"Sudah siap bekerja hari ini?"
Ini adalah kedua kalinya Renata bertemu dengan Arjuna Tunggajaya Nuraga - Executive Chef sekaligus atasan langsungnya. Kesan pertama yang terlintas di kepala Renata saat ia diwawancara Arjuna pria itu masih muda, juga tampan, boleh dibilang seksi abis, dengan rahang kuat dan sorot mata yang tajam. Tidak itu saja, tubuhnya juga atletis walaupun ditutupi oleh chef jacket yang lumayan besar. Saat itu, Renata tidak sadar bahwa dia mengigit bibir bawanya seraya memandangi Arjuna dari atas ke bawah.
Hari ini, ketika dia dibawa oleh asisten human resources untuk menemui Arjuna, pria itu masih setampan kali pertama dia melihatnya. Bahkan mungkin lebih tampan. Dan kesan angkuh serta sikap dinginnya masih sama seperti kali pertama.
Renata mengangguk dan menjawab tegas pertanyaan pria itu, "Sudah, Pak."
Arjuna menatap Renata sejenak, memeriksa tampilan wanita itunsebelum berujar tegas, “Bagus. Selamat datang kalau begitu."
Yang Renata tidak tahu, Arjuna juga menyimpan kesan sendiri. Pertama kali dia melihat Renata, dia berpikir wanita itu memang cantik tapi terlihat lugu dan terkesan tolol. Tapi riwayat hidup dan pengalaman kerjanya cukup mengesankan. Dan hari ini ketika Renata mengenakan seragam chef, wanita itu terlihat cukup profesional. Selanjutnya, Arjuna hanya perlu mengetes kemampuan wanita itu.
Renata masih bergeming sehingga Arjuna membentak pelan.
"Apa kamu di sini hanya untuk memandangi saya seperti itu?" tanya Arjuna. yang membuat Renata tersentak.
"Eh?" ucap Renata spontan.
Arjuna menghela napas gusar, baru saja dia berpikir wanita itu tidak tampak tolol. "Ikut saya!" Tanpa menunggu apakah wanita itu mengikutinya ataukah tidak, Arjuna membuka pintu kantor dan berderap menuju medan tempurnya - dapur hotel yang berukuran besar. Setelah perkenalan basa-basi, seluruh staf di ruangan tersebut menyebar ke mana-mana, masing-masing siap meneruskan pekerjaannya kembali, sehingga tinggallah Renata dan Arjuna yang masih saling berdiri berhadapan. Arjuna mendengus sejenak dan berbalik memungungi Renata, hanya untuk mendapati bahwa wanita itu masih mengikutinya.
"Mau mengikuti saya sampai mati?" Arjuna membalikkan tubuhnya dan menatap Renata yang kelihatan kebingungan.
"Ya? Eh, maaf ya, Pak." Renata sedikit membungkukkan tubuh, dengan maksud meminta maaf.
"KERJA!!!" teriak Arjuna, nmemekakkan kedua telinga Renata dan membuat seisi dapur tak berani nmenatap mereka berdua.
"Ba-baik, Pak." balas Renata dengan bibir bergetar karena rasamterkejutnya yang belum juga hilang.
Wanita itu melihat Arjuna yang melangkah menjauhinya. Prianitu kembali pada pekerjaannya yaitu memasak. Renata dapat melihat betapa lincahnya kedua tangan Arjuna dalam mengolah bahan dan bumbu masakan. Hingga Renata merasakan senggolan pelan pada bahunya.
"Yang sabar, ya," ucap orang yang baru saja menyenggol bahunya.
"Gue Imelda, lo?"
"Ke-Renata," jawab Renata pelan, kemudian bergerak untuk berdiri di samping Imelda yang sedang memotong beberapa sayuran.
"Kayaknya cuma kita cewek yang ada di dapur ini. Syukurlah, akhirnya gue dapat teman kerja cewek juga di sini. Kalau gak,nbisa resign lama-lama. Pada gak waras semua."
Renata merasa bahwa Imelda adalah tipe orang yang mudah bergaul, sehingga dia mulai tak sungkan dengan teman barunya tersebut. Sambil ikut memotong beberapa sayuran, Renata pun mulai bertanya kembali. "Emangnya, orang-orang di sini pada nggak wa--"
"RENATA!" Teriakan itu berhasil membuat tubuh Renata menegang seketika. "Coba kamu buatkan saya Cream Soup!" perintah Arjuna, yang entah kapan sudah berada di belakangnya.
"Cepat!" bentaknya. "Kalau kerja di sini, jangan lelet. Dan satu lagi, kamu tidak perlu saya suruh-suruh untuk membuat ini, itu atau apapun. Kamu harus bisa bekerja sendiri, punya inisiatif sendiri, cek daftar makanan apa saja yang kosong dan kamu bisa membuatnya."
