“Kamu gapapa, kann? Bilang sama aku, kalau kenapa-kenapa.”Arsenio mendekap erat Andhira yang terkejut. Bayangkan saja, saat Arsenio akan berbelok, tiba-tiba dari belakang menabrak mobil milik Arsenio cukup kencang, dan membuat Arsenio otomatis menginjak rem, agar tidak menimbulkan kecelakaan.“Aku gapapa, pasti mobilnya mas Arsen rusak,” ucap Andhira menatap wajah Arsenio dari bawah.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Keselamatann kamu paling penting. Mobil kan tinggal dibawa ke bengkel, dan bisa jadi sempurna lagi. Kalau kamu? Gak gak.”Andhira membalas pelukan dari kekasihnya, menyandarkan kepalanya di dada bidang Arsenio. Jujur saja, dia memang terkejut dengan apa yang terjadi, keningnya tidak terbentur dashboard mobil, hanya syok.“Aku gapapa, cuma kaget aja,” ucap Andhira, diangguki oleh Arsenio. Kedua merenggangkan pelukan, menatap satu sama lain.“Masih jauh kedai es krim temen kamu itu?” tanya Arsenio, dijawab dengan menggelengkan kepala dari Andhira.Andhira menatap ruko d
“Perkenalkan, saya Cahyo Adiyatama, saya menemani nona selama berada tidak bersama dengan tuan Arsenio.”Andhira mengerjapkan kedua matanya saat melihat sosok laki-laki mengenakan kemeja putih, memiliki list hitam di lengan, dan dimasukkan ke dalam celana berwarna hitam. Lalu beralih menatap Arsenio yang tersenyum kepadanya.“Ini maksudnya gimana? Om Cahyo ini bodyguard aku?” tanya Andhira, dijawab dengan gelengan kepala.“Anggap saja sebagai temen kamu. Umurnya baru dua puluh lima tahun, tapi prestasinya dibidang bela diri gak perlu diragukan. Dia ini aku daftarin kuliah, satu kelas sama kamu,” jelas Arsenio, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Kok bisa?” tanya Andhira dengan bingung, sedangkan Arsenio terkekeh.“Kamu lupa? Aku ini deket sama petinggi kampus, jadi buat aku masukin Cahyo ini cukup mudah. Tinggal mengisi form, bayaran, masuk deh.”Andhira menatap Cahyo yang tersenyum tipis kepadanya, lalu menatap Arsenio, “Jadi, aku manggilnya apa? Om Cahyo aja yaa? Tapi aku
“Siapa? Gebetan kamu yang baruu? Wahh parah.”Andhira yang sedang menyalin ulang catatannya, mendongak, menatap Reno yang datang bersama dengan Darwis. Kedua sahabatnya itu menatap Cahyo yang duduk di kursi belakang Andhira.“Iya,” jawab singkat Andhira, dan kembali melanjutkan menyalin ulang catatan. Dia membiarkan Reno dan Darwis berfikiran buruk tentangnya. Sedangkan Cahyo hanya menampilkan ekspresi dingin.Reno menarik kursi di sisi kanan Andhira untuk mendekat, menarik buku binder milik Andhira, berhasil membuat sang empu menatapnya.“Jawab jujur, dia siapa?” tanya Reno penuh penakanan, menatap kedua netra milik Andhira.Andhira hanya bergeming, tidak menjawab dengan cepat pertanyaan yang diberikan oleh Reno. Dia selalu berhati-hati dalam berucap, apalagi saat ini mereka sedang dikampus, jadi dirinya menoleh kebelakang, dan mendapatkan Cahyo yang tersenyum.“Cahyo Adiyatama, tetangga barunya Andhira,” sahut Cahyo, membuat Reno dan Darwis menatap satu sama lain, sebelum akhirn
“GAK USAH DIOBATIN, PERIH BANGET.”Andhira memukul lengan Darwis yang sedang meneteskan obat merah di keningnya. Darwis hanya terdiam, tidak memperdulikan apa yang dikatakan oleh Andhira. Sedangkan Reno dan Cahyo menatap Andhira yang sedang diobati.“Mariam lagi coba cek cctv di depan, kali aja bisa tau siapa pelakunya,” ucap Reno kepada Andhira, sedangkan fokus Andhira terbagi menjadi dua.“Terus? AWW,” Andhira menatap tajam Darwis, “Kamu ada ada dendam apa sama aku? Gak usah diobatin, nanti juga sembuh sendiri.”“Andhira.”Seisi ruangan menatap Arsenio yang baru saja tiba, dan melangkahkan kaki menghampiri Andhira, mengambil alih obat merah yang digenggam oleh Darwis. Sedangkan Darwis beranjak, memberikan tempat untuk Arsenio.“Baru dateng?” tanya Andhira, dijawab dengan gelengan kepala. Hal itu membuat Andhira menaikkan sebelah alis, “Terus kemana aja? Nyasar ke rumah janda pirang?”Arsenio tidak menjawab, dia meniup luka di pelipis kanan Andhira, lalu menatap kedua bola mata mili
