Seorang warga desa masuk ke dalam ruangan tempat dimana para sesepuh berkumpul. Dengan wajah panik dan nafas tersengal dia menghadap sang demang.
"Tuan Demang, di gerbang desa! Gerbang desa!" Tangannya menunjuk nunjuk ke arah luar, nafasnya masih sedikit tersengal.
Raut muka Demang Yasa mengkerut, ada apa gerangan di gerbang desa.
"Kenapa dengan gerbang desa?" Ujarnya."Di gerbang desa tuan. Ada sebuah gerobak kuda, isinya seorang wanita hamil lagi pingsan! Pakaiannya penuh bercak darah dan ada luka di tubuhnya."
Demang Yasa sedikit mengernyit, "Sekarang dimana wanita itu?"
"Wanita itu sudah dibawa sama beberapa warga ke rumah Mbah Kunti." Jawabnya.
"Antarkan aku kesana sekarang! Ki Jogoboyo, tolong urus pemakaman ketiga mayat disini. Para sesepuh dan yang lainnya, ikut aku ke rumah Mbah Kunti. Pembicaraan ini aku tunda sampai kita disana!" Perintah Demang Yasa sambil beranjak keluar ruangan.
Para sesepuh dan pejabat kademangan mengikuti berjalan di belakang sang demang, hanya menyisakan beberapa orang yang masih di dalam ruangan.
Di dalam rumah Mbah Kunti sudah ada beberapa warga saat Demang Yasa tiba. Bau rempah rempah tercium dari balik bilik ruangan. Para wanita paruh baya sibuk berlalu lalang keluar masuk rumah. Sementara di halaman rumah, seorang lelaki tua renta duduk di balik dinding rumah sedang melamun.
Wanita hamil yang dikabarkan pingsan kini sudah siuman, tengah duduk di balai balai ditemani dua orang wanita paruh baya. Wajahnya putih pucat, tatapan matanya kosong. Rambutnya yang acak acakan terurai, menutup sebagian bercak darah di bagian punggung.
Sementara luka dan bercak darah di bagian depan tampak jelas terlihat, bercampur debu dan tanah, membuat wanita itu terkesan seperti orang gila yang tengah melakukan percobaan bunuh diri.
Dua orang wanita paruh baya disampingnya tengah berusaha mengeluarkan anak panah yang menancap di lengan si wanita. Darah segar terus mengucur saat anak panah berhasil terlepas, langsung dibalut dengan dedaunan obat.
Raut wajah sang wanita hamil tidak menunjukkan rasa sakit saat anak panah di lengannya dicabut. Seakan urat sarafnya sudah putus, wajahnya yang cantik hanya diam dengan ekspresi datar. Matanya yang menerawang dan bibir yang pucat menandakan wanita itu tengah dlanda trauma yang sangat hebat.
Demang Yasa dan para pengikutnya yang melihat kondisi sang wanita terdiam. Ada apa gerangan yang terjadi dengan wanita itu? Apa yang membuatnya berada dalam kondisi mengenaskan itu?
Pertanyaan pertanyaan itu tak pelak membuat sang demang terpikir dengan kejadian yang baru saja mereka bahas. Dia segera mengaitkan dengan serangan teror yang dilakukan oleh gerombolan perampok Tanduk Api.
"Mbok Yah, bagaimana kondisinya?" Bisik sang demang kepada salah satu wanita paruh baya.
"Tunggu sejenak tuan demang, tunggu sampai dia tenang. Kelihatannya dia masih sangat tegang dan trauma." Jawab sang wanita paruh baya.
Demang Yasa mengamati sang wanita, ada sesuatu yang membuatnya takjub. Ditengah trauma dan penderitaan yang dialami si wanita, keajaiban bahwa janin di dalam rahimnya yang sudah sangat besar masih selamat.
Kelihatan dari matanya yang sayu masih sedikit ada jiwa ingin melindungi sesuatu yang dia cintai.
Beberapa saat Demang Yasa mengamati sang wanita, dia lantas mengikuti para pengikutnya keluar dari bilik. Dia pun ikut menunggu sang wanita benar benar sadar, baru dia masuk lagi ke dalam.
Waktu sudah berjalan cukup lama. Sang demang dan para pengikutnya masih berdebat hebat di luar rumah Mbah Kunti. Mereka masih membahas tentang penyerangan yang dilakukan oleh gerombolan Tanduk Api. Beberapa warga yang lain pun ikut berkumpul di sekitar mereka.
Sebagian ingin segera bertindak, mereka diketuai oleh Darwis dan Joko Seno. Kebanyakan dari mereka adalah para prajurit kademangan dan para pemuda desa. Di tengah kademangan yang selama ini damai, mereka seperti mengharapkan sebuah aksi untuk melampiaskan tenaganya. Ditambah keadaan yang mendadak itu menyulut semangat dan antusias mereka.
