“Jadi, bagaimana?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh tekanan halus.Seperti sedang menantang Valerie untuk memberikan jawaban. Aldrich duduk di tepi sofa, menyandarkan tubuhnya santai, tetapi matanya tidak lepas dari Valerie. Senyumnya tipis, seolah yakin bahwa ia sudah memenangkan perdebatan ini.Valerie menelan ludah, mencoba mengusir rasa gugupnya. Tangannya secara refleks meraih gelas kosong di atas meja, lalu meletakkannya kembali tanpa minum. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Aldrich terus berputar di kepalanya.“Entahlah, Aldrich.” Valerie menghela napas panjang, kepalanya bersandar ke sofa. “Ini terlalu rumit. Kau tahu itu.”“Rumit?” Aldrich menaikkan alisnya, menatap Valerie dengan tatapan menilai. “Apa yang rumit? Aku hanya menawarkan sesuatu yang sederhana. Hubungan tanpa beban. Kita tidak melibatkan perasaan, hanya tubuh. Kita membuat perjanjian, kau akan tetap bebas seperti sekarang.”“Tapi kita tidak seperti orang lain, Aldrich.” Valerie membalas, nada suaranya t
“Jadi, kau benar-benar setuju, ya?” Aldrich bertanya lagi, nada suaranya lebih lembut kali ini.Valerie mendesah pelan, merasa seperti harus mengulang jawabannya untuk kesekian kali. “Aku sudah bilang, aku setuju. Tapi kau tahu ini gila, kan?”Aldrich mengangguk, mengakui hal itu tanpa ragu. “Tentu saja ini gila. Tapi bukankah hidup kita sudah cukup gila sejak awal?”Valerie mengangkat bahu, setuju dengan ucapan Aldrich meski tidak mau mengakuinya. Dia menatap pria itu, matanya menyipit. “Tapi aku punya satu syarat lagi.”“Oh?” Aldrich menatapnya dengan ketertarikan baru. “Katakan.”“Jangan pernah melibatkan pekerjaan dalam... hubungan ini,” Valerie berkata dengan tegas. “Aku tidak mau semua ini memengaruhi profesionalisme kita di kantor.”Aldrich tertawa kecil, seolah-olah itu adalah hal paling mudah yang bisa dia lakukan. “Aku janji. Kau adalah karyawanku yang paling berharga. Aku tidak akan merusaknya hanya karena hubungan ini.”Valerie mendengus, tidak yakin apakah harus merasa
“Hhh .…” Valerie menarik napas tajam, sebuah desahan halus lolos dari bibirnya. Suara itu seperti undangan tanpa kata, ia membiarkan sentuhan Aldrich menghangatkan kulitnya. Menarik napas dalam-dalam, ia mencoba mengenyahkan rasa sakit hati yang terus membayanginya. Suara detak jam di suite hotel mewah di tengah kota Paris menjadi satu-satunya penanda waktu yang terus berjalan, sementara ia merasa dunia seolah berhenti. Di luar jendela besar, Menara Eiffel berdiri anggun, dikelilingi kerlip cahaya malam. Namun, pemandangan itu tak seberapa dibandingkan intensitas tatapan pria di depannya yang sulit diabaikan. “Kamu yakin ingin melanjutkan ini?” Aldrich bertanya pelan. Mata Aldrich menelisik dalam, seakan mampu melihat semua luka dan rasa sakit yang disembunyikan Valerie di balik sikap tenangnya. Valerie mengangguk, mencoba menyembunyikan kekacauan emosinya. “Iya … aku butuh ini. Aku butuh … sesuatu untuk melupakan semuanya,” jawabnya. Tatapan Valerie penuh keyakinan. Hati
