Di sudut pusat kademangan, enam orang misterius berlari dari luar. Di belakang mereka dua jasad sudah terbujur kaku bersimbah darah.
Beberapa saat mereka berlari, salah satu dari mereka memberi kode, lantas mereka berpencar. Satu orang yang memberi kode memisahkan diri berlari ke suatu arah. Sisanya lima orang menuju ke sebuah rumah yang terdapat dua penjaga di halamannya.
Satu orang yang memisahkan diri berlari ke sebuah rumah joglo paling besar. Di pendopo rumah tersebut ada empat orang yang tengah berjaga. Berbeda dengan sudut sudut terluar pusat kademangan, rumah tersebut tidak ada penerangan yang cukup. Hanya ada dua obor di depan pintu rumah dalam dan obor obor yang dibawa para penjaga.
Sesaat satu sosok tersebut berlari kearah keempatnya. Tanpa kata dia mengeluarkan sebuah cambuk yang langsung diayunkan kearah salah satu penjaga.
Para penjaga yang mengira satu sosok tersebut adalah warga Janti pun merasa kaget. Mereka terlambat menghindar. Serangan itu pun mampu mengenai salah satu dari mereka. Penjaga tersebut terpental, mengakibatkan luka yang agak dalam.
Tiga orang penjaga lain segera menyerang sosok tersebut. Salah satu dari mereka mengayunkan sebuah obor ke arah sosok tersebut. Terlihat sekilas bahwa sosok penyerang tersebut adalah seorang wanita.
Tanpa basa basi ketiganya mengepung sang wanita. Dengan pedang dan keris di tangan kanan, dan obor di tangan kiri, mereka berusaha membekuk musuh.
Wanita itu dengan lincah memainkan cambuknya, tubuhnya luwes menghindari serangan para penjaga. Salah satu penjaga yang lengah pun terkena cambuk dari si wanita, dia pun terpental sama seperti penjaga pertama. Lukanya juga cukup dalam, tidak hanya goresan namun sayatan menganga yang membuat darahnya terus keluar mengalir.
Setelah berhasil melumpuhkan dua orang, si wanita melancarkan tendangan kearah penjaga terdekat. Serangan itu berhasil ditahan dengan pedang saat tiba tiba si wanita melemparkan sebuah pisau kecil yang mengarah tepat ke kepala sang penjaga.
Si penjaga kaget dengan serangan rahasia tersebut. Pisau itu menancap tepat di keningnya, membuatnya rubuh dan kehilangan nyawa.
Satu orang penjaga terakhir segera melanjutkan serangan, diayunkan pedangnya untuk menebas leher lawan. Sambil agak menunduk si wanita menghindari serangan tersebut, lantas mengayunkan cambuknya yang segera melilit tubuh si penjaga. Satu sontakan saja si penjaga ditarik oleh si wanita, lalu dengan cepat dihujamkannya sebuah pisau ke dada penjaga terakhir.
Berhasil melumpuhkan keempat penjaga, si wanita tersebut segera masuk kedalam rumah. Agak lama dia di dalam, saat keluar dia terlihat membawa sebuah bungkusan besar. Senyum sinis tergantung di bibir saat melihat seorang penjaga yang terluka masih hidup.
Dilemparkannya sebuah pisau tepat menancap di wajah sang penjaga. Dia pun lantas keluar dari rumah besar tersebut. Tak berselang lama rumah besar itu kembali senyap dengan meninggalkan empat mayat di pendopo.
Sosok wanita itu segera berlari kembali menuju kearah kelima rekannya berada. Belum sampai dia kesana, wanita itu melihat sebuah cahaya hijau aneh menyala dari arah rumah. Cahaya itu hanya sekejap saja bersinar lalu menghilang.
Si wanita yang sudah berada dekat dengan rumah yang didatangi kelima rekannya tiba tiba melihat salah satu rekannya terlempar keluar dari rumah. Bukan hanya terlempar biasa, namun rekannya itu seakan terbang melayang agak jauh dari rumah.
Wanita itu kaget bukan main melihat hal tersebut. Langkahnya pun terhenti. Dia kini mulai berpikir tentang keanehan tersebut.
'Ada apa ini? Kenapa dia bisa terlempar sampai sedemikian jauh? Apa ada penjaga yang sangat kuat di rumah itu? Ataukah ada orang sakti yang muncul?' Pertanyaan itu muncul dalam benaknya.
Tanpa pikir panjang lagi, wanita itu pun langsung berlari kabur menjauhi rumah menuju ke arah gerbang desa.
Sementara itu di gerbang desa pertempuran masih berlangsung sengit. Baik itu di luar gerbang, maupun di area dalam, orang orang masih bertarung satu sama lain. Banyak mayat bergelimpangan, bercampur antara manusia dan kuda, senjata tergeletak dimana mana.
