Di depan gerbang desa, para perampok tengah menyiksa sang demang. Mereka mengikatnya di sebatang pohon, lalu memukulinya beramai ramai. Sementara itu, Jalada duduk santai diatas sebongkah batu, sambil menyaksikan sang demang dipukuli anak buahnya.
Di pinggir gerbang desa, empat orang duduk terikat dijaga oleh dua orang perampok. Wajah mereka babak belur, dan tubuhnya terluka cukup parah. Mereka adalah Ki Nambi, Dawis, dan dua orang prajurit Janti yang tersisa.
"Demang Yasa! Lihat sekarang desamu ini. Hancur lebur!" Cerca Jalada.
"Kakak, kenapa kita berlama lama disini? Bunuh saja mereka langsung, ambil hartanya, selesai." Cerocos Kijan.
"Nikmati saja dulu, toh dia sudah tidak bisa berbuat banyak." Balas Andaka.
"Tahu apa kau!" Ujar Kijan sinis. Dia kesal karena setiap gadis desa yang hendak dipermainkannya langsung dibunuh oleh Andaka.
"Tunggu saja, Lodra dan anak buahnya juga masih mengejar warga yang berhasil kabur. Kupita pun juga masih ada di dalam desa." Jawab Jalada.
"Kakek!" Terdengar suara anak kecil menjerit dari balik gerbang desa.
Dua anak kecil berlari keluar menghampiri sang demang yang masih disiksa. Keduanya berusaha menghentikan keganasan para perampok. Mereka memukul mukul seorang perampok yang tengah asyik menampar sang demang. Usaha mereka itu pun sontak menjadi bahan tontonan para perampok lainnya. Mereka tertawa geli melihat usaha yang dilakukan kedua anak itu.
Tiga sosok keluar dari dalam desa, mereka perlahan berjalan mendekati sang pemimpin perampok. Nyai Kupita yang berjalan paling depan menghampiri Jalada, lalu membisikkan sesuatu ke telinganya, "Sayang, desa ini sudah bersih. Sudah tidak ada lagi manusia yang tersisa di dalam desa, terakhir adalah dua cacing ini. Sisanya sudah kabur dikejar Lodra."
"Bagus! Kau memang tidak pernah mengecewakanku." Ungkap Jalada senang.
"Anak buahku! Mulai eksekusinya sekarang juga! Kijan, bawa kedua anak itu ke samping."
"Harwaka! Pegang kuat kuat tubuh tua bangka itu. Jangan sampai dia memberontak. Biar dia lihat bagaimana para warganya mati di depan matanya." Lanjutnya.
Janu dan Wulung yang masih terus menyerang para perampok segera ditahan oleh Kijan. Diseretnya kedua anak itu ke samping para tawanan yang lain. Lalu diikatnya keduanya dengan tali rotan.
Seorang prajurit lantas diseret ke tempat yang agak lapang. Dihadapkannya prajurit itu ke arah sang demang. Disini Demang Yasa hanya bisa menangis, wajahnya sudah babak belur. Dia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Tenaganya sudah terkuras dan luka lukanya pun sangat parah. Sang prajurit juga ikut menangis, dia tampak ketakutan.
Dengan sekali arahan jari dari Jalada, seorang perampok yang jadi algojo mengayunkan kapak tepat memenggal kepala si prajurit. Sang demang yang menyaksikan pembunuhan itu hanya bisa memejamkan mata. Dadanya sesak dan pedih, batinnya kecewa dengan diri sendiri, dan hatinya merasa benci yang amat sangat kepada Jalada.
Sementara itu kedua anak kecil yang masih terikat juga melihat pemandangan mengerikan itu. Mereka berdua berteriak teriak ketakutan, wajah mereka pucat. Wulung yang tidak kuat melihat adegan itu langsung pingsan setelah menjerit kencang.
Setelah korban pertama terbunuh, selanjutnya giliran prajurit satunya yang diseret ke tengah lapang. Prajurit itu menjerit jerit meminta tolong dan memohon mohon untuk dibebaskan. Namun disini usahanya sia sia belaka, Jalada tetap tidak bergeming. Korban kedua pun akhirnya gugur.
Untuk korban ketiga yang akan dibunuh, Jalada memilih Ki Nambi. Sang lelaki tua penasehat kademangan tersebut hanya diam saat diseret ke tengah lapang. Mata merahnya menatap tajam ke arah Jalada. Aura kebencian terpancar dari kedua bola matanya. Giginya gemerutuk seakan hendak menelan bulat bulat si pemimpin perampok.
Dia pun lantas menoleh ke depan. Dilihatnya sang demang hanya bisa tertunduk menangis. Beberapa saat kemudian dia menoleh lagi kearah para tawanan yang tersisa. Dia tersenyum melihat dua anak yang terikat di dekat gerbang. Selanjutnya dia menoleh ke atas, lelaki tua itu menatap langit.