Renata mengangguk pelan dengan tubuh yang masih bergetar kecil. Kemudian, dia membalikkan tubuh dan mulai mengambil bahan-bahan untuk membuat Cream Soup. Cream soup bukan masalah besar, dia bisa membuatnya dengan cepat dan benar. Dan tentu saja enak, terbukti saat Imelda mencicipi buatannya tersebut.
"Cream Soup terbaik yang pernah gue rasain di sini, ya punya lo," puji Imelda yang membuat kedua pipi Renata memerah karena tersipu.
"Makasih, Kak Imelda."
"Sudah, panggil aja Imelda, Imel, Elda, atau apapun, terserah lo. Jangan panggil gue pake embel-embel Kak, karena gue nggak suka. Dan lo jangan pernah merasa canggung sama gue. Kita bisa berteman dengan baik, oke?"
Setidaknya ada Imelda yang dapat membuatnya tenang dan betah berada di dapur. Ada Imelda yang menjadi penghiburnya ketika atasannya itu berteriak dan membentak dirinya. Tapi Renata suka. Dia suka karena bisa bekerja di dapur ini. Bukan karena suka kepada Arjuna Tunggajaya Nuraga.
Renata sedang sibuk membuka apron dan melipatnya dengan rapi, ketika Imel mendekatinya. "Renata, lo mau makan siang sekarang?"
Renata mengangguk cepat, karena memang dia sudah lapar. Jadi, mereka berdua pun mulai meninggalkan dapur untuk mengunjungi kantin khusus karyawan di hotel ini.
"Eh, kenapa sih lo mau kerja sini?" tanya Imelda sembari mengambil nasi, tempe mendoan, dan tumis tauge tahu.
"Ya, karena gue suka sama dapur," balas Renata ketika mereka sudah menempatkan diri pada kursi yang tersedia.
Imelda menghela napas saat mendengar jawaban Renata yang terdengar bodoh. Bukan jawaban itu yang Imelda harapkan dari seorang Renata Deanita. Melainkan alasan mengapa Renata mau melamar di hotel ini.
"Gue baru kenal lo hari ini. Dan gue mencium bau-bau kalau lo cukup bego kalau diajak bicara," tawa Imelda berderai disela-sela memasukkan suap demi suap nasinya.
"Eh, emang gue salah ya?"
"Jelas-lah Re. Maksud gue tuh, kenapa lo mau melamar di hotel ini." Imelda mendengus kesal, bagaimana mungkin seseorang yang ahli bekerja di dapur memiliki tanggapan selambat ini.
"Oh... Ya, pertama gue lihat tuh latar belakang hotel ini, kedua gue belum punya kerjaan sejak berhenti dari hotel lama dan yang ketiga, ini impian gue bisa bekerja di hotel bintang lima. Sous chef lagi."
"Tapi ya," Imelda memotong-motong tempe mendoannya hingga menjadi beberapa keping. "Lo harus kuat hati, kuat mental. Jangan cengeng kalau lu emang mau kerja di sini."
"Maksud lo?" tanya Renata tak mengerti. Ekspresi polos yang ditampilkannya membuat Imelda menghela napas. Betapamlemotnya otak si Renata ini.
"Coba gue tebak, kesan lo pas pertama lihat Pak Arjuna tuh pasti galak, dingin dan angkuh. Terus, tadi lo nggak dengar apa, Pak Arjuna bentak-bentak dan teriakin lo? Beuh...itu mah belum apa-apa," jelas Imelda sembari memakan tumisan tauge tahu yang tersedia.
"Dan lo harus kuat hati jika nanti Pak Arjuna kasih lu omongan yang pedas melebihi cabe. Ya, walaupun gue akui, Pak Arjuna itu ganteng dan seksi abis. Bahkan gue suka horny kalau dekat-dekat sama dia." Kalimat itu nyaris membuat Renata tersedak, dia cepatnmenelan makanannya.
"Dan satu lagi, Pak Arjuna itu seorang duda."
Penjelasan itu membuat Renata membulatkan kedua matanya.
"Duda? Kok bisa, sih?"
