Truk bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil mahal disini. tempat ini paling tidak memuat setidaknya 20 mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. aku memarkir truk tua berusia 15 tahun milik ibuku di lapangan berumput, jadi aku tidak akan menghalangi siapa pun. ayah tidak bilang padaku kalau malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak padaku.
Dia juga tidak hadir pada pemakaman ibu. Jika aku tidak butuh tempat tinggal, aku tidak mau berada disini. aku sudah menjual rumah mungil yang ditinggalkan nenekku untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan ibu. Yang tersisa hanyalah baju dan truk ini. Menelpon ayahku, setelah dia tidak pernah datang walaupun hanya sekali selama 3 tahun, ibuku berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki.
Aku menatap pada rumah besar 3 lantai yang mengarah langsung pada pasir putih pantai Kuta, Bali. Ini adalah rumah baru ayahku. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.
Pintu trukku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih pistol dan mengayunkannya, mengarahkannya pada penyusup itu, memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik pelatukknya.
"Whoa.. Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan jauhkan senjata itu." Seorang pria dengan rambut coklat berdiri di sisi depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan mata yang melebar.
Aku menatapnya bingung dan tetap mengancungkan senjataku. Aku masih tidak tahu siapa pria ini. "Tidak, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Azri Adira?"
Pria itu menelan ludah dengan gugup. "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu masih diarahkan ke wajahku. Kau membuatku sangat gugup. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"
Kecelakaan? Benarkah? "Aku tidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi maafkan aku jika kau tidak merasa nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. Aku bisa memakai senjata dengan sangat baik."
Pria itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun aku belum siap untuk menurunkan senjataku.
"Azri?" Dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti. "Tunggu, Om Azri adalah ayah tiri baru Rudy. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Tante Diva pergi ke London."
London? Rudy? Apa? Aku menunggu penjelasan lebih tetapi pria itu terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. aku menurunkan senjataku dan memastikan mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum menyimpan senjata di bawah kursiku. Mungkin dengan begitu pria ini bisa fokus dan menjelaskan.
"Kau punya surat ijin untuk memliki senjata?" Tanyanya ragu.
Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku butuh jawaban.
"Azri Adira di London?" Tanyaku. Dia tahu akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.
Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"
Tidak juga. Aku menemuinya 2 kali sejak dia meninggalkan ibuku dan aku 5 tahun yang lalu. Aku ingat ayah datang ke pertandingan bulu tangkisku dan memanggang ikan di luar rumah untuk kami. Ayah yang selalu aku miliki hingga hari ini dimana saudara kembarku Freya tewas dalam kecelakaan. Ayahku yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria yang tidak menelponku untuk memastikan aku baik-baik saja sementara aku menjaga ibuku yang sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.
"Aku putrinya, Aileen."
Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa. Apakah itu lucu? "Ayo Aileen, aku ingin kau bertemu dengan seseorang, Dia akan menyukaimu."
Aku menatap tangannya dan meraih tasku.
"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.
"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk, Aku ketakutan."
"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengancungkan senjata pada seseorang? Dari mana asalmu? Kebanyakan gadis akan menjerit atau semacamnya."
Kebanyakan gadis tidak terpaksa melindungi dirinya hampir selama 3 tahun. Aku punya seorang ibu yang sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku. "Aku dari Karangasem." jawabku dan melangkah keluar dari truk.
Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Aku belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling tidak belum secara langsung. Aku melihatnya di film. Tapi baunya, bena-benar seperti apa yang aku harapkan. Aku pergi kebelakang truk untuk mengeluarkan koper dan sebuah kotak kardus.
"Sini biar aku saja." Ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper besae ibuku di bagasi truk yang tersimpan di lemarinya untuk 'perjalanan jauh' yang tidak pernah kami lakukan. Dia selalu berbicara tentang bagaimana kami akan mengemudi dan kemudian menuju pantai suatu hari nanti.
"Terima kasih, uh.. aku belum tahu namamu."
Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku. "Apa? kau lupa untuk bertanya setelah kau mengarhakn senjata padaku?"
Aku mendesah.
"Aku Jafin. teman Rudy."
"Rudy?" Nama itu lagi. Siapa dia?
Jafin tersenyum lebar. "Kau tidak tahu siapa dia?" Dia benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini." Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah. "Ayo aku akan memperkenalkanmu."
Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah. Musik dalam rumah itu begitu keras saat kami mendekat. Jika ayahku tidak ada disini, lalu siapa disana? Aku tahu Diva adalah istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu. Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Ayah tidak memberitahuku dengan jelas, dia hanya bilang aku akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.
"Jadi, Rudy tinggal disini?" Tanyaku.
"Ya, dia tinggal disini, saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim berganti."
"Rumahnya yang lain?"
Jafin tertawa. "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga baru ayahmu kan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan." katanya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatapku. "Rudy Adhitama adalah kakak tirimu. Dia adalah anak tunggal dari artis terkenal Kenzo Adhitama. Orang tuanya tidak pernah menikah. Ibunya, Tante Diva adalah salah satu penggemarnya saat itu.Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini karena dia mengijinkannya." Jafin berhenti dan melihat ke belakang pintu da membukanya.
Seorang cewek tinggi, berambut pirang strawberry yang seperti baru saja di cat, langsing memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang jika aku mencoba untuk memakainya akan mematahkan leherku berdiri menatapku. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu tempat belanja bajuku bukanlah sesuatu yang dia datangi.
"Well, halo Grizelle." Sapa Jafin.
"Siapa dia?" Gadis itu bertanya, mengalihkan pandangannya pada Jafin.
"Teman, Hapus ancaman dari wajahmu G, itu terlihat tidak cocok untukmu." Jawabnya dan meraih tanganku, mendorongku masuk kedalam rumah.
Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. saat kami melewati ruang tamu yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tengah. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah yang pernah menjadi rumahku. 2 pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih dekat.
"Sebelah sini."Ajak Jafin sambil berjalan menuju sebuah bar. Bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah?
Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapku sekilas.
"Rudy, kenalkan Aileen. Aku yakin dia adalah milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedkit tersesat." Ucap Jafin dan aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang untuk melihat siapa itu Rudy.
Oh. My.
"Oh ya?" Jawab Rudy dengan malas dan maju dari posisi santainya di sofa dengan bis ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda. Tidak bisa dikatakan dia milikku."
"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke London dengan ibumu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau.Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di truk."
Rudy mengerutkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat. Matanya berwarna indah. Menarik namun ganjil. Warnanya bukan cokelat.Bukan juga hitam. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
"Bukan berarti dia milikku." Akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.
"Kau bercanda kan?"
Rudy tidak menjawab. malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Jafin dan aku bisa melihat pernigatan disana. Aku ingin segera pergi. tidak bagus. Aku hanya punya seratus ribu di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku miliki. Ketika aku menelpon ayahku aku bilang kalau aku membutuhkan tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau tinggal bersamanya.
Perhatian Rudy kembali padaku. Dia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk aku katakan? sebuah senyum tipis terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.
"Aku punya banya tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh." Dia mengalihkan tatapannya pada Jafin. "Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi ayahnya."
Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata 'ayah', aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukan salahnya. Ayahku yang mengirimku kemari.
Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Jafin. "Dia benar. Aku seharusnya pergi." Aku menarik keras koper dan dia melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku.
Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. AKu mendengar jafin berdebat dengan Rudy tapi aku mengabaikannya. Aku tidak mau mendengar apa yang dikatakan pria tampan itu tentangku. Itu terlihat sangat jelas. Ayahku nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.
"Kau akan segera pergi?" Sebuah suara lembut bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat senyum gembira pada gadis sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikan bagi semua orang? AKu langsung menjatuhkan tatapanku ke lantai dan membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan gadis itu melihatku menangis.
Saat aku sampai di luar rumah, aku menangis terisak dan berjalan menuju trukku. Jika aku tidak membawa koper aku akan lari. AKu harus mencari perlindungan. AKu masuk ke dalam trukku, bukan di dalam rumah itu dengan orang-orang sombong. Aku rindu rumah. Aku rindu ibuku.