“Sial, aku terlambat!” Valerie, wanita berusia 23 tahun itu mempercepat langkah kakinya, sesekali ia melirik jam di pergelangan tangan. Ia tiba di sebuah gedung perkantoran dengan perasaan campur aduk. Penerbangan panjang dari Paris tak mampu mengalihkan pikirannya dari malam terakhirnya di kota tersebut. Mengingat gigolo malam itu membuat hatinya berdenyut aneh—antara malu, kecewa, dan rasa rindu yang tak masuk akal. Namun, Valerie segera menepis pikirannya. Hari ini, ia harus bersikap profesional. Wawancara kerja di perusahaan IT ternama ini adalah kesempatan besar, setelah ia memilih untuk kabur dari rumah karena sang Daddy yang mengatur perjodohan untuknya. Hell, ia baru saja dikhianati oleh dua orang terpercaya sekaligus. Pacar dan sahabatnya. Dan sekarang ia tidak akan membiarkan pikirannya kacau hanya karena kenangan sesaat dengan seorang pria. Saat Valerie memasuki ruang resepsionis, ia disambut oleh suasana modern dengan kaca-kaca besar yang memantulkan sinar ma
“Jadi, itu alasan saya ingin bergabung di perusahaan ini,” ucap Valerie, menjawab pertanyaan Aldrich dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.Aldrich memiringkan kepala sedikit, memperhatikan wanita di depannya dengan intensitas yang tidak sepenuhnya ia sadari. “Valerie,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. “Kau terlihat… siap untuk kesempatan ini.”Tatapannya tanpa sengaja turun ke jemari Valerie yang tampak meremas clutch-nya dengan gugup. Gerakan kecil itu tidak terlewat dari matanya, memberi kesan bahwa di balik sikap percaya dirinya, ada kelembutan yang sengaja ia sembunyikan. Valerie segera sedikit menegakkan tubuh, berusaha memperkuat auranya yang profesional. Ia tidak ingin Aldrich, atau siapa pun, melihat sisi rentannya. “Terima kasih,” jawabnya dengan nada yang terdengar mantap, meskipun di dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia abaikan.Mata mereka bertemu untuk beberapa detik, masing-masing mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di
Hari-hari awal Valerie sebagai sekretaris CEO terasa seperti ujian mental. Jadwal Aldrich yang padat, rapat yang tak ada habisnya, dan tuntutan perfeksionisme membuatnya bekerja ekstra keras.Namun, kejadian memalukan di hari ketiga membuatnya ingin menggali lubang dan menghilang.Saat itu Valerie tengah sibuk menyortir email ketika Aldrich memintanya untuk mengirimkan daftar belanja pribadi kepada asisten rumah tangganya. Daftar itu sederhana. Hanya berisi bahan makanan, beberapa botol anggur, dan satu catatan tambahan yang nyaris luput dari perhatian Valerie. Karena terburu-buru, dia salah menekan tombol dan mengirimkan email itu ke seluruh divisi perusahaan. Dampaknya langsung terasa. Ponsel Valerie berbunyi tanpa henti, kolega mulai berbisik-bisik, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak. Baru saat itulah Valerie membuka kembali email yang ia kirimkan dan membaca bagian akhirnya: PS: Jangan lupa beli almond milk, bukan susu sapi biasa. Saya tidak mau jerawatan saat meeting b
“Jadi, Aldrich...” Suara berat Bastian terdengar dari telepon, bercampur antara bingung dan terkejut. "Kau CEO HC Group?""Benar, Pak Bastian," jawab Aldrich dengan santai, namun suaranya memancarkan dominasi. "Dan Valerie sekarang bekerja sebagai sekretaris saya. Sangat berbakat sekali putri Anda."Valerie, yang duduk di seberang meja, hampir tersedak napasnya.Sejenak, hanya ada keheningan di ujung telepon. Kemudian Bastian tertawa lega. "Baiklah kalau begitu. Saya senang dia tidak bekerja di tempat sembarangan."Setelah percakapan selesai, Aldrich menyerahkan ponsel Valerie kembali. Namun, senyum kecil di wajahnya penuh dengan ejekan terselubung. "Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Valerie."Valerie memicingkan matanya, mencoba menahan kekesalannya. Dengan nada berbisik tajam, ia menjawab, "Pak Aldrich, Anda tidak seharusnya ikut campur!""Oh?" Aldrich menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi, tatapannya tajam namun penuh permainan. "Jadi, ini rahasia? Dan siapa
