Bab 12

Eleanor tersenyum dengan tidak acuh, lalu menyahut, "Benar. Karena kamu nggak benar-benar mengenalku."

Setelah melontarkan itu, Eleanor menggoda Miranda dengan usil. Katanya, "Miranda, kamu benar-benar nggak mau berfoto? Kalau nggak mau, aku bawa mobilnya pergi, nih."

Miranda begitu kesal sampai wajahnya merah padam. Dia benar-benar sangat Ingin berfoto! Namun, Eleanor ada di dalam mobil. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menurunkan harga dirinya.

"Aku nggak butuh," jawab Miranda dengan keras kepala.

"Ya, sudah. Sampai jumpa!" seru Eleanor seraya melambaikan tangan kepada mereka. Kemudian, dia menginjak pedal gas dan melaju pergi.

Mobil Bentley biru menghilang dari pandangan Rowan dan Miranda.

Miranda bertanya dengan kesal, "Rowan, kenapa kamu bisa tertarik sama wanita yang begitu mementingkan gengsi?"

Rowan memijat dahinya sebelum menimpali, "Dulu dia nggak seperti ini. Aku nggak tahu ada apa dengannya akhir-akhir ini. Dia bukan cuma memaksaku menikah dengannya, tapi juga menyewa mobil."

Miranda berkomentar, "Mungkin karena melihatku makin dekat denganmu, jadi dia merasa terancam. Dia menyewa mobil mungkin demi bisa masuk ke lingkaran pertemanan kita."

Miranda menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dia menggeleng sambil menghela napas. Tatapannya menunjukkan rasa simpati.

Miranda berdecak, lalu berujar, "Sayangnya itu cuma mobil sewaan, bukan miliknya. Dia juga cuma bisa berfoto. Kasihan sekali."

"Jangan dibahas lagi. Aku merasa sangat malu," kata Rowan sebelum berbalik masuk ke vila.

....

Eleanor mengendarai mobilnya untuk berkeliling. Pada akhirnya, dia memarkirkan mobilnya di tempat parkir gratis di luar kawasan vila. Dia tidak ingin memarkirkan mobilnya di garasi Rowan. Sekarang belum saatnya untuk berterus terang pada Rowan.

Sebelumnya, Eleanor ingin memberi tahu Rowan tentang latar belakang keluarganya. Namun, sekarang dia mengurungkan niatnya.

Pada malam hari, di atas meja masih penuh dengan hidangan sayuran.

Eleanor membawa makanan yang dia pesan dari restoran khusus ke meja makan. Dia duduk, lalu membuka kotaknya tanpa memedulikan orang-orang di sekitar. Aroma lezat seketika memenuhi seluruh ruang makan.

Rowan tak kuasa menahan diri untuk melirik makanan yang dipesan Eleanor.

Ada udang dan kepiting pedas. Tampilannya sangat menggugah selera. Aroma pedas yang kuat masuk ke hidung Rowan dan membangkitkan nafsu makannya. Tidak lama kemudian, air liur Rowan hampir menetes.

Rowan memandang beberapa hidangan di depannya. Ada sup bening dan sayuran polos. Sungguh tidak menggugah selera sedikit pun.

Eleanor memakai sarung tangan plastik, lalu mulai mengupas udang.

Rowan juga suka makan udang pedas. Dulu, saat dia dan Eleanor pergi makan udang, Eleanor selalu mengupaskan udang untuknya.

Jakun Rowan bergerak naik turun menelan ludah. Dia berpura-pura melirik Eleanor dengan tidak acuh. Namun, hatinya berharap Eleanor menaruh udang yang sudah dikupaskan ke piringnya.

Sayangnya, setelah mengupas udang, Eleanor justru memasukkannya ke dalam mulut sendiri dan makan dengan lahap.

Begitu menyadari tatapan Rowan, Eleanor menoleh memandangnya. Dia menelan makanan di dalam mulutnya sebelum bertanya, "Kenapa? Untuk apa lihat aku?"

Rowan berpura-pura batuk untuk menutupi rasa canggungnya, lalu menegur dengan datar, "Apa kamu bisa jangan makan makanan yang baunya begitu menyengat?"

Sebelum Eleanor sempat membalas, Miranda lebih dulu menyela, "Aduh. Cuma orang miskin yang suka makan makanan pedas berbumbu kuat seperti ini. Eleanor, baunya terlalu menusuk. Gimana kalau kamu makan di luar saja?"

Mendengar ini, ekspresi Rowan sedikit muram. Dia barusan sangat ingin memakannya. Miranda malah mengatakan hanya orang miskin yang makan itu?

Eleanor menjilat bibirnya, lalu mulai mengupas udang lagi. Nada bicaranya terdengar niat memecah belah. Katanya, "Miranda, sepertinya kamu nggak begitu mengenal Rowan. Coba kamu tanyakan padanya, dia suka atau nggak."

