Janu sedang bersantai saat Wulung berkata kalau desa sedang dalam masalah. Dia pun menoleh ke arah desa. Tampak asap tebal mengepul dari arah desa.
'Ada yang tidak beres.' Batinnya.
"Wulung, sepertinya ada kebakaran besar di desa. Ayo kita segera kembali!" Ajaknya sambil mengemas barang barangnya.
Seusai mengemas perlengkapan dan kayu bakar, mereka segera berlari menuruni bukit ke arah desa. Sepanjang jalan, pikiran mereka berkecamuk, khawatir dengan kondisi desa.
Tidak peduli dengan duri dan kerikil tajam, mereka terus saja berlari. Rasanya mereka ingin segera sampai ke desa. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi disana, kenapa ada kebakaran, dan apa penyebabnya.
Sampai di penghujung desa, mereka melihat api sudah membubung tinggi di sekitarnya. Sontak mereka pun melepas kayu bakar yang digendongnya, lalu memanjat melewati pagar desa, masuk ke dalam desa.
Sampai ke dalam desa mereka melihat rumah rumah warga tersambar api. Beberapa rumah mereka lewati sebelum mendapati tujuh jasad tergeletak di samping salah satu rumah. Jasad jasad itu masih segar dan berdarah darah.
Kaget dengan apa yang mereka temukan, keduanya membelalakkan mata. Keduanya lantas memberanikan diri mendekati jasad jasad itu. Semakin kaget mereka berdua, salah satu dari mayat itu rupanya adalah jasad teman mereka yang biasanya ikut berlatih di rumah sang demang.
Kedua anak itu pun sontak menangis, hati mereka sedih. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk terus berjalan. Beberapa kali mereka menghindari reruntuhan rumah yang masih terbakar.
Sepanjang itu pula mereka kian menjumpai lebih banyak mayat yang bergelimpangan. Disana mereka juga menjumpai beberapa mayat yang tewas terbakar dalam kondisi hitam legam dan tak dapat dikenali lagi.
Beberapa saat mereka berjalan, tiba tiba si kecil Wulung berlari menuju ke sebuah rumah yang masih terbakar. Di depan sana ada sesosok jasad tergeletak tak bernyawa. Sambil menangis, Wulung mendekati sosok tersebut, hatinya kian pedih.
"Paman Jatnayu, huhuhu..." Sambil terduduk dia menangis meratap.
Janu mendekati tiga mayat lainnya yang tergeletak tidak jauh dari jasad Paman Jatnayu. Mereka semua adalah kerabat dekat Wulung, yang menjaganya selama setahun terakhir. Terlihat sayatan pedang mengoyak tubuh ketiganya.
Dengan sekuat tenaga Janu kemudian menyeret ketiga mayat itu bergantian menjauhi rumah yang terbakar. Setelah itu dia mendekati Wulung yang masih menangis di depan jasad sang paman. Ditepuknya pundak anak itu, dia hanya bisa diam. Kini Janu terbayang, memikirkan kondisi kakek demang. Terbersit pertanyaan dimana sang kakek, dimana para prajurit Janti, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa saat kemudian, dia mengajak Wulung untuk mengangkat jasad Paman Jatnayu. Dibawanya jasad itu ke samping tiga mayat lainnya.
Belum berselang lama sejak mereka memindahkan keempat mayat, tiga sosok muncul dari balik jalan. Seorang wanita tertawa terkekeh melihat ada dua anak kecil duduk di depan deretan mayat.
"Hahaha... Masih ada cacing yang belum mati rupanya. Koja! Bawa mereka ke gerbang desa. Biarkan kakek tua bangka itu melihat dua anak ini mati di depannya." Perintah sang wanita.
"Baik nyai!" Jawab seorang lelaki di sebelahnya.
Perlahan lelaki itu mendekati kedua anak tersebut. Sambil tertawa dia membuat suara yang menyeramkan. Kedua anak itu langsung menyadari ada yang sedang mendekati mereka, keduanya bersiaga.
Janu mengeluarkan parangnya, berdiri di depan, menghadap si lelaki yang datang. Sementara itu Wulung juga berdiri, sambil masih menangis dia mengepalkan tangannya.
"Wulung, siap siap. Kita harus bisa melarikan diri. Saat aku melangkah mundur, kau larilah sekencang mungkin ke belakang." Bisik Janu.
Wulung yang masih sesenggukan pun mengangguk. Wajahnya terlihat gelisah bercampur bingung.
Saat jarak sang lelaki sudah agak dekat, Janu melemparkan parangnya ke arah si lelaki. Dia lantas segera mundur ke belakang, diikuti Wulung yang menempel di dekatnya.
Si lelaki yang diserang Janu reflek menghindari lemparan parang tersebut. Seketika dia berlari mengejar kedua anak tersebut. Sementara itu dua sosok tiba tiba muncul menghadang Janu dan Wulung, membuat mereka segera beralih arah.