"Arghhht!" Valerie berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Setelah meninggalkan ruangan Aldrich dengan langkah tergesa dan pintu yang sengaja ia banting keras, ia berakhir di tangga darurat. Tempat yang sunyi itu menjadi pelarian sesaat dari kekacauan pikirannya.Ia menarik napas panjang, tapi udara yang ia hirup terasa berat, penuh dengan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Tangannya gemetar memegang pegangan tangga, sementara matanya mulai berkaca-kaca.Valerie merasa marah. Ayahnya telah mengatur hidupnya tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaannya, memperlakukannya seperti pion dalam permainan bisnis. Ia juga bingung, karena Aldrich—pria yang ia kira gigolo saat di Paris—ternyata sudah mengenalnya sejak saat itu. Lebih buruk lagi, Aldrich adalah calon suami yang dijodohkan untuknya."Hell!" pikirnya pahit. Ia kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan yang diatur ayahnya, tapi malah menghabiskan malam bersama pria itu. Ironisnya, saat itu ia sempat menga
“Jadi, kau benar-benar setuju, ya?” Aldrich bertanya lagi, nada suaranya lebih lembut kali ini.Valerie mendesah pelan, merasa seperti harus mengulang jawabannya untuk kesekian kali. “Aku sudah bilang, aku setuju. Tapi kau tahu ini gila, kan?”Aldrich mengangguk, mengakui hal itu tanpa ragu. “Tentu saja ini gila. Tapi bukankah hidup kita sudah cukup gila sejak awal?”Valerie mengangkat bahu, setuju dengan ucapan Aldrich meski tidak mau mengakuinya. Dia menatap pria itu, matanya menyipit. “Tapi aku punya satu syarat lagi.”“Oh?” Aldrich menatapnya dengan ketertarikan baru. “Katakan.”“Jangan pernah melibatkan pekerjaan dalam... hubungan ini,” Valerie berkata dengan tegas. “Aku tidak mau semua ini memengaruhi profesionalisme kita di kantor.”Aldrich tertawa kecil, seolah-olah itu adalah hal paling mudah yang bisa dia lakukan. “Aku janji. Kau adalah karyawanku yang paling berharga. Aku tidak akan merusaknya hanya karena hubungan ini.”Valerie mendengus, tidak yakin apakah harus merasa
“Jadi, bagaimana?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh tekanan halus.Seperti sedang menantang Valerie untuk memberikan jawaban. Aldrich duduk di tepi sofa, menyandarkan tubuhnya santai, tetapi matanya tidak lepas dari Valerie. Senyumnya tipis, seolah yakin bahwa ia sudah memenangkan perdebatan ini.Valerie menelan ludah, mencoba mengusir rasa gugupnya. Tangannya secara refleks meraih gelas kosong di atas meja, lalu meletakkannya kembali tanpa minum. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Aldrich terus berputar di kepalanya.“Entahlah, Aldrich.” Valerie menghela napas panjang, kepalanya bersandar ke sofa. “Ini terlalu rumit. Kau tahu itu.”“Rumit?” Aldrich menaikkan alisnya, menatap Valerie dengan tatapan menilai. “Apa yang rumit? Aku hanya menawarkan sesuatu yang sederhana. Hubungan tanpa beban. Kita tidak melibatkan perasaan, hanya tubuh. Kita membuat perjanjian, kau akan tetap bebas seperti sekarang.”“Tapi kita tidak seperti orang lain, Aldrich.” Valerie membalas, nada suaranya t