Miranda tertegun. Dia menoleh menatap Rowan dan berkata, "Rowan, kamu ...."

Dahi Rowan berkedut. Dia menahan rasa kesalnya sambil menyendok sayuran dan berujar, "Sudahlah. Jangan pedulikan dia. Ayo, makan."

Eleanor bersenandung sembari menghabiskan satu kotak udang dan kepiting pedas sendirian. Hatinya sangat gembira.

Setelah makan, Miranda berjalan mengitari ruang tamu dan berkomentar, "Rowan, menurutku gorden ini nggak bagus. Vas bunga di meja juga sangat nggak cocok dengan warna keseluruhan ruang tamu."

Selesai berbicara, Miranda menutup hidungnya sambil menatap bunga di dalam vas dengan jijik. Dia menambahkan, "Selain itu, aku alergi serbuk sari. Kamu bisa buang bunga ini nggak?"

Eleanor yang mengganti gorden dan membeli vas bunga yang ada di atas meja. Bunga di dalam vas juga dirangkai oleh Eleanor sendiri dengan sepenuh hati. Mungkin Miranda juga tahu itu. Jadi, dia sengaja mencari masalah.

Rowan berkata dengan santai, "Kalau kamu nggak suka, ganti yang kamu suka saja." Dia melirik Eleanor sekilas, lalu meneruskan dengan kesal, "Kalau kamu alergi serbuk sari, buang saja bunganya."

Eleanor hanya memperhatikan mereka berdua yang begitu kompak tanpa mengatakan apa-apa. Lagi pula, ini juga bukan rumahnya. Terserah mereka saja.

Miranda malah mengira Eleanor diam karena sakit hati. Matanya menunjukkan kepuasan. Dia berkata dalam hati, 'Eleanor, kamu sudah kalah.'

Rowan memanggil Jenar dan memintanya membuang vas beserta bunganya.

Jenar menatap Eleanor dengan serba salah, lalu berkata kepada Rowan, "Tuan, tapi bunga ini ... dibeli oleh Nona Eleanor."

Rowan tampak tidak senang. Dia meninggikan suaranya dan berujar, "Memangnya kenapa kalau dia yang beli? Sepertinya kamu belum paham siapa pemilik rumah ini dan siapa yang menggajimu."

Eleanor bertutur dengan tenang, "Bi Jenar, nggak apa-apa. Buang saja."

Jenar pun mengambil vas bunga dan berjalan ke arah luar. Dia menggerutu di dalam hati, 'Pria gila. Tiba-tiba cari masalah! Setiap hari ada saja kegilaannya! Miranda juga wanita senteng. Dua hari ini cuma makan sayur di rumah ini. Gara-gara dia, aku jadi nggak bisa makan daging. Kapan penderitaan ini berakhir?'

Di ruang tamu, Miranda tersenyum sambil menggandeng lengan Rowan. Dia berucap dengan manja, "Rowan, besok temani aku pilih gorden, ya?"

Rowan melirik Eleanor sekilas. Begitu melihatnya tenang dan tidak cemburu, hatinya tiba-tiba gelisah. Mengapa Eleanor tidak cemburu? Dia sudah meminta Jenar untuk membuang bunganya. Mengapa Eleanor tidak marah?

Dada Rowan terasa sesak. Perasaannya tidak karuan. Jelas-jelas dia paling suka saat Eleanor patuh, pengertian, dan tidak merepotkannya. Namun, bukankah sekarang Eleanor sudah terlalu pengertian?

Sebenarnya, sesekali merasa cemburu itu tidak ada salahnya. Rowan seketika sedikit kesal dengan sikap patuh dan pengertian Eleanor.

Melihat Rowan tidak menjawab, Miranda menggoyangkan lengan Rowan seraya berkata dengan lebih manja, "Rowan, kamu dengar aku nggak?"

Rowan mengalihkan tatapannya dan mengiakan dengan nada rendah.

....

Keesokan harinya, Miranda membeli banyak barang. Dia memerintahkan pekerja yang mengantar barang untuk mengganti gorden dan dekorasi di ruang tamu. Dia juga membuang semua barang yang sebelumnya dibeli oleh Eleanor ke tempat sampah.

Ketika Eleanor pulang, Miranda menatapnya dengan ekspresi penuh kemenangan.

Eleanor sama sekali tidak menghiraukan Miranda. Dia hanya melirik sekilas ruang tamu yang berantakan dan beberapa pekerja yang sedang sibuk, lalu naik ke kamarnya di lantai atas.

Eleanor sudah membereskan kopernya. Barang-barang yang mau dibuang juga sudah dikemas. Saat ini, yang tersisa hanya beberapa barang sehari-hari dan beberapa pakaian ganti di luar koper.

Awalnya, Eleanor mengira dalam beberapa hari terakhir ini, dia tidak akan ada masalah dengan Miranda. Tidak disangka, Miranda justru melakukan berbagai cara untuk mengusirnya.