Agak lama mereka berlari, selalu saja ketiga orang pengejarnya mampu menghadang mereka. Anehnya, kedua anak itu selalu saja bisa menghindar dan berpindah arah. Entah masih ada api yang membara, atau sisa bangunan yang hampir rubuh, diterjang saja oleh keduanya. Mereka terus berlari dari para pengejarnya, tidak sadar kalau sedang diarahkan oleh ketiga sosok tersebut.
Di depan gerbang desa, para perampok tengah menyiksa sang demang. Mereka mengikatnya di sebatang pohon, lalu memukulinya beramai ramai. Sementara itu, Jalada duduk santai diatas sebongkah batu, sambil menyaksikan sang demang dipukuli anak buahnya.Di pinggir gerbang desa, empat orang duduk terikat dijaga oleh dua orang perampok. Wajah mereka babak belur, dan tubuhnya terluka cukup parah. Mereka adalah Ki Nambi, Dawis, dan dua orang prajurit Janti yang tersisa."Demang Yasa! Lihat sekarang desamu ini. Hancur lebur!" Cerca Jalada."Kakak, kenapa kita berlama lama disini? Bunuh saja mereka langsung, ambil hartanya, selesai." Cerocos Kijan."Nikmati saja dulu, toh dia sudah tidak bisa berbuat banyak." Balas Andaka."Tahu apa kau!" Ujar Kijan sinis. Dia kesal karena setiap gadis desa yang hendak dipermainkannya langsung dibunuh oleh Andaka."Tunggu saja, Lodra dan anak buahnya juga masih mengejar warga yang berhasil kabur. Kupita pun juga masih ada di
Ucapan Ki Nambi sangat keras terdengar, menggema sebelum kematiannya. Mungkin karena itu surga memberikan jawabannya.Sesaat dua perampok hendak menyeret Darwis ke tengah lapangan eksekusi. Dari balik gerbang, muncul sesosok hitam melompat. Dengan gerakan di udara yang cepat dan tangkas, sosok itu menendang dada kedua perampok. Keduanya yang tidak siap dengan serangan itu pun jatuh terpental.Jalada dan semua anak buahnya terkejut, seketika mereka membeku. Sang penyerang langsung mengeluarkan sebuah pedang besar dari balik punggungnya. Diayunkannya pedang itu ke arah para perampok yang berada di dekat Janu dan Wulung. Beberapa orang tidak sempat bereaksi, mereka terkena tebasan pedang besar itu."Kurang ajar! Tangkap anjing itu kemari!" Teriak Jalada marah.Dia memicingkan mata ke arah Nyai Kupita yang berada di sebelahnya. Dia mempertanyakan kenapa masih ada manusia yang bisa lolos dari wanita itu. Sang nyai yang dilirik tajam pun merasa canggung.
"Terima kasih tuan, sudah menyelamatkan kami." Ucap Darwis sesampainya mereka di tempat aman. Lelaki itu hanya tersenyum sambil menurunkan Janu dari kudanya."Maaf tuan kalau lancang, kalau boleh tahu, siapa nama tuan?" Tanya Darwis penasaran."Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Yang pasti, aku tertarik dengan kedua anak ini." Tegas sang lelaki misterius.Ucapan sang lelaki itu datar, namun ada sedikit keangkuhan dibalik kata katanya itu. Disini Darwis sedikit kecewa dengan jawaban si lelaki misterius, namun begitu, dia masih memasang senyum yang agak dipaksakan. Janu yang sudah berhenti menangis juga diam saja. Dia tidak mau ikut campur urusan orang dewasa."Emm... Kalau boleh tahu, kenapa tuan tertarik dengan kedua anak ini?" Tanya Darwis kembali. Ditariknya Janu dari samping si lelaki misterius, berusaha untuk menjaga kedua anak tersebut.Melihat Darwis tampak gusar, sang lelaki mendesah. Dia kembali berkata, "Sepertinya kau tidak rela kalau ked
Desa Kemuning adalah sebuah dusun kecil di tengah hutan yang jumlah warganya tidak sampai seratus orang. Warganya sangat miskin, bahkan mereka tidak memiliki satu pun lahan persawahan untuk ditanami. Mereka hanya mengandalkan perburuan dan mencari hasil hutan saja. Rumah juga tidak ada satu pun yang terbuat dari tanah liat ataupun batu. Semuanya tersusun dari kayu atau bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa didiami.Siang hari saat rombongan itu tiba, keadaan Desa Kemuning sangatlah berbeda. Banyak warga yang tumpah ruah berlalu lalang di luar rumah. Mereka tidak sedang mengadakan sebuah acara, namun disana semua tampak sibuk menerima para pengungsi. Ada yang sibuk mengobati luka, ada yang memasak untuk para pengungsi, ada pula yang menggeletakkan diri dimanapun mereka berada. Semua orang membaur dan saling menolong.Namun begitu, walaupun disana semua orang membaur, akan tetapi para pengungsi dapat dibedakan dengan warga asli. Pakaian kotor dan sobek, rambut
Hari keempat sejak keempatnya tiba di Dusun Kemuning, si lelaki misterius akhirnya pergi meninggalkan dusun. Dia pergi bersama dengan Janu, Wulung, dan beberapa anak dari Dusun Kemuning. Dengan berjalan kaki, mereka memulai perjalanan menuju ke Perguruan Pinus Angin.Si lelaki misterius tidak hanya membawa Janu dan Wulung saja. Dia selama empat hari di Dusun Kemuning juga memilih beberapa anak lainnya untuk ikut ujian masuk ke perguruan.Selama perjalanan, rombongan mereka tidak membawa bekal apapun. Bahan makanan dan minuman harus mereka cari sendiri di hutan sepanjang jalan. Hal itu juga merupakan ujian bertahan hidup bagi para calon murid perguruan.Tugas tersebut dirasa cukup mudah bagi anak anak itu. Mereka telah terbiasa berburu dan mencari bahan makanan sendiri di hutan. Pun begitu pula dengan Janu dan Wulung, mereka telah terbiasa berburu di hutan. Disini keduanya semakin meningkatkan ilmu bertahan hidupnya dengan belajar dari anak anak Dusun Kemuning.