“Kau tidak ingin mencoba permen tadi?” tanya Aldrich sambil memperhatikan Valerie yang sibuk menghabiskan minuman hangatnya.Valerie mengangkat alis, menatapnya sekilas. “Permen yang tadi? Ah, itu bukan seleraku,” jawabnya santai.Aldrich mengangguk kecil, tapi sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum yang sulit ditebak. “Apa kau yakin?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menggoda.Valerie menaruh gelasnya di atas meja dengan pelan. Tatapannya kini penuh kecurigaan. “Kenapa kau tersenyum seperti itu? Mencurigakan sekali,” katanya, setengah waspada.Aldrich tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia meraba saku celananya dan mengeluarkan sesuatu. Valerie memperhatikan gerakannya dengan tatapan heran, sampai Aldrich menyodorkan sebuah permen yang tadi dia beli di supermarket.“Kubilang ini bukan selera—” Valerie berhenti bicara. Wajahnya seketika memerah saat menyadari apa yang ia pegang. Rasa mabuk yang masih samar di kepalanya kini tergantikan oleh gelombang panas y
Aldrich tidak membawa Valerie pulang ke apartemen seperti sebelumnya. Sebaliknya, pria itu membelokkan mobil sportnya ke sebuah jalan yang dikelilingi pepohonan rindang, menuju mansion pribadinya.Valerie tertegun ketika mobil memasuki area mansion Aldrich. Pagar tinggi berlapis besi dengan ornamen ukiran klasik terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk lebar yang diapit oleh taman lanskap yang begitu rapi. Lampu-lampu taman tersebar dengan pencahayaan hangat, menerangi hamparan rumput hijau dan bunga-bunga berwarna-warni yang tertata sempurna.Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah tiga lantai dengan arsitektur modern klasik. Pilar-pilar tinggi menghiasi teras depan, dengan pintu utama besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir, memberikan kesan mewah namun tetap elegan.Saat mobil berhenti di depan pintu utama, Valerie membuka mulutnya sedikit, terpana. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, beberapa maid dengan seragam rapi berbaris menyambut mereka. Para maid memb
“Tunggu, tunggu. Hentikan mobilnya!”Valerie merengek tiba-tiba saat mereka baru setengah jalan.Aldrich mengerutkan kening, mengarahkan mobil ke pinggir jalan di dekat sebuah pom bensin. Dia menoleh cepat ke arah Valerie, yang terlihat pucat sambil memegangi perutnya.“Ada apa? Katakan sesuatu,” desak Aldrich, cemas.“Perutku terasa aneh. Aku ingin muntah,” gumam Valerie lemas.Aldrich menghela napas panjang sambil menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dengan cepat, dia keluar dari mobil dan membuka pintu di sisi Valerie. “Ayo turun, kau butuh udara,” katanya tegas, membantu Valerie melepas sabuk pengamannya.Begitu Valerie berdiri, detik berikutnya dia langsung membungkuk dan memuntahkan isi perutnya.“Huek!”Aldrich berdiri di sampingnya tanpa ragu sedikit pun. Dia meraih rambut Valerie dengan lembut agar tidak menutupi wajahnya dan mengusap punggung wanita itu dengan gerakan pelan.“Rasanya tak nyaman,” keluh Valerie di sela-sela napasnya yang berat.“Tenang saja, sebentar lagi
“Halo?”Suara Valerie terdengar serak, diselingi tawa kecil yang samar. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak ia mulai merasa dunia seakan berputar akibat minuman beralkohol yang ia pesan sendiri. Namun, senyum lebar tetap menghiasi wajahnya yang memerah. Valerie sedikit membungkuk, melawan keseimbangannya sendiri, saat menerima panggilan dari Aldrich.Di seberang telepon, Aldrich langsung menyadari suara musik yang memekakkan telinga. Rahangnya mengeras. Samar-samar, ia juga menangkap suara seorang pria di latar belakang.“Kau mabuk?” tanya Aldrich tajam, nada khawatir bercampur kesal.Valerie tertawa, menggoyangkan tubuhnya tanpa peduli. Sebelah tangannya menepuk pipi seorang pria yang mendadak merangkul pinggangnya. “Aku tidak mabuk. Untuk apa kau bertanya?” jawab Valerie, suaranya terdengar main-main.Aldrich menarik napas panjang, menahan amarah yang membuncah. Namun, mendengar suara Valerie yang terdengar tidak seperti dirinya, amarah itu berubah menjadi kegelisahan. Tanpa berk
