Home / Pendekar / Janu: Tahap Awal / CP 18. Kekalahan

Share

CP 18. Kekalahan

"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa yang lebih kuat diantara kita." Ucap Jalada dengan angkuh.

"Sombong sekali! Sepuluh tahun lalu kau tidak bisa mengalahkanku. Sekarang pun anjing macam kau ini masih tidak pantas menjadi tandinganku!" Ujar sang demang dengan nada emosi.

Senyum sinis tergambar di bibir Jalada, dia menoleh kepada kawanannya, "Anak buahku, lihat orang tua ini! Lihat bagaimana nanti dia mati! Tapi sebelumnya, aku ingin dia melihat bagaimana Janti yang dicintainya ini hancur, hahaha..."

Mendengar tawa Jalada, amarah sang demang semakin memuncak. Tanpa kata, dia melompat menyerang Jalada yang masih berada diatas kudanya. Dengan gerakan cepat, sang demang hendak memukul kepala Jalada, namun dengan mudahnya lelaki itu menghindari serangannya. Jalada menghindar sambil melompat turun dari kudanya.

Para penunggang kuda yang lain segera mundur untuk memberi tambahan ruang gerak bagi keduanya. Mereka tampak tenang menonton sang pemimpin bertarung dengan Demang Yasa. Seakan tidak merasa cemas akan keselamatan Jalada, mereka malah saling beradu seberapa banyak jurus yang akan dikeluarkannya untuk mengalahkan Demang Yasa.

Beberapa kali sang demang mengeluarkan jurus, sekalipun tidak ada yang mengenai tubuh Jalada. Sang kepala perampok itu dengan mudahnya menghindari setiap serangan yang dilancarkan Demang Yasa.

Mengetahui serangan serangannya dengan mudah dihindari orang tersebut, sang demang mulai panik. Berbagai serangan yang dilancarkan selanjutnya kini menjadi tidak beraturan, bahkan terkesan nekad. Tawa Jalada kian nyaring melihat gerakan sang demang yang mulai kelimpungan.

Lama Jalada hanya bermain main saja menghindari serangan sang demang, akhirnya dia pun mulai melepas kesabarannya. Saat sang demang melancarkan pukulan ke depan, Jalada dengan gesit agak memiringkan tubuhnya. Dengan gerakan cepat, dilayangkannya sebuah tendangan tepat kearah perut sang demang. Tendangan itu mengenai telak dan bersarang di perut Demang Yasa, membuatnya terpental agak jauh ke belakang.

Sang demang jatuh tersungkur di tanah, dia lantas memuntahkan semua isi perutnya. Dia pun kini tersujud sejenak, masih meringis kesakitan. Melihat hal itu sontak membuat Jalada dan para pengikutnya tertawa terbahak bahak.

Disini sang demang mencoba menenangkan diri, dia mulai mengatur nafasnya kembali. Sambil menatap tajam lawannya, dia mengeluarkan pedang dari sarungnya.

"Mati kau Jalada!" Teriaknya sambil mengacungkan pedang.

Jalada yang sadar akan serangan itu pun berhenti tertawa. Tenang saja dia menangkap ujung pedang sang demang dengan tangan kirinya. Lalu dengan tangan kanan yang masih bebas, dipukulnya pedang tersebut hingga patah.

Sang demang kaget bukan main. Pedang perunggu yang dimilikinya patah begitu saja saat terkena pukulan dari Jalada. Dia pun mundur beberapa langkah, matanya membelalak. Gagang pedang yang digenggamnya terjatuh.

"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Kau tidak mungkin berada di tahap ketujuh. Tidak mungkin! Aku tidak boleh kalah!" Gumam Demang Yasa.

Disini aura keputus asaan terpancar dari gurat wajah sang demang. Sambil mundur perlahan, dia terus berpikir mencari cara untuk mengalahkan sang pemimpin para perampok.

Dia melihat ke sekeliling, para perampok penunggang kuda telah mengepungnya dengan sangat ketat. Raut mukanya semakin gelap, tubuhnya kelihatan semakin menua. Tawa para perampok itu kian membuatnya jatuh dalam lubang keputus asaan.

Sang demang menoleh ke arah desa, teriakan para warga bercampur dengan tawa para perampok. Teriakan meminta tolong itu terdengar sayu, kian menyayat hatinya yang patah. Kobaran api membakar rumah rumah warga, terlihat dari depan gerbang desa.

Karena fokusnya tadi pada Jalada, membuatnya lupa akan kondisi desa. Dia yang perhatiannya pecah pada kekuatan Jalada, baru menyadari sekarang kalau kondisi desa sedang tidak baik. Kondisi ini tampak lebih parah, jauh, dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu saat pertama kali para perampok itu menyerang.

Terlihat sudah putus asa, sang demang pun jatuh berlutut. Air matanya terurai memikirkan nasib para warga desa.

"Tolong, bunuh aku saja sekarang. Tapi jangan kalian bunuh para warga yang tidak bersalah." Ujarnya sambil terisak.

Sementara itu, di lain tempat di atas bukit, seorang anak sedang bersantai sambil tiduran di bawah pohon mangga. Di atasnya, duduk seorang anak kecil di sebuah cabang pohon tersebut. Mereka sedang asyik mengobrol tatkala sang anak yang berada di atas pohon tiba tiba terdiam. Buah mangga yang sedari tadi dipegangnya jatuh ke bawah, menimpa perut rekannya.

"Kak... Kak Janu... Sepertinya desa sedang dalam masalah."


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status