Aldrich tidak membawa Valerie pulang ke apartemen seperti sebelumnya. Sebaliknya, pria itu membelokkan mobil sportnya ke sebuah jalan yang dikelilingi pepohonan rindang, menuju mansion pribadinya.Valerie tertegun ketika mobil memasuki area mansion Aldrich. Pagar tinggi berlapis besi dengan ornamen ukiran klasik terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk lebar yang diapit oleh taman lanskap yang begitu rapi. Lampu-lampu taman tersebar dengan pencahayaan hangat, menerangi hamparan rumput hijau dan bunga-bunga berwarna-warni yang tertata sempurna.Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah tiga lantai dengan arsitektur modern klasik. Pilar-pilar tinggi menghiasi teras depan, dengan pintu utama besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir, memberikan kesan mewah namun tetap elegan.Saat mobil berhenti di depan pintu utama, Valerie membuka mulutnya sedikit, terpana. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, beberapa maid dengan seragam rapi berbaris menyambut mereka. Para maid memb
“Kau tidak ingin mencoba permen tadi?” tanya Aldrich sambil memperhatikan Valerie yang sibuk menghabiskan minuman hangatnya.Valerie mengangkat alis, menatapnya sekilas. “Permen yang tadi? Ah, itu bukan seleraku,” jawabnya santai.Aldrich mengangguk kecil, tapi sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum yang sulit ditebak. “Apa kau yakin?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menggoda.Valerie menaruh gelasnya di atas meja dengan pelan. Tatapannya kini penuh kecurigaan. “Kenapa kau tersenyum seperti itu? Mencurigakan sekali,” katanya, setengah waspada.Aldrich tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia meraba saku celananya dan mengeluarkan sesuatu. Valerie memperhatikan gerakannya dengan tatapan heran, sampai Aldrich menyodorkan sebuah permen yang tadi dia beli di supermarket.“Kubilang ini bukan selera—” Valerie berhenti bicara. Wajahnya seketika memerah saat menyadari apa yang ia pegang. Rasa mabuk yang masih samar di kepalanya kini tergantikan oleh gelombang panas y
“Jadi, bagaimana?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh tekanan halus.Seperti sedang menantang Valerie untuk memberikan jawaban. Aldrich duduk di tepi sofa, menyandarkan tubuhnya santai, tetapi matanya tidak lepas dari Valerie. Senyumnya tipis, seolah yakin bahwa ia sudah memenangkan perdebatan ini.Valerie menelan ludah, mencoba mengusir rasa gugupnya. Tangannya secara refleks meraih gelas kosong di atas meja, lalu meletakkannya kembali tanpa minum. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Aldrich terus berputar di kepalanya.“Entahlah, Aldrich.” Valerie menghela napas panjang, kepalanya bersandar ke sofa. “Ini terlalu rumit. Kau tahu itu.”“Rumit?” Aldrich menaikkan alisnya, menatap Valerie dengan tatapan menilai. “Apa yang rumit? Aku hanya menawarkan sesuatu yang sederhana. Hubungan tanpa beban. Kita tidak melibatkan perasaan, hanya tubuh. Kita membuat perjanjian, kau akan tetap bebas seperti sekarang.”“Tapi kita tidak seperti orang lain, Aldrich.” Valerie membalas, nada suaranya t
