“Bisa ikut saya ke ruangan saya?”Darwis dan Reno yang sedang mengobrol pun mengalihkan atensi mereka saat mendengar suara Arsenio menyapa telinga mereka. Arsenio seperti menyadari Andhira tidak datang hari ini, rasa khawatir menyelimuti dirinya.“Pak Arsenio pasti mau ngobrolin tentang Andhira, kan?” tanya Reno kepada Arsenio, diangguki oleh Arsenio.Darwis menatap datar Arsenio, “Saya kira pak Arsenio lupa sama Andhira, hilang tanpa kabar selama tiga hari, terus sekarang dateng mau tau tentang Andhira?”Arsenio tersenyum tipis, “Saya tunggu di ruangan saya, karena saya akan menjelaskan semuanya.”Darwis dan Reno saling melempar pandang satu sama lain setelah Arsenio pergi dari hadapaan mereka, seolah sedang berbicara satu sama lain, dan akhirnya Darwis mengangguk. Keduanya beranjak, dan melangkah gontai secara beriringan untuk ke ruangan Arsenio.Tidak butuh waktu lama untuk Darwis dan Reno tibaa di depan ruangan Arsenio, bahkan langsung dipersilahkan masuk oleh Arsenio hanya denga
“Kekasihmu itu kabarnya sudah pulang dari luar kota, apa dia menghubungi kamu?”Andhira menggelengkan kepala, tanpa menoleh dan tanpa mengalihkan atensinya dari ponsel, bahkan mengabaikan Manuel yang duduk di sisi kanannya. Sudah terhitung 4 hari dirinya tinggal di rumah milik Manuel, dan dia merasa tidak nyaman.“Saya ingin pulang, kangen sama Papih,” ucap Andhira, menatap Manuel yang ternyata sedang menatapnya.“Yakin ketemu sama Papih kamu? Bukan mau ketemu sama kekasihmu itu?” tanya Manuel dengan penuh penekanan, dan menatap curiga Andhira.Andhira berdecak, dirinya merasa dikekang, padahal sudah jelas, Manuel hanya tetangganya dahulu, mengapa saat ini menyetir kehidupannya?“Ketemu sama papih saya. Gak percaya? Manuel yang saya kenal itu selalu percaya sama saya, jangan-jangan kamu Manuel palsu ya?” tanya Andhira balik, kedua maniknya meneliti pahatan wajah Manuel.“Dengan cara apa aku membuktikan kalau aku ini asli?”Andhira otomatis menarik wajahnya saat Manuel memajukan waja
“Kalian kok bisa masuk?”Andhira melangkah gontai menghampiri Darwis dan Reno yang duduk di sofa ruang tamu, lalu duduk diantara keduanya. Menatap silih berganti, menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Darwis ataupun Reno.“Bisa. Mereka nelfon Manuel, karena aku yang dateng, makanya diijinin masuk,” jawab Darwis, menatap Andhira, diam-diam memperhatikan kondisi sahabatnya itu.Andhira mengangguk, “Bawa aku pergi dong, gak mau disini. Hawanya panas, padahal pake pendingin ruangan,” ucapnya dengan suara pelan kepada Darwis.Darwis melirik Reno yang mengendikkan kedua bahu, menandakan tidak tahu apaa-apa, dan tidak bisa melakukan apapun. Reno tidak terlalu mengenal siapa Manuel, Darwis pun mengenal hanya dimasalalu.Andhira menatap Darwis dan Reno silih berganti, dirinya menatap penuh curiga kedua sahabatnya. Feelingnya mengatakan, mereka sedang merencanakaan sesuatu yang tidak diketahui olehnya.“Gak bisa, Andhira,” ucap Reno, lalu berbisik kepada Andhira, “Kamu gak liat? CCTVnya aja
“Segarnya, walaupun cuma bisa ke taman deket rumahnya sih Manuel, tapi gapapa deh.”Darwis yang duduk di bangku taman hanya memperhatikan Andhira yang berdiri depan sana dengan merentangkan kedua lengan dan wajah yang menatap langit. Ya, hanya mereka berdua, tanpa adanya Reno. Bukan karena tidak diizinkan, tetapi Reno pamit karena ada keperluan.“Aku jadi penasarann, Manuel itu kejam gak sih ke kamu?” tanya Darwis, membuat Andhira menoleh.“Gak. Dia ini pria mesum, katanya cuma ke aku aja sihh. Pernah waktu dimana yaa, aku kecolongan lupa kunci pintu, dia ini main masuk aja ke kamar. Untungnya aku masih selamat,” ucap Andhira, lalu duduk di sisi kiri Darwis.Darwis menoleh, memperhatikan sekitar, dan terdapat tiga pengawal yang diperintahkan oleh Manuel untuk mengawasi dirinya dan Andhira agar tidak kabur. Benar-benar seperti tahanan yang melakukan kesalahan paling berat.“Kalau kaya gini, aku ragu sama rencanya pak Arsen,” bisik Darwis dengan suara pelan, dan hanya didengar oleh Andh