Sosok sang wanita berhasil kabur dari rumah tadi. Dia berlari pelan sambil menyerang penjaga yang ada dihadapannya. Setiap ayunan cambuknya melukai satu orang, namun dia tidak peduli dengan itu. Wanita itu terus saja berlari keluar gerbang, tidak melihat apakah lawannya sudah tewas ataukah masih hidup.
Sang wanita berhasil keluar gerbang desa, dia sama sekali tidak memikirkan nasib kelima rekan yang ditinggalkannya. Dia pun melihat Demang Yasa dan Jalada masih bertarung sengit di luar gerbang desa, dia lantas menghampirinya.Cukup dekat wanita itu berada, dia melakukan beberapa sentakan tangan. Dua buah pisau melayang kearah Demang Yasa.Sang demang yang tidak melihat kedatangan si wanita merasa ada yang tidak beres, intuisinya mengatakan kalau dia sedang berada dalam bahaya. Dengan reflek yang cukup cepat sang demang melompat mundur beberapa langkah.Benar saja, dua buah pisau melayang tepat melewati tempat Demang Yasa berdiri sebelumnya. Pisau itu terus melaju sampai akhirnya menancap di pohon.Sejenak setelah melancarkan serangannya, si wanita berlari mendekati Jalada. Dia memperlihatkan sebuah bungkusan besar kepada Jalada, mulutnya tersenyum lebar. Jalada yang melihat bungkusan itu pun lantas tertawa keras. Dihampirinya wanita itu dan dipeluknya.
"Niti, ada apa?" Tanya sang demang kepada si remaja."Begini tuan demang, saya disuruh Nyi Aluh untuk meminta tuan demang menemui beliau di rumah Mbah Kunti."Ada apa gerangan di rumah Mbah Kunti, pikir sang demang. Tanpa basa basi lagi dia segera bergegas menuju ke rumah Mbah Kunti, diikuti oleh si remaja dan Ki Nambi.Sampai disana, Demang Yasa merasa ada yang aneh dan ganjil. Dari kejauhan tampak rumah Mbah Kunti agak sedikit rusak di bagian depan, dinding rumah yang terbuat dari bambu hancur. Semakin mendekat, terlihat lima mayat berpakaian hitam tergeletak di depan rumah.Kondisi mereka sangat aneh, mata mereka terbelalak dengan pupil mata yang memutih, bekas darah kering menempel dari sela mata.Entah apa yang sudah terjadi, sang demang pun segera menuju ke dalam rumah. Sesaat di depan rumah dia mendengar suara tangis bayi, membuatnya jadi menduga duga. Di dalam, dia segera disambut oleh beberapa wanita paruh baya yang sibuk kesana kema
Sepuluh tahun telah berlalu sejak penyerangan di pusat Kademangan Janti, warga desa pun sudah hampir melupakan kejadian itu. Jasad para warga dan prajurit yang tewas dalam pertempuran sudah lama dikuburkan. Setiap tahun para warga mengenang para korban yang gugur dengan membawa sesajen ke makam mereka.Sementara itu Mbah Bogel yang misterius menghilang begitu saja tanpa jejak. Kakek tua itu sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Warga desa yang mencarinya kemana mana sama sekali tidak pernah menjumpai sosok tersebut. Namun satu hal yang pasti, beberapa hari setelah Mbah Bogel menghilang, para warga yang dahulu sering memberinya makan dihebohkan dengan ditemukannya sekantong perhiasan dan kepeng emas di rumah mereka masing masing.Kini, berkat penemuan itu, para warga secara bersuka rela memberikan sebagian harta itu kepada Demang Yasa. Jumlah yang diberikan warga jauh melebihi jumlah emas dan perhiasan yang dicuri oleh para perampok. Hal itu tentu tidak disia siaka
Diujung, di dekat jendela, seorang lelaki misterius duduk menghadap makanannya. Lelaki itu mengenakan jubah agak kecokelatan, dan rambutnya sangat panjang menjuntai menutup punggung. Rambut bagian depannya menutupi hampir seluruh mukanya, hanya tampak dua bola mata tajam dan bibir tipis dari sela rambut. Sebuah caping dan pedang besar tergeletak di samping makanannya.Wajah lelaki itu menunduk, seolah tidak peduli dengan sekitarnya. Walau begitu, rupanya dia sedari tadi menguping pembicaraan beberapa orang tadi. Beberapa kali dia mencuri pandang kearah meja yang ramai dengan orang orang.Lelaki misterius ini berpikir dalam hati, siapakah Jalada yang dimaksud orang orang ini. Dari mendengar pembicaraan tersebut, muncul berbagai pertanyaan di benaknya. Salah satu yang dipikirkannya adalah tentang Jalada yang tampaknya lebih kuat dari para demang.Setahu dia, para demang biasanya memiliki ilmu tenaga dalam mumpuni, dan sudah berada lebih dari tahap keempat. Apakah