"Surga! Apa kau mendengarku?! Disini, aku menyesal menjadi orang lemah! Dan aku menyesal tidak dapat melindungi siapapun di sekitarku! Aku harap di kehidupan selanjutnya aku bisa menjadi lebih kuat! Dengan darah yang tertumpah, semoga karma membalas!" Teriaknya kencang.
Jalada hanya tertawa sinis, jarinya menjentik.
Seketika sebuah tebasan golok dengan cepat memutus leher Ki Nambi. Tubuh tua itu pun gugur, kepalanya jatuh menggelinding, satu nyawa pun hilang.
Janu menangis ketakutan, tubuhnya menggigil, hendak menjerit pun rasanya tak sanggup. Kata kata terakhir Ki Nambi terngiang di otaknya. Anak itu paham apa maksud ucapan lelaki tua itu. Tanpa kekuatan, kita tidak akan bisa melindungi siapapun. Tanpa kekuatan, kita hanya akan dijadikan mangsa oleh siapapun. Dan tanpa kekuatan, maka yang jahat akan selalu berkuasa.
Ucapan Ki Nambi sangat keras terdengar, menggema sebelum kematiannya. Mungkin karena itu surga memberikan jawabannya.Sesaat dua perampok hendak menyeret Darwis ke tengah lapangan eksekusi. Dari balik gerbang, muncul sesosok hitam melompat. Dengan gerakan di udara yang cepat dan tangkas, sosok itu menendang dada kedua perampok. Keduanya yang tidak siap dengan serangan itu pun jatuh terpental.Jalada dan semua anak buahnya terkejut, seketika mereka membeku. Sang penyerang langsung mengeluarkan sebuah pedang besar dari balik punggungnya. Diayunkannya pedang itu ke arah para perampok yang berada di dekat Janu dan Wulung. Beberapa orang tidak sempat bereaksi, mereka terkena tebasan pedang besar itu."Kurang ajar! Tangkap anjing itu kemari!" Teriak Jalada marah.Dia memicingkan mata ke arah Nyai Kupita yang berada di sebelahnya. Dia mempertanyakan kenapa masih ada manusia yang bisa lolos dari wanita itu. Sang nyai yang dilirik tajam pun merasa canggung.
"Terima kasih tuan, sudah menyelamatkan kami." Ucap Darwis sesampainya mereka di tempat aman. Lelaki itu hanya tersenyum sambil menurunkan Janu dari kudanya."Maaf tuan kalau lancang, kalau boleh tahu, siapa nama tuan?" Tanya Darwis penasaran."Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Yang pasti, aku tertarik dengan kedua anak ini." Tegas sang lelaki misterius.Ucapan sang lelaki itu datar, namun ada sedikit keangkuhan dibalik kata katanya itu. Disini Darwis sedikit kecewa dengan jawaban si lelaki misterius, namun begitu, dia masih memasang senyum yang agak dipaksakan. Janu yang sudah berhenti menangis juga diam saja. Dia tidak mau ikut campur urusan orang dewasa."Emm... Kalau boleh tahu, kenapa tuan tertarik dengan kedua anak ini?" Tanya Darwis kembali. Ditariknya Janu dari samping si lelaki misterius, berusaha untuk menjaga kedua anak tersebut.Melihat Darwis tampak gusar, sang lelaki mendesah. Dia kembali berkata, "Sepertinya kau tidak rela kalau ked
Desa Kemuning adalah sebuah dusun kecil di tengah hutan yang jumlah warganya tidak sampai seratus orang. Warganya sangat miskin, bahkan mereka tidak memiliki satu pun lahan persawahan untuk ditanami. Mereka hanya mengandalkan perburuan dan mencari hasil hutan saja. Rumah juga tidak ada satu pun yang terbuat dari tanah liat ataupun batu. Semuanya tersusun dari kayu atau bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa didiami.Siang hari saat rombongan itu tiba, keadaan Desa Kemuning sangatlah berbeda. Banyak warga yang tumpah ruah berlalu lalang di luar rumah. Mereka tidak sedang mengadakan sebuah acara, namun disana semua tampak sibuk menerima para pengungsi. Ada yang sibuk mengobati luka, ada yang memasak untuk para pengungsi, ada pula yang menggeletakkan diri dimanapun mereka berada. Semua orang membaur dan saling menolong.Namun begitu, walaupun disana semua orang membaur, akan tetapi para pengungsi dapat dibedakan dengan warga asli. Pakaian kotor dan sobek, rambut
Hari keempat sejak keempatnya tiba di Dusun Kemuning, si lelaki misterius akhirnya pergi meninggalkan dusun. Dia pergi bersama dengan Janu, Wulung, dan beberapa anak dari Dusun Kemuning. Dengan berjalan kaki, mereka memulai perjalanan menuju ke Perguruan Pinus Angin.Si lelaki misterius tidak hanya membawa Janu dan Wulung saja. Dia selama empat hari di Dusun Kemuning juga memilih beberapa anak lainnya untuk ikut ujian masuk ke perguruan.Selama perjalanan, rombongan mereka tidak membawa bekal apapun. Bahan makanan dan minuman harus mereka cari sendiri di hutan sepanjang jalan. Hal itu juga merupakan ujian bertahan hidup bagi para calon murid perguruan.Tugas tersebut dirasa cukup mudah bagi anak anak itu. Mereka telah terbiasa berburu dan mencari bahan makanan sendiri di hutan. Pun begitu pula dengan Janu dan Wulung, mereka telah terbiasa berburu di hutan. Disini keduanya semakin meningkatkan ilmu bertahan hidupnya dengan belajar dari anak anak Dusun Kemuning.
