Bab 13

Satu malam sebelum hari persidangan.

Ketika sedang mandi, Eleanor mendengar suara barang pecah dari kamarnya. Dia segera membilas busa di tubuhnya, lalu memakai baju tidur dan keluar memeriksanya. Di dalam kamar tidak ada siapa-siapa, hanya ada pecahan porselen yang berserakan di lantai.

Eleanor langsung mengenali barang yang pecah adalah boneka porselen peninggalan ibunya. Itu adalah boneka Cinnamoroll biru muda.

Saat ulang tahunnya yang ke-12, Eleanor dan ibunya mewarnai boneka itu bersama di toko kerajinan tangan. Di belakang boneka itu juga terukir namanya dan ibunya.

Begitu melihat pecahan di lantai, Eleanor merasa darahnya seakan-akan mendidih. Amarahnya seketika meluap.

"Siapa yang melakukannya?" pekik Eleanor keluar dari kamar.

Tok! Tok! Tok! Eleanor mengetuk pintu kamar Rowan dengan keras sambil berteriak marah, "Rowan! Miranda! Siapa di antara kalian yang masuk ke kamarku?"

Pintu kamar Rowan terbuka. Dia bertanya dengan jengkel, "Apa yang kamu lakukan malam-malam? Kenapa kamu ganggu orang lain tidur?"

Dada Eleanor naik turun karena dipenuhi amarah. Tatapannya begitu mengerikan seperti ingin membunuh orang. Dia bertanya, "Rowan, apa kamu ke kamarku tadi?"

Rowan mengernyit sembari menimpali, "Siapa yang ke kamarmu? Jangan tuduh sembarangan. Aku dari tadi membaca kontrak di dalam kamar, nggak keluar."

"Kalau bukan kamu, berarti Miranda," ujar Eleanor tanpa berbasa-basi dengan Rowan lagi. Dia berbalik dan langsung menuju ke kamar Miranda.

Kamar Miranda ada di ujung koridor.

Melihat Eleanor yang begitu marah, Rowan khawatir akan terjadi sesuatu. Jadi, dia menyusul Eleanor.

"Miranda! Buka pintunya!" pekik Eleanor. Saking marahnya, dia langsung menendang pintu kamar Miranda.

Rowan tercengang saat melihat ini. Apakah wanita ini masih Eleanor yang lembut dan mudah ditindas yang dia kenal? Apa yang terjadi sampai Eleanor semarah ini?

Miranda membuka pintu dengan santai, lalu bertanya, "Eleanor, kenapa berteriak nggak jelas?"

Eleanor mencengkeram pergelangan tangan Miranda dan menariknya ke kamar. Miranda meronta, tetapi langkahnya terseret mengikuti langkah Eleanor.

"Lepaskan tanganku! Eleanor, lepaskan aku!" pekik Miranda.

Setelah membawa Miranda ke kamar, Eleanor menghempaskan Miranda dengan kasar.

"Ah!" teriak Miranda. Dia kehilangan keseimbangan. Langkahnya goyah sehingga lututnya terbentur lemari di samping.

"Eleanor, kamu gila, ya?" sergah Miranda sambil memegang lututnya.

Eleanor mencondongkan tubuhnya ke depan sambil bertanya dengan nada menekan, "Apa kamu yang memecahkan boneka porselenku? Apa yang kamu lakukan di kamarku tadi?"

Tatapan Miranda menghindar. Jelas sekali dia merasa bersalah. Dia mengelak, "A ... aku nggak melakukannya. Aku dari tadi di dalam kamar, nggak ke mana-mana. Jangan asal tuduh."

Eleanor menatap mata Miranda dengan tajam sembari berkata dengan dingin, "Benarkah? Saat aku keluar dari kamar mandi, aku kebetulan melihat ujung rokmu yang berwarna krem dari celah pintu kamar."

"Kamu asal bicara! Saat pergi tadi, jelas-jelas aku pakai rok warna abu-abu, rok warna krem ini ...," balas Miranda hendak membantah. Sayangnya, mulutnya lebih cepat bekerja dibandingkan otaknya. Setelah berbicara sampai setengah, dia baru tersadar.

Miranda berteriak kesal, "Eleanor, kamu menjebakku! Kamu sama sekali nggak melihat ujung rokku!"

Eleanor menatap Miranda dengan dingin seraya membalas, "Apa? Kamu mau bilang kalau rok warna krem ini baru saja kamu ganti? Benar, 'kan?"

Kilatan dingin terlintas di mata Eleanor. Nada bicaranya terdengar sangat dingin seperti es. Dia bertanya, "Apa yang kamu lakukan di kamarku?"

Tatapan Eleanor membuat Miranda terkejut. Dia tanpa sadar gemetaran dan menjawab dengan terbata-bata, "A ... aku cuma jalan-jalan ...."

"Kamu nggak punya kerjaan sampai jalan-jalan di kamarku?" timpal Eleanor.

Miranda menelan ludah karena takut Eleanor menyadari perbuatannya. Dia berucap, "A ... aku cuma ...."

"Cukup!" Rowan maju dua langkah dan berdiri di depan Miranda. Katanya, "Eleanor, jangan cari masalah. Bukannya itu cuma boneka porselen murahan? Kalau pecah, beli saja yang baru. Kenapa harus mempersulit Miranda?"