Sementara sebagian lainnya ingin agar mereka tidak terburu buru melampiaskan amarah. Kebanyakan dari mereka ini adalah para sesepuh yang sudah berumur, didalangi oleh Ki Nambi. Mereka menyarankan untuk menunggu bertujuan untuk mengumpulkan informasi terlebih dahulu tentang kekuatan musuh. Disini mereka berpendapat bahwa kekuatan musuh tidak kalah kuat dibanding kekuatan dari kademangan sendiri.
Lama mereka berdebat, Mbok Yah keluar dari rumah Mbah Kunti. Dia lantas membisikkan sesuatu ke telinga sang demang. Sambil mengangguk kemudian sang demang segera beranjak dari sana.
Mbok Yah keluar dari rumah dan membisikkan sesuatu ke telinga Demang Yasa. Dengan tenang lalu sang demang beranjak dari sana."Ki Nambi, Ki Tarso, Darwis, ikut aku masuk ke dalam. Sisanya tetap disini, kita bahas lagi setelah ini." Perintah sang demang kepada para pengikutnya.Keempat lelaki segera masuk ke dalam rumah, mengikuti sang wanita paruh baya.Di dalam bilik, wanita hamil itu tengah menangis tersedu sedu. Matanya sayu, dan tubuhnya sedikit menggigil. Tangannya tak henti menghapus air mata yang terus keluar.Kondisi wanita itu sudah mulai membaik dari sebelumnya. Tubuhnya penuh dengan balutan kain, sepertinya luka di tubuhnya sudah diobati, tercium dari bau ramuan tanaman obat yang sangat khas. Dia sudah diberi pakaian ganti yang lebih bersih.Mbok Yah melirik kearah sang demang, kemudian mengangguk. Seakan diberi kode, sang demang perlahan mendekati wanita muda itu. Di lantas duduk bersila dihadapan sang wanita."Nak, saya Demang Yasa, p
Sambil menghela nafas, kini Demang Yasa mulai menemukan titik terang dari semua informasi yang dia dapat. Dia kini dapat menyimpulkan kenapa dan bagaimana para perampok Tanduk Api yang biasanya menyerang wilayah Gunung Rahastra bisa berada di wilayah Janti.Penyerangan yang selama ini dilakukan oleh para perampok itu tak lain tujuannya adalah untuk menemukan gulungan kitab itu. Karena mereka tidak tahu siapa yang mengambil gulungan tersebut, maka mereka mencurigai suami dari Rantini yang berpapasan di hutan. Disitulah awal mula mereka menyerang semua desa di dekat hutan."Nak Rantini, sekarang ananda sudah aman disini. Beristirahatlah dengan tenang, pulihkan tenaga dan pikiran. Istri demang, Nyi Aluh, sebentar lagi kemari untuk menemani ananda. Mbok Yah dan Mbah Kunti juga selalu disini untuk menemani ananda.""Terima kasih tuan demang." Rantini kini sudah mulai tenang.Setelah memberikan perintah dan pesan kepada Mbok Yah dan Mbah Kunti, Demang Yasa dan Darw
Demang Yasa mencoba untuk menahan amarah, dia tampak tenang."Ada apa dengan sikap kalian ini? Datang kemari dengan senjata penuh darah di tangan. Siapa yang tahu sudah berapa banyak yang kalian sakiti. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud, dan aku harap kalian segera pergi dari sini! Kalian tidak diterima di sini!" Tegas sang demang."Hahaha... Tuan demang tidak usah mengalihkan pembicaraan. Saya harap tuan segera menjawab pertanyaan saya.""Kau berani mengancamku?""Cuih... Andaka, tak usah basa basi lagi. Langsung saja kita hajar mereka! Semakin cepat kita mendapat gulungan itu, semakin cepat pula kita pulang ke markas. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi para gadis yang sudah kita tangkap." Sela lelaki kelabu dibelakang sang lelaki gemuk.Mendengar hal itu wajah Demang Yasa kian memerah menahan amarah. Dalam hatinya semakin dingin, dia ingin segera menghajar para perampok itu. Namun disisi lain, kesadarannya terus mengingat para warga desa yang l
Sesaat Andaka dan anak buahnya mulai mundur, dari arah pepohonan muncul beberapa orang misterius yang segera datang mengepung pasukan Janti. Seorang lelaki kekar dengan bekas luka di pelipis mata berjalan ke arah Demang Yasa. Dia tertawa, dan tawanya sangat berat mengerikan."Kakak! Kau datang juga akhirnya. Sekarang si tua bangka ini bisa kita habisi bersama." Cicit Andaka."Hahaha... Memalukan sekali kau Andaka, hanya melawan satu orang tua saja sudah kewalahan. Sekarang menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya.""Baik kak." Andaka segera menyingkir, wajahnya memerah."Muncul juga sang kepala ular. Namamu Jalada kan? Sekarang rasakan seranganku ini!" Teriak Demang Yasa.Tanpa pikir panjang Demang Yasa langsung menyerang Jalada, sang pemimpin perampok Tanduk Api. Pedangnya mengarah tepat ke perut Jalada, siap menyobek kulit dan dagingnya.Dengan segenap tenaga Jalada berusaha menghindari serangan itu. Lantas dikeluarkannya sebuah golok dari sar