Di hari kedua sejak Janu tiba di perbukitan, semua murid Perguruan Pinus Angin kembali dengan membawa puluhan anak lainnya. Terhitung ratusan anak terkumpul di lokasi ujian. Saat malam tiba, mereka semua tidur di dalam pondok. Untung saja dan anehnya, pondok itu mampu menampung ratusan anak di dalamnya.Hingga pagi buta di hari ketiga, saat anak anak masih terlelap, terdengar suara nyaring seorang lelaki menggema sampai penjuru bukit. Hal itu sangat aneh dan magis, membuat semuanya terbangun kaget. Suara itu bak petir menyambar memenuhi seluruh ruang di perbukitan."Bangun kalian semua! Jangan malas! Ujian pertama dimulai sekarang juga! Hahaha..." suara berat dan nyaring membahana, terdengar berulang ulang.Janu yang sudah terbiasa bangun di pagi buta hendak memulai berlatih pagi saat mendengar suara tersebut. Wulung yang biasanya ikut kemanapun Janu pergi bahkan sampai jatuh terjengkang saking kagetnya. Kepala keduanya saling pandang, reflek mereka berdua berla
Janu sudah berjalan cukup jauh di dalam hutan bambu. Dia sudah kehilangan arah manapun juga. Berkali kali dia menemukan gelang, berkali kali pula gelang tersebut berbeda dengan gelang yang dia bawa. Ada yang terlalu besar, terlalu kecil, ada pula yang ukirannya berbeda."Hihihi, berhasil! Saatnya kembali ke padang rumput."Suatu ketika dia mendengar suara tawa seorang anak dari sebelah kanan. Dari tawanya tampaknya si pemilik suara menemukan sebuah gelang. Disini Janu penasaran, didekatinya sumber suara. Sesaat dia melihat seorang anak seusianya bertubuh bongsor sedang menggenggam sepasang gelang.Anak tersebut merasakan ada yang mengamatinya dari samping, dia pun menoleh. Janu yang sedang berjalan menguntit segera ketahuan, jaraknya cukup dekat dengan si anak bongsor. Mereka pun lantas berhadapan. Anak tersebut sedikit panik, dia sontak menyerang Janu.Sambil melompat maju, dilayangkannya pukulan ke arah Janu. Dia sedikit kaget saat diserang tiba tiba, n
Sebuah suara keras kembali menggema saat para murid Perguruan Pinus Angin keluar dari pondok. Suara itu sangat menggelegar, sangar, dan berwibawa."Ujian tahap pertama selesai! Tujuh ratus empat puluh tiga anak lolos. Mulai tahap kedua sekarang!"Suli bersedekap dengan hormat saat suara itu bergema. Sesaat setelah suara itu menghilang, tiba tiba saja ratusan gentong air berukuran besar melayang dari balik jurang. Gentong gentong air itu secara ajaib terbang melayang dan mendarat di depan kerumunan. Seorang murid perguruan membawa dua tusuk dupa panjang lantas menancapkannya di tanah."Kalian yang berhasil lolos, ambil satu per satu gentong air ini! Pasang kuda kuda kalian, lalu angkat gentong air ini! Jangan sampai gentong air ini tumpah atau menyentuh tanah. Ujian tahap kedua dimulai saat dupa dinyalakan dan selesai saat dupa kedua telah habis. Sekarang, ambil gentong kalian masing masing! Cepat!" Tegas Suli.Ramai anak anak mengambil gentong air. Setela
Kini beberapa murid meletakkan batu bakat yang mereka bawa ke tanah. Sambil berteriak mereka menyuruh anak anak di dalam kelompoknya untuk berbaris rapi. Anak anak pun mulai berbaris dan bergiliran melakukan ujian mereka.Ujian ketiga baru saja dimulai, seketika seorang anak perempuan berteriak kaget. Rambut anak itu merah terbakar, api kecil tampak menempel di kepala. Saat dia melepaskan telapak tangannya dari batu bakat, seketika itu pula api yang membakar rambutnya lenyap seperti tak terjadi suatu apapun, rambutnya pun masih utuh. Anak perempuan itu segera dipisahkan dari yang lain."Unsur api tingkat rendah, lolos!" Teriak seorang murid sambil memisahkan si anak perempuan.Beberapa saat kemudian mulai bermunculan fenomena fenomena aneh lain yang terjadi. Ada yang mengeluarkan asap hitam pekat dari tubuh, ada pula yang dari ujung kaki sampai pinggang terlihat mengeras dan berubah menjadi batu. Mereka yang berhasil membuat suatu fenomena tertawa girang. Setela