"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa yang lebih kuat diantara kita." Ucap Jalada dengan angkuh.
"Sombong sekali! Sepuluh tahun lalu kau tidak bisa mengalahkanku. Sekarang pun anjing macam kau ini masih tidak pantas menjadi tandinganku!" Ujar sang demang dengan nada emosi.
Senyum sinis tergambar di bibir Jalada, dia menoleh kepada kawanannya, "Anak buahku, lihat orang tua ini! Lihat bagaimana nanti dia mati! Tapi sebelumnya, aku ingin dia melihat bagaimana Janti yang dicintainya ini hancur, hahaha..."
Mendengar tawa Jalada, amarah sang demang semakin memuncak. Tanpa kata, dia melompat menyerang Jalada yang masih berada diatas kudanya. Dengan gerakan cepat, sang demang hendak memukul kepala Jalada, namun dengan mudahnya lelaki itu menghindari serangannya. Jalada menghindar sambil melompat turun dari kudanya.
Para penunggang kuda yang lain segera mundur untuk memberi tambahan ruang gerak bagi keduanya. Mereka tampak tenang menonton sang pemimpin bertarung dengan Demang Yasa. Seakan tidak merasa cemas akan keselamatan Jalada, mereka malah saling beradu seberapa banyak jurus yang akan dikeluarkannya untuk mengalahkan Demang Yasa.
Beberapa kali sang demang mengeluarkan jurus, sekalipun tidak ada yang mengenai tubuh Jalada. Sang kepala perampok itu dengan mudahnya menghindari setiap serangan yang dilancarkan Demang Yasa.
Mengetahui serangan serangannya dengan mudah dihindari orang tersebut, sang demang mulai panik. Berbagai serangan yang dilancarkan selanjutnya kini menjadi tidak beraturan, bahkan terkesan nekad. Tawa Jalada kian nyaring melihat gerakan sang demang yang mulai kelimpungan.
Lama Jalada hanya bermain main saja menghindari serangan sang demang, akhirnya dia pun mulai melepas kesabarannya. Saat sang demang melancarkan pukulan ke depan, Jalada dengan gesit agak memiringkan tubuhnya. Dengan gerakan cepat, dilayangkannya sebuah tendangan tepat kearah perut sang demang. Tendangan itu mengenai telak dan bersarang di perut Demang Yasa, membuatnya terpental agak jauh ke belakang.
Sang demang jatuh tersungkur di tanah, dia lantas memuntahkan semua isi perutnya. Dia pun kini tersujud sejenak, masih meringis kesakitan. Melihat hal itu sontak membuat Jalada dan para pengikutnya tertawa terbahak bahak.
Disini sang demang mencoba menenangkan diri, dia mulai mengatur nafasnya kembali. Sambil menatap tajam lawannya, dia mengeluarkan pedang dari sarungnya.
"Mati kau Jalada!" Teriaknya sambil mengacungkan pedang.
Jalada yang sadar akan serangan itu pun berhenti tertawa. Tenang saja dia menangkap ujung pedang sang demang dengan tangan kirinya. Lalu dengan tangan kanan yang masih bebas, dipukulnya pedang tersebut hingga patah.
Sang demang kaget bukan main. Pedang perunggu yang dimilikinya patah begitu saja saat terkena pukulan dari Jalada. Dia pun mundur beberapa langkah, matanya membelalak. Gagang pedang yang digenggamnya terjatuh.
"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Kau tidak mungkin berada di tahap ketujuh. Tidak mungkin! Aku tidak boleh kalah!" Gumam Demang Yasa.
Disini aura keputus asaan terpancar dari gurat wajah sang demang. Sambil mundur perlahan, dia terus berpikir mencari cara untuk mengalahkan sang pemimpin para perampok.
Dia melihat ke sekeliling, para perampok penunggang kuda telah mengepungnya dengan sangat ketat. Raut mukanya semakin gelap, tubuhnya kelihatan semakin menua. Tawa para perampok itu kian membuatnya jatuh dalam lubang keputus asaan.
Sang demang menoleh ke arah desa, teriakan para warga bercampur dengan tawa para perampok. Teriakan meminta tolong itu terdengar sayu, kian menyayat hatinya yang patah. Kobaran api membakar rumah rumah warga, terlihat dari depan gerbang desa.
Karena fokusnya tadi pada Jalada, membuatnya lupa akan kondisi desa. Dia yang perhatiannya pecah pada kekuatan Jalada, baru menyadari sekarang kalau kondisi desa sedang tidak baik. Kondisi ini tampak lebih parah, jauh, dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu saat pertama kali para perampok itu menyerang.
Terlihat sudah putus asa, sang demang pun jatuh berlutut. Air matanya terurai memikirkan nasib para warga desa.
"Tolong, bunuh aku saja sekarang. Tapi jangan kalian bunuh para warga yang tidak bersalah." Ujarnya sambil terisak.