“Kok cemberut sih? Kan mau ketemu sama papih kamu, senyum dong.”Andhira tersenyum terpaksa kepada Manuel, memang benar, dirinya akan diantarkan pulangg ke rumah Papih, tetapi tidak dengan persyaratan yang diberikan oleh Manuel tadi malam. Dirinya tidak boleh bertemu dengan Arsenio ataupun Amanda.“Udah, kan?”Manuel terkekeh, “Lucu banget sih. Udah siap, kan?” tanyanya, hanya dijawab dengan bergumam. Manuel menautkann jemarinya dengan jemari Andhira.Andhira hanya menurut, karena dirinya sedang capek dan tidak punya tenaga lebih. Saat keluar dari kamar, ekor matanya melirik kanan-kirinya tidak ada apa-apa, terlalu sepi rumah Manuel saat ini.Tadi malam Andhira berdebat dengan Manuel, perihal keinginannya yang ketemu dengan Papih dan tinggal bareng sama Papih. Awalnya ditolak oleh Manuel, tetapi akhirnya pria dewasa itu mengiyakan permintaan dari Andhira.Andhira merasakan lega, setidaknya setiap malam dia akan merasakan ketenangan jika tinggal bersama Papih atau Mamih. Rumah Manuel
“Apasih, Manuel. Saya gak mau pake.”Andhira melepaskan gelas berwarna hitam yang baru saja dipasang oleh Manuel pada pergelangan tangan kirinya, jelas saja dirinya menolak untuk menggunakan gelang tersebut. Sedangkan Manuel memasakan kembali gelang tersebut, lalu menatap tajam Andhira.“Aku gak terima penolakan, kamu pake atau dia gak selamat?”Andhira berdecak, “FINE!” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, menurut dengan Manuel bukan suatu masalah daripada Arsenio kenapa-kenapa. Manuel memang se-menyeram-kan itu.Manuel tersenyum manis, lalu mengetuk pintu rumah Papih. Matanya memperhatikan Andhira yang hanya menampilkan ekspresi datar. Hal itu membuatnya terkekeh, dan gemas dengan Andhira.Tidak butuh waktu lama, Papih membuka pintu dan Andhira langsung memeluk Papih cukup erat. Sedangkan Manuel menyalimi Papih, dan tersenyum kepada Papih.“Loh kok bisa sama Manuel?” tanya Papih bingung, menatap Andhira dan Manuel silih berganti.Manuel mengangguk, “Maaf yaa, Om. Andhira udah 4 hari
“Mamih beneran gak ada di rumah, Pih?”Arsenio menatap Amanda yang duduk di kursi penumpang sisi kirinya, tersenyum manis, mencoba untuk menenangkan putrinya yang khawatir dengan keadaan Andhira.“Katanya, lagi nginep di rumah temennya. Kamu gak perlu khawatir, disana pasti aman,” ucap Arsenio, membawa Amanda ke dalam dekapannya, tetapi kedua matanya menatap jendela kamar yang ada di lantai dua.Kedua matanya sekilas melihat Andhira sebelum akhirnya lampu kamar padam, Arsenio tidak tahu, apakah sosok tersebut memang benar Andhira atau hanya halusinasinya saja. Entah, dia tidak terlalu mengambil pusing.“Apa mamih marah sama aku?” tanya Amanda pelan, membuat Arsenio merenggangkan pelukannya. Kedua mata mereka saling menatap satu sama lain, Amanda tersenyum tipis.Arsenio menggelengkan kepala, “Lebih baik kita pulang, secepatnya papih akan membawa calon mamih kamu balik ya.”“MAKASIH, PAPIHH.”***“Jadi, Andhira beneran udah pulang ke rumah papihnya?” tanya Arsenio kepada Darwis yang du
“Akuu? Balik lagi ke rumahnya Manuel? Kamu udah gila!”Darwis memejamkan kedua matanya saat Andhira terbawa emosi. Dirinya terpaksa, tidak ingin melibatkan Andhira, tetapi tidak ada jalan lain. Hal ini sudah dia prediksi sebelumnya, dan kembali teringat ucapan Arsenio.Darwis menghela nafas, menatap Andhira yang hanya menampilkan ekspresi datar. Dia berkata, “Gak ada cara lain selain kamu kembali ke sana, dan menguliknya sendiri.”“Gak. Gila aja, aku mengajukan diri lagi ke Manuel? Gak.”Mereka saat ini berada di rumah Papih, hanya ada mereka berdua, dan rumah ini tempat ternyaman untuk berbicara berdua. Memang keadaan yang sulit untk mereka, terutama Andhira. Melawan Manuel tidak mudah, harus punya taktik yang tidak sembarangan.“Kamu milih buat dipantau terus sama Manuel? Kamu gak kangen sama pak Arsen? Gak kangen sama Amanda?”Andhira bergeming, sahabatnya itu menyebut nama dua orang yang selalu dia rindukan hingga saat ini. Tetapi menggeleng saat mengingat Arsenio yang tiba-tiba