“Ayah,” panggil Valerie dengan suara lembut namun cukup tegas untuk menarik perhatian semua orang di aula. Seketika semua mata tertuju padanya, termasuk tatapan penuh harap dari sang ayah, Bastian.Valerie meneguk ludah gugup, lalu terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. Dengan gerakan pelan, dia menyenggol lengan Aldrich yang berdiri di sebelahnya. “Katakan sesuatu,” bisiknya pelan di telinga pria itu, berharap Aldrich bisa mengambil alih situasi seperti biasanya.Namun, Aldrich tidak langsung merespons. Dia hanya menatap Valerie dengan senyum tipis yang menambah gugup wanita itu.“Ada apa, Nak?” tanya Bastian akhirnya, menatap Valerie dengan dahi sedikit berkerut.“Ah, begini…” Valerie memulai, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia menarik napas dalam, lalu menatap Aldrich lagi, memberikan kode dengan matanya untuk segera membantu.Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad bagi Valerie, Aldrich akhirnya angkat bicara. “Kami ingin mengucapkan terima kasih, Ayah, at
Valerie memegangi kepalanya. Akhir-akhir ini begitu banyak kejadian yang terjadi sampai-sampai dia melupakan hari lahirnya sendiri.“Ah, Ayah benar-benar!” keluh Valerie sambil memijat pelipisnya.Tak terbayangkan jika kurang dari 48 jam, semua orang sudah mengetahui statusnya dengan Aldrich. Rencana pura-pura mereka akan menjadi drama besar jika salah satu pihak salah langkah.“Kau di sini?”Valerie tak perlu repot-repot menoleh saat mendengar suara Aldrich. Dia mendengus, dan detik berikutnya, Aldrich sudah duduk di sebelahnya, membawa sepotong cake dari bufet yang sudah tertata rapi di aula.“Selamat ulang tahun,” katanya ringan, menyodorkan cake stroberi dengan whipped cream di atas piring kecil.Valerie mendengus lagi, tetapi tetap mengambil cake itu dengan malas. “Kau tidak memberitahuku kalau hari ini ulang tahunmu,” kata Aldrich sambil menatap Valerie.“Bahkan aku sendiri pun tak ingat soal itu,” jawab Valerie acuh, menyendokkan cake ke mulutnya. Lembutnya sponge cake berpadu
"Hah, padahal kau bilang akan mengantarku pulang," gumam Valerie sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil, matanya memandang ke luar dengan tatapan kesal.Aldrich, yang mendengar gumaman itu, hanya terkekeh kecil tanpa memberikan respons. Tak berapa lama, mobilnya mulai melambat saat memasuki kawasan mansion mewah miliknya. Kali ini, tidak seperti sebelumnya, suasana di sana terasa lebih sunyi. Lampu-lampu taman menyala lembut, memberikan kesan elegan, tetapi tetap misterius."Kita sudah sampai. Ayo turun," kata Aldrich sambil membuka pintu mobilnya sendiri dan keluar.Valerie melirik Aldrich, mengerutkan dahi saat melihat pria itu tidak seperti biasanya yang akan membukakan pintu untuknya. Aldrich terlihat santai, menyelipkan kedua tangannya di saku celana sambil menunggu di sisi mobilnya."Ayo," panggil Aldrich lagi, nadanya sedikit memerintah.Dengan mendengus, Valerie membuka pintunya sendiri, menghampiri Aldrich dengan langkah berat. "Kenapa kau membawaku ke sini?" ta
“Luar biasa, indah sekali!" kata Valerie dengan mata berbinar, tak mampu menyembunyikan kekagumannya pada dekorasi balkon yang memukau.Aldrich tersenyum kecil, lalu mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Valerie dari belakang. Dia mengecup lembut pundaknya, membuat Valerie sedikit terpaku. Aldrich kemudian menyandarkan dagunya di bahu Valerie, menatap ke arah dekorasi yang telah ia siapkan."Kau suka?" tanyanya dengan nada lembut.Valerie mengangguk cepat, ekspresinya menunjukkan kejujuran. "Suka sekali! Aku tak menyangka akan diberi kejutan seperti ini olehmu," katanya. Suaranya terdengar tulus, meski ada sedikit nada terkejut.Pikiran Valerie melayang ke masa lalu. Saat masih menjalin hubungan dengan Charlos, dia selalu menjadi pihak yang berinisiatif. Mengingatkan hari jadi mereka, merencanakan makan malam romantis, bahkan memberikan kejutan-kejutan kecil. Charlos memang terlihat mencintainya, tetapi lelaki itu seringkali melupakan hari-hari penting mereka.Namun, Aldric