“Jadi, kau benar-benar setuju, ya?” Aldrich bertanya lagi, nada suaranya lebih lembut kali ini.Valerie mendesah pelan, merasa seperti harus mengulang jawabannya untuk kesekian kali. “Aku sudah bilang, aku setuju. Tapi kau tahu ini gila, kan?”Aldrich mengangguk, mengakui hal itu tanpa ragu. “Tentu saja ini gila. Tapi bukankah hidup kita sudah cukup gila sejak awal?”Valerie mengangkat bahu, setuju dengan ucapan Aldrich meski tidak mau mengakuinya. Dia menatap pria itu, matanya menyipit. “Tapi aku punya satu syarat lagi.”“Oh?” Aldrich menatapnya dengan ketertarikan baru. “Katakan.”“Jangan pernah melibatkan pekerjaan dalam... hubungan ini,” Valerie berkata dengan tegas. “Aku tidak mau semua ini memengaruhi profesionalisme kita di kantor.”Aldrich tertawa kecil, seolah-olah itu adalah hal paling mudah yang bisa dia lakukan. “Aku janji. Kau adalah karyawanku yang paling berharga. Aku tidak akan merusaknya hanya karena hubungan ini.”Valerie mendengus, tidak yakin apakah harus merasa
“Permisi,” suara Valerie terdengar di balik pintu.Aldrich, yang duduk di belakang meja kerjanya, tengah tenggelam dalam tumpukan berkas. Kacamata kerja bertengger di hidungnya, menambah kesan serius, meski ketampanannya tetap terpancar tanpa usaha. Dia tidak langsung menjawab, sibuk menandatangani dokumen terakhir sebelum mengangkat kepalanya.“Masuk,” sahutnya, suara beratnya terdengar santai namun tegas.Valerie membuka pintu dan melangkah masuk. Tatapan Aldrich tetap terpaku pada dokumen, tidak sedikit pun meliriknya.Valerie mendekat, meletakkan sebuah map di meja. “Ini ada laporan yang harus Bapak tanda tangani,” katanya dengan nada formal.Baru saat itu Aldrich mengangkat wajahnya, melepas kacamatanya dengan gerakan perlahan yang elegan. Dia menatap Valerie dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, kemudian mengisyaratkan dengan dagunya. “Ke sini, lebih dekat.”Valerie mendengus, tapi menurut. Dia melangkah ke sisi meja Aldrich.“Apa itu?” tanya Aldrich dengan nada datar, m
“Ada apa?” Valerie bertanya ketika dia masuk ke ruangan Aldrich. Suaranya datar, tetapi ada sisa-sisa nada kesal dari kejadian sebelumnya.Aldrich mendongak dari dokumen yang sedang dia baca. Matanya tajam di balik bingkai kacamata yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Namun, senyum kecil di sudut bibirnya tidak bisa disembunyikan, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia tahu.“Masuk,” katanya, lalu bersandar santai di kursinya, mengamati Valerie dari ujung rambut hingga ujung kaki.Valerie melangkah mendekat, matanya langsung tertuju pada tumpukan dokumen di meja Aldrich. “Tadi kau bilang hanya perlu tanda tanganku untuk tambahan dokumen, tapi ini?” Dia melirik setumpuk kertas yang disodorkan Aldrich dengan alis terangkat. “Ini lebih mirip laporan keuangan lengkap!”Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, satu tangan menopang dagunya. “Anggap saja ini kontribusimu pada perusahaan. Atau mungkin... pada aku?” godanya ringan.Valerie mendengus. “Kalau ini strategi untuk membuat
Aldrich menatap Valerie dengan penuh intensitas, bibirnya melengkung dalam senyum yang menggoda. "Kau tidak akan pergi ke mana-mana, bukan?" bisiknya, nadanya rendah namun tegas.Valerie mencoba merespon dengan ketegasan, tapi tubuhnya seolah membeku di tempat. Sebelum dia bisa menjawab, Aldrich sudah kembali mendekat, kedua tangannya memegang lembut wajah Valerie.Ciuman itu kembali hadir, tapi kali ini lebih dalam, lebih intens. Bibir Aldrich bergerak dengan keyakinan, memimpin ciuman mereka tanpa terburu-buru. Valerie merasakan dunia di sekitarnya memudar, seolah hanya ada mereka berdua dalam ruang itu.Tangan Aldrich perlahan turun ke punggung Valerie, menekan lembut, mendorongnya lebih dekat hingga tidak ada ruang di antara tubuh mereka. Valerie, meski awalnya ragu, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan Aldrich. Jemarinya menggenggam kerah jas pria itu, seolah mencari pegangan.Aldrich berhenti sejenak, menatap Valerie dengan napas yang mulai tidak teratur. “Aku tidak bis