Plak! Tiba-tiba terdengar suara tamparan yang nyaring. Eleanor mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menampar Rowan.

Rowan dan Miranda tercengang.

"Pergi! Ini bukan urusanmu! Apa hakmu memaafkannya atas namaku?" sergah Eleanor pada Rowan.

Melihat Rowan ditampar, Miranda sedikit panik. Dia menjauhkan Rowan yang berdiri di depannya, lalu berhadapan langsung dengan Eleanor. Dia berteriak geram, "Kenapa kamu tampar dia?"

Plak! Terdengar suara tamparan yang nyaring lagi.

"Kamu juga pergi!" hardik Eleanor.

Wajah Miranda seketika terlihat bekas tamparan merah. Hatinya dipenuhi amarah dan kegelisahan. Bagaimana mungkin dia diam saja?

Miranda membelalakkan mata dan hendak melayangkan tamparan. Namun, Eleanor mencengkeram pergelangan tangan Miranda dan menghempaskannya ke samping. Miranda terjatuh ke lantai. Telapak tangannya menekan pecahan porselen yang berserakan. Seketika, darah mengalir.

Miranda menjerit kesakitan, "Ah! Tanganku! Tanganku berdarah!"

Rowan tersadar dan buru-buru maju untuk memeriksa luka Miranda. Dia bertanya, "Miranda, kamu nggak apa-apa?"

Eleanor menatap Miranda dengan dingin dan berkata, "Rasakan itu! Kalau kamu nggak memecahkannya, kamu nggak akan terluka."

Rowan memelototi Eleanor seraya membentak, "Eleanor, kamu sudah keterlaluan! Cepat minta maaf pada Miranda!"

Eleanor membalas, "Dia yang seharusnya minta maaf padaku. Dia sudah memecahkan barangku."

Miranda bersandar di pelukan Rowan dan menangis sambil berucap, "Rowan, sakit sekali. Cepat bawa aku ke rumah sakit. Aku benar-benar kesakitan."

"Miranda, bertahanlah. Aku segera bawa kamu ke rumah sakit," kata Rowan.

Selesai berbicara, Rowan menggendong Miranda. Ketika berjalan melewati Eleanor, Rowan menatapnya dengan tajam sebelum berujar dengan wajah muram, "Kamu pergi dari sini. Aku nggak mau melihatmu lagi!"

"Oke," sahut Eleanor dengan tegas dan ekspresi datar.

Langkah Rowan terhenti sejenak. Dia merasa Eleanor benar-benar aneh. Namun, dia tidak sempat memikirkan hal ini. Tangan Miranda terus meneteskan darah. Rowan menoleh menatap Eleanor dalam-dalam, lalu menggendong Miranda sambil buru-buru menuruni tangga.

Setelah kedua orang itu pergi, suasana di dalam kamar akhirnya sunyi. Eleanor berjalan ke samping pecahan dengan pelan dan berjongkok. Tangannya yang gemetaran ingin menyentuh pecahan itu. Air mata jatuh setetes demi setetes ke atas pecahan porselen.

Eleanor berkata, "Ibu, maafkan aku. Aku nggak bisa menjaga hadiah pemberianmu. Maafkan aku, Ibu ...."

Di dalam kamar yang cukup luas, seorang gadis berjongkok di lantai sambil menangis tersedu-sedu. Ketika Eleanor berusia 12 tahun, ibunya sakit parah. Wanita yang lembut, tenang, dan selalu tersenyum itu tersiksa oleh penyakit hingga kurus kering hingga tulangnya menonjol.

Saat itu, Eleanor baru masuk SMP. Setiap pulang sekolah, dia tidak langsung pulang ke rumah, melainkan pergi ke rumah sakit untuk menemani ibunya, Devina Salvo. Dia selalu menceritakan hal menarik di sekolah dan menyanyikan lagu baru yang diajarkan gurunya kepada ibunya.

"Ibu, kapan Ibu bisa sembuh?" tanya Eleanor kecil yang duduk di samping kasur ibunya. Matanya yang jernih menyembunyikan kesedihan. Ibunya sudah sakit lebih dari setengah tahun. Kondisinya makin memburuk setiap hari.

Devina mengelus kepala Eleanor kecil. Dia tersenyum lembut seraya menjawab dengan hangat, "Dokter bilang sebentar lagi Ibu boleh keluar dari rumah sakit."

"Benarkah?" tanya Eleanor kecil dengan riang dan mata berbinar.

"Benar," sahut Devina. Bibir dan wajahnya tampak pucat, tetapi dia memandang Eleanor kecil dengan lembut dan yakin sambil berkata, "Beberapa hari lagi, Ibu akan keluar dari rumah sakit. Nanti Ibu akan menemani Elea merayakan ulang tahun."

"Hore!" seru Elea kecil yang memercayai ucapan Devina. Dia mengira ibunya benar-benar akan segera sembuh.

Kemudian, Eleanor baru tahu bahwa yang dimaksud ibunya bukan keluar dari rumah sakit karena sudah sehat, melainkan karena penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan.

Dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menyarankan Devina keluar dari rumah sakit, menghabiskan waktu bersama keluarga, dan menyelesaikan keinginan yang belum terwujud.