"Iya dia duda, padahal pernikahannya baru jalan enam bulan. Mereka juga baru cerai satu bulan yang lalu," jelas Imelda kepada Renata."Lo tau alasan Pak Arjuna cerai?""Seperti yang gue dengar ya..." Imelda mendekatkan wajahnya pada telinga kanan Renata dan berbisik rendah. "Istrinya selalu nggak puas, kalau main sama dia.""Masa sih, Del? Ah, lo bohong kali, secara gitu ya, Pak Arjuna itu ganteng, tajir sih udah tentu, dan duh... seksi abis. Masa sih dia duda karena alasan itu," ujar Renata menolak tak percaya."Udah ah, nggak baik ngomongin atasan. Nanti kualat." Dan piring wanita itu juga ikut tandas begitu dia menutup pembicaraan tentang kehidupan pribadi atasannya."Intinya, lo harus kuat-kuat ya. Dan selamat datang di dapur kami. Semoga lo betah ya, Re."Renata dan Imelda pun kembali menuju dapur setelah menghabiskan waktu satu jam untuk beristirahat. Masih ada pertanyaan yang berkeliaran di kepala Renata sejak dia datang ke kantin khusus karyawan. Yaitu; dia tidak melihat Arjun
Renata kembali ke dapur dan langsung saja memakai apronnya dengan cepat. Lalu kembali bekerja sebagai mestinya. Dia tidak ingin di hari pertama bekerja, sudah membuat masalah. Jadi, saat Imelda mengajaknya mengobrol, Renata tidak mendengarkannya."Re..." panggil Imelda sedikit berteriak, padahal jarak mereka cukup dekat. "Re ish...gue mau nanya.""Apaan?" Renata menolehkan kepalanya sekilas, lalu kembali memfokuskan diri pada masakan yang sedang dibuatnya."Lo tau resep adonan poffertjes?""Tahu. Nih..." Renata menyodorkan catatan kecil yang biasa digunakannya."Eh, tadi Pak Arjuna bil-"Pertanyaan Imelda terhenti ketika melihat Arjuna sudah memasuki dapur. Suasana dapur pun kembali berubah menyeramkan.Arjuna berjalan-jalan melewati beberapa orang yang bekerja. Kadang juga mencicipi masakan yang sedang dibuat oleh para Juru masak."Kurang garam," ucapnya setelah mencicipi masakan dari salah satu juru masak pria."Ini," Arjuna kini berada di samping Imelda, yang sedang meracik bahan u
Arjuna.Pria itu yang menyapanya, khas dengan nada datar dan dingin. Berdiri hadapannya, Arjuna sudah mengganti chef jacket-nya dengan kaos putih polos berlengan pendek. Tatapan Renata terhenti pada kaos ketat yang dikenakan Arjuna.Kedua otot tangannya terlihat sempurna. Dada bidangnya...ugh! Renata ingin mengusapnya lembut. Dan wajahnya juga terlihat lebih bersih serta tatanan rambutnya juga begitu rapi. Tampak sebuah tas punggung hitam yang tergantung pada sebelah bahunya yang kekar. Pokoknya, seksi abis!!!"Renata?" panggil Arjuna, yang membuat Renata makin salah tingkah, karena ketahuan merenung pria itu terlalu lama. Buru-buru, Renata memalingkan wajah dan mengutuk dirinya sendiri karena bersikap layaknya wanita jalang yang mendapatkan pelanggan. "Kamu belum pulang?""Be-belum, Pak." Renata masih memalingkan wajah, tak berani menatap Arjuna, karena itu bisa membuatnya sakit jantung lalu pingsan seketika."Um... " Arjuna bergumam. "Ngomong-ngomong, tangan kamu masih terasa panas?
Sepertinya, hari ini adalah hari tersial Renata. Terlambat masuk kerja dan salah masuk ruang ganti pakaian. Belum lagi, otaknya kini mulai kotor karena pemandangan perut kotak-kotak Arjuna yang tak bisa dia hindari.Walau akhirnya, dia memang mengalihkan wajah namun Arjuna pasti terlanjur menyadarinya, bahwa dia terpana pada tubuh indah pria itu. Dan mungkin, Arjuna akan segera memnecatnya karena memperkejakan karyawan berotak mesum.Sejujurnya, Renata merasakan hal aneh, sikap Arjuna sedikit berbeda. Sejak insiden terkena minyak panas itu, perilaku Arjuna berubah drastis terhadapanya ya, walaupun nada bicaranya masih datar dan sedingin es. Tetapi, Renata dapat melihat bahvwa pria itu peduli kepadanya, mulai dengan menanyakan kondisi tangannya pasca insiden itu, hingga malam tadi Arjuna mengajaknya pulang bersama, yang justru ditolak Renata mentah-mentah. Bukan berarti Renata menolak rezeki, hanya saja dia merasa hal itu tidak pantas.Seperti siang ini, Renata tidak memakan apapun saa
