisa menghela napas, merasa serba salah. Meli