Mobil sedan hitam itu berhenti di depan sebuah gedung modern dengan neon sign yang berkelap-kelip mencolok. Musik bass berdentum lembut, meski dari luar hanya samar-samar terdengar. Antrian orang-orang tampak memanjang di depan pintu masuk, kebanyakan dari mereka berpakaian modis, mencerminkan kehidupan malam kota yang mewah dan energik.Valerie keluar dari mobil dengan anggun, derap high heels-nya memantul di trotoar. Luna menyusul dengan langkah cepat, lalu merangkul lengan Valerie sambil tersenyum lebar. “Kita pasti jadi pusat perhatian,” bisiknya.Senyum simpul Valerie tak luntur. Dengan penuh percaya diri, ia berjalan mendekati pintu masuk. Gaun hitam mini yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, mengundang lirikan diam-diam dari pria-pria yang berdiri di antrean. Sorot mata mereka mengikuti setiap gerakan Valerie—dari helai rambut yang melambai lembut, hingga lekuk kaki jenjangnya yang berpadu indah dengan high heels bertali. Namun Valerie hanya menatap lurus ke dep
[“Clubbing?”]Valerie menatap pesan yang baru saja masuk ke ponselnya dari Luna, sahabatnya. Di hadapannya, layar laptop menampilkan deretan angka-angka yang harus ia susun ke dalam laporan keuangan bulanan. Tumpukan berkas tergeletak rapi di samping laptop, sementara tangan Valerie lincah memegang pulpen, mencoret-coret beberapa angka yang perlu diperbaiki. Layar spreadsheet penuh dengan data yang perlu ia susun, dan kepalanya sudah mulai terasa penat.“Huh,” desahnya pelan sambil bersandar sejenak di kursinya.Ia melepas kacamata baca yang bertengger di hidungnya, lalu meraih ponsel. Jari telunjuknya dengan cepat membalas pesan dari Luna. Sebelum itu, Valerie melirik kanan-kiri dengan waspada, memastikan tidak ada satu pun rekan kerja yang memperhatikannya, terutama Aldrich, bosnya yang selalu muncul tiba-tiba.“Aku sibuk,” balas Valerie singkat.Tak butuh waktu lama, layar ponselnya kembali menyala. Pesan balasan dari Luna muncul lagi dengan cepat, membuat Valerie mendecak pelan
“Val!”Suara panggilan itu membuat langkah Valerie terhenti. Pagi itu, ia baru saja melangkah melewati lobi utama kantor. Penampilannya rapi seperti biasa—blazer hitam dipadu dengan blouse berwarna gading yang tersemat rapi di bawah pinggang celana panjangnya. Rambut panjangnya digerai dengan sedikit gelombang di ujung, dan sepatu hak tingginya berbunyi nyaring setiap kali ia melangkah. Valerie menoleh dan mendapati seorang pria dengan ransel yang hampir lepas dari bahunya, berlari kecil mengejarnya sambil terengah-engah. Itu Leo—dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku, dasi yang agak miring, dan celana bahan berwarna abu-abu. Berbeda dengan Valerie yang berasal dari tim eksekutif sebagai sekretaris CEO, Leo bekerja di divisi kreatif dan lebih sering tampil santai dibanding karyawan lain.“Leo?” Valerie berkerut keningnya, bingung melihat pria itu berlari seperti dikejar sesuatu.“Selamat pagi, Valerie,” ujar Leo masih sambil berusaha mengatur napasnya yang tak teratur.