Di hari kedua sejak Janu tiba di perbukitan, semua murid Perguruan Pinus Angin kembali dengan membawa puluhan anak lainnya. Terhitung ratusan anak terkumpul di lokasi ujian. Saat malam tiba, mereka semua tidur di dalam pondok. Untung saja dan anehnya, pondok itu mampu menampung ratusan anak di dalamnya.Hingga pagi buta di hari ketiga, saat anak anak masih terlelap, terdengar suara nyaring seorang lelaki menggema sampai penjuru bukit. Hal itu sangat aneh dan magis, membuat semuanya terbangun kaget. Suara itu bak petir menyambar memenuhi seluruh ruang di perbukitan."Bangun kalian semua! Jangan malas! Ujian pertama dimulai sekarang juga! Hahaha..." suara berat dan nyaring membahana, terdengar berulang ulang.Janu yang sudah terbiasa bangun di pagi buta hendak memulai berlatih pagi saat mendengar suara tersebut. Wulung yang biasanya ikut kemanapun Janu pergi bahkan sampai jatuh terjengkang saking kagetnya. Kepala keduanya saling pandang, reflek mereka berdua berla
Janu sudah berjalan cukup jauh di dalam hutan bambu. Dia sudah kehilangan arah manapun juga. Berkali kali dia menemukan gelang, berkali kali pula gelang tersebut berbeda dengan gelang yang dia bawa. Ada yang terlalu besar, terlalu kecil, ada pula yang ukirannya berbeda."Hihihi, berhasil! Saatnya kembali ke padang rumput."Suatu ketika dia mendengar suara tawa seorang anak dari sebelah kanan. Dari tawanya tampaknya si pemilik suara menemukan sebuah gelang. Disini Janu penasaran, didekatinya sumber suara. Sesaat dia melihat seorang anak seusianya bertubuh bongsor sedang menggenggam sepasang gelang.Anak tersebut merasakan ada yang mengamatinya dari samping, dia pun menoleh. Janu yang sedang berjalan menguntit segera ketahuan, jaraknya cukup dekat dengan si anak bongsor. Mereka pun lantas berhadapan. Anak tersebut sedikit panik, dia sontak menyerang Janu.Sambil melompat maju, dilayangkannya pukulan ke arah Janu. Dia sedikit kaget saat diserang tiba tiba, n
Sebuah suara keras kembali menggema saat para murid Perguruan Pinus Angin keluar dari pondok. Suara itu sangat menggelegar, sangar, dan berwibawa."Ujian tahap pertama selesai! Tujuh ratus empat puluh tiga anak lolos. Mulai tahap kedua sekarang!"Suli bersedekap dengan hormat saat suara itu bergema. Sesaat setelah suara itu menghilang, tiba tiba saja ratusan gentong air berukuran besar melayang dari balik jurang. Gentong gentong air itu secara ajaib terbang melayang dan mendarat di depan kerumunan. Seorang murid perguruan membawa dua tusuk dupa panjang lantas menancapkannya di tanah."Kalian yang berhasil lolos, ambil satu per satu gentong air ini! Pasang kuda kuda kalian, lalu angkat gentong air ini! Jangan sampai gentong air ini tumpah atau menyentuh tanah. Ujian tahap kedua dimulai saat dupa dinyalakan dan selesai saat dupa kedua telah habis. Sekarang, ambil gentong kalian masing masing! Cepat!" Tegas Suli.Ramai anak anak mengambil gentong air. Setela