“Aldrich.”Valerie menghindari ciuman Aldrich yang hampir menyentuh bibirnya. Sebaliknya, ciuman itu mendarat lembut di lehernya. Setelah mendengar pernyataan Aldrich tadi, Valerie merasa semuanya menjadi lebih rumit. Dia tidak bisa bersikap seperti biasa lagi.Aldrich menatap mata Valerie, mencoba tersenyum tipis untuk meredakan ketegangan. “Maaf,” ucapnya lembut.Valerie terdiam sejenak, menarik napas berat. “Aku tidak bisa melakukannya setelah mendengar pernyataanmu tadi. Sebelumnya, kita sepakat hanya untuk berpura-pura dan berbagi ranjang. Tetapi...” Suaranya terputus, dia tak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya.Aldrich menghela napas panjang, wajahnya tampak lebih serius. “Ya, aku tahu. Maaf karena jatuh cinta seperti ini padamu.”“Tetapi aku tidak bisa mengontrol perasaanku, Val.” Aldrich menambahkan dengan nada yang tulus, sorot matanya memancarkan rasa frustasi sekaligus kejujuran.Valerie memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur pikirannya yang berantakan. Ketika ia mem
“Morning, babe, tidurmu nyenyak?”Suara serak Aldrich, rendah dan lembut, menyapa Valerie yang masih terbaring di tempat tidur. Cahaya mentari menerobos melalui jendela besar, menyinari wajah Valerie yang perlahan menggeliat, mencoba menyesuaikan diri dengan pagi.“Tidak pernah senyenyak ini,” gumam Valerie, matanya masih setengah tertutup.Aldrich tersenyum, melingkarkan tangannya di pinggang Valerie, menariknya sedikit lebih dekat. Tanpa peringatan, dia mengecup cepat bibir Valerie, membuat wanita itu membuka mata sepenuhnya.“Morning kiss,” katanya santai, dengan senyum tampannya yang sulit untuk diabaikan.Sontak Valerie mendesah, memasang ekspresi pura-pura jijik. “Kau belum sikat gigi!” tegurnya, mencoba menghindar dari wajah Aldrich yang terlalu dekat.Namun Aldrich tidak peduli. Setelah makan malam romantis di balkon tadi malam, dia benar-benar membiarkan Valerie tidur nyenyak sebagai bentuk hadiah ulang tahunnya. Dengan gerakan santai, Aldrich memutar tubuhnya sehingga kini
“Cih!”Valerie menurunkan tangannya dengan kesal, mengabaikan Aldrich yang tersenyum penuh kemenangan.“Sepertinya kau akan menerima ajakan nonton itu. Kau menyukainya? Jadi, tipe pria yang kau sukai seperti itu?” tanya Aldrich panjang lebar, suaranya terdengar datar tapi memancing.Rahang Valerie nyaris terjatuh. “Serius? Kau bertanya sebanyak itu hanya tentang Leo?” balasnya tak percaya, kedua alisnya naik.Aldrich hanya mengangkat bahu, bibir bawahnya dimajukan dengan sikap acuh. “Aku hanya penasaran.”Valerie menghela napas panjang sambil menyibak rambutnya ke belakang. “Aku tidak menyukai Leo. Hanya saja, mungkin aku akan menerima ajakan nonton itu kalau sore nanti kita tidak ada janji dengan Ayah,” jawab Valerie santai, berusaha menahan kesal.Namun, ekspresi Aldrich tetap tak puas. Dia berbalik dan berjalan lebih dulu memasuki lift tanpa sepatah kata, meninggalkan Valerie yang tercengang.“Kau meninggalkanku!” gerutu Valerie, berlari kecil mengejar Aldrich.Aldrich hanya meliri
"Benar. Tapi aku hanya ingin memastikan kau tidak merasa tertekan. Aku tahu ayahmu, dan aku, terkadang membuat situasi menjadi lebih rumit."Aldrich memandang Valerie dengan tatapan yang sulit diartikan.Seketika Valerie pun menghela napas panjang, mencoba meredam emosi yang muncul. "Aldrich, aku sudah bilang aku bisa mengatasi ini. Kau tak perlu mengkhawatirkanku," katanya sambil menatap lurus pada Aldrich.Aldrich mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. "Baiklah. Kalau begitu, kau hanya perlu ingat satu hal—malam ini, kau adalah pusat perhatian. Dan aku adalah pria paling beruntung yang bisa berdiri di sampingmu."Valerie terkejut mendengar kata-kata itu, tapi segera menutupi rasa gugupnya dengan senyum tipis. "Kalau begitu, pastikan kau tidak mempermalukanku," balasnya, mencoba terdengar santai.Aldrich terkekeh. "Percayalah, aku tidak akan pernah melakukannya."Setelahnya, Valerie berdiri, bersiap untuk kembali ke ruangannya. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Aldrich mema
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas