“Halo?”Suara Valerie terdengar serak, diselingi tawa kecil yang samar. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak ia mulai merasa dunia seakan berputar akibat minuman beralkohol yang ia pesan sendiri. Namun, senyum lebar tetap menghiasi wajahnya yang memerah. Valerie sedikit membungkuk, melawan keseimbangannya sendiri, saat menerima panggilan dari Aldrich.Di seberang telepon, Aldrich langsung menyadari suara musik yang memekakkan telinga. Rahangnya mengeras. Samar-samar, ia juga menangkap suara seorang pria di latar belakang.“Kau mabuk?” tanya Aldrich tajam, nada khawatir bercampur kesal.Valerie tertawa, menggoyangkan tubuhnya tanpa peduli. Sebelah tangannya menepuk pipi seorang pria yang mendadak merangkul pinggangnya. “Aku tidak mabuk. Untuk apa kau bertanya?” jawab Valerie, suaranya terdengar main-main.Aldrich menarik napas panjang, menahan amarah yang membuncah. Namun, mendengar suara Valerie yang terdengar tidak seperti dirinya, amarah itu berubah menjadi kegelisahan. Tanpa berk
“Tunggu, tunggu. Hentikan mobilnya!”Valerie merengek tiba-tiba saat mereka baru setengah jalan.Aldrich mengerutkan kening, mengarahkan mobil ke pinggir jalan di dekat sebuah pom bensin. Dia menoleh cepat ke arah Valerie, yang terlihat pucat sambil memegangi perutnya.“Ada apa? Katakan sesuatu,” desak Aldrich, cemas.“Perutku terasa aneh. Aku ingin muntah,” gumam Valerie lemas.Aldrich menghela napas panjang sambil menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dengan cepat, dia keluar dari mobil dan membuka pintu di sisi Valerie. “Ayo turun, kau butuh udara,” katanya tegas, membantu Valerie melepas sabuk pengamannya.Begitu Valerie berdiri, detik berikutnya dia langsung membungkuk dan memuntahkan isi perutnya.“Huek!”Aldrich berdiri di sampingnya tanpa ragu sedikit pun. Dia meraih rambut Valerie dengan lembut agar tidak menutupi wajahnya dan mengusap punggung wanita itu dengan gerakan pelan.“Rasanya tak nyaman,” keluh Valerie di sela-sela napasnya yang berat.“Tenang saja, sebentar lagi
Aldrich tidak membawa Valerie pulang ke apartemen seperti sebelumnya. Sebaliknya, pria itu membelokkan mobil sportnya ke sebuah jalan yang dikelilingi pepohonan rindang, menuju mansion pribadinya.Valerie tertegun ketika mobil memasuki area mansion Aldrich. Pagar tinggi berlapis besi dengan ornamen ukiran klasik terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk lebar yang diapit oleh taman lanskap yang begitu rapi. Lampu-lampu taman tersebar dengan pencahayaan hangat, menerangi hamparan rumput hijau dan bunga-bunga berwarna-warni yang tertata sempurna.Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah tiga lantai dengan arsitektur modern klasik. Pilar-pilar tinggi menghiasi teras depan, dengan pintu utama besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir, memberikan kesan mewah namun tetap elegan.Saat mobil berhenti di depan pintu utama, Valerie membuka mulutnya sedikit, terpana. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, beberapa maid dengan seragam rapi berbaris menyambut mereka. Para maid memb
“Kau tidak ingin mencoba permen tadi?” tanya Aldrich sambil memperhatikan Valerie yang sibuk menghabiskan minuman hangatnya.Valerie mengangkat alis, menatapnya sekilas. “Permen yang tadi? Ah, itu bukan seleraku,” jawabnya santai.Aldrich mengangguk kecil, tapi sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum yang sulit ditebak. “Apa kau yakin?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menggoda.Valerie menaruh gelasnya di atas meja dengan pelan. Tatapannya kini penuh kecurigaan. “Kenapa kau tersenyum seperti itu? Mencurigakan sekali,” katanya, setengah waspada.Aldrich tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia meraba saku celananya dan mengeluarkan sesuatu. Valerie memperhatikan gerakannya dengan tatapan heran, sampai Aldrich menyodorkan sebuah permen yang tadi dia beli di supermarket.“Kubilang ini bukan selera—” Valerie berhenti bicara. Wajahnya seketika memerah saat menyadari apa yang ia pegang. Rasa mabuk yang masih samar di kepalanya kini tergantikan oleh gelombang panas y
“Jadi, bagaimana?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh tekanan halus.Seperti sedang menantang Valerie untuk memberikan jawaban. Aldrich duduk di tepi sofa, menyandarkan tubuhnya santai, tetapi matanya tidak lepas dari Valerie. Senyumnya tipis, seolah yakin bahwa ia sudah memenangkan perdebatan ini.Valerie menelan ludah, mencoba mengusir rasa gugupnya. Tangannya secara refleks meraih gelas kosong di atas meja, lalu meletakkannya kembali tanpa minum. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Aldrich terus berputar di kepalanya.“Entahlah, Aldrich.” Valerie menghela napas panjang, kepalanya bersandar ke sofa. “Ini terlalu rumit. Kau tahu itu.”“Rumit?” Aldrich menaikkan alisnya, menatap Valerie dengan tatapan menilai. “Apa yang rumit? Aku hanya menawarkan sesuatu yang sederhana. Hubungan tanpa beban. Kita tidak melibatkan perasaan, hanya tubuh. Kita membuat perjanjian, kau akan tetap bebas seperti sekarang.”“Tapi kita tidak seperti orang lain, Aldrich.” Valerie membalas, nada suaranya t
“Jadi, kau benar-benar setuju, ya?” Aldrich bertanya lagi, nada suaranya lebih lembut kali ini.Valerie mendesah pelan, merasa seperti harus mengulang jawabannya untuk kesekian kali. “Aku sudah bilang, aku setuju. Tapi kau tahu ini gila, kan?”Aldrich mengangguk, mengakui hal itu tanpa ragu. “Tentu saja ini gila. Tapi bukankah hidup kita sudah cukup gila sejak awal?”Valerie mengangkat bahu, setuju dengan ucapan Aldrich meski tidak mau mengakuinya. Dia menatap pria itu, matanya menyipit. “Tapi aku punya satu syarat lagi.”“Oh?” Aldrich menatapnya dengan ketertarikan baru. “Katakan.”“Jangan pernah melibatkan pekerjaan dalam... hubungan ini,” Valerie berkata dengan tegas. “Aku tidak mau semua ini memengaruhi profesionalisme kita di kantor.”Aldrich tertawa kecil, seolah-olah itu adalah hal paling mudah yang bisa dia lakukan. “Aku janji. Kau adalah karyawanku yang paling berharga. Aku tidak akan merusaknya hanya karena hubungan ini.”Valerie mendengus, tidak yakin apakah harus merasa
“Permisi,” suara Valerie terdengar di balik pintu.Aldrich, yang duduk di belakang meja kerjanya, tengah tenggelam dalam tumpukan berkas. Kacamata kerja bertengger di hidungnya, menambah kesan serius, meski ketampanannya tetap terpancar tanpa usaha. Dia tidak langsung menjawab, sibuk menandatangani dokumen terakhir sebelum mengangkat kepalanya.“Masuk,” sahutnya, suara beratnya terdengar santai namun tegas.Valerie membuka pintu dan melangkah masuk. Tatapan Aldrich tetap terpaku pada dokumen, tidak sedikit pun meliriknya.Valerie mendekat, meletakkan sebuah map di meja. “Ini ada laporan yang harus Bapak tanda tangani,” katanya dengan nada formal.Baru saat itu Aldrich mengangkat wajahnya, melepas kacamatanya dengan gerakan perlahan yang elegan. Dia menatap Valerie dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, kemudian mengisyaratkan dengan dagunya. “Ke sini, lebih dekat.”Valerie mendengus, tapi menurut. Dia melangkah ke sisi meja Aldrich.“Apa itu?” tanya Aldrich dengan nada datar, m
“Ada apa?” Valerie bertanya ketika dia masuk ke ruangan Aldrich. Suaranya datar, tetapi ada sisa-sisa nada kesal dari kejadian sebelumnya.Aldrich mendongak dari dokumen yang sedang dia baca. Matanya tajam di balik bingkai kacamata yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Namun, senyum kecil di sudut bibirnya tidak bisa disembunyikan, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia tahu.“Masuk,” katanya, lalu bersandar santai di kursinya, mengamati Valerie dari ujung rambut hingga ujung kaki.Valerie melangkah mendekat, matanya langsung tertuju pada tumpukan dokumen di meja Aldrich. “Tadi kau bilang hanya perlu tanda tanganku untuk tambahan dokumen, tapi ini?” Dia melirik setumpuk kertas yang disodorkan Aldrich dengan alis terangkat. “Ini lebih mirip laporan keuangan lengkap!”Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, satu tangan menopang dagunya. “Anggap saja ini kontribusimu pada perusahaan. Atau mungkin... pada aku?” godanya ringan.Valerie mendengus. “Kalau ini strategi untuk membuat
Valerie melangkah masuk ke lobi perusahaan dengan penuh percaya diri. Sepasang kaki jenjangnya yang terbungkus stiletto hitam mengayun anggun, berpadu dengan rok pensil selutut yang membentuk lekuk tubuhnya. Blus putih berpotongan rapi membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, dipermanis dengan blazer tipis yang menggantung di lengannya. Rambut panjangnya yang bergelombang jatuh sempurna di bahu, mempertegas aura elegan seorang wanita yang tahu betul caranya membawa diri.Namun, baru saja ia hendak menuju ruangannya, suara nyaring yang sudah tak asing lagi terdengar memenuhi ruangan.“Kau datang ke perusahaan ini seolah milik ayahmu saja!”Valerie menghela napas pelan sebelum mengangkat dagunya sedikit. Di hadapannya berdiri Alicia, dengan ekspresi sinis dan tangan yang terlipat di dada. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah marun, dengan potongan rendah yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Rambut panjang lurusnya tergerai, dengan riasan yang sedikit berlebihan untuk
Valerie berdiri di depan pantry dengan wajah sedikit mengantuk, mengenakan kemeja Aldrich yang kebesaran di tubuhnya. Kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang indah, sementara ujung kemeja jatuh hingga pertengahan pahanya. Rambut panjangnya berantakan, bukti dari malam yang panjang dan panas bersama Aldrich.“Garam, penyedap... apalagi ya?” gumamnya pelan, mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil berpikir.Dia bukan seseorang yang ahli dalam memasak. Seumur hidupnya, selalu ada pelayan atau chef yang menyiapkan makanan untuknya. Namun, setelah hidup mandiri dan semakin dekat dengan Aldrich, Valerie merasa ingin mencoba sesuatu yang baru—termasuk membuat nasi goreng dadakan pagi ini.Lagipula, Aldrich juga pernah memasakkan sesuatu untuknya. Rasanya tidak adil jika dia hanya menerima tanpa memberi balasan.Menghela napas, Valerie membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan yang menurutnya bisa digunakan. Dia menatap bawang merah dan bawang putih di tangannya
Aldrich menyeringai kembali, matanya berbinar penuh hasrat. Tanpa ragu, ia menarik tengkuk Valerie, memperdalam ciuman mereka setelah mendengar wanita itu mengatakan tidak akan pulang malam ini.Ciumannya semakin dalam, semakin menuntut. Aldrich melumat bibir Valerie dengan intensitas yang membuat napas mereka saling bercampur. Tangannya merambat ke punggung Valerie, menekan tubuhnya lebih erat ke dadanya yang bidang.Saat Valerie mulai kehilangan kendali, Aldrich pun melepaskan ciumannya, hanya untuk menurunkan bibirnya ke rahang Valerie, menelusuri garis lembutnya sebelum akhirnya mendarat di leher jenjang wanita itu. Ia mengecapnya pelan, kemudian menggigit kecil, menikmati bagaimana tubuh Valerie menegang di bawah sentuhannya."Vanila yang kurindukan," bisiknya, suaranya serak dan dalam, menggema di kulit Valerie, membuat bulu kuduknya meremang.Tanpa memberi kesempatan Valerie untuk berpikir, Aldrich kemudian melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu dan dengan mudah merebah
"Kau benar-benar tidak tertarik padaku?" tanya Aldrich, suaranya lebih dalam dari biasanya.Menatap Valerie dengan mata yang sulit ditebak. Ada keraguan, ada penasaran, dan sedikit—hanya sedikit—kesedihan yang terselip di sana.Valerie terkekeh, nada tawanya sedikit berat karena efek alkohol yang mulai menguasai dirinya. Ia mengangkat gelas wine ke dahinya, membiarkan dinginnya menyentuh kulitnya sejenak sebelum matanya terpejam. Beberapa detik berlalu, lalu ia membuka matanya lagi, menatap Aldrich dengan sorot yang sulit diartikan."Aku suka," katanya, suaranya samar dan menggoda.Aldrich mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya berubah serius. "Lalu mengapa kau menolakku?" tanyanya, ada nada sedih.Valerie tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya juga, jari-jarinya menyentuh bahu Aldrich dengan lembut. "Dengar," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja, seolah ingin lebih fokus pada percakapan mereka. "Kau itu lelaki pil
"Aku tidak tahan!"Valerie hampir saja berdiri, tapi sebelum dia sempat menggeser kursinya, Jennifer dan Charlos sudah lebih dulu bangkit. Wanita itu menempel mesra di lengan Charlos, tangannya melingkar erat seolah menandai kepemilikannya.Valerie menyipitkan mata, mengamati keduanya yang berjalan keluar dari kafe dengan penuh percaya diri, seakan tak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar. Jennifer bahkan tertawa kecil sambil menepuk dada Charlos sebelum mereka benar-benar menghilang di balik pintu kaca."Akhirnya mereka pergi juga," keluh Valerie, lalu menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan napas panjang.Aldrich, yang sejak tadi menyaksikan reaksinya dengan ekspresi terhibur, terkekeh santai. "Apa kau juga ingin pergi? Tidak perlu menebak, mereka pasti berakhir di hotel malam ini."Valerie menoleh cepat, menatap Aldrich dengan wajah setengah kesal. "Aku tidak peduli!" ketusnya, memutar bola mata.Tapi Aldrich tidak tertipu. Dia melihat bagaimana Valerie meneguk minumannya
“Aku tidak tahu mengapa bisa sebuta itu dan menyukai dia!” keluh Valerie, sebelum meneguk minumannya dengan gerakan cepat dan kesal.Di hadapannya, Aldrich hanya terkekeh kecil. Saat pelayan datang membawa cangkir espresso keduanya, ia mengangguk singkat sebagai tanda terima kasih, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Valerie.“Wajar saja jika manusia khilaf,” komentarnya santai, nada suaranya penuh hiburan melihat ekspresi kesal Valerie.Valerie menghela napas panjang, lalu diam-diam mengangguk, mengakui kebenaran ucapan Aldrich. Dahulu, ia benar-benar menganggap Charlos sebagai pria baik. Seseorang yang ia pikir akan selalu ada untuknya. Namun kenyataannya, pria itu dengan mudah mengkhianatinya, memilih sahabatnya sendiri, Jennifer—dan meninggalkan Valerie begitu saja.Dan sekarang? Mendengar sendiri rencana busuk serta percakapan menjijikkan antara Charlos dan Jennifer membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dulu, ia begitu bodoh hingga menangisi pria brengsek seperti
"Jadi?" Charlos menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Jennifer dengan penuh selidik. "Apa rencanamu?"Jennifer tersenyum kecil, matanya bersinar licik. Dengan gerakan anggun, ia mengaduk kopinya perlahan sebelum menjawab, "Kita akan memainkan kesetiaan sebagai senjata. Buat Aldrich percaya bahwa Valerie masih mencintaimu, bahwa hubungan kalian belum benar-benar berakhir."Charlos mengangkat alis, belum sepenuhnya yakin. "Dan kau yakin itu akan berhasil?"Jennifer tertawa pelan, suara lembutnya penuh racun. "Tentu saja." Ia menatap Charlos tajam. "Valerie meninggalkanmu karena perselingkuhanmu denganku. Sekarang, bagaimana jika Aldrich berpikir Valerie masih berharap kembali padamu? Pria sepertinya tak akan tahan dengan pengkhianatan. Dia pasti akan membenci Valerie."Charlos mengusap dagunya, perlahan senyum terbentuk di wajahnya. Membayangkan skenario itu, membayangkan Valerie yang kaya raya dan terluka, kembali dalam genggamannya, terdengar sangat menarik.Dulu, ia meningga
“Kau tersenyum?” tanya Valerie tak percaya.Aldrich baru saja memintanya menemani lembur, tapi tiba-tiba pria itu malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Valerie yang menunggu dengan tumpukan berkas di depan. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, kantor mulai sepi, hanya tersisa mereka berdua di ruangan ini.Aldrich yang baru saja menerima pesan dari mata-matanya tentang pergerakan Charlos dan Jennifer terkekeh pelan. Ia mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas meja sebelum menatap Valerie dengan senyum yang membuat wanita itu kesal sekaligus penasaran.“Maaf, babe. Aku terlalu fokus.” Suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.Valerie mendengus, lalu melipat tangan di depan dada, sikapnya seperti seseorang yang sedang merajuk. Namun, detik berikutnya, ia tersadar akan reaksinya sendiri. Mengapa ia bisa bertingkah seperti ini di depan Aldrich dengan begitu alami? Padahal, saat pria itu menyatakan perasaannya, ia dengan tegas menolak.Namun kini, me
Charlos mengambil ponsel dan menjawab panggilan itu tanpa basa-basi.“Kau lihat sendiri, kan?” tanya Jennifer di seberang telepon, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Valerie benar-benar beruntung. Dia mendapatkan Aldrich, sementara aku kehilangan segalanya.”Charlos menyeringai tipis. “Jadi, kau ingin bekerja sama?”Jennifer tertawa kecil. “Aku sudah punya rencana. Kau hanya perlu melakukan bagianmu.”Charlos menyipitkan mata, tertarik. “Apa yang kau rencanakan?”Jennifer tidak langsung menjawab. Hening sesaat sebelum ia berkata dengan suara yang lebih pelan dan berbahaya, “Percayalah, setelah ini, Aldrich tidak akan lagi percaya pada Valerie.”Senyum Charlos semakin lebar. “Kedengarannya menarik.”Mereka berdua akhirnya sepakat untuk bertemu di tempat yang lebih aman untuk membahas rencana mereka lebih lanjut.Sementara itu, di dalam kantor, Aldrich sedang menelpon seseorang dengan ekspresi dingin.“Aku ingin semua gerak-gerik Charlos diawasi,” katanya pada orang di se