“Aku cape deh lama-lama, kita putus aja ya, Mas.”Andhira menatap Arsenio yang menatap tajam kepadanya, dirinya benar-benar tidak akan kuat, jika harus mendapatkan teror terus-terusan seperti saat ini. Dia hanya ingin hidup dengan normal, tanpa ada teror.“Kamu apaan sih, gak ada ya putus-putus. Kamu jangan lupain perjanjian, kamu harus menerima konsekuensinya dan mencari jalan keluarnya bersama dengan aku,” ujar Arsenio, menggenggam erat tangan Andhira.Andhira terkekeh, “Mas, aku gak sekuat itu. Ini aku gak dikasih nafas sehari dua hari gitu, cuma hitungan jam, udah dapat teror lagi. Kita break aja kalau giitu, aku gak ketemu sama mas Arsen, ataupun Amanda.”Arsenio menggeleng, jelas saja dirinya menolak. Baru saja dirinya merasakan memiliki pasangann yang memang tulus kepadanya dan Amanda, lalu harus istirahat?“Gak, Andhira. Aku gak akan biarin itu terjadi. Jangan mengambil keputusan dalam keadaann emosi,” ucap Arsenio dengan lembut, sedangkan Andhira bergumam. Mereka saat ini
“Dihh kemana nih duda satu? Dihubungi gak ada balesann sama sekali. Awas aja sampai nanti siang kalau masih tetep gak mau bales chat aku, gak angkat telfon aku, fix aku blokir nomornya.”Andhira menyimpan ponselnya di meja dengan tidak santai, lalu bersidekap dada. Dia saat ini sudah berada di kelas, bersama dengan Cahyo yang duduk di kursi belakang.“Pak Arsenio belum ada kabar juga?” tanya Cahyo dari kursinya, membuat Andhira menoleh dengan mata menyipit.“Chatnya bang Cahyo juga gak dibales? Ditelfon juga gak diangkat?” tanya Andhira bertubi-tubi. Sedangkan Cahyo bergumam, menatap Andhira yang menatapnya penuh curiga.“Benar. Saya kira, kamu sebagai pacarnya, dikabarin.”Andhira berdecak kesal, lalu memutar tubuhnya dengan perasaan yang kesal terhadap Arsenio yang mengabaikan pesan darinya. Dia membalikkan ponselnya menjadi kamera dibagian atas, dan layar ponsel bagian bawah.“Aku blokir sampai nanti sore gak ada kabar juga,” gerutu Andhira menatap ponselnya yang tergeletak begitu
“Halo, Andhira. Akhirnya kita bertemu.”Andhira mencengkram erat lengan Darwis, dan langsung mengumpat dibalik punggung Darwis. Reno dan Cahyo langsung memasang badan untuk Andhira.“Temen kamu beneran serem, Ren,” ucap Andhira dengan suara pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Reno yang berdiri di sisi kanan Darwis, sedangkan Cahyo di sisi kiri Darwis.“Bagaimana, Andhira? Kiriman yang aku kirim, kamu menyukainya?” tanya Manuel Maqueenza, seorang mafia yang pernah diceritakan oleh Reno.Andhira menaikkan sebelah alisnya, memikirkan pertanyaan yang diucapkan oleh Manuel. Lalu, menyadari beberapa hal, mungkin saja pelakunya memang Manuel, dan dimanipulasi oleh Manuel.“Kiriman?” tanya Reno, menatap Manuel dengan tatapan meminta penjelasan. Dirinya cukup bingung dengan pertanyaan yang diberikan oleh Manuel.Manuel terkekeh, “Reno … Reno … Aku kira, kamu ini cerdas. Bisa memahami situasinya. Bahkan, kamu tidak menyadari kalau kiriman yang diterima Andhira itu dari aku?” tanyanya, berhas
“Kesel banget hari ini. Pertama, pak Arsenio hilang tanpa kabar kek syaiton. Kedua, temennya Reno tiba-tiba dateng. Ada apa sih sama hari ini?”Andhira menusuk sepotong siomay dengan menggunakan sendok garpu, bibirnya terus mengoceh, wajahnya tidak bisa menutupi bahwa dirinya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sedangkan ketiga pria dewasa di sekitarnya hanya terdiam memperhatikan Andhira.“Aku minta maaf yaa, karena aku upload foto kamu, dia jadi ngeganggu kamu,” ucap Reno dengan penuh rasa bersalah, membuat Andhira menatapnya.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Aku gak habis fikir ajaa, kenapa cuma liat dari foto aja dia bisa bertindak senekat itu ….”“Kamu jangan lupain dia ini mafia, entah dia bandar narkoba, atau perdagangan manusia atau lain-lainnya. Bahkan yaa, kalau dia menemukan sehelai rambut yang mengganggunya, bisa dijadiin target dia,” timpal Cahyo, menatap Andhira.Pernyataan dari Cahyo, berhasil membuat Andhira terdiam. Jujur saja, perasaann takut sudah pasti sedang A