“Selamat malam, babe.”Suara Aldrich terdengar lembut namun penuh pesona ketika dia membuka pintu mobil untuk Valerie. Malam itu, Valerie tampak memukau dalam dress hitam elegan dengan potongan off-shoulder yang menonjolkan leher jenjang dan tulang selangkanya. Dress itu membalut tubuhnya dengan sempurna, memanjang hingga mata kaki dengan sedikit belahan di sisi kiri. Sebuah kalung berlian tipis menghiasi lehernya, sementara rambutnya ditata dengan gaya modern yang memberi kesan anggun dan memikat.Aldrich berdiri di samping mobil, tampak tak kalah memikat. Pria itu mengenakan setelan tuxedo hitam yang dijahit rapi, dipadukan dengan dasi kupu-kupu dan kemeja putih bersih. Rambut hitamnya ditata rapi ke belakang, memberikan kesan profesional dan maskulin. Sorot matanya yang tajam namun lembut menambah daya tariknya, membuatnya terlihat seperti tokoh utama di film klasik yang sempurna.“Luar biasa,” kata Aldrich pelan, matanya terpaku pada Valerie. “Dress ini terlihat lebih indah saa
“A-Apa?”Aldrich menatapnya dingin. “Tentu saja, itu hanya prosedur biasa. Aku ingin memastikan kejadian ini benar-benar seperti yang kau katakan. Lagipula, butik sebesar ini pasti memiliki sistem keamanan yang baik, bukan?”Pegawai itu menelan ludah. “T-Tapi, Tuan… CCTV kami sedang mengalami gangguan teknis hari ini. Mungkin tidak ada rekaman yang bisa diperiksa,” katanya cepat, berharap Aldrich tidak akan memaksanya.Valerie mendecak pelan. “Ah, kebetulan sekali,” katanya dengan nada mengejek. “Hari ini, di saat kau menuduhku, CCTV justru mengalami gangguan.”Aldrich tersenyum miring, tetapi tatapan matanya tetap tajam. “Benar-benar kebetulan yang menarik,” gumamnya pelan, sebelum menatap pegawai itu dengan tatapan penuh arti.Pegawai itu mulai berkeringat, tidak tahu harus menjawab apa.Aldrich menyeringai tipis, menikmati ekspresi panik di wajah pegawai itu. “Tapi hari ini mungkin adalah keberuntunganmu,” katanya santai, lalu memasukkan satu tangan ke dalam saku celana. “Karena ma
Pegawai butik itu mengerutkan kening saat melihat cara Valerie melangkah dengan percaya diri, seolah mengenal butik ini lebih baik daripada dirinya sendiri.“Sepertinya Nona cukup sering berbelanja di tempat mewah,” katanya dengan nada sinis, namun kali ini lebih hati-hati.Valerie hanya menanggapinya dengan gumaman ringan, tidak ingin membuang waktu untuk berdebat dengan seseorang yang jelas-jelas meremehkannya. Namun, sikap santai Valerie justru membuat pegawai itu semakin kesal.Saat Valerie menyusuri deretan gaun premium, pegawai itu memperhatikan sekelilingnya dengan cepat, lalu tersenyum licik. Sebuah ide buruk melintas di benaknya—mungkin ini kesempatan bagus untuk mempermalukan Valerie di depan Aldrich.Dengan gerakan yang sengaja dibuat sehalus mungkin, pegawai itu menyenggol sebuah rak kecil berisi aksesori mahal, membuat sebuah bros berlian jatuh tepat ke dalam lipatan rok Valerie tanpa disadari.Kemudian, pegawai itu dengan sengaja menjatuhkan sebuah gaun sutra mahal dari