Renata langsung membuang semua angannya mengenai Arjuna. Dan lebih memilih memainkan nampan makan siangnya. Sesekali juga menggaruk tengkuknya karena rasa pegal yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya, dan dia juga merasakan tubuhnya yang sedikit hangat.Mungkin ini efek dari hujan-hujanan dengan ojek online semalam."Ehem..." Arjuna berdeham sambil meraih segelas minumnputih, meneguknya dan meletakkan gelas kosong itu kembali.Piring di hadapannya pun telah tandas. "Nggak makan, Re?""Eh? Hah? Nggak, Pak," respon Renata dengan pertanyaan Arjuna yang tiba-tiba."Kenapa?" tanya Arjuna yang terkesan menginteroasi.Bukan terkesan lagi, bahkan Renata merasakan sedang diinterogasi oleh Arjuna. Suara datar dan dingin pria itu membuat Renata sedikit takut berhadapan dengan atasannya itu. Oke, ini berlebihan.Tapi, itu memang benar! Renata benar-benar merasa jantungnya berdebar kencang. Bulir-bulir keringat sudah bermunculan di pelipisnya.Hawa panas pun mulai menyeruak di kantin tersebut
‘Jangan lupa rotinya dimakan, obatnya juga. Get well soon, Arjuna.’Ketika melihat nama yang tertera pada kertas tersebut, jantung Renata langsung saja berdebar kencang dan hatinya berbunga-bunga.Senyumnya mengembang dan tak henti-hentinya dia menatap secuil kertas yang Arjuna selipkan itu. Kemudian Renata meraih, roti sobek, membuka bungkusnya, lalu mulai memakannya dengan lahap. Tak ingin menyisakan sedikitpun, karena itu merupakan pemberian dari orang yang dia sukai.Ya, Renata akui dia mulai tertarik dengan sosok Arjuna. Walaupun pria itu selalu bersikap dingin dan datar, tetapi itulah daya tarik pria itu, daya tarik yang membuat Renata semakin menyukai atasannya tersebut.Kemudian, diraihnya botol air mineral. Semua dia lahap hingga habis, kecuali minyak kayu putih yang dia masukkan ke dalam saku chef jacket-nya, bersama dengan secuil kertas beriskan tulisan tangan Arjuna.Ketika dia melirik jam pada dinding, Renata terkejut karena jarum pendek sudah bergerak ke angka tujuh."Hah
"Ma-maksud Pak Arjuna?" tanya Renata ragu, karena dengan cepat otaknya langsung berpikiran kotor saat Arjuna berkata ‘temani'."Kamu mau, kan, dengarin saya curhat? Sepertinya akan lebih lega, kalau saya punya teman curhat," kata Arjuna, sambil terkekeh pelan.Oh Tuhan, jangankan kekehan, melihat senyumnya saja, Renata sudah tak tahan."Kamu nggak usah tegang, sini duduk dekat saya," ajaknya kemudian dan Renata pun melangkah pelan, lalu duduk di bangku panjang persis di sebelah Arjuna."Kalau boleh tau, kenapa Pak Arjuna belum pulang? Setahu saya, tadi bapak bilang mau pulang," ucap Renata, yang lebih dulu memecahkan keheningan."Pak Arjuna lagi ada masalah, ya?" selidik Renata. Entah kenapa, ia ingin mnengulik Arjuna lebih dalam."Saya bingung. Saya baru cerai dengan mantan istri saya satu bulan yang lalu," ucap Arjuna, memulai. "Dia selingkuh dengan pria lain, dan jelas itu melukai hati saya."Bahkan pria muda setempan dan seseksi Arjuna, plus juga sangat mapan, tetapi tidak menjadi
Keesokan paginya, Renata bekerja seperti biasa. Tak ada keterlambatan lagi, karena dia tak ingin atasannya itu marah. Lagipula Renata tidak bisa tidur, jadi tidak susah baginya untuk bangun pagi-pagi. Hampir semalaman dia berkutat dengan kenyataan tersebut, bahwa Arjuna sudah tertarik dengan Wanita lain. Dalam artian, cinta Renata bertepuk sebelah tangan. Kalau dipikir-pikir juga, mana mau seorang Arjuna yang tampan, seksi dan kaya mau berhubungan dengannya? Itu sangat tidak mungkin terjadi.Saat melihat Arjuna di dapur, pikiran Renata kembali pada ucapan pria itu, yang bercerita tentang sosok wanita yang disukainya. Walaupun rasanya sakit, menusuk hati Renata yang paling dalam, tetapi dia harus bisa menerimanya. Karena Renata bukan selera Arjuna. Renata yakin, bukan hanya dirinya yang terikat pesona duda keren itu.Arjuna masih sangat muda di usia tiga puluh tahun, karirnya bersinar dan Renata yakin Arjuna tahu kalau banyak wanita mengecapnya sebagai sarang duit. Hanya saja, Renata t