Sementara itu, di lain tempat di atas bukit, seorang anak sedang bersantai sambil tiduran di bawah pohon mangga. Di atasnya, duduk seorang anak kecil di sebuah cabang pohon tersebut. Mereka sedang asyik mengobrol tatkala sang anak yang berada di atas pohon tiba tiba terdiam. Buah mangga yang sedari tadi dipegangnya jatuh ke bawah, menimpa perut rekannya.
"Kak... Kak Janu... Sepertinya desa sedang dalam masalah."
Janu sedang bersantai saat Wulung berkata kalau desa sedang dalam masalah. Dia pun menoleh ke arah desa. Tampak asap tebal mengepul dari arah desa.'Ada yang tidak beres.' Batinnya."Wulung, sepertinya ada kebakaran besar di desa. Ayo kita segera kembali!" Ajaknya sambil mengemas barang barangnya.Seusai mengemas perlengkapan dan kayu bakar, mereka segera berlari menuruni bukit ke arah desa. Sepanjang jalan, pikiran mereka berkecamuk, khawatir dengan kondisi desa.Tidak peduli dengan duri dan kerikil tajam, mereka terus saja berlari. Rasanya mereka ingin segera sampai ke desa. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi disana, kenapa ada kebakaran, dan apa penyebabnya.Sampai di penghujung desa, mereka melihat api sudah membubung tinggi di sekitarnya. Sontak mereka pun melepas kayu bakar yang digendongnya, lalu memanjat melewati pagar desa, masuk ke dalam desa.Sampai ke dalam desa mereka melihat rumah rumah warga tersambar api. Beberapa rumah mere
Di depan gerbang desa, para perampok tengah menyiksa sang demang. Mereka mengikatnya di sebatang pohon, lalu memukulinya beramai ramai. Sementara itu, Jalada duduk santai diatas sebongkah batu, sambil menyaksikan sang demang dipukuli anak buahnya.Di pinggir gerbang desa, empat orang duduk terikat dijaga oleh dua orang perampok. Wajah mereka babak belur, dan tubuhnya terluka cukup parah. Mereka adalah Ki Nambi, Dawis, dan dua orang prajurit Janti yang tersisa."Demang Yasa! Lihat sekarang desamu ini. Hancur lebur!" Cerca Jalada."Kakak, kenapa kita berlama lama disini? Bunuh saja mereka langsung, ambil hartanya, selesai." Cerocos Kijan."Nikmati saja dulu, toh dia sudah tidak bisa berbuat banyak." Balas Andaka."Tahu apa kau!" Ujar Kijan sinis. Dia kesal karena setiap gadis desa yang hendak dipermainkannya langsung dibunuh oleh Andaka."Tunggu saja, Lodra dan anak buahnya juga masih mengejar warga yang berhasil kabur. Kupita pun juga masih ada di
Ucapan Ki Nambi sangat keras terdengar, menggema sebelum kematiannya. Mungkin karena itu surga memberikan jawabannya.Sesaat dua perampok hendak menyeret Darwis ke tengah lapangan eksekusi. Dari balik gerbang, muncul sesosok hitam melompat. Dengan gerakan di udara yang cepat dan tangkas, sosok itu menendang dada kedua perampok. Keduanya yang tidak siap dengan serangan itu pun jatuh terpental.Jalada dan semua anak buahnya terkejut, seketika mereka membeku. Sang penyerang langsung mengeluarkan sebuah pedang besar dari balik punggungnya. Diayunkannya pedang itu ke arah para perampok yang berada di dekat Janu dan Wulung. Beberapa orang tidak sempat bereaksi, mereka terkena tebasan pedang besar itu."Kurang ajar! Tangkap anjing itu kemari!" Teriak Jalada marah.Dia memicingkan mata ke arah Nyai Kupita yang berada di sebelahnya. Dia mempertanyakan kenapa masih ada manusia yang bisa lolos dari wanita itu. Sang nyai yang dilirik tajam pun merasa canggung.