“Ah, sudah lama aku tidak ke sini,” ujar Valerie sambil menghirup udara yang khas dari butik mewah itu. Aroma lembut parfum ruangan bercampur dengan wangi kain mahal memenuhi udara.Butik ini adalah butik eksklusif yang hanya menjual pakaian branded dan custom-made—setiap potongannya unik, hanya ada satu di dunia. Interiornya megah dengan dinding kaca yang memperlihatkan koleksi terbaru, sementara lampu kristal yang menggantung di langit-langit memberikan pencahayaan sempurna untuk menampilkan keindahan setiap busana.Sejak memutuskan kabur dan meninggalkan seluruh harta serta fasilitas yang diberikan ayahnya, Valerie memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini.Aldrich, yang berjalan santai di sebelahnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, menoleh dan terkekeh. “Kalau kau serindu itu dengan kehidupan lamamu, kenapa tidak kembali saja?” godanya.Valerie melotot padanya, lalu menjawab tegas, “Big no!”Belum sempat Aldrich membalas, seorang pegawai butik me
“Oh, hai. Siapa ini?”Valerie menarik napas panjang. Tanpa perlu menoleh, dia sudah tahu siapa yang baru saja menyapanya.Jennifer.“Pak Aldrich, saya tak menyangka orang seperti Bapak mau merendahkan standar dengan makan di sini,” ucap Jennifer, sengaja menekankan kata rendah dengan nada sinis.Valerie tahu betul bahwa komentar Jennifer itu ditujukan untuknya. Jennifer, mantan sahabatnya, masih saja bersikap congkak meski kenyataan tidak berpihak padanya. Yang Jennifer tidak tahu adalah status Valerie sekarang.“Valerie Brianna Caitlin, lama tidak bertemu.”Deg.Valerie membeku. Ia mengenal suara itu dengan baik—suara mantan tunangannya, Charlos Marquel.Aldrich yang sedari tadi mengamati Valerie menangkap perubahan ekspresi di wajahnya. Ia menyandarkan punggung ke kursi dengan santai, lalu melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyilangkan kaki, sikapnya penuh kewaspadaan.“Restoran ini bagus. Dan yang terpenting makanannya enak. Kenapa saya harus malu atau merasa rendah hany
Tak lama, hidangan lainnya juga tiba—semuanya disusun rapi di atas meja yang tadinya kosong, kini penuh dengan berbagai makanan khas restoran itu. Ada salad segar dengan saus wijen, pangsit kukus berisi udang yang masih mengepul, serta sepiring kecil ayam goreng renyah dengan saus madu pedas di sampingnya.Valerie mendecak kecil, menggelengkan kepala. “Kau serius memesan semuanya? Meja ini hampir tidak muat!” protesnya, meskipun matanya jelas-jelas berbinar melihat semua makanan itu.Aldrich mengambil sepasang sumpit dan menatap Valerie sambil tersenyum penuh percaya diri. “Kalau kau tidak makan, aku akan memakan bagianmu juga.”Valerie mendengus, kemudian mengambil sumpitnya sendiri. “Kau tidak perlu mengancamku. Aku akan memastikan kau tidak mendapatkan bagian lebih dari ramen ini,” katanya sambil mulai menyendok kuah ke dalam mangkuk kecilnya.Begitu mencicipi suapan pertama, Valerie terdiam. Kuah ramen itu terasa begitu kaya dengan perpaduan gurih dan sedikit pedas, sementara mie
Aldrich melirik arlojinya, lalu menatap Valerie sambil menyunggingkan senyum tipis. “Ayo, kita makan di sana,” katanya santai, sambil menunjuk ke sebuah restoran kecil di seberang jalan.Seketika Valerie pun mengikuti arah tunjuk Aldrich. Restoran itu tampak sederhana namun menarik, dengan dinding bata ekspos, lampu-lampu gantung bergaya vintage, dan papan nama kayu bertuliskan Bistro Avenue. Jendela-jendelanya yang besar memperlihatkan suasana dalam ruangan yang hangat, dipenuhi meja kayu, kursi empuk, serta aroma masakan yang seakan tercium hingga ke luar.“Kau lapar?” tanya Valerie sambil menatap Aldrich.“Kau tidak lapar?” Aldrich balik bertanya dengan nada santai, matanya menyipit seolah menggoda.Valerie tertawa kecil, lalu memasang ekspresi angkuh. Dagunya sedikit terangkat dan kedua tangannya terlipat di depan dada. “Tentu tidak,” katanya dengan percaya diri.Namun, tepat ketika ia hendak melanjutkan kata-katanya, suara keras dari perutnya tiba-tiba terdengar.Kruuk.Valerie