Janu, si anak kecil yang dilatih oleh Demang Yasa, tak lain tak bukan adalah bayi dari Rantini. Setelah ibunya meninggal saat melahirkan, bayi Janu diambil oleh Mbah Kunti untuk dibesarkan. Satu tahun kemudian Mbah Kunti meninggal karena usia. Sejak saat itu dia dirawat oleh keluarga sang demang dan Mbok Yah.Disini walaupun Janu dirawat oleh sang demang, namun dia tetap tinggal di rumah Mbah Kunti. Sesekali Mbok Yah dan Nyi Aluh bergantian ke rumah Mbah Kunti untuk merawat Janu.Janu pun juga sudah menyadari kalau kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Dia sudah diberitahu tentang cerita sepuluh tahun yang lalu. Dia juga tahu tentang Mbah Kunti, para perampok Tanduk Api, dan Mbah Bogel yang misterius. Sesekali dia pun pergi ke makam ibunya untuk sekedar membersihkannya.Janu bisa bertahan hidup selama ini berkat pertolongan sang demang. Oleh karena itu dia mencoba untuk ikut bekerja di rumah sang demang. Terutama sejak kematian Mbok Yah lima tahun lalu dan N
Awan tebal menyelimuti mentari pagi saat Janu keluar dari rumah Mbah Kunti. Dengan berbekal parang, sebuah kain, dan seutas tali dari rotan, dia siap berangkat ke hutan. Seperti biasa, setiap pagi dia mencari kayu bakar, buah buahan, rempah, dan tanaman obat di hutan.Di depan rumah, dia sudah ditunggu oleh salah satu kawannya untuk pergi ke hutan bersama. Anak itu bertubuh pendek, dan berusia sekitar delapan tahun. Dengan raut muka yang berseri seri dan pipi yang bulat penuh, membuatnya terlihat menggemaskan."Kak Janu, hari ini kita mau cari kayu dimana?" Tanya anak itu malu malu."Kemarin kita sudah ke Sungai Jambon, sekarang kita coba ke timur, ke Bukit Siloyo. Disana kan banyak pohon mangga tumbuh, siapa tahu sudah ada yang berbuah." Saran Janu.Belum lima langkah mereka berjalan, Janu berhenti sejenak. Sambil menatap anak itu, Janu bertanya, "Tunggu sebentar Wulung! Tarok, Basma, dan yang lain kok tidak kelihatan? Kemana mereka?""Eh, anu kak, emm
"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa yang lebih kuat diantara kita." Ucap Jalada dengan angkuh."Sombong sekali! Sepuluh tahun lalu kau tidak bisa mengalahkanku. Sekarang pun anjing macam kau ini masih tidak pantas menjadi tandinganku!" Ujar sang demang dengan nada emosi.Senyum sinis tergambar di bibir Jalada, dia menoleh kepada kawanannya, "Anak buahku, lihat orang tua ini! Lihat bagaimana nanti dia mati! Tapi sebelumnya, aku ingin dia melihat bagaimana Janti yang dicintainya ini hancur, hahaha..."Mendengar tawa Jalada, amarah sang demang semakin memuncak. Tanpa kata, dia melompat menyerang Jalada yang masih berada diatas kudanya. Dengan gerakan cepat, sang demang hendak memukul kepala Jalada, namun dengan mudahnya lelaki itu menghindari serangannya. Jalada menghindar sambil melompat turun dari kudanya.Para penunggang kuda yang lain segera mundur untuk memberi tambahan ruang gerak bagi keduanya. Mereka tampak tenang menonton sang pemimpin bertarung deng
Janu sedang bersantai saat Wulung berkata kalau desa sedang dalam masalah. Dia pun menoleh ke arah desa. Tampak asap tebal mengepul dari arah desa.'Ada yang tidak beres.' Batinnya."Wulung, sepertinya ada kebakaran besar di desa. Ayo kita segera kembali!" Ajaknya sambil mengemas barang barangnya.Seusai mengemas perlengkapan dan kayu bakar, mereka segera berlari menuruni bukit ke arah desa. Sepanjang jalan, pikiran mereka berkecamuk, khawatir dengan kondisi desa.Tidak peduli dengan duri dan kerikil tajam, mereka terus saja berlari. Rasanya mereka ingin segera sampai ke desa. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi disana, kenapa ada kebakaran, dan apa penyebabnya.Sampai di penghujung desa, mereka melihat api sudah membubung tinggi di sekitarnya. Sontak mereka pun melepas kayu bakar yang digendongnya, lalu memanjat melewati pagar desa, masuk ke dalam desa.Sampai ke dalam desa mereka melihat rumah rumah warga tersambar api. Beberapa rumah mere