Di sudut pusat kademangan, enam orang misterius berlari dari luar. Di belakang mereka dua jasad sudah terbujur kaku bersimbah darah.Beberapa saat mereka berlari, salah satu dari mereka memberi kode, lantas mereka berpencar. Satu orang yang memberi kode memisahkan diri berlari ke suatu arah. Sisanya lima orang menuju ke sebuah rumah yang terdapat dua penjaga di halamannya.Satu orang yang memisahkan diri berlari ke sebuah rumah joglo paling besar. Di pendopo rumah tersebut ada empat orang yang tengah berjaga. Berbeda dengan sudut sudut terluar pusat kademangan, rumah tersebut tidak ada penerangan yang cukup. Hanya ada dua obor di depan pintu rumah dalam dan obor obor yang dibawa para penjaga.Sesaat satu sosok tersebut berlari kearah keempatnya. Tanpa kata dia mengeluarkan sebuah cambuk yang langsung diayunkan kearah salah satu penjaga.Para penjaga yang mengira satu sosok tersebut adalah warga Janti pun merasa kaget. Mereka terlambat menghindar. Serangan
Sang wanita berhasil keluar gerbang desa, dia sama sekali tidak memikirkan nasib kelima rekan yang ditinggalkannya. Dia pun melihat Demang Yasa dan Jalada masih bertarung sengit di luar gerbang desa, dia lantas menghampirinya.Cukup dekat wanita itu berada, dia melakukan beberapa sentakan tangan. Dua buah pisau melayang kearah Demang Yasa.Sang demang yang tidak melihat kedatangan si wanita merasa ada yang tidak beres, intuisinya mengatakan kalau dia sedang berada dalam bahaya. Dengan reflek yang cukup cepat sang demang melompat mundur beberapa langkah.Benar saja, dua buah pisau melayang tepat melewati tempat Demang Yasa berdiri sebelumnya. Pisau itu terus melaju sampai akhirnya menancap di pohon.Sejenak setelah melancarkan serangannya, si wanita berlari mendekati Jalada. Dia memperlihatkan sebuah bungkusan besar kepada Jalada, mulutnya tersenyum lebar. Jalada yang melihat bungkusan itu pun lantas tertawa keras. Dihampirinya wanita itu dan dipeluknya.
"Niti, ada apa?" Tanya sang demang kepada si remaja."Begini tuan demang, saya disuruh Nyi Aluh untuk meminta tuan demang menemui beliau di rumah Mbah Kunti."Ada apa gerangan di rumah Mbah Kunti, pikir sang demang. Tanpa basa basi lagi dia segera bergegas menuju ke rumah Mbah Kunti, diikuti oleh si remaja dan Ki Nambi.Sampai disana, Demang Yasa merasa ada yang aneh dan ganjil. Dari kejauhan tampak rumah Mbah Kunti agak sedikit rusak di bagian depan, dinding rumah yang terbuat dari bambu hancur. Semakin mendekat, terlihat lima mayat berpakaian hitam tergeletak di depan rumah.Kondisi mereka sangat aneh, mata mereka terbelalak dengan pupil mata yang memutih, bekas darah kering menempel dari sela mata.Entah apa yang sudah terjadi, sang demang pun segera menuju ke dalam rumah. Sesaat di depan rumah dia mendengar suara tangis bayi, membuatnya jadi menduga duga. Di dalam, dia segera disambut oleh beberapa wanita paruh baya yang sibuk kesana kema
Sepuluh tahun telah berlalu sejak penyerangan di pusat Kademangan Janti, warga desa pun sudah hampir melupakan kejadian itu. Jasad para warga dan prajurit yang tewas dalam pertempuran sudah lama dikuburkan. Setiap tahun para warga mengenang para korban yang gugur dengan membawa sesajen ke makam mereka.Sementara itu Mbah Bogel yang misterius menghilang begitu saja tanpa jejak. Kakek tua itu sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Warga desa yang mencarinya kemana mana sama sekali tidak pernah menjumpai sosok tersebut. Namun satu hal yang pasti, beberapa hari setelah Mbah Bogel menghilang, para warga yang dahulu sering memberinya makan dihebohkan dengan ditemukannya sekantong perhiasan dan kepeng emas di rumah mereka masing masing.Kini, berkat penemuan itu, para warga secara bersuka rela memberikan sebagian harta itu kepada Demang Yasa. Jumlah yang diberikan warga jauh melebihi jumlah emas dan perhiasan yang dicuri oleh para perampok. Hal itu tentu tidak disia siaka