Aku menghapus air mataku dan memaksakan diri untuk mengambil nafas dalam. Aku tidak menyerah sekarang. Aku tidak menyerah ketika aku duduk memegang tangan ibuku saat dia menghambuskan nafas terakhirnya. Aku tidak menyerah saat mereka membaringkannya di tanah yang dingin. Aku bisa melaluinya.Aku tidak punya cukup uang untuk menyewa kamar hotel tapi aku punya truk. Aku bisa tinggal di trukku. Mencari tempat aman untuk memarkirnya di malam hari mungkin satu-satunya masalahku. Kota ini kelihatannya cukup aman tapi aku sangat yakit jika truk tua ini di parkir sembarang tempat akan menarik perhatian. Aku akan melihat polisi mengetuk jendelaku bahkan sebelum aku tidur. Aku akan menggunakan seratus ribu terakhirku untuk mengisi bensin. Kemudian aku bisa mengemudikan trukku ke pusat kota dimana trukku tidak akan ketahuan di tempat parkir.Mungkin aku bisa memarkirnya di belakang restoran dan mendapat kerja juga di sana.Aku tidak perlu bensin untuk pulang pergi ke tempat kerja.
Meskipun tidak ada jendela di kamar ini yang memberitahukanku bahwa matahari telah terbit, aku tahu aku telah kesiangan. Aku kelelahan karena menyetir ditengah kemacetan kota dan derap kaki ditangga selama berjam-jam setelah aku berbaring hingga tertidur pulas. Aku duduk dan menyalakan saklar lampu di dinding. Bola lampu kecil menerangi kamar dan aku meraih ke bawah ranjang untuk menarik koperku.Aku perlu mandi dan aku perlu memakai kamar kecil. Mungkin semua orang masih tertidur dan aku bisa menyelinap ke kamar mandi tanpa ada seseorang yang mengetahuinya. Jafin tidak menunjukkan padaku dimana kamar mandinya kemarin malam.Aku meraih celana dalam bersih dan sebuah celana pendek hitam dan tank top putih. Jika aku beruntung, Aku bisa segera keluar dari kamar mandi sebelum Rudy turun ke lantai bawah. Aku membuka pintu yang menuju ke dapur kemudian berjalan melewati deretan rak yang menyimpan banyak makanan lebih dari yang dibutuhkan semua orang. Aku perlahan memutar ken
Ada catatan terjepit dibawah wiper kaca depan truk. Aku menariknya keluar dan membaca, *Bensin sudah penuh. Jafin.Jafin sudah mengisi bensinku. Dadaku tiba-tiba terasa hangat. Dia sangat baik.Kata-kata Rudy tentang 'parasit' terngiang di telingaku dan aku menyadari aku perlu mengganti uang Jafin secepat mungkin. Aku tidak mau dianggap sebagai parasit seperti ayahku.Masuk ke truk, aku memutarnya dengan mudah dan mundur dari jalan masuk. Beberapa mobil masih diluar, meskipun tidak sebanyak tadi malam. Aku bertanya-tanya siapa yang menginap semalam. Apakah mereka selalu berada disini? Aku tidak melihat siapapun pagi ini selain Rudy dan gadisnya yang dia buat marah tadi.Rudy bukanlah orang yang baik tapi dia bijaksana. Itu menurutku. Dia juga seksi. Aku hanya harus belajar untuk mengabaikannya. Ini seharusnya cukup mudah. Aku tidak mengharapkan Rudy berada di sekitarku.Aku memutuskan bahwa
Matahari sangat panas. Mbak Cla tidak ingin aku mengikat rambutku. Dia berpikir para pemain golf pria menyukai rambut yang digerai. Tapi tidak bagiku, sangat panas di luar sini. Aku mengambil es batu dalam box pendingin dan menggosokkan ke leherku. Aku hampir berada di lubang 15 untuk ketiga kalinya.Tidak ada yang bangun pagi ini ketika aku keluar dari kamar. Piring-piring kotor masih ada di meja. Aku membereskannya dan membuang makanan yang ada di panci yang dia tinggalkan sepanjang malam. Membuatku sedih melihat makanan itu dibuang. Baunya sangat enak semalam saat aku pulang.Lalu aku membuang botol amggur kosong dan mengambil gelas-gelas diluar disamping meja tempat aku menyaksikan Rudy melakukan hal itu dengan seorang gadis.Kembali ke lapangan yang panas, aku berhenti disamping kelompok pemain golf di lubang ke 15. Mereka masih muda. Aku pernah melihat mereka berada di lubang ke 3. Mereka membeli banyak minuman dan memberi banyak tips."
