Share

Chef - 6

Renata langsung membuang semua angannya mengenai Arjuna. Dan lebih memilih memainkan nampan makan siangnya. Sesekali juga menggaruk tengkuknya karena rasa pegal yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya, dan dia juga merasakan tubuhnya yang sedikit hangat.

Mungkin ini efek dari hujan-hujanan dengan ojek online semalam.

"Ehem..." Arjuna berdeham sambil meraih segelas minumnputih, meneguknya dan meletakkan gelas kosong itu kembali.

Piring di hadapannya pun telah tandas. "Nggak makan, Re?"

"Eh? Hah? Nggak, Pak," respon Renata dengan pertanyaan Arjuna yang tiba-tiba.

"Kenapa?" tanya Arjuna yang terkesan menginteroasi.

Bukan terkesan lagi, bahkan Renata merasakan sedang diinterogasi oleh Arjuna. Suara datar dan dingin pria itu membuat Renata sedikit takut berhadapan dengan atasannya itu. Oke, ini berlebihan.

Tapi, itu memang benar! Renata benar-benar merasa jantungnya berdebar kencang. Bulir-bulir keringat sudah bermunculan di pelipisnya.

Hawa panas pun mulai menyeruak di kantin tersebut. Bagaimana tidak panas, chef jacket yang dikenakan Arjuna terbuka pada bagian atas. Entah itu disengaja atau tidak, yang jelas itu membuat Renata kembali berpikiran kotor.

"Kamu sakit?" selidik Arjuna sembari memandangi wajah Renata yang benar-benar pucat. Kedua matanya pun tampak sayu.

"Ah... nggak kok, Pak, saya baik-baik saja," jawab Renata.

"Re..." 'panggil Arjuna dengan suara pelan.

"Ya, Pak?" Renata mendongak dan terpaksa harus menatap wajah Arjuna.

"Sa-saya..."

"Duh, Pak, udah waktunya masuk ke dapur lagi. Saya duluan ya, Pak." Renata pun bangkit dari duduknya, lalu berlari meninggalkan kantin tersebut. Dan juga meninggalkan Arjuna yang masih duduk di tempatnya.

Arjuna menghela napas gusar. Dia merasa terlalu kaku dan gugup ketika berhadapan dengan Renata. Dan tentu saja dia merasa menjadi pria yang paling bodoh, karena tidak bisa membuat Renata peka terhadapnya.

☆☆☆☆☆

Sesampainya di dapur, Renata langsung saja memakai apron hitamnya. Dan kembali bekerja seperti biasa. Tak lama kemudian, Arjuna datang, dan suasan dapur yang tenang langsung berubah.

Suara-suara percakapan mendadak hilang, suara tawa apalagi, semua kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Renata menyadari kalau Arjuna meliriknya sekilas.

Pria itu masih tetap tampan dan seksi walaupun sudah memakai apron dan memegang pisau. Entah kenapa Renata lebih menyukai Arjuna yang seperti ini, walaupun wajah galaknya sama sekali tak dia sukai.

"Re," panggil Imelda yang kini tengah membuat ayam taliwang. "Wajah lo kok pucat, sih?"

"Hah? Gue nggak ngerasa apa-apa," jawab Renata, walaupun sebenarnya dia merasa sedikit pusing ketika berjalan menuju dapur.

"Lo yah... Eh, Re!!!" Imelda berteriak histeris begitu melihat Renata ambruk, dengan kedua mata tertutup.

Seluruh karyawan yang ada di dapur tersebut ikut panik, termasuk Arjuna.  Pria itu langsung menghampiri Renata yang sudah pingsan dan menggendongnya. Raut wajah khawatir tampak jelasndi wajah Arjuna, selama dalam perjalanan menuju klinik hotel.

Sayup-sayup, di tengah kesadarannya yang hilang timbul, Renata masih berusaha melihat siapa yang sedang menggendongnya.

Namun karena rasa pusing yang begitu mendominasi kepalanya, Renata menyerah, membiarkan dirinya terlelap begitu saja. Setidaknya dia tahu, bahwa yang menggendongnya saat ini adalah seorang pria tampan.

Arjuna pun menurunkan tubuh Renata yang lemas ke ranjang di klinik hotel. Imelda juga rupanya menyusul di belakang Arjuna, raut wajahnya juga tampak sama cemasnya.

Begitu melihat Imelda, Arjuna berusaha bersikap senormal mungkin, karena ia tidak ingin wanita itu curiga bahwa ia mulai tertarik pada Renata.

"Kamu bisa kembali bekerja," perintah Arjuna kepada Imelda.

"Biar dokter klinik yang menangani Renata."

"Tapi, Pak, saya khawatir sama kondisi Renata," bantah Imelda, yang tentu saja melanggar aturan bekerja.

"Saya jug... pokoknya kamu bisa kembali bekerja. Dan jangan membantah. Ini masih jam kerja!" tegas Arjuna.

Sepeninggal Imelda, dokter datang untuk memeriksa kondisi Renata. Setelah lima menit, dokter itu menyelesaikan pemeriksaan dan menatap Arjuna.

"Dia hanya kelelahan. Sebentar lagi juga akannsegera pulih," jelas dokter, yang membuat Arjuna bernapas lega.

Ketika akhirnya mereka tinggal berdua di dalam klinik tersebut, Arjuna menatap wajah Renata yang begitu cantik meskipun dia sedang terlelap. Lalu pandangannya bergerak menuju bibir mungil wanita itu, sangat sensual hingga Arjuna ingin menciumnya.

Namun niat itu ia urungkan, buru-buru ia membuang pikiran kotornya. Tetapi usahanya untuk membuat pikiran kotor itu gagal, saat kedua matanya menjelajahi bagian tubuh Renata yang begitu menggoda.

Payudara wanita itu terlihat besar dalam balutan chef jacket-nya yang begitu ketat.

Hingga pelan-pelan tangan Arjuna terulur, tergoda ingin meraba payudara Renata karena bisikan setan yang memasuki telinganya.

Tapi, tangan pria itu berujung hanya tergantung di udara. Di detik-detik terakhir ia berbuat nekat, ia tersadar. Terlalu bahaya jika ia berada dalam satu ruangan yang sama dengan wanita itu.

Mengingat Renata tadi tidak memakan apapun, Arjuna berinisiatif membelikannya roti sobek, air mineral dan minyak kayu putih.

Tak lupa, ia meninggalkan sebuah catatan di sana sebelum benar-benar meninggalkan Renata sendiri.

‘Jangan lupa rotinya dimakan, obatnya juga. Get well soon, Arjuna.’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status