"Terima kasih tuan, sudah menyelamatkan kami." Ucap Darwis sesampainya mereka di tempat aman. Lelaki itu hanya tersenyum sambil menurunkan Janu dari kudanya."Maaf tuan kalau lancang, kalau boleh tahu, siapa nama tuan?" Tanya Darwis penasaran."Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Yang pasti, aku tertarik dengan kedua anak ini." Tegas sang lelaki misterius.Ucapan sang lelaki itu datar, namun ada sedikit keangkuhan dibalik kata katanya itu. Disini Darwis sedikit kecewa dengan jawaban si lelaki misterius, namun begitu, dia masih memasang senyum yang agak dipaksakan. Janu yang sudah berhenti menangis juga diam saja. Dia tidak mau ikut campur urusan orang dewasa."Emm... Kalau boleh tahu, kenapa tuan tertarik dengan kedua anak ini?" Tanya Darwis kembali. Ditariknya Janu dari samping si lelaki misterius, berusaha untuk menjaga kedua anak tersebut.Melihat Darwis tampak gusar, sang lelaki mendesah. Dia kembali berkata, "Sepertinya kau tidak rela kalau ked
Desa Kemuning adalah sebuah dusun kecil di tengah hutan yang jumlah warganya tidak sampai seratus orang. Warganya sangat miskin, bahkan mereka tidak memiliki satu pun lahan persawahan untuk ditanami. Mereka hanya mengandalkan perburuan dan mencari hasil hutan saja. Rumah juga tidak ada satu pun yang terbuat dari tanah liat ataupun batu. Semuanya tersusun dari kayu atau bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa didiami.Siang hari saat rombongan itu tiba, keadaan Desa Kemuning sangatlah berbeda. Banyak warga yang tumpah ruah berlalu lalang di luar rumah. Mereka tidak sedang mengadakan sebuah acara, namun disana semua tampak sibuk menerima para pengungsi. Ada yang sibuk mengobati luka, ada yang memasak untuk para pengungsi, ada pula yang menggeletakkan diri dimanapun mereka berada. Semua orang membaur dan saling menolong.Namun begitu, walaupun disana semua orang membaur, akan tetapi para pengungsi dapat dibedakan dengan warga asli. Pakaian kotor dan sobek, rambut
Hari keempat sejak keempatnya tiba di Dusun Kemuning, si lelaki misterius akhirnya pergi meninggalkan dusun. Dia pergi bersama dengan Janu, Wulung, dan beberapa anak dari Dusun Kemuning. Dengan berjalan kaki, mereka memulai perjalanan menuju ke Perguruan Pinus Angin.Si lelaki misterius tidak hanya membawa Janu dan Wulung saja. Dia selama empat hari di Dusun Kemuning juga memilih beberapa anak lainnya untuk ikut ujian masuk ke perguruan.Selama perjalanan, rombongan mereka tidak membawa bekal apapun. Bahan makanan dan minuman harus mereka cari sendiri di hutan sepanjang jalan. Hal itu juga merupakan ujian bertahan hidup bagi para calon murid perguruan.Tugas tersebut dirasa cukup mudah bagi anak anak itu. Mereka telah terbiasa berburu dan mencari bahan makanan sendiri di hutan. Pun begitu pula dengan Janu dan Wulung, mereka telah terbiasa berburu di hutan. Disini keduanya semakin meningkatkan ilmu bertahan hidupnya dengan belajar dari anak anak Dusun Kemuning.
Di hari kedua sejak Janu tiba di perbukitan, semua murid Perguruan Pinus Angin kembali dengan membawa puluhan anak lainnya. Terhitung ratusan anak terkumpul di lokasi ujian. Saat malam tiba, mereka semua tidur di dalam pondok. Untung saja dan anehnya, pondok itu mampu menampung ratusan anak di dalamnya.Hingga pagi buta di hari ketiga, saat anak anak masih terlelap, terdengar suara nyaring seorang lelaki menggema sampai penjuru bukit. Hal itu sangat aneh dan magis, membuat semuanya terbangun kaget. Suara itu bak petir menyambar memenuhi seluruh ruang di perbukitan."Bangun kalian semua! Jangan malas! Ujian pertama dimulai sekarang juga! Hahaha..." suara berat dan nyaring membahana, terdengar berulang ulang.Janu yang sudah terbiasa bangun di pagi buta hendak memulai berlatih pagi saat mendengar suara tersebut. Wulung yang biasanya ikut kemanapun Janu pergi bahkan sampai jatuh terjengkang saking kagetnya. Kepala keduanya saling pandang, reflek mereka berdua berla
Janu sudah berjalan cukup jauh di dalam hutan bambu. Dia sudah kehilangan arah manapun juga. Berkali kali dia menemukan gelang, berkali kali pula gelang tersebut berbeda dengan gelang yang dia bawa. Ada yang terlalu besar, terlalu kecil, ada pula yang ukirannya berbeda."Hihihi, berhasil! Saatnya kembali ke padang rumput."Suatu ketika dia mendengar suara tawa seorang anak dari sebelah kanan. Dari tawanya tampaknya si pemilik suara menemukan sebuah gelang. Disini Janu penasaran, didekatinya sumber suara. Sesaat dia melihat seorang anak seusianya bertubuh bongsor sedang menggenggam sepasang gelang.Anak tersebut merasakan ada yang mengamatinya dari samping, dia pun menoleh. Janu yang sedang berjalan menguntit segera ketahuan, jaraknya cukup dekat dengan si anak bongsor. Mereka pun lantas berhadapan. Anak tersebut sedikit panik, dia sontak menyerang Janu.Sambil melompat maju, dilayangkannya pukulan ke arah Janu. Dia sedikit kaget saat diserang tiba tiba, n