Ruang meeting di lantai atas gedung itu terlihat mewah dengan interior yang didominasi warna putih dan emas. Dinding kaca besar memberikan pemandangan kota yang menakjubkan. Begitu Aldrich dan Valerie memasuki ruangan, beberapa pria berpakaian rapi segera berdiri, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman ramah.“Aldrich! Selalu menyenangkan bertemu dengan Anda,” kata seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu gelap. Dia menjabat tangan Aldrich dengan hangat sebelum matanya beralih pada Valerie.“Dan ini siapa? Apakah ini sekretaris baru Anda?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.Aldrich tersenyum kecil dan melirik Valerie sekilas sebelum menjawab, “Ya, benar. Ini Valerie. Dia adalah sekretaris saya.”Valerie tersenyum sopan dan menganggukkan kepala sebagai sapaan. “Senang bertemu dengan Anda semua,” ucapnya dengan nada ramah.Seorang pria lain, lebih muda dan berpenampilan kasual, memandang Valerie dengan mata berbinar. “Sekretaris yang cantik sekali, Aldrich. Anda memang
“Eh, tunggu,” kata Valerie, menghentikan langkahnya. Aldrich yang sudah melangkah lebih dulu menoleh dengan satu alis terangkat. “Kenapa lagi?” tanyanya, terdengar sedikit tidak sabar.Valerie menggaruk pipinya yang tidak gatal, lalu menunjuk arah berbeda. “Kita lewat sini saja,” katanya santai, meski ada kilatan jahil di matanya.Aldrich memandang lorong yang ditunjuk Valerie dengan dahi berkerut. Namun, dalam hitungan detik, senyum kecil di sudut bibirnya pun terbit. Dia tahu maksud Valerie “Oke, kita lewat sini,” balas Aldrich, menuruti permintaan Valerie tanpa banyak protes.Dia melangkah lebih dulu, tangan dimasukkan ke dalam saku, auranya yang tenang membuat semua orang di ruangan terdiam saat dia lewat. Valerie mengikuti di belakangnya, sambil menahan senyum geli.Saat mereka melewati ruang pemasaran, banyak mata mulai menoleh. Tidak terkecuali Alicia. Wanita itu bahkan memanjangkan lehernya, berusaha mengintip Aldrich yang jarang muncul di departemennya. Alicia nyaris melomp
“Kenapa lama sekali, Val?” Aldrich menghampiri Valerie begitu melihatnya datang dengan ekspresi gusar.“Maaf, Al, sepertinya aku tidak bisa menemanimu,” ujar Valerie. Ia mengusap rambutnya dengan kedua tangan, tampak kesal. “Aku tidak tahu kenapa, tetapi Alicia sepertinya sengaja menabrakku dan membuat bajuku terkena kopi,” jelasnya, sedikit menahan napas akibat amarah yang mulai naik.Dahi Aldrich berkerut, “Tunggu, Alicia?” tanyanya memastikan.Valerie mengangguk sambil melipat tangan di depan dada. “Ya, salah satu karyawanmu di departemen pemasaran. Aku dengar dia juga pernah jadi kandidat sekretarismu waktu itu,” katanya, mengingat desas-desus yang sempat ia dengar di awal ia bekerja.Aldrich mendesah panjang, jelas merasa kesal. “Lupakan soal Alicia. Fokus ke hal yang lebih penting. Kau harus ganti pakaian sekarang. Kalau tidak, kita akan terlambat. Kau tahu, bukan? Meeting kali ini cukup penting,” ucapnya dengan tegas.Valerie hanya bisa menghela napas, merasa serba salah. Meli