Menjauh dari Rudy tidaklah mudah apalagi kami tinggal di bawah atap yang sama. Walaupun fia berusaha menjaga jarak, kami tetap bertemu. Dia juga menghindari kontak mata denganku, tapi semua itu makin membuatku terpesona padanya.2 hari setelah percakapan kami di pantai, aku melangkah memasuki dapur setelah memakan roti isi mentega kacangku dan kembali disambut oleh gadis setengah telanjang lain lagi. Rambutnya berantakan, dia adalah gadis yang cantik.Gadis itu berbalik dan melihatku. Ekspresi terkejutnya dengan cepat berubah menjadi tidak suka. Dia berkacak pinggang, "Apakah kau baru saja keluar dari tempat penyimpanan?""Ya. Apakah kau baru saja turun dari tempat tidur Rudy?" Kataku. Itu keluar begitu saja dari mulutku sebelum aku dapat menghentikan diriku. Rudy sendiri sudah menegaskan bahwa kehidupan seksualnya sama sekali bukan urusanku. Aku seharusnya menutup mulutku.Gadis itu menaikkan alisnya yang berbentuk sempurna kemudian senyum terlihat di bi
Aku duduk diatas tempat tidur mendengar tawa dan musik yang berasal dari dalam rumah. Aku ragu mengambil keputusan untuk datang ke pesta seharian. untuk terakhir kalinya aku mengambil keputusan untuk datang dan mengenakan satu-satunya gaun terbagus yang kumiliki. Gaun itu berwarna biru yang ketat pada bagian dada dan pinggangu,dan ujungnya tergantung disekitar pahaku. Aku membeli gaun ini ketika Bobi mengajakku ke pesta perpisahan sekolah.Kemudian dia di nominasikan sebagai raja angkatan itu dan seorang gadis bernama Grace menjadi ratunya. Grace ingin menghadiri acara itu bersama dengan Bobi, yang kemudian Bobi menelponku dan bertanya apakah dia boleh pergi ke acara itu dengan Grace saja. Aku menyrtujuinya lalu menggantung kembali gaun itu. Malam itu aku dan ibuku menonton 2 film sambil makan brownies. Keesokkan harinya semua orang berbicara mereka menang dan mereka terlihat keren karena hadir sebagai pasangan. Itu adalah salah satu kenangan yang kuingat ketika ibuku t
Rumah itu sekali lagi berantakan ketika aku bangun keesokan harinya. Kali ini aku meninggalkan kekacauan itu dan langsung pergi bekerja. Aku tidak ingin terlambat. Aku membutuhkan pekerjaan ini. Ayahku belum menelpon untuk memeriksaku dan aku yakin Rudy tidak bicara dengan ibunya atau dengan ayahku. Aku tidak ingin bertanya padanya karena aku tidak ingin kemarahannya pada ayahku akan dilampiaskan padaku.Mungkin saja suatu haru Rudy akan mengusirku pergi saat aku kembali bekerja. Dia terlihat tidak senang ketika dia keluar dari kamarku tadi malam. Apa lagi setelah kejadian semalam.Oh Tuhan apa yang kupikirkan?Aku tidak bisa berpikir hal lain. Itulah masalahnya! Aku tidak bisa mengendalikan diri. Bisa saja, saat aku pulang nanti aku akan melihat tasku diteras luar. Setidaknya, sekarang ak sudah punya cukup uang untuk tinggal di hotel.Memakai celana pendek dan kaus polo, aku berjalan dari kantor menuju ke pintu depan. Aku perlu mengisi absen agar bi
Beberapa mobil diparkir di luar ketika aku pulang ke rumah Rudy setelah bekerja. Paling tidak aku tidak akan memergokinya sedang berhubungan. Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Musik terdengar sangat keras. Aku mulai melangkah ke arah dapur ketika aku mendengar suara seorang perempuan. Perutku terasa tidak nyaman. Aku mencoba untuk mengabaikannya, tapi kakiku rasanya tertanam di lantai. Aku tidak bisa bergerak.Aku melihat mereka di sofa. Aku tidak bisa melihat ini lagi. Aku harus keluar dari sini. Sekarang.Aku berputar kembali ke pintu depan, tidak peduli aku melakukannya dengan diam-diam atau tidak. Seketika aku sudah berada di dalam trukku dan keluar dari jalan masuk sebelum salah satu dari mereka menyadari keberadaanku.Dia tahu jam berapa aku pulang bekerja. Faktanya adalah, dia ingin aku melihatnya. Dia sedang mengingatkanku bahwa aku tidak bisa memilikinya. Sekarang aku tidak menginginkannya.Aku menyetir ke arah kota dengan marah pada diriku